Pertanyaan yang Jordan ajukan, membuat Clarabelle berpikir. Apa yang bisa meluluhkan hati Clarabelle lalu rasa marah dan kecewa di hatinya akan lenyap? Clarabelle tidak segera memberikan jawaban. Dia duduk di kursi dekat meja, meneguk minuman hangat itu lagi.
“Terima kasih, minuman buatan kamu sangat nikmat.” Clarabelle meletakkan cangkir di meja. Lalu tangannya melepaskan handuk kecil yang masih ada di kepalanya. Dia sampirkan handuk di pinggiran kursi, sedang tangannya menyisir rambut dengan jari-jari.
Jordan memperhatikannya. Situasi mereka benar-benar kaku dan tidak menyenangkan. Jordan gelisah dan tidak suka. Dia ingin Clarabelle yang manis dan lembut, yang memandangnya dengan cinta.
“Yang aku tahu suamiku seorang playboy. Apa benar dia bisa rindu pada istri yang hanya alat mainan buatnya.” Tenang ucapan Clarabelle, tetapi tajam dan tidak enak didengar.
“Sayang, tidak bisakah aku belajar mencintai dengan benar? Selama in
Jordan muncul dengan senyum lebar di bibirnya. Wajah tampan itu membuat jantung Clarabelle kembali berdegup. Rangkaian bunga cantik ada di tangan kanannya. Clarabelle seketika berdiri menunggu Jordan melangkah makin mendekat. Susan masih duduk di kursinya, dia memperhatikan dua manusia unik yang ada di depannya itu. Apa yang Jordan akan lakukan pada Clarabelle? Jordan tepat berada di hadapan Clarabelle. “Honey …” Dengan senyum yang memang mempsona, Jordan mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Clarabelle. Clarabelle merasa dadanya makin berdebar. Dia ingin menghindar tetapi Jordan lebih cepat. Dan di tempat terbuka Clarabelle tidak mau menjadi pusat perhatian jika dia salah bertingkah. “My wife is so pretty. Even more than these flowers.” Jordan mengulurkan bunga yang dia pegang. Clarabelle tidak merespon apapun, tetapi di sudut hatinya merasa satu kegirangan menyusup. Jordan manis sekali. Inikah yang dia katakan akan membuktikan dia mau menunjukkan dia sayan
Mata tegas dengan warna coklat itu menghujam dua bola bening Clarabelle. Hembusan nafas Jordan terasa di pipi. Degupan di dada Clarabelle sudah berlipat rasanya. Pesona Jordan kembali melingkupi. “I miss you …” bisik Jordan. Clarabelle belum bereaksi. Ras rindu di hatinya juga melonjak. Dia mengharapkan suaminya memberikan pelukan hangat. Satu sisi di ruang hati Clarabelle masih belum rela karena kebohongan Jordan. Tatapan Clarabelle sedikit gelisah. “Honey … I really miss you.” Jordan mengulang lagi ucapannya. Dia tidak mau melepaskan Clarabelle. DIa sudah sejauh ini. Clarabelle pasti mau berdamai sepenuhnya kali ini. “Bergembiralah. Mulailah kembali menemukan cinta.” Kalimat yang Adriano ucapkan terngiang di telinga Clarabelle. Dengan matanya yang juga masih terpaku pada Jordan, Clarabelle berkata lembut, “I miss you too.” Hati Jordan tiba-tiba merasa sangat hangat. Ada yang mengalir di sana, memberi kelegaan begitu lebar. Clarabelle
Jordan menegakkan badannya. Setumpuk ranting yang dia kumpulkan masih dalam genggaman. Dia perhatikan wajah Clarabelle, lalu perlahan mendekat. “Ada apa?” tanya Jordan sementara masih berjalan ke arah Clarabelle. “Makanannya …” Kening Clarabelle mengkerut. Dia acungkan panci kecil yang ada di tangannya. Mata Jordan beralih pada yang Clarabelle pegang. Bau tajam menusuk ke hidung Jordan. Harum masakan bersamaan dengan bau gosong. “Gosong?” Jordan mengangkat alisnya sambil memperhatikan masakan dalam panci itu. Clarabelle mengangguk dengan muka cemberut. “Aku asyik membereskan barang, tidak segera melihat panci, jadi …” Jordan tersenyum. Dia letakkan ranting-ranting ke tanah, lalu dia melangkah makin mendekat pada Clarabelle. “Biar aku coba.” Jordan mengambil garpu yang ada di meja kecil sebelah Clarabelle, kemudian tangannya menusuk sedikit daging, memasukkan dalam mulutnya. “Gimana?” ujar Clarabelle. Dia merasa bersalah
Clarabelle masih menunggu Jordan menjawab pertanyaannya. Sementara dia kembali bicara dengan Crystal di telpon. Crystal hanya memastikan dua hari berikut Jordan akan pulang dan kali ini membawa serta Clarabelle bersamanya.Jordan masih fokus menyetir, tapi dia juga berpikir dua hari lagi ada apa. Yang dia ingat tiga hari lagi, dia ada meeting untuk lekanjutan proyek yang sudah mulai ada kesepakatan dengan rekan bisnisnya.“Pasti sesuatu yang penting, makanya Granny mau kamu ingat dan datang.” Clarabelle mencoba membuka pikiran Jordan tentang sesuatu.“Ini tanggal berapa?” Jordan bertanya sembari menatap jalanan.“Dua belas.” Clarabelle menjawab cepat.“Ah … tentu saja Granny mau aku pulang. Dua hari lagi hari kematian kakekku. Granny selalu minta kami semua pergi ke makam bersama hari itu.” Jordan menemukan jawabannya.Clarabelle mengangguk. Jordan meneruskan cerita tentang cinta kuat ya
Pusara yang Clarabelle tunjuk jelas mencantumkan nama yang bukan berakhiran dengan Hayden. Clarabelle ingat Crystal pernah bercerita tentang wanita itu. Carol adalah mendiang istri James. Jordan menggeser tubuhnya dan merapat pada Clarabelle.“Itu makam istri James. Setelah kita selesai, dia tidak akan ikut balik. Dia akan di sini sepanjang hari,” ujar Jordan.Clarabelle sedikit menengadah memandang Jordan. Matanya setengah melirik. Clarabelle melihat lagi ke pusara Carol, dia lihat tahun kematiannya. Hampir empat tahun berlalu. Dan James masih sendirian. Clarabelle menyimpulkan James sangat cinta istrinya sampai dia belum juga mencari tambatan hati yang lain.Benar saja. Tidak lama kemudian, Crystal bersama Jaren dan Ann-Mary bergerak, meninggalkan pemakaman. Tetapi James tetap di tempatnya. Saat Jaren tepat berada di sebelah James, dia berhenti, menepuk pundak putra sulungnya. James tidak bereaksi, menatap lurus saja.“Dear, Lala &hell
Crystal tersenyum melihat wajah Clarabelle menjadi sangat tegang setelah mendengar apa yang dia katakan. Segera dia meraih tangan Clarabelle, mengelusnya agar Clarabelle tenang kembali. “Hei, tidak usah takut juga. Aku akan beritahu trik dan tipsnya, oke?” ujar Crystal. Sisa hari itu Crystal mengajari Clarabelle bagaimana bersikap sebagai bagian keluarga Hayden. Ketika di luar rumah, di tengah orang-orang yang bisa saja punya tujuan tidak baik, dia harus bisa menjaga diri. Clarabelle mencermati semua yang Crystal sampaikan. Ternyata tidak mudah, tapi tidak se-menakutkan yang Clarabelle bayangkan. Tepat saat makan malam, Jordan datang, hampir bersamaan dengan James. Sama seperti hari-hari sebelumnya, kedua kakak beradik itu tetap saja saling bersikap dingin. Lelah juga melihat mereka berdua seperti itu. Entah bagaimana Clarabelle justru ingin bisa mencairkan hubungan keduanya. Mereka satu keluarga, saudara, kenapa tidak bisa saling mengerti? Aneh sekali.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Jordan tidak ada kabar. Clarabelle beberapa kali melongok ke jalan di depan rumah, mengharap Jordan muncul dengan mobil sport-nya. Tapi tidak. Jordan tidak datang.Clarabelle sudah mengirim pesan sejak jam lima sore, menanyakan Jordan ingin makan malam apa. Tidak ada jawaban. Hingga jam makan lewat, Clarabelle menunggu, kembali bertanya, hingga tiga kali dia coba menelpon, sama, tidak ada respon dari Jordan.“Ada apa kali ini, Jordan? Kenapa kamu tidak memberi kabar apapun padaku?” Gelisah, hati Clarabelle sangat gelisah. Hubungannya dengan Jordan baru membaik. Kemesraan masih sekejap dia nikmati.Clarabelle kembali memandang jam dinding, lalu menengok ke jendela. Dia mendesah, mengembuskan nafas panjang, dan meraih ponselnya. Ada pesan masuk di sana, tapi bukan Jordan. Dari Jack. Dia mengabarkan kegembiraannya. Istrinya, Sabina, mengandung. Senyum Clarabelle melebar. Dia ikut senang, Jack dan Sabina
Karen menunggu Jordan menjawab. Pria yang tampan dan selalu ceria itu, tampak kusut. Karen tak pernah melihat Jordan seperti ini. Sebelumnya Jordan yang dia kenal adalah pria yang easy going. Apa yang terjadi tidak akan dia biarkan menghilangkan kegembiraan pada hari-hari yang dia jalani. Jordan akan melewati semuanya dengan santai.“Jordan …” Karen memajukan badannya, meraih tangan Jordan dan menggenggamnya erat. “Permintaanku ini bukan sesuatu yang sulit. Aku hanya mau waktumu, dirimu. Tapi aku akan menyelamatkan kamu dari neraka yang kamu ciptakan sendiri.”Jordan menatap lurus dengan nanar. Tapi dia menangkap jelas semua yang Karen katakan. Dan Karen benar. Jordan memang gegabah. Lorenz bahkan sempat memperingatkan dia untuk memikirkan ulang untuk menerima proyek itu. Tapi Jordan terlalu senang, merasa bisa mengatasi semuanya, tidak hati-hati.“Sampai kapan?” Jordan menoleh pada Karen. Wajahnya kuyuh, tanpa semangat