Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Jordan tidak ada kabar. Clarabelle beberapa kali melongok ke jalan di depan rumah, mengharap Jordan muncul dengan mobil sport-nya. Tapi tidak. Jordan tidak datang.
Clarabelle sudah mengirim pesan sejak jam lima sore, menanyakan Jordan ingin makan malam apa. Tidak ada jawaban. Hingga jam makan lewat, Clarabelle menunggu, kembali bertanya, hingga tiga kali dia coba menelpon, sama, tidak ada respon dari Jordan.
“Ada apa kali ini, Jordan? Kenapa kamu tidak memberi kabar apapun padaku?” Gelisah, hati Clarabelle sangat gelisah. Hubungannya dengan Jordan baru membaik. Kemesraan masih sekejap dia nikmati.
Clarabelle kembali memandang jam dinding, lalu menengok ke jendela. Dia mendesah, mengembuskan nafas panjang, dan meraih ponselnya. Ada pesan masuk di sana, tapi bukan Jordan. Dari Jack. Dia mengabarkan kegembiraannya. Istrinya, Sabina, mengandung. Senyum Clarabelle melebar. Dia ikut senang, Jack dan Sabina
Karen menunggu Jordan menjawab. Pria yang tampan dan selalu ceria itu, tampak kusut. Karen tak pernah melihat Jordan seperti ini. Sebelumnya Jordan yang dia kenal adalah pria yang easy going. Apa yang terjadi tidak akan dia biarkan menghilangkan kegembiraan pada hari-hari yang dia jalani. Jordan akan melewati semuanya dengan santai.“Jordan …” Karen memajukan badannya, meraih tangan Jordan dan menggenggamnya erat. “Permintaanku ini bukan sesuatu yang sulit. Aku hanya mau waktumu, dirimu. Tapi aku akan menyelamatkan kamu dari neraka yang kamu ciptakan sendiri.”Jordan menatap lurus dengan nanar. Tapi dia menangkap jelas semua yang Karen katakan. Dan Karen benar. Jordan memang gegabah. Lorenz bahkan sempat memperingatkan dia untuk memikirkan ulang untuk menerima proyek itu. Tapi Jordan terlalu senang, merasa bisa mengatasi semuanya, tidak hati-hati.“Sampai kapan?” Jordan menoleh pada Karen. Wajahnya kuyuh, tanpa semangat
Clarabelle masuk ke kamarnya. Dia membawa nampan lengkap dengan makanan kesukaan Jordan. Dia ingin membuat Jordan nyaman setelah melepas lelah. Sejak datang, Jordan belum mau makan. Dia hanya minta minum lalu dia tidur. Hampir sepanjang hari Jordan di atas kasur. Beberapa kali Clarabelle menengok, tampak dia begitu lelap. “Jordan …” Clarabelle meletakkan nampan di atas nakas di sebelah kasur. Dia duduk di pinggir ranjang, pelan-pelan dia goyang lengan Jordan agar terbangun. Jordan bergerak, dia menoleh dan membuka matanya. “Oh, hey, Babe …” Segera Jordan duduk. Dia mencium aroma steak kesukaannya. “Aku bawakan makanan. Kamu belum makan sejak pulang. Lihat, masih hangat,” ujar Clarabelle. Dia dekatkan makanan pada Jordan, diletakkannya di depan Jordan di atas kasur. “Hmm … it must be yummy. Thank you, Babe.“ Jordan mendekat dan memberikan kecupan manis buat Clarabelle. “Makanlah. Lalu kamu bisa bicara kalau kamu siap.” Clarabelle melihat Jordan
Kantor Jordan terbuka. Wanita seksi dengan balutan putih dan hitam melangkah masuk. Senyumnya cukup mempesona. Dia berjalan dengan penuh percaya diri mendekati Jordan. Karen datang sesuai kesepakatan, akan membicarakan urusan bisnis Jordan dan bagaimana dia bisa mengatasi keruwetan yang terjadi. “Selamat pagi, Tuan Hayden.” Karen menyapa, lalu duduk di depan Jordan. “Pagi, Nona Clarkson. Terima kasih sudah datang pagi ini.” Jordan membalas sapaan itu. Karen menoleh pada pria yang berdiri di sebelah kursi Jordan. Pria itu mengangguk, dengan senyum tipis memberi salam pada Karen. “Perkenalkan ini asistenku, Lorenz. Dia akan menjelaskan apa yang diperlukan.” Jordan memperkenalkan Lorenz. “Baiklah, mari kita mulai.” Karen membuka laptopnya, siap mencatat apapun yang dia perlukan. Lorenz mengambil tempat dan pertemuan segera dilangsungkan. Dengan cermat Karen memperhatikan semua hal yang terjadi, dari awal sampai akhir. Dia bertanya ini itu
Crystal melangkah mendekati James. Dia menyodorkan beberapa lembar kertas pada pria itu, sambil menyebut beberapa nama yang Clarabelle tidak pernah tahu sebelumnya. Dari raut wajah James terlihat dia tidak begitu suka. Tapi James tidak menolak lembaran yang disodorkan padanya. Clarabelle tahu apa yang James pegang. Beberapa lembar cek. “Granny selalu seperti ini,” gerutu James. “Mereka sudah dapat gaji yang sesuai dari kantor.” “Sudahlah. Memberi buat mereka apa salahnya? Biar mereka punya berkat lebih, James. Thank you, Dear.” Crystal menepuk pundak James, memintanya tidak protes dengan yang Crystal lakukan. James menyimpan lembaran yang sudah pindah ke tangannya dalam saku jasnya sebelah dalam. Lalu dia meneruskan langkahnya, tetapi sempat menoleh sekilas pada Clarabelle. Setelah James berangkat, Crystal berbalik melihat pada Clarabelle. “Ayo, kita teruskan urusan kita.” Senyum kembali mengembang di bibir Crystal. Wanita penuh semangat itu m
Hari mulai gelap. Langit semakin merah.Clarabelle terus mengarahkan mobil menuju ke sedikit keluar kota, agak naik di sisi perumahan. Sampai di sana, Clarabelle keluar mobil dan melihat ke pemandangan di depan matanya. Di sisi itu tempat Clarabelle menghabiskan waktu saat dia pulang sekolah. Kadang dia mendengarkan lagu sambil memandang keindahan kota di kejauhan. Kadang dia menggambar keindahan langit yang dihiasi awan berarak tak ada henti.Jordan berdiri di sisi Clarabelle, ikut melihat ke arah kota yang mulai dipenuhi kerlip lampu. Langit merah makin menghitam. Tak terlihat bulan, hanya beberapa bintang di sana-sini, berkelap-kelip menghiasi langit.“Aku suka melihat semua itu. Tapi biasanya tidak sampai segelap ini,” kata Clarabelle. Matanya tetap lurus ke depan.“Kamu tahu tempat romantis juga.” Jordan melebarkan tangannya, dia peluk Clarabelle dengan erat. “Perjalanan yang menyenangkan.”Hati Clarabelle b
Jordan memandang Karen yang sudah ada di hadapannya. Wanita itu makin berani. Kostum yang dia kenakan makin mempertontonkan body-nya yang seksi dan cukup menggoda. Tak bisa ditolak, jiwa playboy Jordan meronta. Lama dia bertahan hanya dengan Clarabelle. Terakhir menyentuh wanita lain selain istrinya, memang Karen, tapi dalam kondisi mabuk.“Aku bahkan bisa menyelesaikan masalahmu lebih cepat dari yang kuduga, Jordan.” Karen maju beberapa langkah mendekati Jordan.Jordan menelan salivanya. Ada sesuatu yang bergetar dari tubuh Jordan berdekatan seperti ini dengan Karen.“Kamu tidak mengada-ada?” Jordan tentu saja tidak yakin jika pergulatan yang membuat dia tertekan dan kalut hanya diurus dalam waktiu dua malam oleh Karen. Jordan merasa ada yang tidak beres di balik kedatangan Karen.“Kamu masih tidak mau percaya kemampuan berbisnisku?” Karen mengangkat tangan, memeluk pundak Jordan. “Aku bukan hanya bisa membuat pr
Enggan, Jordan meninggalkan kantor. Sudah beberapa kali Karen mengirim pesan. Dia ada di apartemen Jordan sedang menyiapkan malam special buat kencan mereka. Hati Jordan bergelut. Satu sisi dia ingat Clarabelle, ingat janjinya pada Adriano, dia akan membahagiakan Clarabelle. Jordan sudah berjanji akan setia, hanya sayang pada istrinya. Tapi di sisi lain, dia juga sudah berjanji pada Karen, akan menjalani hubungan dengannya karena Karen sanggup menyelesaikan masalah Jordan. “Damn, damn, damn!” Dengan kesal, berulang kali Jordan mengumpat karena situasi yang seakan menjerat dirinya. Kalau saja bisa, dia justru ingin pulang. Dia ingin bersama Clarabelle. Jordan juga merasa heran, semakin hari hatinya makin melekat pada wanita sederhana yang dia nikahi gara-gara taruhan itu. “Kamu pasti akan menangis dan marah jika tahu semua ini, Lala.” Jordan bicara seolah-olah Clarabelle ada bersamanya. “Oke, aku akan menuruti permainan Karen, tapi aku juga harus cari akan agar ini ti
Dua hari, Jordan tidak datang menemui Clarabelle. Hanya beberapa kali saja berkirim pesan. Clarabelle masih bersama Adriano memastikan kondisinya stabil sebelum Clarabelle akan pulang ke rumah. Adriano tentu saja senang putrinya berada di rumah menemaninya. Rasa lemah di tubuhnya tak begitu dia rasa, dia mengambil waktu untuk bicara dengan Clarabelle. Dia ingin membuktikan jika Jordan memang memenuhi janji padanya. “Dia bekerja keras, berusaha agar bisa meneruskan bisnis keluarganya. Sempat dia terganjal masalah, tapi syukurlah, semua sudah teratasi.” Clarabelle memberitahu yang terjadi dengan Jordan pada Adriano. “Apa dia benar-benar sayang kamu?” Adriano terus mengejar. Clarabelle memandang papanya. Mengapa Adriano masih ragu? “Dia beberapa kali mengatakan sayang padaku. Dia ingin membahagiakan aku, Pa. Karena itu dia memberikan aku kendaraan pribadi, agar aku bisa bebas, leluasa kapan saja mau mengunjungi papa atau pergi bertemu Granny.” Clarabelle