“Hebat sekali kalian! Menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk kabur dari kenyataan,” sindir Nyonya Aster dengan mata berkaca-kaca.
“Bukan begitu, Ma,” timpal Vela seraya berjalan menghampiri. Belum sampai jemarinya meraih, tangan sang ibu sudah terangkat menghentikan langkahnya.
“Sekarang, Mama tanya. Apa tujuan kalian menikah? Hm?”
Vela pun menatap Eridan dengan rahang bergetar, sedangkan sang pria memandangnya dengan wajah agak tertunduk.
“Enggak bisa jawab, kan? Itu karena kalian tidak memandang pernikahan sebagai sesuatu yang sakral,” tutur Nyonya Aster dengan raut putus asa. “Menikah itu komitmen seumur hidup, bukan setahun atau dua tahun.”
Leher Eridan kini tertekuk sempurna. Ia sadar bahwa tindakan mereka memang salah dan dirinya tidak pantas mengajukan pembelaan. Sekalipun alasan yang dipaparkan oleh sang mert
Begitu Eridan melepas bibir Vela, barulah sang wanita berkedip dan memproses tindakan suaminya. Akan tetapi, setelah lewat beberapa detik, ia tidak kunjung menemukan alasan yang tepat.“Kenapa kamu tiba-tiba menciumku?” tanya Vela dengan kerut alis tak terdefinisikan.“Bukankah kamu bertanya, kenapa aku betah menjadi sahabatmu? Itulah jawaban dariku,” jawab Eridan sebelum menyunggingkan senyum simpul.“Hah?” Vela semakin heran. Setelah memutar bola matanya ke berbagai sudut, dahinya malah mengernyit.“Maksud kamu bagaimana? Aku enggak mengerti. Aku kan bertanya kenapa kamu betah menjadi sahabatku, bukan menjadi suami,” tutur wanita yang masih menyimpan sejuta tanya.Setelah mendesah ringan, Eridan pun berdiri. “Pulang, yuk! Kita harus packing. Besok, perjuangan kita kembali dimulai,” ajak sang suami sambil mengu
“Kenapa, Vela? Apa kau takut? Tidur beralaskan tanah dan beratapkan awan,” ledek Ares yang senang melihat kerutan di alis Vela. Sedetik kemudian, senyum sinis kembali memperdalam kesan sombongnya. “Sebenarnya, kau tidak perlu khawatir, Vel. Kau bisa saja memperbaiki nasibmu. Tinggalkan laki-laki ini dan menikahlah denganku.”“Aku tidak akan pernah menikah dengan pria jahat sepertimu!” bentak sang wanita garang. Ia benar-benar muak dengan gelagat laki-laki yang selalu mengejarnya.“Apa? Pria jahat? Ayolah, Vela … buka matamu! Aku ini enggak jahat. Hanya saja, aku enggak bakal berhenti sampai kamu jadi milikku,” timpal Ares dengan seringai menakutkan. Pria itu sudah kehilangan akal sehatnya.“Kenapa harus aku? Sudah kubilang berulang kali. Banyak perempuan yang lebih cantik dan lebih hebat dariku. Cassie salah satunya. Bukankah kamu sudah bersamanya? Kenapa masih
Eridan mendesah lalu mendaratkan tangan ke atas bahu kawannya. Setelah memaksakan seulas senyuman, ia menyanggupi permintaan Roger. “Oke, gue turuti kemauan lo.”“Nice! Kalau begitu, ayo masuk! Untuk apa kita berdiri di luar pagar siang-siang begini?” celetuk si pemilik rumah sembari berbalik masuk. Temannya pun mengangguk setuju.“Eh, tunggu dulu! Kalian belum menjawab pertanyaanku,” ujar Vela sambil berusaha mendapatkan perhatian. Akan tetapi, Roger dan Eridan sudah lebih dulu melangkah, mengabaikan rasa ingin tahu sang wanita. “Jadi, apa yang harus dilakukan Ridan untuk membalas kebaikan Roger?” tanya perempuan itu lantang.“Ini urusan laki-laki, Vel. Perempuan enggak perlu tahu,” celetuk Eridan terdengar seperti bercanda.“Tapi, tatapan kalian tadi mengarah kepadaku,” sanggah wanita yang peka itu.“Jangan terlalu percaya diri, Vel!” timpal sang suami sembari terus melangkah menuju pintu
Hingga matahari terbenam, Vela masih belum menampakkan batang hidung. Pukul tujuh, pukul delapan, pukul sembilan. Pintu rumah tidak kunjung dibuka olehnya. Sang suami yang semula duduk di ruang tamu, kini tidak bisa lagi tinggal diam.“Kenapa belum pulang juga?” gerutu pria yang berjalan mondar-mandir dengan ponsel melekat di telinga. Selang beberapa detik, ia menekan tombol merah lalu kembali menghubungi nomor yang sama untuk kesekian kalinya.“Ayo, Vel! Nyalakan HP-mu …. Angkat teleponku!”Cekrek! Pintu rumah akhirnya terbuka. Eridan sontak mematung hingga wajah pucat sang istri menyapa.“Vela?” Tanpa sempat mengakhiri panggilan, pria itu menghampiri sosok yang dinanti-nantikan. “Kamu—““Maaf, Ridan. Aku capek banget,” sela sang istri sembari menyeret langkah menuju kamar mandi.“Tadi—““Nanti, ya. Aku mau mandi dulu,” tutur Vela dengan suara pelan.
Vela mengernyit, lalu membuka mata. Dengan pandangan yang masih belum jelas sepenuhnya, ia berusaha duduk dan mengamati jam. Begitu melihat jarum pendek hampir menyentuh angka delapan, pelupuknya sontak tertarik maksimal.“Astaga! Kenapa jam bekerku enggak berbunyi?” gerutu sang wanita sembari turun dari ranjang. Sambil menahan pusing, Vela berjalan menuju kamar mandi.“Eits! Hati-hati, Vel! Kenapa kamu buru-buru? Ini kan hari Minggu,” celetuk Eridan yang hampir ditabrak oleh sang istri.“Maaf, Ridan! Aku terlambat,” timpal Vela sembari menarik lengannya dari genggaman sang suami.“Terlambat ke mana?” tanya sang pria dengan sorot mata melekat pada punggung istrinya.Tanpa menjawab, Vela menghilang di balik pintu kamar mandi. Perempuan itu tidak tahu bahwa sang suami sedang mengulum senyum. Pria itu senang karena misi rahasianya telah dimulai dengan lancar. Setelah mengangguk-angguk misterius, Eridan
Vela dan Eridan bertatapan dalam diam. Sang pria baru sadar bahwa lidahnya telah mengucapkan kata yang tak seharusnya, sedangkan sang wanita sudah telanjur menanam kekesalan suaminya dalam hati.“Oke,” ucap Vela memecah keheningan. Kepalanya mengangguk-angguk dengan wajah sendu. “Kalau begitu, aku minta maaf. Aku enggak tahu kalau ternyata, aku enggak boleh membantu kamu.”Melihat Vela melangkah pergi usai menyelesaikan kalimat, Eridan spontan turun dari motor dan berlari mengejar. “Tunggu dulu, Vel. Bukan begitu maksudku,” bisik sang pria sambil menggenggam lengan istrinya.“Terus, apa? Harga dirimu terlalu tinggi untuk menerima bantuan dari orang lain, termasuk aku? Begitu, kan?” tutur sang wanita dengan suara tertahan. Meski emosinya meledak-ledak, ia tidak ingin orang lain mendengar pembicaraan mereka.Eridan pun mendesah lelah. “Enggak, Vel. Aku bukannya enggak mau menerima bantuan kamu. Aku cuma kasihan—“
“Engh, Ridan? Emh ….”Vela kesulitan bernapas. Sang suami seakan tidak ingin lepas dari bibirnya. Sudah beberapa menit kedua insan itu bergelut di atas ranjang, Eridan masih belum memberi istrinya kesempatan untuk bicara.“Ridan!” pekik Vela sembari memalingkan wajahnya yang sudah memerah. Dengan tergesa-gesa, wanita itu memaksa paru-parunya untuk memompa lebih banyak udara.Sadar bahwa sang istri sudah kewalahan, sang pria pun bergerilya menuruni Vela. Tanpa memberi jeda, ia terus menghujani tubuh wanita itu dengan kemesraan.“Ah … Ridan ....” Vela mencengkeram kepala yang sedang menaklukkan puncak bukitnya. Perempuan itu sama sekali tidak sadar bahwa gaun tidurnya sudah mendarat di atas lantai.“Kamu menikmatinya, kan?” bisik Eridan ketika kembali menyejajarkan pandangan. Akal sehatnya telah tertutupi kepulan hasrat. Belum sempat istrinya menjawab, sang pria sudah kembali membungkam mulut manis it
“Eridan, kamu sudah pulang? Bagaimana tadi? Lancar?” sambut Vela ketika suaminya tiba di teras rumah. Senyum manis telah melengkapi tatapan hangatnya.“Lancar,” angguk Eridan seadanya.Sadar akan sikap dingin suaminya, bibir sang istri sontak mengerucut. Setelah memutar otak sejenak, mulutnya kembali terbuka. “Malam ini, kamu jadi mengantarku? Ada sesi les dua jam,” tanya Vela dengan nada pelan. Ada keraguan terselip di antara kata-kata.Selang beberapa detik, sang suami belum juga menjawab. Vela pun memberanikan diri untuk lanjut bicara. “Kalau bisa, kita berangkat lebih awal, ya. Soalnya, ini pertemuan pertama. Jadi, kita harus mencari alamatnya dulu.”Tiba-tiba, Eridan menarik napas panjang. “Maaf, Vel. Kamu pesan ojek online saja, ya. Aku capek banget,” tolaknya tak terduga. Laki-laki itu belum pernah mengingkari kata-katanya.“Oh … oke,” sahut Vela menyembunyikan kecewa. Lengkung bibirnya yang
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar