Di, kamu serius gak ada hubungan apa apa sama Mas Farid?" Pertanyaan itu keluar lagi dari mulut Zaid. "Uhukk.. Uhukk.." "Kenapa Di? Minum dulu!" Zaid memberikan segelas air. Diandra meminumnya sambil terus melirik ke arah Zaid. "Hahh" "Gimana, udah enakan?" Tanya Zaid. "Mas, kamu kenapa nanyain Mas Farid terus sih?" Tanya Diandra. Diandra sedikit terganggu dengan perilaku Zaid. "Kan kamu udah dari kecil kenal, emang gak pernah ada rasa saling suka gitu?""Kalau pernah emang kenapa Mas?""Ohhh.." Sahut panjang Zaid. Zaid mengangguk-angguk. Seolah mendapatkan jawaban atas pertanyaan sejak tadi. "Oh apa Mas? Kamu udah berhasil mendengar apa yang pengen kamu dengar ya?""Iya," Jawab singkat Zaid. "Kamu cemburu ya Mas?" Tanya Diandra. Zaid mengangguk. "Cemburu ya, berarti Mas suka sama Diandra?""Udah dibilang emang iya. Suka, tertarik, sayang.""Hahah.. Jangan bercanda ah Mas! Kelihatan natural banget tuh ngomong
Drett.. Drett... Drett.." Ada telepon masuk di ponsel Diandra. "Mas.. Bantu saya ke rumah Sakit X. Saya harus segera tiba disana," Ucap Diandra lirih. "Mba memang harus ke rumah sakit. Kami akan bantu Mba. Kita ke rumah sakit terdekat aja Mba.""Kita harus ke rumah sakit itu Mas. Ibu saya sedang tidak sadarkan diri, saya harus segera tiba disana.""Oh iya iya Mba. Ayo kami bantu."Salah satu Pemuda itu menumpangi Diandra ke rumah sakit. Pemuda itu tidak bertanya apapun dan mengebut. Kondisi Diandra cukup memperihatinkan. Sekitar 10 menit, mereka udah sampai di tujuan. "Mba.. Mba... Ini kenapa?" Tanya seorang Perawat begitu Diandra tiba disana. "Pasien atas nama Bu Rina ada dimana, Sus?" Diandra mendekat ke Perawat itu. "Dokter Dokter!" Teriak Perawat itu. Keriwehan di UGD bertambah dengan kehadiran Diandra. Mendengar suara Perawat yang panik, Rinal langsung melihat ke sumber suara. Sudah lebih 15 menit Rinal mencoba menghubungi Diandra
"Tenanglah Zaid, Diandra pasti segera sadar," Ucap Bu Rina. Bu Rina sudah sepenuhnya sadar kemarin sore."Iya Bu, . Zaid udah berusaha, tapi tetap khawatir." Hati Zaid tentu tidak akan bisa tenang dalam kondisi seperti ini. "Ibu tahu Zaid, kamu harus percaya Diandra akan segera sadar.""Iya Bu," Jawab Zaid. Hingga sore menjelang magrib, Diandra masih juga belum menunjukkan tanda tanda akak segera sadar. Zaid yang hanya tinggal sendiri menjaga Diandra duduk di samping Diandra. Digenggamnya tangan istrinya itu. "Diandra, maafkan Mas. Mas gai tahu kalau hal seperti ini akan menimpa kamu dan membuat kamu kesakitan. Mas memang terlalu egois dan tidak memikirkan kamu, Di." Dielus-elus Zaid punggung tangan istrinya itu. "Srekk" Pintu kamar terbuka. "Zaid, pergilah sholat magrib dulu. Biar Ibu yang menjaga Diandra disini.""Iya Bu," Zaid segera bangkit dan beranjak. Setelah itu, Bu Rinalah yang menggantikan Zaid duduk di kursi yang tadinya
Setelah selesai melakukan apa yang ingin dilakukannya, Zaid segera kembali ke ruangan Diandra. "Mas, kamu kemana sih?" Tanya Zaid. "Mas, baru aja nelpon Ibu, Di. Ibu sangat seneng tahu kamu udah sadar.""Apa yang sebenarnya terjadi Mas? Diandra gak inget apa apa. Seingat Diandra, Diandra berada dalam perjalanan ke rumah sakit waktu itu. Terus, kamu kapan pulang Mas?""Kamu gak ingat apa yang terjadi Di?""Kepala Diandra pusing Mas," Diandra memegangi kepalanya. "Apanya yang sakit Di? Jangan pingsan atau gak sadarkan lagi, Di. Mas gak bisa tenang selama berhari-hari.""Diandra udah gak sadar berapa lama emang, Mas?""4 hari Diandra," Jawab Zaid. "Sekarang hari apa Mas?""Rabu," Jawab Diandra. "Astaghfirullah, ulang tahun Ibu?" "Ulang tahun Ibu kata kamu?" Tanya Zaid. "Iya Mas, bantu Diandra duduk Mas!""Kamu masih bisa mikirin ulang tahun Ibu setelah semua yang terjadi?" Zaid menaikkan suaranya. "Emang kenapa Mas? Ada yang salah ya Mas?""Udahlah, gak usah dipikirkan lagi. Oh i
"Pekerjaan gimana Mba? Apa masih sesibuk dulu?"" Ohh.. Jadi makin banyak Ri.""Iya bener. Perusahaan sedang sibuk sibuknya. Mas Zaid bahkan tidak cukup istirahat, apalagi sekarang sering tidak masuk. Pekerjaan Mas Zaid jadi tambah banyak, begitu juga rekan rekan kerja Mba. Kasian mereka!""Oh iya juga ya Mba. Rinal lupa kalau dulu Mas Zaid sangat merepotkan Mba.""Hemm.. Begitulah.""Udah jangan ngobrol mulu, ayo makan!" Ucap Ibu. "Iya Bu," Jawab Keduanya. ***Malam harinya, Ibu dan Rinal sudah pamit pulang. Diandra tinggal seorang diri di rumah. Tanda tanda kehadiran Zaid belum terlihat. "Sudah jam 11 tapi Mas Zaid belum pulang juga. Aku ngapain ya?" Diandra duduk di dekat kolam renang. Ia termenung dan sesekali terpikirkan tentang ucapan Zaid saat mereka di rumah sakit. 'Kenapa Mas Zaid sangat marah padaku? Aku hanya teringat tentang ulang tahun Ibu yang terlewat karena aku tidak sadarkan diri. Apa karena itu dia marah dan tidak mengun
"Hohh.. Gitu. Kenapa gak bilang kalau gitu? Kenapa gengsi buat ngomong kalau kamu perlu komunikasi yang seperti sama Mas. Oh apa karena kamu menganggap ini pernikahan palsu aja?" "Loh, kok Mas malah nyalahin Diandra. Diandra salah dimana Mas?" "Oke oke, kalau dilanjutkan ini cuma jadi pertengkaran doang. Kamu juga bilang pernikahan kita cuma pernikahan palsu. Gak perlu menjalankan kewajiban dan hak suami istri sebagaimana mestinya kan?""Cuma komunikasi yang lancar aja Mas. Itu aja loh. Diandra gak biasa tinggal sendirian, di rumah biasanya ada Ibu. Tapi setelah sama Mas, Diandra biasain. Mas gak ngabarin juga Diandra coba ngertiin. Iya emang salah Diandra sih ini!""Udah Di. Mas gak ada energi buat berantem sama kamu. Kita udahin aja berantemnya.""Oh.. Okey." Diandra segera bangkit dari posisi. "Diandra, mau kemana kamu? Mas belum selesai bicara loh!""Kata Mas suruh akhiri pembicaraannya kita. Ya udah, Diandra mau tidur aja Mas. Sakit kepala Diandra dari tadi nungguin Mas. Gak p
Diandra begitu lelah melihat layar komputer dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dilihatnya keadaan sekitar, semua ruangan sudah padam. Hanya ruangannya dan ruangan musuhnya, yang masih menyala.'Apa yang dilakukannya di dalam sana ya?' Pikir Diandra. Diandra tidak ingin mencari tahu lebih lanjut, dan meneruskan saja pekerjaannya. Hingga pukul 8 malam, Diandra sudah tidak fokus bekerja dan memilih pulang saja. "Alhamdulillah, setidaknya tumpukan proposal dan berkas berkas ini sudah berkurang. Aku bisa lebih santai besok. Huhhh" Diandra mengeluhkan napasnya. Ia segera beranjak dari tempat duduknya dan perhatiannya fokus ke ruangan Zaid. Perlahan, kakinya terdorong untuk memeriksa ke dekat ruangan Zaid. "Tokk.. Tokk" Diandra tidak melupakan sopan santunnya. Diandra menunggu ada respon dari sang pemilik ruangan "Tokk.. Tokk" Coba Diandra lagi. "Ada apa?" Teriak Zaid dari dalam ruangan. "Ini Diandra, Bapak apa masih mau lanjut
"Kamu udah sadar dimana salah kamu?" Tanya Zaid. "Hem," Diandra mengangguk. "Jangan gitu lagi ya Di. Walaupun saya gak peka, setidaknya kamu harus terus mengingatkan saya. Maaf gak ngangkat telepon kamu. Maaf karena Mas, kamu mengalami kecelakaan seperti kemarin. Mas gak peduli sama mobilnya asal kamu baik baik aja.""Berarti kamu memang marah karena itu Mas?" Diandra akan segera bangkit, tapi Zaid menahannya. "Hemm, kamu membuat Mas berada dalam perasaan yang tidak nyaman. Gak tahu kapan kamu akan sadar, semuanya baik baik aja tapi belum juga bangun. Berhari-hari perasaan itu bersarang di dalam sini Diandra," Zaid memegang dadanya. "Pikiran Mas juga jadi gak karuan Di. Dikta sampai mendatangkan Dokter kenalannya untuk memeriksa apa operasi kamu tidak berjalan baik atau apa ada yang salah. Semuanya mengatakan hasil operasinya baik baik aja. Tinggal menunggu kamu sadar, dan harus menunggu entah sampai kapan.""Lalu saat kamu sadar, apa yang kamu khawatir?