Pusara yang Clarabelle tunjuk jelas mencantumkan nama yang bukan berakhiran dengan Hayden. Clarabelle ingat Crystal pernah bercerita tentang wanita itu. Carol adalah mendiang istri James. Jordan menggeser tubuhnya dan merapat pada Clarabelle.
“Itu makam istri James. Setelah kita selesai, dia tidak akan ikut balik. Dia akan di sini sepanjang hari,” ujar Jordan.
Clarabelle sedikit menengadah memandang Jordan. Matanya setengah melirik. Clarabelle melihat lagi ke pusara Carol, dia lihat tahun kematiannya. Hampir empat tahun berlalu. Dan James masih sendirian. Clarabelle menyimpulkan James sangat cinta istrinya sampai dia belum juga mencari tambatan hati yang lain.
Benar saja. Tidak lama kemudian, Crystal bersama Jaren dan Ann-Mary bergerak, meninggalkan pemakaman. Tetapi James tetap di tempatnya. Saat Jaren tepat berada di sebelah James, dia berhenti, menepuk pundak putra sulungnya. James tidak bereaksi, menatap lurus saja.
“Dear, Lala &hell
Crystal tersenyum melihat wajah Clarabelle menjadi sangat tegang setelah mendengar apa yang dia katakan. Segera dia meraih tangan Clarabelle, mengelusnya agar Clarabelle tenang kembali. “Hei, tidak usah takut juga. Aku akan beritahu trik dan tipsnya, oke?” ujar Crystal. Sisa hari itu Crystal mengajari Clarabelle bagaimana bersikap sebagai bagian keluarga Hayden. Ketika di luar rumah, di tengah orang-orang yang bisa saja punya tujuan tidak baik, dia harus bisa menjaga diri. Clarabelle mencermati semua yang Crystal sampaikan. Ternyata tidak mudah, tapi tidak se-menakutkan yang Clarabelle bayangkan. Tepat saat makan malam, Jordan datang, hampir bersamaan dengan James. Sama seperti hari-hari sebelumnya, kedua kakak beradik itu tetap saja saling bersikap dingin. Lelah juga melihat mereka berdua seperti itu. Entah bagaimana Clarabelle justru ingin bisa mencairkan hubungan keduanya. Mereka satu keluarga, saudara, kenapa tidak bisa saling mengerti? Aneh sekali.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Jordan tidak ada kabar. Clarabelle beberapa kali melongok ke jalan di depan rumah, mengharap Jordan muncul dengan mobil sport-nya. Tapi tidak. Jordan tidak datang.Clarabelle sudah mengirim pesan sejak jam lima sore, menanyakan Jordan ingin makan malam apa. Tidak ada jawaban. Hingga jam makan lewat, Clarabelle menunggu, kembali bertanya, hingga tiga kali dia coba menelpon, sama, tidak ada respon dari Jordan.“Ada apa kali ini, Jordan? Kenapa kamu tidak memberi kabar apapun padaku?” Gelisah, hati Clarabelle sangat gelisah. Hubungannya dengan Jordan baru membaik. Kemesraan masih sekejap dia nikmati.Clarabelle kembali memandang jam dinding, lalu menengok ke jendela. Dia mendesah, mengembuskan nafas panjang, dan meraih ponselnya. Ada pesan masuk di sana, tapi bukan Jordan. Dari Jack. Dia mengabarkan kegembiraannya. Istrinya, Sabina, mengandung. Senyum Clarabelle melebar. Dia ikut senang, Jack dan Sabina
Karen menunggu Jordan menjawab. Pria yang tampan dan selalu ceria itu, tampak kusut. Karen tak pernah melihat Jordan seperti ini. Sebelumnya Jordan yang dia kenal adalah pria yang easy going. Apa yang terjadi tidak akan dia biarkan menghilangkan kegembiraan pada hari-hari yang dia jalani. Jordan akan melewati semuanya dengan santai.“Jordan …” Karen memajukan badannya, meraih tangan Jordan dan menggenggamnya erat. “Permintaanku ini bukan sesuatu yang sulit. Aku hanya mau waktumu, dirimu. Tapi aku akan menyelamatkan kamu dari neraka yang kamu ciptakan sendiri.”Jordan menatap lurus dengan nanar. Tapi dia menangkap jelas semua yang Karen katakan. Dan Karen benar. Jordan memang gegabah. Lorenz bahkan sempat memperingatkan dia untuk memikirkan ulang untuk menerima proyek itu. Tapi Jordan terlalu senang, merasa bisa mengatasi semuanya, tidak hati-hati.“Sampai kapan?” Jordan menoleh pada Karen. Wajahnya kuyuh, tanpa semangat
Clarabelle masuk ke kamarnya. Dia membawa nampan lengkap dengan makanan kesukaan Jordan. Dia ingin membuat Jordan nyaman setelah melepas lelah. Sejak datang, Jordan belum mau makan. Dia hanya minta minum lalu dia tidur. Hampir sepanjang hari Jordan di atas kasur. Beberapa kali Clarabelle menengok, tampak dia begitu lelap. “Jordan …” Clarabelle meletakkan nampan di atas nakas di sebelah kasur. Dia duduk di pinggir ranjang, pelan-pelan dia goyang lengan Jordan agar terbangun. Jordan bergerak, dia menoleh dan membuka matanya. “Oh, hey, Babe …” Segera Jordan duduk. Dia mencium aroma steak kesukaannya. “Aku bawakan makanan. Kamu belum makan sejak pulang. Lihat, masih hangat,” ujar Clarabelle. Dia dekatkan makanan pada Jordan, diletakkannya di depan Jordan di atas kasur. “Hmm … it must be yummy. Thank you, Babe.“ Jordan mendekat dan memberikan kecupan manis buat Clarabelle. “Makanlah. Lalu kamu bisa bicara kalau kamu siap.” Clarabelle melihat Jordan
Kantor Jordan terbuka. Wanita seksi dengan balutan putih dan hitam melangkah masuk. Senyumnya cukup mempesona. Dia berjalan dengan penuh percaya diri mendekati Jordan. Karen datang sesuai kesepakatan, akan membicarakan urusan bisnis Jordan dan bagaimana dia bisa mengatasi keruwetan yang terjadi. “Selamat pagi, Tuan Hayden.” Karen menyapa, lalu duduk di depan Jordan. “Pagi, Nona Clarkson. Terima kasih sudah datang pagi ini.” Jordan membalas sapaan itu. Karen menoleh pada pria yang berdiri di sebelah kursi Jordan. Pria itu mengangguk, dengan senyum tipis memberi salam pada Karen. “Perkenalkan ini asistenku, Lorenz. Dia akan menjelaskan apa yang diperlukan.” Jordan memperkenalkan Lorenz. “Baiklah, mari kita mulai.” Karen membuka laptopnya, siap mencatat apapun yang dia perlukan. Lorenz mengambil tempat dan pertemuan segera dilangsungkan. Dengan cermat Karen memperhatikan semua hal yang terjadi, dari awal sampai akhir. Dia bertanya ini itu
Crystal melangkah mendekati James. Dia menyodorkan beberapa lembar kertas pada pria itu, sambil menyebut beberapa nama yang Clarabelle tidak pernah tahu sebelumnya. Dari raut wajah James terlihat dia tidak begitu suka. Tapi James tidak menolak lembaran yang disodorkan padanya. Clarabelle tahu apa yang James pegang. Beberapa lembar cek. “Granny selalu seperti ini,” gerutu James. “Mereka sudah dapat gaji yang sesuai dari kantor.” “Sudahlah. Memberi buat mereka apa salahnya? Biar mereka punya berkat lebih, James. Thank you, Dear.” Crystal menepuk pundak James, memintanya tidak protes dengan yang Crystal lakukan. James menyimpan lembaran yang sudah pindah ke tangannya dalam saku jasnya sebelah dalam. Lalu dia meneruskan langkahnya, tetapi sempat menoleh sekilas pada Clarabelle. Setelah James berangkat, Crystal berbalik melihat pada Clarabelle. “Ayo, kita teruskan urusan kita.” Senyum kembali mengembang di bibir Crystal. Wanita penuh semangat itu m
Hari mulai gelap. Langit semakin merah.Clarabelle terus mengarahkan mobil menuju ke sedikit keluar kota, agak naik di sisi perumahan. Sampai di sana, Clarabelle keluar mobil dan melihat ke pemandangan di depan matanya. Di sisi itu tempat Clarabelle menghabiskan waktu saat dia pulang sekolah. Kadang dia mendengarkan lagu sambil memandang keindahan kota di kejauhan. Kadang dia menggambar keindahan langit yang dihiasi awan berarak tak ada henti.Jordan berdiri di sisi Clarabelle, ikut melihat ke arah kota yang mulai dipenuhi kerlip lampu. Langit merah makin menghitam. Tak terlihat bulan, hanya beberapa bintang di sana-sini, berkelap-kelip menghiasi langit.“Aku suka melihat semua itu. Tapi biasanya tidak sampai segelap ini,” kata Clarabelle. Matanya tetap lurus ke depan.“Kamu tahu tempat romantis juga.” Jordan melebarkan tangannya, dia peluk Clarabelle dengan erat. “Perjalanan yang menyenangkan.”Hati Clarabelle b
Jordan memandang Karen yang sudah ada di hadapannya. Wanita itu makin berani. Kostum yang dia kenakan makin mempertontonkan body-nya yang seksi dan cukup menggoda. Tak bisa ditolak, jiwa playboy Jordan meronta. Lama dia bertahan hanya dengan Clarabelle. Terakhir menyentuh wanita lain selain istrinya, memang Karen, tapi dalam kondisi mabuk.“Aku bahkan bisa menyelesaikan masalahmu lebih cepat dari yang kuduga, Jordan.” Karen maju beberapa langkah mendekati Jordan.Jordan menelan salivanya. Ada sesuatu yang bergetar dari tubuh Jordan berdekatan seperti ini dengan Karen.“Kamu tidak mengada-ada?” Jordan tentu saja tidak yakin jika pergulatan yang membuat dia tertekan dan kalut hanya diurus dalam waktiu dua malam oleh Karen. Jordan merasa ada yang tidak beres di balik kedatangan Karen.“Kamu masih tidak mau percaya kemampuan berbisnisku?” Karen mengangkat tangan, memeluk pundak Jordan. “Aku bukan hanya bisa membuat pr
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak
Clarabelle terkejut dengan reaksi Jordan. Dia mencoba melepaskan diri, tapi Jordan tidak mau mengalah. Dia bahkan lebih berani bertindak. Dia kecup Clarabelle. Dia lepaskan kerinduan dengan memeluk erat istrinya.Clarabelle awalnya ingin berontak. Sayangnya, hati dan rindunya tidak sejalan. Hati menolak, tetapi rindu yang Clarabelle rasa memaksanya menyambut kemesraan yang Jordan lemparkan. Debaran kuat menguasai Clarabelle. Degupan yang menyenangkan, yang menaikkan hasrat dirinya tak bisa dibendung. Clarabelle menyerah. Dia mulai menikmati sentuhan Jordan."I miss you. So much ...." Jordan berbisik, lembut. Clarabelle makin bergelora.Tidak ada penolakan, Jordan makin melangkah jauh. Permainan dia lanjutkan. Dia menarik Clarabelle naik ke atas ranjang. Mereka meneruskan perjalanan rindu dan cinta yang terlalu lama tertahan karena rasa marah, kecewa, dan juga takut makin terluka.Di luar salju kembali deras. Bahkan suara angin menderu pun terdengar. Rindu
Mobil Jordan oleng. Clarabelle mendekap dadanya dengan rasa takut mencuat begitu cepat. Mobil hampir saja bertabrakan. Jordan sigap kembali ke posisi dan mengendalikan setir. Untung, dia mampu menghindar sehingga tabrakan tidak terjadi. "Ya Tuhan ...." Clarabelle masih merasakan dadanya berdetak begitu cepat karena rasa kaget. Jordan sudah kembali menguasai kendaraannya. Tapi dia juga sama terkejutnya. Berulang kali dia mengambil nafas dalam, menenangkan diri. "Sorry, I am sorry," kata Jordan tanpa melihat CLarabelle. Dia fokus menyetir. Clarabelle tidak menjawab. Dalam hati dia bersyukur, tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak bisa membayangkan jika benar tabrakan terjadi. Bukan hanya dia dan Jordan yang celaka, tetapi bayi mungil di rahimnya juga. Hening. Sisa perjalanan hingga ke toko Jordan, tidak ada yang bicara. Jordan memarkir kendaraannya, langsung masuk ke garasi. Clarabelle kembali memegang pipi Jordan, lalu ke lehernya.
James menajamkan tatapannya. Dua bola mata indah dan lentik milik Nerry berair. Apa yang dia risaukan? Mengapa justru gadis itu jadi bersedih? "Nerry, ada apa? Aku sungguh-sungguh dengan niatku. Aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji ...." "Bukan itu. Maafkan aku," sahut Nerry. James menutup mulutnya. Dia lebih baik mendengar yang Nerry akan utarakan padanya. Mungkin memang dia terlalu cepat meminta Nerry menjadi kekasihnya apalagi masuk dalam pernikahan. Rasanya sama saja dengan kisah Jordan dan Clarabelle. "Mengenal Tuan secara langsung, punya momen bersama, buat aku ... seperti mimpi. Ga masuk akal. Tuan tiba-tiba muncul di depanku. Semua hari-hariku berubah seketika." Nerry mulai mengungkapkan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. James menunggu. Dia tahu Nerry belum selesai. "Jujur, aku jika sungguh bersama Tuan nanti, seperti cinderella. Dari hidup sederhana masuk dalam sebuah istana. Apakah aku bisa, Tuan? Apakah aku cu