"Mama mohon, Nak! Menikahlah dengan Alfa! Jangan sampai keluarga kita dan keluarga Narendra merasa malu karena kakakmu yang tiba-tiba lari!" pinta Viana.
"Nada gak bisa menikah dengan Kak Alfa, Ma! Nada gak cinta sama dia!" tegas Nada.
"Kamu harus mau, Nada! Atau Papa gak akan mengakuimu sebagai anak Papa lagi!" geram Gunawan.
Nada tertawa sumbang. Tak dianggap sebagai anak katanya? Padahal yang berbuat hal memalukan itu ada Nadia. Dia hanyalah korban keegoisan keluarganya yang selalu mementingkan kebahagiaan Nadia dan Fandi dibanding dirinya. Sedangkan pada Nada? Ia dianaktirikan.
"Pernikahannya akan dimulai nanti jam empat sore, jadi jangan melakukan hal konyol yang bisa mempermalukan kami!" cetus Gunawan.
Gadis berjilbab itu mendengus kesal.
"Baik. Nada penuhi permintaan kalian!" ujar Nada dingin.
Ia keluar dari kamar Nadia menuju ke kamarnya sendiri dengan wajah datar, meninggalkan kedua orang tuanya. Para asisten rumah tangga yang berada di lantai bawah sampai takut melihatnya.
Viana tersenyum getir. Dia paham akan perasaan Nada yang selalu diperlakukan tak adil oleh Gunawan. Bagi Gunawan, Nada adalah anak pembangkang. Nada selalu menentang apa yang orang tuanya inginkan. Lain halnya dengan Fandi dan Nadia. Kedua kakaknya selalu dimanjakan oleh orang tuanya. Apa pun yang dia inginkan selalu dituruti. Sedangkan dirinya selalu diminta mengalah. Seperti kali ini, dia diminta mengalah lagi padahal Nadia yang berbuat kesalahan.
Nada menjerit histeris di kamarnya yang kini jarang ia tempati. Sejak sang ayah menentang keinginan dirinya untuk menjadi seorang dosen, ia memutuskan keluar dari kediaman Gunawan dan memilih tinggal di apartemen yang tak jauh dari kampus tempatnya mengajar.
Sebenarnya, sejak ia tamat dari bangku SD, ia tak lagi tinggal di rumah. Saat kedua kakaknya masuk di sekolah bertaraf internasional, ia memilih masuk pesantren. Karena ayahnya tidak mau membiayai dirinya, ia pun menabung sedikit demi sedikit dari uang sakunya agar bisa hidup layak di lingkungan pesantren. Viana juga sengaja mengirimkan uang untuknya tanpa sepengetahuan Gunawan agar ia tak kekurangan selama hidup di pesantren. Saat masuk universitas, ia juga menolak kuliah di luar negeri dan memilih kuliah di Jakarta di salah satu universitas Islam jurusan Kimia hingga jenjang magister. Semua biaya kuliahnya berasal dari hasil keringatnya dan beasiswa, bukan dari sang ayah.
Nada kecewa pada orang tuanya karena tidak pernah memahami keinginannya, tetapi sebagai seorang anak, ia harus tetap berbakti pada mereka. Meskipun itu berarti ia harus menyimpan rasa sakit akibat diabaikan.
'Maaf, Nadia pergi meninggalkan kalian. Nadia belum siap menikah dengan Alfa. Sampaikan permohonan maafku pada Alfa.
Nadia'
Nada tersenyum kecut saat ia mengingat isi surat Nadia.
"Belum siap menikah katanya? Cih! Udah pacaran lima tahun, udah tunangan sejak enam bulan yang lalu, dan dengan semangat luar biasa dia teriak siap nikah. Eh, giliran undangan udah disebar ke mana-mana malah lari!" dengus Nada.
Suara ketukan pintu mengejutkannya. Masih dengan perasaan kesal, ia membuka pintu kamarnya.
"Ada apa?" tanyanya datar.
"Maaf, Nona. Para pegawai salon yang diminta untuk merias Anda sudah datang," kata salah satu asisten rumah tangganya.
Nada menghela napasnya dalam-dalam.
"Baiklah. Suruh mereka masuk ke sini!"
"Baik, Nona. Permisi!"
Nada hanya mengangguk.
Tak lama kemudian, mereka yang dimaksud sudah datang dan langsung ia minta untuk masuk ke kamarnya.
"Nona, Anda ingin perawatan wajah dan tubuh sebelum dirias? Anda masih memiliki banyak waktu sebelum acara dimulai," tawar salah satu terapis salon.
Waktu menunjukkan pukul 09.00. Nada pikir waktunya masih panjang sebelum akad nikah dilaksanakan. Ia pun mengangguk.
"Baiklah. Silakan Anda buka pakaian Anda!"
Nada menurut. Meskipun ini adalah pernikahan yang dipaksakan, ia tetap harus tampil sempurna di hadapan banyak orang, bukan?
Gadis itu perlahan melepas pakaiannya satu per satu dan ia memakai selembar sarung batik untuk menutupi tubuhnya. Ia menjalani serangkaian treatment untuk wajah terlebih dahulu, lalu untuk tubuhnya. Ia begitu menikmati apa yang dilakukan para terapis itu sambil sesekali berbincang dengan mereka.
"Baiklah, Nada! Persiapkanlah dirimu menjadi Nyonya Narendra junior!" batin Nada.
***
Narendra benar-benar geram atas sikap Nadia, sang mantan calon menantu. Ia meluapkan kekesalannya pada Alfa yang berani berniat menikahinya. Sejak awal Alfa dan Nadia berhubungan, Narendra memang tidak setuju. Ia lebih menyukai Nada yang menjadi menantunya. Pria paruh baya itu begitu terpikat dengan sosok Nada Inayah Gunawan. Gadis itu cantik, cerdas, good attitude, dan yang pasti shalihah. Ia sangat jauh berbeda dengan Nadia yang kata Gunawan begitu membanggakan, tetapi akhlaknya berbanding terbalik dengan Nada.
Narendra dan Gunawan adalah sahabat baik. Mereka selalu bersama sejak mereka masih kecil hingga usia mereka yang sudah lewat dari setengah abad ini. Mereka pun pernah membuat perjanjian bahwa bila mereka memiliki anak yang berbeda jenis kelamin, mereka akan menjodohkan kedua anaknya.
Tania, istri Narendra muncul dengan tergopoh-gopoh setelah mengangkat telepon dari Viana di dapur.
"Mas, pernikahan itu tetap akan berlangsung. Tapi, yang jadi pengantinnya itu Nada."
Narendra tersenyum sumringah. Ia menengok sang putra yang tercenung karena mendengar ucapan sang ibu.
Nada? Batin Alfa bertanya-tanya. Gadis berjilbab itu adiknya Nadia dan dia ingin menggantikan kakaknya? Alfa memang pernah bertemu beberapa kali, tetapi kesannya pertamanya tentang gadis itu adalah jutek, tanpa ekspresi. Ia sedikit tersinggung saat ia memperkenalkan diri pertama kali justru ia menerima penolakan jabat tangan. Geram? Tentu saja. Ia yang berparas tampan ditolak berjabat tangan oleh seorang gadis membuatnya selalu kesal setiap kali bertemu hingga sekarang. Kini ia akan menikahi gadis itu. Sebuah seringai terbit di wajahnya. Ia akan membuat gadis itu bertekuk lutut di hadapannya.
"Gimana menurut kamu, Alfa?" tanya Tania lembut.
"Gak masalah kok, Bunda. Daripada semuanya kacau. Bukankah itu malah membuat kita malu? Nada juga gadis yang manis," timpal Alfa.
"Baguslah kalau begitu. Pernikahan kalian akan tetap berlangsung sesuai rencana," ujar Narendra.
"Benar, Nak! Bunda udah gak sabar banget liat Nada. Dia itu calon menantu idaman Bunda!" jerit Tania.
"Calon menantu idaman?"
"Iya dong, Alfa. Bunda sama ayah sebenarnya lebih berharap kamu sama Nada daripada Nadia," celetuk Tania.
Alfa mendengus. Ia memilih duduk di sofa ruang tamu sambil mengusap kasar wajahnya. Ia mengambil ponselnya dari saku celananya. Ia kembali membaca sebuah pesan Whatsapp dari Nadia.
'Maafkan aku, Sayang. Aku belum siap menikah sama kamu.'
Alfa berdecih. Padahal gadis yang sudah menjalin hubungan dengannya selama lima tahun itu yang paling semangat soal pernikahan. Ia hanya menuruti saja keinginannya. Ia mencoba menelepon Nadia, tapi hasilnya tetap sama. Ponselnya tidak aktif.
Kini ia harus menerima kenyataan bahwa Nada yang akan bersanding di pelaminan bersamanya. Gadis yang tidak ia cintai, atau mungkin belum bisa ia cintai.
***
"Saya terima nikahnya Nada Inayah Gunawan binti Gunawan Adiwijaya dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas seberat 150 gram dibayar tunai!" ucap Alfa lantang sambil menjabat erat tangan Gunawan.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"SAH!" ucap dua orang saksi dengan lantang.
"Alhamdulillah!" seru para hadirin.
"Baarakallahu lakumaa wa baaraka 'alaikumaa wa jama'a baina kumaa fi al-khair"
Alfa menunggu sang istri dengan dada berdebar. Ia terus menundukkan kepala sambil meremas kedua tangannya. Bahunya ditepuk hingga ia menoleh pada sang bunda yang tersenyum penuh arti.
"Pandangi istri kamu! Cantik, kan?" bisiknya.
Alfa memperhatikan Nada yang melangkah dengan anggun menuju ke arahnya. Matanya tak berkedip melihat wajah cantik Nada dengan polesan natural sang MUA.
Nada mengambil tangan suaminya lalu mengecupnya dengan kesungguhan. Begitu juga dengan Alfa yang langsung memajukan bibirnya untuk mengecup kening istrinya. Mereka kelihatan gugup setelah melakukannya. Setelah itu, mereka bertukar cincin dan melakukan sungkeman dengan kedua orang tua dan mertua mereka untuk memohon ridha dan restunya agar pernikahan mereka selalu dilimpahi keberkahan dari Allah, terlepas dari rasa terpaksa yang ada di hati mereka.
Setelah acara akad nikah, mereka langsung melakukan resepsi di tempat yang sama, yaitu hotel milik keluarga Narendra. Resepsi dengan konsep perpaduan adat Bugis dan Sunda membuat para tamu terpukau dengan suasananya.
Pukul 21.00 acara berakhir. Alfa dan Nada diminta untuk beristirahat di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Alfa berjalan lebih dulu disusul Nada beserta dua orang dari Wedding Organizer untuk membantu melepaskan pakaian pengantin mereka.
Alfa yang selesai lebih dulu langsung membawa pakaian gantinya ke kamar mandi. Sedangkan Nada masih harus melepas jilbabnya dan pakaian pengantinnya. Sepuluh menit kemudian Alfa keluar dari kamar mandi dalam keadaan sudah berpakaian lalu keluar begitu saja dari kamar. Ia membiarkan Nada yang baru selesai melepaskan gaunnya untuk membersihkan diri.
Setengah jam berlalu. Nada yang sudah bersiap untuk tidur masih menunggu Alfa yang tak kunjung kembali. Ia memilih membaringkan tubuhnya di ranjang king size itu dan tak lama kemudian matanya terpejam.
Azan subuh berkumandang saat Nada menggeliat di ranjang sambil berusaha meregangkan otot-ototnya. Ia juga berusaha membuka kedua matanya lebar-lebar di tengah keremangan cahaya lampu tidur di kamar itu. Tapi tunggu! Ia merasakan sebuah tangan kekar memeluk erat dirinya. Ia menoleh ke arah samping kirinya. Alfa masih tertidur lelap. Tiba-tiba kesadaran menghampiri Nada dan ia berteriak."Kak Alfaaa!!!"Alfa tersentak kaget karena teriakan Nada."Ada apa, sih?" tanya Alfa seraya mengucek kedua matanya."Ke-kenapa Kak Alfa tidur di sini?"Alfa mendengus kesal."Tentu saja aku tidur di sini. Di sini tuh empuk, hangat, apalagi bisa sambil meluk kamu," jawab Alfa sambil mengeratkan pelukannya pada Nada.Nada berusaha keras untuk melepaskan diri, tapi Alfa tak bergeming."Ih, Kak! Kan Kakak bisa tidur di sofa!" cetus Nada."What? Aku? Tidur di sofa? No, Honey! Sofa itu tidak muat untukku. Aku lebih nyaman di sini.""Ka-kau ti-tida
Menikah dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita adalah impian semua orang. Itulah yang Nada juga harapkan. Namun, ia tak bisa mengelak dari takdir Allah yang telah ditetapkan untuknya meskipun kelihatannya ia seperti telah dijadikan "tumbal" oleh orang tuanya sendiri akibat kekonyolan salah satu putri mereka yang katanya selalu membanggakan itu.Ia duduk bersila di lantai kamarnya yang dilapisi karpet bulu dan hamparan sajadah. Ia baru saja melaksanakan shalat isya setelah ia dan suaminya makan malam bersama. Helaan napas kasar keluar begitu saja dari mulutnya. Sudah sebulan menjalani status seorang istri dari Alfarezel Narendra, tetapi mereka masih merasa asing. Mereka hanya bertemu saat sarapan dan makan malam. Shalat wajib pun dilakukan sendiri-sendiri. Situasi yang sama ia rasakan saat berada di rumah orang tuanya. Namun, Alfa adalah orang yang tak melewatkan waktu untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang Muslim.Seumur hidup Nada, ia tak pernah melihat
Sisa-sisa hujan semalam menyisakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun, hal itu tidak dirasakan oleh sepasang manusia yang masih terlelap sambil berpelukan erat. Mereka menikmati keheningan dini hari jelang subuh ini dengan saling memberi kehangatan.Semalam, saat mereka pulang dari restoran, hujan turun begitu deras. Karena lupa membawa mantel, mereka jadi basah kuyup saat tiba di apartemen. Mereka masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.Saat Nada sedang membuat susu jahe hangat, tiba-tiba sepasang lengan kekar muncul dari belakang dan melingkar di perutnya. Ia seketika menegang. Alfa tersenyum sembari meletakkan dagunya di bahu sang istri."Sedang apa?" tanya Alfa dengan berbisik.Nada menghela napas untuk meredakan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Ia belum pernah seintim ini dengan lelaki mana pun."Aku sedang buat susu jahe. Mau?" Nada menawarkan susu jahe di tangannya."Ma
Gunawan menatap datar sang putri yang sudah sebulan ini menghilang. Nadia menatap sendu sang ayah sambil terisak di pelukan Viana."Masih ingat pulang kamu!" sinis Gunawan."Papa, maafin Nadia," lirih Nadia."Kamu sudah mempermalukan Papa di hadapan semua orang dan kamu tiba-tiba muncul hanya dengan membawa kata maaf?" geram Gunawan."Papa, aku nyesal. Aku bakal jadi kok nikah sama Alfa.""Sudah terlambat," ujar Gunawan dingin."Terlambat? Apa maksud Papa?" tanya Nadia heran."Alfa sudah menikah dengan adikmu.""Gak! Gak mungkin! Alfa cuma cintanya sama aku!" jerit Nadia histeris."Kamu harus terima kenyataan ini, Sayang. Nada sudah menjadi istri Alfa. Semua ini kami lakukan demi nama baik keluarga kita dan keluarga Narendra, Nak!" ujar Viana."Aku nyesel, Ma. Aku nyesel ninggalin Alfa. Aku gak bisa biarin Nada bahagia sama Alfa, Ma. Alfa dan aku saling cinta, Ma!" Tangis Nadia tak terbendung lagi. Ia sungguh menyesali keko
Alfa melangkah pelan memasuki ruang kerjanya sambil berbicara dengan sekretarisnya membahas tentang hasil rapat mereka tadi pagi. Ia melirik arloji di lengan kirinya. Ia pun memerintahkan sekretarisnya untuk istirahat sebelum bekerja lagi. Ia juga sudah tak sabar memakan masakan istrinya yang ia bawa dari rumah.Senyuman Alfa luntur seketika saat ia melihat seseorang yang telah meninggalkannya begitu saja. Ia menutup pintu ruangannya agar tak ada orang lain yang melihat mereka."Hai! Apa kabar?" sapa Nadia."Cih! Tiba-tiba hilang, tiba-tiba juga muncul. Sekarang, apa maumu?" tanya Alfa geram."Mauku? Kamu! Aku mau kita melanjutkan rencana kita...""Tak ada lagi rencana kita! Sejak kau pergi, sejak itu pula hubungan kita berakhir!" sergah Alfa."Apa cewek sok suci itu sudah meracuni pikiranmu?""Wanita yang kau sebut sok suci itu adalah istriku dan juga adik kandungmu! Bagaimana mungkin ada orang yang benci pada adiknya sendiri!""Aku!
Tania sedang membuat kue brownies di dapur. Narendra yang kesal karena merasa diabaikan segera beranjak dari sofa ruang keluarga menuju dapur dan memeluk Tania dari belakang."Sayang, sibuk banget sampai cuekin aku," rajuk Narendra."Ini lho, Sayang. Aku buat brownies untuk anak-anak kita.""Anak-anak?""Ih, Alfa sama Nada mau datang. Tadi pagi mereka nelpon. Tapi kok sampai sekarang belum datang, ya? Udah mau sore ini.""Paling lagi usaha, Sayang.""Usaha apaan?""Buatin kita cucu," bisik Narendra.Tania tersenyum malu-malu menanggapi ucapan Narendra."Uh! Sayangnya aku kok malu-malu gini? Kita udah nikah puluhan tahun, tapi masih malu-malu aja bahas gituan.""Udah, ah! Aku lagi sibuk."Narendra tertawa sambil mengacak rambut sang istri yang sudah memutih."Sayang, aku bantu, ya! Biar cepat selesai.""Rajinnya ayahnya Alfa. Ya udah, ayah masukin ini ke oven, tapi keluarin dulu yang ada di dalam itu. Udah
Seorang pria berketurunan Spanyol sedang mengamati beberapa lembar foto yang dibawa oleh salah satu mata-mata yang ia tugaskan ke Indonesia. Ia tersenyum kecil saat melihat salah satu foto. Foto itu adalah hasil USG terakhir Nadia yang berhasil sang mata-mata minta pada dokter kandungan yang biasa Nadia kunjungi."Aku tak menyangka. Akhirnya aku akan memiliki anak," lirihnya."Kapan Anda kembali ke Indonesia?""Sebentar lagi. Aku sudah persiapkan semuanya. Begitu anak itu lahir, aku akan segera menikahinya.""Tapi, dia masih sering ke kantor Alfa.""Aku tahu. Dia masih saja terobsesi pada pria itu.""Apa kita perlu bertemu dengan Alfa?""Tak perlu. Karena Alfa sudah memiliki istri, dia tentu tak mungkin mengkhianati istrinya. Aku hanya perlu meminta Nadia untuk membuka matanya agar dia melihatku. Dia wanita pertama yang kuambil kesuciannya, juga wanita yang kucintai selama ini. Aku tak akan bertindak pengecut lagi."Carlos bertekad ing
Nada tengah menunggu sendirian sambil membuka akun media sosialnya di ponselnya di depan ruang KIA. Sang suami pergi ke toilet. Tak lama kemudian, giliran Nada yang dipanggil oleh perawat untuk masuk ke ruangan. Sebelumnya, ia sudah diminta perawat untuk cek tekanan darah dan berat badan."Selamat sore, Ibu Nada!" sapa sang dokter ramah."Sore, dokter!" balas Nada sambil tersenyum."Silakan duduk!"Nada pun duduk di hadapan dokter Veronica."Ini kunjungan pertama, ya, Bu?""Iya, dokter.""Hmm, tekanan darah Anda agak rendah, ya. Anda merasa mual atau pusing?""Saya gak mual. Saya cuma sedikit pusing."Alfa masuk setelah dipersilakan oleh perawat di luar."Maaf, ya! Tadi antri di toilet," ujar Alfa pada Nada."Gak apa-apa, kok. Aku juga baru masuk.""Ibu, silakan naik di sini! Kita cek kondisi janin Anda lewat USG," ujar dokter itu. Ia mengambil tangan Nada seraya menuntun Nada berbaring di atas tempa
Alfa terbaring lemah di ranjang, menunggu sang istri yang sedang membersihkan dirinya di kamar mandi. Kedua matanya terpejam sembari berusaha menahan rasa sakit di kepalanya. Perlahan, setetes darah keluar dari lubang hidungnya."Ya Allah, apa yang harus kukatakan pada istriku?" gumamnya, lirih.Pintu kamar mandi terbuka. Nada tampak lebih segar dengan pakaian lengkap yang menempel di tubuhnya. Ia membawa baskom kecil berisi air hangat dan selembar handuk kecil. Ia ingin menyeka tubuh suaminya dan mengganti pakaiannya agar ia merasa nyaman."Aa', aku buka pakaiannya, ya!" ujar Nada.Alfa mengangguk lemah. Tubuhnya benar-benar terasa sangat lemah saat ini.Sementara istrinya menyeka tubuhnya, Alfa memperhatikan wajah cantik wanita yang tengah mengandung darah dagingnya. Sungguh, ia tak sampai hati bila akhirnya ia akan meninggalkan istrinya."Aa' kenapa?" tanya Nada khawatir.Alfa menarik perlahan lengan Nada agar ia bisa memeluk tubuh wanita yang ia cintai."Maaf, Sayang. Aku sudah me
Nada terbangun saat ia merasakan hembusan napas teratur di ceruk lehernya. Tak lupa sebuah lengan kekar yang memeluknya begitu erat. Pukul 02.00 dini hari saat ini. Perlahan, ia menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Seulas senyum tipis terpatri di wajah cantiknya. Ia perhatikan kedua mata Alfa yang tertutup rapat beserta alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, pipinya yang tirus, kumis dan janggut yang mulai tumbuh lebat, dan bibirnya yang tipis. Wajahnya tiba-tiba merona lalu menunduk ketika mengingat kejadian tadi. Mereka sempat menghabiskan waktu dan tenaga dalam permainan panas. Tiba-tiba sebuah kecupan terasa di keningnya. Nada mendongak pada sang suami yang kini tersenyum jahil."Tidurlah lagi, Sayang!" Suara serak Alfa terdengar begitu seksi di telinga Nada."Aku ingin ke kamar mandi, A'."Nada berusaha melepaskan pelukan Alfa yang semakin terasa erat."Please, deh, A'! Aku gak mau pipis di sini!"Alfa membuka matanya. Ia terkekeh lal
Nada meletakkan bantal di bawah kepala Nadia secara perlahan. Setelah itu, ia pandangi wajah sang kakak yang tertidur lelap di sofa ruang tamu. Masih terlihat jelas jejak air mata di pipinya akibat terlalu lama menangis. Nada menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mendengar pengakuan kakaknya tentang pria yang telah menghamilinya membuatnya merasa kasihan. Namun, di sisi lain, ia juga tak habis pikir karena Nadia meminta Alfa bertanggung jawab atasnya. Relakah Nada? Tentu saja tidak. Ia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Baginya, hubungan mereka hanyalah tinggal kenangan dan sebagai seorang istri, ia pun berhak mempertahankan rumah tangganya dengan pria yang sangat ia cintai. Ia tidak peduli bila ia harus berurusan dengan ayahnya yang sangat keras kepala itu. Toh sejak awal, ia sudah dianggap durhaka olehnya. Suara pintu terbuka membuatnya menoleh ke arah pintu. Ia menjawab salam sembari tersenyum lalu menghampiri suaminya yang juga tersenyum pad
Sinar matahari semakin terasa menyengat saat Nadia bangun dari tidurnya. Ia menengok ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 10.00. Akhir-akhir ini, ia semakin sulit tidur karena perutnya yang semakin besar membuatnya semakin tidak nyaman. Ia pun segera ke kamar mandi karena ia sangat ingin buang air kecil. Setelah menuntaskan hajatnya, ia segera turun menuju dapur. Ia melihat ibunya sedang bersantai di ruang keluarga. "Pagi, Mama!" seru Nadia. Viana hanya menatapnya sekilas lalu kembali menonton layar datar berukuran 42 inchi. Hati Nadia serasa tercubit karena sang ibu bersikap acuh tak acuh padanya. Ia memilih ke dapur untuk memakan apa saja yang tersedia di sana. Saat ia membuka tudung saji, ia tidak mendapatkan apa-apa. Ia mendengus kesal, lalu ia membuka kulkas dan hanya mendapatkan telur dan sosis. Ia pun membuat omelet sebagai menu sarapan pagi yang sudah sangat terlambat. "Baguslah kalau kamu tahu diri! Karena mulai saat ini, kamu harus belajar mem
Pukul 21.00, Nada terbangun saat merasakan mual di perutnya. Dengan tergesa-gesa, wanita itu melepaskan pelukan erat di perutnya dan berlari ke kamar mandi. Hal itu membuat Alfa terkejut. Pria itu menyusul ke kamar mandi untuk melihat keadaan istrinya."Sayang, masih mual?" tanya Alfa seraya memijat tengkuk sang istri."Kenapa ke sini, A'? Kan gak enak kalau kamu lihat aku muntah-muntah," timpal Nada lirih."Aku harus membiasakan diriku, Sayang. Kamu juga begini karena mengandung anakku," ujar Alfa lembut.Nada segera berkumur dan membersihkan bekas muntahannya di wastafel."Aa', aku lapar!" rengek Nada yang memeluk lengan sang suami dengan manja. Alfa terkekeh mendengarnya."Ya sudah. Kita makan dulu. Makan malam kita yang tertunda," ujar Alfa sembari mengedipkan sebelah matanya."Memangnya siapa yang membuat kita terlambat makan malam?" sindir Nada.Lagi-lagi Alfa terkekeh dan segera menggendong tubuh istrinya menuju ruang ma
Setelah makan siang bersama, Fandi mengajak Nada jalan-jalan ke mall. Fandi ingin memanjakan sang adik dengan barang-barang yang adiknya inginkan. Ia bahkan membelikan paket perawatan wajah dan tubuh untuknya. Sudah lama sekali rasanya ia tak melihat tingkah manja Nada."Ada lagi yang mau kamu beli?" tanya Fandi sambil mengajaknya duduk di salah satu kedai es krim. Fandi memesan es krim untuk dirinya dan adiknya pada salah satu pelayan, lalu pelayan itu pergi."Ini kebanyakan, Kak. Yang aku mau cuma satu gamis, satu jilbab, sama skincare. Ini malah jadi kayak habis borong satu mall!" Nada mencebik.Fandi terkekeh melihat ekspresi adiknya."Sengaja. Sekali-sekali kan gak apa-apa. Sama adik sendiri ini," ujar Fandi sambil tersenyum."Sama istri kapan?" tanya Nada jahil.Fandi memutar bola matanya malas."Karena gak jadi hari ini, ya besok!" celetuknya asal.Nada memukul lengan Fandi."Astaga, Dek! Kamu kok mukul Kakak, sih
Pukul 02.00, Nada terbangun dan tiba-tiba merasa lapar. Dengan perlahan, ia berusaha melepaskan pelukan posesif Alfa. Namun, sang suami sepertinya menyadari gerakannya."Sayang," panggil Alfa dengan suara serak.Nada tersenyum seraya mencium bibir Alfa."Aku lapar. Aku mau ke dapur dulu.""Biar aku saja yang membuatkan makanan untukmu.""Tidak perlu, Aa'. Aku cuma mau makan martabak yang kita beli semalam.""Aku mau nemenin kamu.""Aku tahu kamu capek banget. Kamu tidur lagi aja," ujar Nada sambil mengusap rahang Alfa."Aku gak bisa tidur kalo gak meluk kamu," rajuk Alfa.Nada terkekeh geli. Semakin hari, suaminya semakin manja padanya. Ia pergi ke kamar mandi di tengah malam saja, suaminya juga ikut terbangun dan baru akan tidur kalo ia sudah ada di sampingnya. Sangat posesif, bukan? Siapa yang akan menyangka, dua orang yang selalu merasa asing tinggal seatap kini tak bisa lagi berpisah walau hanya sebentar."Aa', aku cuma
Nada tengah menunggu sendirian sambil membuka akun media sosialnya di ponselnya di depan ruang KIA. Sang suami pergi ke toilet. Tak lama kemudian, giliran Nada yang dipanggil oleh perawat untuk masuk ke ruangan. Sebelumnya, ia sudah diminta perawat untuk cek tekanan darah dan berat badan."Selamat sore, Ibu Nada!" sapa sang dokter ramah."Sore, dokter!" balas Nada sambil tersenyum."Silakan duduk!"Nada pun duduk di hadapan dokter Veronica."Ini kunjungan pertama, ya, Bu?""Iya, dokter.""Hmm, tekanan darah Anda agak rendah, ya. Anda merasa mual atau pusing?""Saya gak mual. Saya cuma sedikit pusing."Alfa masuk setelah dipersilakan oleh perawat di luar."Maaf, ya! Tadi antri di toilet," ujar Alfa pada Nada."Gak apa-apa, kok. Aku juga baru masuk.""Ibu, silakan naik di sini! Kita cek kondisi janin Anda lewat USG," ujar dokter itu. Ia mengambil tangan Nada seraya menuntun Nada berbaring di atas tempa
Seorang pria berketurunan Spanyol sedang mengamati beberapa lembar foto yang dibawa oleh salah satu mata-mata yang ia tugaskan ke Indonesia. Ia tersenyum kecil saat melihat salah satu foto. Foto itu adalah hasil USG terakhir Nadia yang berhasil sang mata-mata minta pada dokter kandungan yang biasa Nadia kunjungi."Aku tak menyangka. Akhirnya aku akan memiliki anak," lirihnya."Kapan Anda kembali ke Indonesia?""Sebentar lagi. Aku sudah persiapkan semuanya. Begitu anak itu lahir, aku akan segera menikahinya.""Tapi, dia masih sering ke kantor Alfa.""Aku tahu. Dia masih saja terobsesi pada pria itu.""Apa kita perlu bertemu dengan Alfa?""Tak perlu. Karena Alfa sudah memiliki istri, dia tentu tak mungkin mengkhianati istrinya. Aku hanya perlu meminta Nadia untuk membuka matanya agar dia melihatku. Dia wanita pertama yang kuambil kesuciannya, juga wanita yang kucintai selama ini. Aku tak akan bertindak pengecut lagi."Carlos bertekad ing