“Jack, you hear me, don’t you?” ujar Susan. Dia tarik lengan Jack.
“Kamu jangan asal, Susan,” sergah Clarabelle. “Kamu mau aku jadi perusak hubungan orang? Jack dan Sabina akan segera menikah.”
“Sorry, aku hanya kesal, tapi juga kuatir padamu.” Susan mengerutkan keningnya. Dia lepaskan tangan Jack dengan rasa gundah.
Pandangan Jack masih tertuju pada Clarabelle. “Lala … Pikirkan lagi. Pernikahan itu bukan main-main. Menikah dengan orang yang saling kenal saja, bisa berantakan. Apalagi orang yang baru pertama kita jumpai.”
Clarabelle mendesah, menggeleng pelan. “Ini demi papaku. Dia merasa waktunya tidak akan lama dia hidup …” Butiran bening mengumpul di ujung mata Clarabelle.
Clarabelle hanya ingin membahagiakan orang tua yang tinggal satu-satunya. Dia tidak ingin menyesal jika tidak bisa mewujudkan harapan papanya. Meskipun takut, hati Clarabelle sudah bulat dengan keputusan itu. Percapakannya dengan sang ayah terbayang dengan jelas dalam ingatan Clarabelle dan terus mengusik hatinya.
*
“Lala, cuma itu yang Papa inginkan. Kamu mempunyai pendamping yang baik, yang akan melindungi kamu. Tidak lama Papa akan pergi. Jika kamu sendirian, Papa tidak akan tenang.” Pria berusia enam puluh tujuh tahun itu memandang putrinya. Clarabelle duduk di depannya, terlihat sedih. Dengan suara lirih dan sedikit gemetar, Adriano Johan mengutarakan keinginan terakhirnya.
“Papa …” Clarabelle, memegang tangan papanya yang dingin. Mata Clarabelle berkaca-kaca. Bagaimana hatinya tidak akan risau dan pedih? Dokter mengatakan papanya menderita gagal ginjal, satu ginjal tidak berfungsi, yang satu sudah tidak bekerja dengan baik. Kondisi Adriano sangat buruk. Semua usaha yang dilakukan untuk kesembuhan tidak begitu berarti, hanya menunda sementara, menunggu waktu hingga kedua ginjalnya berhenti bekerja.
“Sayang, kita tinggal di negeri ini tanpa saudara. Kalau aku pergi, kamu akan sendirian. Jika kamu ada pendamping, aku tidak akan pergi dengan rasa bersalah dan hati sedih.” Adriano menguatkan dirinya. Dia sedang galau, sangat resah.
Karena sakit, Adriano sudah pasti tidak bisa bekerja. Selama ini juga dia hanya penjadi pekerja lepasan yang tidak tentu hasilnya, sejak dia pensiun dari pekerjaannya yang lama. Clarabelle memang sudah bekerja di toko kue, dan hasilnya lumayan. Namun, jika harus membiayai Adriano berobat, itu cukup berat buat putrinya.
Sekalipun ada bantuan kesehatan dari pemerintah, tidak mencakup semua. Tetap ada biaya ini dan itu yang harus dikeluarkan. Satu-satunya yang ada di kepalanya adalah Clarabelle menemukan pria yang baik, yang mapan, dan menikah dengannya.
“Hidup kita di tangan Tuhan, Pa. Papa pasti sembuh,” ucap Clarabelle sedih. Rasanya berat sekali yang dia hadapi sekarang.
Sejak Adriano sakit, Clarabelle sering merasa cemas. Kalau dia tinggal papanya bekerja, lalu terjadi apa-apa, bagaimana? Ingin membayar perawat untuk menjaga papanya, tapi dia tidak ada biaya lebih. Hidupnya selama ini pas-pasan saja. Lalu, beberapa hari ini Adriano terus mendesak Clarabelle menemukan pasangan agar segera menikah.
“Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” bisik hati Clarabelle.
Clarabelle selama ini memang sudah metutup pintu hatinya untuk sebuah cinta. Sekalipun ada rasa simpatik muncul pada seorang pria, sekuat tenaga dia singkirkan jauh-jauh. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali dia terluka, cukup buatnya. Pengkhianatan yang dia alami, sangat perih rasanya. Bahkan jika bisa, Clarabelle memilih akan menjalani hidup sendiri, membahagiakan orang tua tunggalnya, yang kini harus terus bergelut dengan sakit.
Namun, permintaan papanya, tak mungkin Clarabelle abaikan. Jika benar umur sang ayah tidak lama lagi, Clarabelle akan sangat menyesal jika tidak memenuhi keinginan Adriano. Apalagi, sejak Clarabelle berusia empat belas tahun, mamanya meninggal, karena kanker rahim, papanya berjuang sendiri membesarkan Clarabelle. Bukankah seperti anak durhaka jika dia tidak mau mewujudkan harapan papanya?
Karena itu, ketika tanpa sengaja dia melihat pengumuman tentang dibukanya reality show itu, seolah sebuah jawaban datang di depan matanya. Sekalipun ada keraguan, Clarabelle mengirimkan data dirinya melamar menjadi peserta acara tersebut.
*
Jack dan Susan, tidak bisa lagi membujuk Clarabelle agar membatalkan rencananya. Situasi seperti tidak mau memihak pada Clarabelle. Mereka menatap pilu pada Clarabelle, dan berharap keputusan itu bukan sebuah kesalahan.
*****
Di sisi lain kota besar yang hampir tak pernah mati itu …
Terdengar hingar bingar suara musik keras di ruangan itu. Sorotan lampu berputar-putar dan berkedip-kedip mengelilingi seluruh ruangan. Ada tawa terdengar, ada suara teriakan, dan tidak ketinggalan seruan kegirangan. Lantai penuh dengan mereka yang bergoyang asyik mengikuti alunan musik. Club besar di kota itu tak pernah mati. Semakin malam semakin riuh dan semarak.
Di sudut kiri, empat pria muda duduk menghadapi meja sambil memegang gelas masing-masing. Seru sekali pembicaraan mereka. Kali ini topik yang sedang mereka gulirkan adalah jodoh buat Jordan Gerald Hayden. Pria muda berbadan tinggi tegap, berambut kecoklatan, yang cukup beken di kalangan mereka.
"Pelayan! Bawakan lagi tiga botol kemari! Bukan! Empat saja!" Jordan mengangkat tangan kepada pelayan yang lewat tak jauh dari mejanya.
"Baik, Tuan, segera," sahut pelayan itu. Dia berbalik dan melakukan yang diminta.
Teman-teman Jordan, mengakui selama ini Jordan memang paling digandrungi dan tak terkalahkan pamornya sebagai playboy. Tampangnya memang sangat menawan, mudah membuat wanita bertekuk lutut di bawah pesonanya. Wajah tampan dan tegas, hidung bangir, mata lebar dan tajam, sangat mudah membuat kaum Hawa menoleh padanya. Belum lagi nama belakangnya, Hayden, keluarga yang punya beberapa perusahaan, pasti dompetnya tak pernah kosong.
Teman-temannya entah bagaimana punya ide gila untuk mengerjai Jordan. Mereka membuat taruhan untuk Jordan dengan cara yang berbeda. Bukan sekedar Jordan bisa mendapatkan pasangan, tetapi memperoleh seorang istri.
“Jordan! Are you ready for this?” Ronald, pria dengan rambut cepak berwarna hitam di sebelah Jordan menyenggol lengannya.
Terus terang saja, taruhan ini menggelikan menurut Jordan. Hingga malam itu, Jordan sama sekali tidak ada pikiran akan menikah. Jauh dari kamusnya. Dia masih ingin menikmati kebebasan tanpa harus mengurus seorang wanita yang dia sebut dengan kata istri. Jordan hanya tersenyum, nyengir di ujung bibir, meneguk minumannnya tanpa mengatakan apapun.
“Kukira keturunan Hayden itu pria pemberani dan siap dengan tantangan apapun yang ada di depannya. Hm?” Dari arah depan, Louie, pemuda campuran India, dengan rambut ikal, menatap tajam pada Jordan. Dia sengaja memancing Jordan untuk menerima tantangan itu.
Jordan menggoyang-goyangkan gelas di tangannya, melirik ke arah teman-temannya.
“Okelah. Aku baru sadar, ternyata Jordan …”
“Wanna bet?" Belum selesai Ronald bicara, Jordan membuka mulutnya. "Aku akan buktikan aku bisa punya istri. Bukan hal sulit buatku, hanya saja aku merasa enggan terikat apapun dengan wanita.”
“Yuhuuu!!” Warren, pria yang bangga dengan jambangnya itu, yang dari tadi hanya memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. “Tiga bulan. Menurut kalian, dalam waktu tiga bulan, apakah Jordan bisa membawa ke hadapan kita seorang wanita yang memakai cincin dan kita panggil dia Nyonya Hayden?”
Ronald dan Louie mengangkat tangan di udara, toss dengan wajah sumringah. Mereka setuju dengan usul Warren. Dan yang membuat Jordan menegakkan badan, hampir bangun dari kursinya, saat Louie menantang dua mobil sport miliknya akan mereka sita jika Jordan kalah dalam taruhan itu.
“Shit!” Jordan mengumpat kesal. “Ini pememerasan!”
Tawa ketiga teman Jordan meledak bersama. Sementara Jordan melotot kesal pada mereka. “Karena itu kamu jangan sampai kalah. Oke? Kami tidak sabar mau membawa mobil keren kamu berkelana, bahkan keluar Sydney. Siapa tahu aku ingin berlibur ke Brisbane.” Warren menaikkan alisnya memanas-manasi Jordan. “Oke. Aku terima. Jika aku menang, kalian mau kasih apa?” Gantian Jordan menantang ketiga temannya. Dia tahu mereka tidak mungkin kasih sesuatu yang besar. Dari antara mereka, Jordan memang yang paling berkantong tebal. Ronald dan Warren anak pengusaha juga, tetapi bisnis orang tua mereka tidak sebesar keluarga Hayden. Sedang Louie, ayahnya wakil direktur di salah satu anak perusahaan milik keluarga Jordan. “Hm, kamu mau menjebak kami?” Dengan pandangan makin tajam, Warren memajukan badan, mendekat pada Jordan. “Ini bukan hal sepele. Menikah, huh? Itu berurusan dengan harga diriku!” tegas Jordan. “Okelah. Kami akan pikirkan. Besok malam, kita bertem
“Papa, please …” Clarabelle tahu, ayahnya tidak setuju dengan keputusannya. “Apa kamu tidak punya teman pria yang baik, yang kamu kenal, sampai kamu harus menikahi orang asing?” Adriano menatap tajam pada Clarabelle. Apakah dia membuat permintaan yang salah sehingga putrinya memutuskan melakukan hal ini? Akan lebih baik kalau dia menjodohkan Clarabelle dengan anak temannya yang sudah pasti dia tahu siapa mereka. “Papa, para ahli akan menemukan orang yang tepat. Mereka melakukan dengan penelitian bukan sembarangan. Percaya aku, Pa, aku pasti akan mendapat pria yang baik sebagai suami.” Clarabelle membujuk ayahnya. Dia menjelaskan proses yang harus dia lewati hingga akhirnya tersaring dalam acara inti. “Menikah itu harus di hadapan Tuhan, resmi disahkan pemilik hidupmu. Pernikahan dalam acara semacam itu, seperti permainan saja. Apa kamu tidak berpikir soal ini? Kamu lupa yang aku ajarkan tentang artinya pernikahan dan keluarga buat kamu?” Adriano marah dengan
Adriano berdiri memandang Clarabelle yang tampak begitu cantik dan anggun. Balutan gaun putih tulang yang membungkus tubuh mungil Clarabelle, membuatnya makin menarik dan mempesona. Mahkota bunga yang menghiasi kepalanya menambah dia makin tampak rupawan. “Sayang, kamu siap?” Adriano mengulurkan tangan pada Clarabelle. Ada senyum tipis muncul di bibirnya. Dengan hati berdebar tak karuan, Clarabelle mengangguk. Dia menyambut tangan kanan ayahnya, berjalan di sisinya, bersiap menuju tempat dia akan menemui mempelai pria yang telah menanti. Clarabelle sedikit gemetar. Jantungnya tak bisa berdetak dengan normal. Tubuh terasa panas dingin. Perut terasa mual seolah diaduk-aduk. Clarabelle tidak tahu akan jadi bagaimana hidupnya setelah ini. Pria seperti apa yang akan dia temui? Apakah dia baik? Apakah dia tampan? Seorang pekerja keras dan penyayang atau … Semua pertanyaan beruntun berkejaran di kepalanya, sementara selangkah demi selangkah Clarabelle memasuki area
Detak jantung Clarabelle semakin laju. Berdiri di depan pria ini, meskipun tampan, gagah, dan mempesona, pikiran Clarabelle berkecamuk. Sungguhkah dia tidak salah langkah? "Miss Johan?" Sekali lagi pemimpin acara memanggil Clarabelle. Semua yang hadir mulai gelisah, Clarabelle masih terpaku menatap mempelai prianya. Clarabelle menarik nafas dalam, dia tak bisa mundur. Dia harus melanjutkan apa yang sudah dia putuskan. “Aku menerima Jordan Gerald Hayden …” “Wow, kamu langsung hafal namaku?” Jordan menyahut. Gelak tawa kembali terdengar dari deretan bangku tamu. Senyum tipis pun muncul di bibir Clarabelle. “… aku akan mengasihimu, apapun yang akan aku lewati, aku tidak akan mengucapkan kata cerai. Kita disatukan dalam pernikahan ini, sebuah ikatan suci, yang tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Aku akan sekuat tenaga memeliharamu, memberikan dukungan dan kegembiraan dalam hidupmu. Aku ingin seutuhnya menjadi istri yang setia untukmu.” Kem
“Aku ingin membersihkan diriku. Maaf …” Clarabelle berdiri dan melangkah menuju ke kamar mandi. Dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Dia sangat paham jika Jordan akan marah, tetapi Clarabelle punya alasannya dan dia harus tegas dengan itu. Jordan hanya memandangi saja saat Clarabelle menghilang di balik pintu kamar mandi. Terasa getaran dari saku celananya. Jordan merogoh kantung celana dan mengeluarkan ponsel yang tersimpan di sana. Ronald menelpon. “Dasar,” umpat Jordan. Bagaimana bisa temannya itu menghubungi di saat seperti ini. “Mau apa menghubungi aku sekarang?” Sedikit kesal Jordan menerima juga panggilan Ronald. “Haa … haa …” Suara tawa Ronald memekakkan telinga Jordan hingga dia menjauhkan ponsel. “Lagi ngapain? Sudah seru-seruan dengan is-tri-mu?!” Jordan melotot kesal. Temannya yang satu itu paling suka bikin emosi naik. Sengaja juga dia mengatakan istrimu dieja begitu. “Bagaimana mau seru kalau ada setan lewa
“Kita sampai," ucap Jordan sembari melemparkan senyum riang. Jordan membuka lebar pintu kamar hotel mereka. Lagi-lagi hamparan menakjubkan ada di depan mata. Kamar pengantin yang berikutnya mereka lihat. Unik, dengan ciri khas Bali sebagai pernak-pernik ruangan indah itu. “It is amazing.” Clarabelle masuk ke tengah ruangan. Dia memandang sekeliling, rasa takjub memenuhi hatinya. “I love it, really.” Senyum Clarabelle mengembang, melihat ke arah Jordan. Dia mulai terbiasa dengan Jordan di sisinya. Tidak ada rasa canggung seperti hari yang lalu. “Lebih dari yang kubayangkan. Thank you, At the First Time I Meet You. Aku tidak akan lupa semua ini.” Jordan melangkah lebih jauh. Dia membuka pintu yang mengarah ke balkon kamar hotel. Dari balkon, lautan lepas terhampar begitu cantik. Biru gelap, langit di atas biru cerah. Awan berarak indah tak lelah bergerak. Sementara angin terasa menerpa wajah. Suasana pantai sangat terasa. “Wow … it is in
Jordan tersenyum lebar saat mengirim pesan itu pada ketiga sahabatnya. Selama ini buat mereka bersama wanita manapun, asal suka sama suka sah-sah saja. Tetapi jika bisa mendapatkan seseorang yang masih murni, rasanya seperti menang lotere yang besar. Karena itu Jordan ingin teman-temannya tahu, taruhan mereka membawa banyak kesenangan buat Jordan. Benar saja, beberapa menit berikut Warren menelponnya. Jordan tertawa kecil. Dia bisa membayangkan apa yang Warren akan katakan. Tidak ingin membangunkan Clarabelle, Jordan memilih menuju balkon dan bicara dengan Warren di sana. “Sial! Kamu tidak bercanda?” Kalimat yang Warren ucapkan tepat seperti yang muncul di kepala Jordan. “Aku memang pria ga jelas, tapi kamu tahu, aku bukan orang yang suka bohong. Kecuali terpaksa. Hee … hee …” Jordan terkekeh. “Kenapa malah kamu dapat banyak untung, hah?” kesal Warren. Bagaimana tidak? Dia dan kedua temannya ingin mengerjai Jordan, kenapa situasi justru seolah terbali
Minggu terakhir. Para peserta reality show dipulangkan. Mereka diberi waktu satu minggu berpikir apakah akan meneruskan hubungan mereka di dunia nyata, di luar acara itu, atau memilih berpisah dari pasangan yang mereka temui. Tidak boleh ada kontak sama sekali di antara mereka. Jordan kembali ke apartemennya dan Clarabelle kembali pada Adriano. Dengan senyum kemenangan Jordan menemui teman-temannya. Di tempat biasa, mereka berkumpul dengan riang dan penuh tawa. Tentu saja teman-temannya tidak mengira Jordan bisa bertahan hanya dengan satu wanita dalam waktu hampir dua bulan. Ini rekor dan mereka mengakuinya. “Lalu, kamu masih sanggup berdiam diri, tidak cari camilan? Lihat itu, tatapan rindu Jean dan senyuman manis Leony tertuju padamu.” Warren mulai memanas-manasi Jordan. “Biar saja. Aku sedang malas berurusan dengan mereka.” Jordan tidak memperhatikan wanita-wanita yang mengharapkannya untuk mendekat. “Mereka kesal kamu ikut acara itu. Tapi juga mer
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak
Clarabelle terkejut dengan reaksi Jordan. Dia mencoba melepaskan diri, tapi Jordan tidak mau mengalah. Dia bahkan lebih berani bertindak. Dia kecup Clarabelle. Dia lepaskan kerinduan dengan memeluk erat istrinya.Clarabelle awalnya ingin berontak. Sayangnya, hati dan rindunya tidak sejalan. Hati menolak, tetapi rindu yang Clarabelle rasa memaksanya menyambut kemesraan yang Jordan lemparkan. Debaran kuat menguasai Clarabelle. Degupan yang menyenangkan, yang menaikkan hasrat dirinya tak bisa dibendung. Clarabelle menyerah. Dia mulai menikmati sentuhan Jordan."I miss you. So much ...." Jordan berbisik, lembut. Clarabelle makin bergelora.Tidak ada penolakan, Jordan makin melangkah jauh. Permainan dia lanjutkan. Dia menarik Clarabelle naik ke atas ranjang. Mereka meneruskan perjalanan rindu dan cinta yang terlalu lama tertahan karena rasa marah, kecewa, dan juga takut makin terluka.Di luar salju kembali deras. Bahkan suara angin menderu pun terdengar. Rindu
Mobil Jordan oleng. Clarabelle mendekap dadanya dengan rasa takut mencuat begitu cepat. Mobil hampir saja bertabrakan. Jordan sigap kembali ke posisi dan mengendalikan setir. Untung, dia mampu menghindar sehingga tabrakan tidak terjadi. "Ya Tuhan ...." Clarabelle masih merasakan dadanya berdetak begitu cepat karena rasa kaget. Jordan sudah kembali menguasai kendaraannya. Tapi dia juga sama terkejutnya. Berulang kali dia mengambil nafas dalam, menenangkan diri. "Sorry, I am sorry," kata Jordan tanpa melihat CLarabelle. Dia fokus menyetir. Clarabelle tidak menjawab. Dalam hati dia bersyukur, tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak bisa membayangkan jika benar tabrakan terjadi. Bukan hanya dia dan Jordan yang celaka, tetapi bayi mungil di rahimnya juga. Hening. Sisa perjalanan hingga ke toko Jordan, tidak ada yang bicara. Jordan memarkir kendaraannya, langsung masuk ke garasi. Clarabelle kembali memegang pipi Jordan, lalu ke lehernya.
James menajamkan tatapannya. Dua bola mata indah dan lentik milik Nerry berair. Apa yang dia risaukan? Mengapa justru gadis itu jadi bersedih? "Nerry, ada apa? Aku sungguh-sungguh dengan niatku. Aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji ...." "Bukan itu. Maafkan aku," sahut Nerry. James menutup mulutnya. Dia lebih baik mendengar yang Nerry akan utarakan padanya. Mungkin memang dia terlalu cepat meminta Nerry menjadi kekasihnya apalagi masuk dalam pernikahan. Rasanya sama saja dengan kisah Jordan dan Clarabelle. "Mengenal Tuan secara langsung, punya momen bersama, buat aku ... seperti mimpi. Ga masuk akal. Tuan tiba-tiba muncul di depanku. Semua hari-hariku berubah seketika." Nerry mulai mengungkapkan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. James menunggu. Dia tahu Nerry belum selesai. "Jujur, aku jika sungguh bersama Tuan nanti, seperti cinderella. Dari hidup sederhana masuk dalam sebuah istana. Apakah aku bisa, Tuan? Apakah aku cu