"Nah, Van, itu Arsy ...!"
Evan tetap tidak menoleh ke belakangnya meskipun Sarah, wanita paruh baya itu, sudah mencoba mencuri perhatiannya dengan menyebutkan nama Arsy.
"Siapa, Ma?" Arsy yang baru saja turun langsung mendekati meja makan dan berakhir di sebelah Evan. Dia sedikit tertarik kala mendapati seorang pria tampan sedang duduk di sana, yang sejatinya adalah tempat khusus untuk keluarga inti mereka saja. Apakah dia keluarga jauh mereka? Tapi kenapa sepertinya tidak familiar?
"Tuh, Sy. Kenalin, bodyguard kamu. Ganteng kan?"
Bo-dy-guard?
Kedua bola mata Arsy pun langsung membesar. Ternyata orang tuanya sangat serius perihal mempekerjakan pengawal untuknya. Sekarang, yang bersangkutan bahkan sudah benar-benar ada di depan matanya. Orang tuanya memang gila!
"Papa Mama serius? Astaga. Asli deh ya? Aku 'kan udah bilang nggak mau!" Penolakan Arsy masih tetap terdengar sekalipun orang yang ia maksud ada sana. Suaranya yang berubah ke nada do tinggi sungguh sangat menjatuhkan harga diri Evan. Dia hanya melihat Arsy sekilas dengan tatapan datar dan juga dinginnya.
Satu bagian di wajah gadis itu langsung menarik perhatian Evan. Bibirnya. Bibir Arsy yang tipis membuat Evan mengingat perkataan orang-orang tua jaman dahulu. Perempuan dengan bibir tipis itu katanya biasanya cerewet. Awalnya Evan tidak merasa ada korelasi antara keduanya, namun kali ini pria itu percaya. Buktinya kini jelas-jelas ada di depan mata.
"Arsy! Mama nggak pernah ajarin kamu nggak sopan kayak gini loh ya!" Sarah tidak menyangka puteri pendiamnya itu akan berani menolak Evan dengan terang-terangan. Sarah sangat malu.
"Mama sama Papa yang mulai duluan! Aku udah dua puluh empat tahun, Ma! Bukan anak kecil yang harus dikawal kemana-mana. Kalian merenggut kebebasan aku, tau nggak?" Mood Arsy langsung hilang. Lagi-lagi pembicaraan tentang bodyguard itu menguras emosinya sampai ke ubun-ubun. Tubuhnya refleks berbalik dan berlari meninggalkan kedua orang tuanya dan pria berwajah dingin itu.
"Arsy! Mau kemana kamu?" Demian yang sejak tadi diam, kini mengeluarkan suara menggelegarnya. Ini adalah kali kedua Arsy meninggalkan pembicaraan dengan cara yang tidak sopan. Tidak bisa dibiarkan. Suara tingginya itu pun berhasil membuat langkah Arsy terhenti.
"Apaan sih ribut-ribut?" Arsen pun turun dari lantai dua karena mendengar suara ayahnya yang cukup keras. Arsen turun sudah dengan mengenakan setelan kantornya.
"Ini loh, soal pengawal adik kamu yang mama bilang kemarin. Dia nggak mau." Sarah langsung mengadu.
"Hei, Bro. Gue Arsen ..." Arsen langsung memperkenalkan dirinya kepada seseorang yang baru pertama kali dia lihat di rumah ini. Mungkin pengawal yang disebut mamanya tadi adalah dia, batin Arsen.
"Evan, Mas." Evan menjawab dengan sopan. Dia sebenarnya bisa menebak usia Arsen yang masih lebih muda darinya. Namun dia tetap bersikap sopan karena Arsen pun sudah terlebih dulu menyapanya dengan cara yang akrab. Sangat jauh berbeda dengan adiknya.
Arsen melirik ke arah Arsy yang berhenti tidak jauh dari meja, sudah dengan wajah yang tidak enak dipandang. Laki-laki itu pun langsung merasa iba melihat adiknya. "Ya sudah, jangan dipaksa, Ma. Kasihan kalau nggak nyaman. Mas Evan juga takut nggak betah nanti," ujar Arsen memberi saran. Dia mengambil posisi duduk di sebelah Evan.
"Kamu harusnya bisa lebih sopan, Sy! Nggak begitu caranya...." kini suara Demian sudah merendah. Dia melihat wajah Arsy yang sedang memerah menahan tangis. Sebenarnya, jarang sekali puterinya itu berani meluapkan perasaannya. Demian menjadi sedikit merasa bersalah.
Arsy masih hanya diam di posisinya. Dia terlihat mulai sesenggukan. Membuat Sarah jadi merasa iba. Jika Arsy yang pendiam itu sudah mulai menangis, itu artinya dia sedang tidak nyaman dengan apa yang sedang dia rasakan. Sarah cepat-cepat menghampiri anak gadisnya itu untuk meminta maaf.
"Ya sudah, nggak jadi pakai bodyguard. Maafin Mama sama Papa ya, Nak." Sarah langsung menarik semua keputusannya begitu saja. Mungkin untuk saat ini, mempekerjakan seorang pengawal demi menjaga keamanan Arsy, bukanlah cara yang tepat. Mereka akan memikirkannya lagi nanti. Sarah memeluk Arsy yang saat itu lebih memilih untuk diam.
Evan sama sekali tidak tertarik atas drama keluarga orang kaya yang sedang berlangsung di hadapannya. Dia hanya diam tanpa berniat melihat ke arah sepasang ibu dan anak yang sedang berpelukan itu. Huh! Ini hanya akan membuang-buang waktunya. Jika memang rencana ini batal, seharusnya dia masih sempat kabur ke kantor untuk menarik kembali surat resign yang sudah terlanjur dia buat kemarin sore, sebelum terlanjur di-input oleh HRD.
"Tapi Evan sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Sy. Setidaknya biar dia antar kamu hari ini, biar gajinya tetap masuk. Kasihan, sudah terlanjur resign demi kamu." Demian menengahi lagi interaksi Arsy dan istrinya. Dia yakin Sarah hampir melupakan Evan yang sudah duduk di sana sejak tadi, sehingga dia dengan mudahnya membatalkan kontrak dengan anak muda itu.
Pada akhirnya Arsy menuruti kemauan ayahnya. Dia akan diantar Evan pagi ini.
"Sebelumnya kerja di mana Mas?" Saat mereka sedang sarapan, Arsen sebisa mungkin membuat suasana tetap hangat. Dia membuka obrolan dengan Evan yang sesekali ditimbrungi oleh Demian. Sedangkan Arsy dan Sarah, mereka pasti sedang merasa kikuk sekarang.
"Di BPR Bramudya Sentosa, Mas."
"Panggil nama aja, Mas. Kayaknya aku umurnya masih di bawah Mas Evan. Oh, BPR Bramudya. Gede loh itu, Mas."
"Biasa aja, Mas. Mas Arsen sendiri kerja di mana?"
"Saya kuli, Mas. Kuli gambar alias arsitek," jawab Arsen sedikit bercanda.
"Kamu nggak mau kerja di tempat saya, Van?" Kini Demian yang berbicara sambil menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Lah, ini kan lagi, Pak," Evan menyahut dengan nada sedikit bercanda. Benar kan? Dia juga sedang bekerja untuk Demian kan sekarang??
"Maksud saya besok, 'kan Arsy udah nggak mau," lanjut Demian.
"Iya, Van. Kebetulan kita lagi butuh orang legal. Kemarin terakhir kamu legal manager ya? Bisa lah diatur nanti ..." Sarah tak kalah antusias.
"Wuihh, Mas. Udah level manager? Nah Sy, udah bela-belain resign loh dek. Sayang tau." Arsen kini berpaling pada Arsy yang hanya diam. Evan sendiri mengabaikan perkataan Arsen. Justru dia senang jika kontraknya batal saja.
"Terima kasih, Pak, Bu ... nanti akan saya pertimbangkan," jawab Evan dengan sopan, walaupun sebenarnya dia sama sekali tidak berniat melakukan apa yang barusan dia ucapkan.
Setelah itu pembicaraan mereka bergulir lagi sampai Arsy selesai makan. Evan yang sudah selesai duluan sebenarnya sangat tidak sabaran menunggu gadis kecil itu. Dia tidak suka segala sesuatu yang dilakukan dengan sangat lambat, apalagi posisinya ada yang sedang menunggumu. Sepertinya besok dia harus memastikan tidak akan kembali ke rumah ini lagi.
*****
Sekarang Arsy dan Evan sudah berada di dalam mobil yang sedang menuju ke kampus tempat Arsy menempuh kuliah pascasarjana, alias S2. Sejak keduanya meninggalkan rumah, mereka belum berbicara sedikitpun, kecuali saat Evan bertanya nama kampus gadis mungil itu. Mungkin mereka masih sama-sama kesal dengan situasi yang terjadi pagi ini, jadi keduanya memilih untuk diam dari pada melakukan basa-basi yang tidak penting.
Hampir setengah jam membelah jalan dan menyatu di kemacetan, akhirnya mereka pun tiba. Arsy ingin cepat-cepat turun, namun ternyata Evan mengunci pintu dari kendali yang ada di sebelahnya.
"Biar saya yang bukakan, Nona." Evan akhirnya bersuara sambil melepas seat belt-nya. Membuka pintu, keluar dan memutari mobil. Menuju pintu belakang yang ada di sebelah kiri. Saat dia membuka pintu, Arsy pun mengomel lagi.
"Ini berlebihan. Pastikan besok jangan ke rumah lagi."
Rasa kesal gadis itu masih belum usai, kini sudah ditambah dengan aksi membukakan pintu oleh Evan. Sungguh memalukan. Dia pasti akan menjadi pusat perhatian sekarang.
Benar juga. Saat gadis itu turun, mahasiswa pascasarjana yang sedang berkeliaran di dekat lahan parkiran sedang memandang ke arahnya. Sepertinya mereka belum pernah melihat mobil mewah itu parkir di sana. Biasanya hanya mengantar Arsy, lalu pergi lagi. Dan siapa gerangan pria tampan yang membukakan pintu untuk wanita itu? Mereka sibuk bertanya-tanya.
Evan mengunci pintu dengan menekan remote control. Setelahnya dia mengikuti Arsy dari belakang.
Merasa diikuti oleh Evan, Arsy berhenti. Lalu berbalik dengan cepat. Lagi-lagi tatapannya tidak bisa dikatakan ramah. Dia seakan ingin menerkam Evan.
"Tunggu di kantin atau di mobil saja bisa?" katanya. Bukan bertanya, lebih ke memerintah. Tapi Evan bergeming. Dia membalas tatapan Arsy dengan datar.
"Saya hanya mengikuti perintah Bapak dan Ibu, Nona," balas pria itu pelan namun tegas.
"Ini nggak lucu. Aku nggak bisa belajar kalau kamu ada di dalam."
"Maaf, Nona. Jam kelas anda tinggal lima menit lagi." Evan pura-pura melihat jam tangannya.
Malas meladeni Evan, Arsy berbalik lagi, melangkah cepat menuju ruang kelasnya. Mengabaikan Evan yang juga ikut masuk ke dalam ruang belajarnya. Hah!
Kedatangan Arsy dan Evan langsung membuat efek dengungan di dalam kelas. Seperti ada sekelompok lebah yang sedang berkumpul dan mengoceh satu sama lain. Dengungan semakin keras kala Evan, yang awalnya mereka kira adalah seorang dosen itu, ternyata duduk di kursi yang ada di belakang Arsy.
"Sy, pacar lo?" tanya seorang pria yang tidak mengenal sebuah basa-basi kepada Arsy.
Arsy diam saja sambil membuka tasnya. Dia mengabaikan Evan yang duduk persis di belakangnya.
"Diam-diam lo udah punya pacar ternyata, pantas gue digantung mulu, heuu ..." pria itu masih lanjut menggoda Arsy yang masih terlihat kesal.
"Sstt, diam deh, Gas. Jangan menebar gosip yang enggak-enggak." Arsy membalas dengan ketus. Si Bagas ini laki-laki ember. Bisa-bisa setelah ini ada gosip tentang dia yang sudah punya pacar. Padahal boro-boro punya pacar, pedekate-an pun tidak punya.
Arsy biasanya masih mau berinteraksi dengan teman-temannya di dalam kelas. Seperti membalikkan tubuhnya menghadap ke belakang jika memang ingin mengobrol dengan teman yang ada di belakangnya. Tapi setelah dia tau ada bodyguard-nya di sana, dia hanya mengobrol seadanya dengan teman di kiri, kanan dan depannya saja.
Derap langkah kaki terdengar dari luar. Sepatu hak tinggi sedang beradu dengan lantai keramik yang sedikit licin. Mahasiswa di dalam kelas langsung memperbaiki posisi duduk mereka, termasuk Arsy.
Seorang wanita cantik kemudian masuk ke dalam ruangan kelas. Tubuhnya tinggi semampai. Dia memakai setelan mengajar yang rapi dan sopan. Dandanan wajah dan rambutnya juga sangat enak dipandang mata. Kakinya yang jenjang ditutupi rok span hingga ke bawah lutut. Di bawah sana kaki indahnya dipakaikan high heels dengan perkiraan tinggi hingga tujuh senti. Penampilannya sangat sempurna, membuat seluruh mahasiswi di kelas itu menjadi minder.
Bisik-bisik pun terdengar lagi. Perasaan, banyak sekali orang baru hari ini, pikir mereka.
"Selamat pagi. Perkenalkan, saya Wilda Arianti. Dosen pengganti sementara untuk mata kuliah ibu Retno. Hari ini ibu Retno harus berangkat ke Singapura untuk menjalani pengobatan sampai satu bulan ke depan. Saya minta kerja sama kita semua yang ada di_"
Kalimat Wilda terhenti. Matanya baru saja tertumpu pada satu orang mahasiswa yang sepertinya dia kenal. Ralat. Dia memang sangat mengenalnya. Tapi, kenapa dia bisa ada di kelas pascasarjana ini?
"Evan? Is that you?" tanyanya spontan, seperti tidak menyadari jika dia sedang berada di depan ruangan kelas.
*****
"Evan, is that you?" Bola mata Wilda membulat menandakan dia sangat terkejut mendapati Evan duduk di hadapannya. Lebih tepatnya, di kursi para mahasiswa barunya. Evan, teman lama yang pernah menjalin kasih dengannya, selama masih duduk di bangku kuliah. Mengapa dia ada di sana? Apa Evan melanjutkan sekolah mengambil pascasarjana lagi? Pikirnya di dalam hati. Wilda sampai tidak menyadari orang-orang sedang menatapnya bingung. Mungkin Arsy juga, karena nama yang disebutkan Wilda itu adalah mama pria yang sekarang duduk di kursi belakangnya, alias pria yang baru saja direkrut ayahnya menjadi ajudan pribadinya. Sedangkan yang dipanggil hanya tersenyum kecil. Dia juga sebenarnya terkejut. Bertemu Wilda lagi di sebuah tempat yang tidak terpikirkan adalah hal yang langka. Namun dia mencoba untuk tidak terlalu mencolok. Dengangesturetangannya, dia mempersilakan Wilda untuk melanjutkan perkenalan dirinya. Suasana ruangan itu sedikitawkwardsetel
Arsy baru selesai berurusan dengan dosen pembimbingnya selang satu setengah jam kemudian. Wajahnya sedikit kusut lantaran dosennya yang bergelar doktor itu menyuruh dia untuk mencari literatur tambahan lagi supaya thesisnya lebih ‘berisi'. Padahal Arsy sudah mengumpulkan hampir lima puluh referensi yang mencakup buku teori, jurnal, hasil penelitian dan wawancara dengan narasumber langsung. Sebagaimana syarat untuk thesis pascasarjana yang mewajibkan minimal punya empat puluh referensi, seharusnya pak Wira sudah cukup tau jika Arsy bahkan sudah berusaha lebih dengan melampirkan lima puluh lebih referensi. Tere masih menunggunya di depan ruangan seperti tadi. Melihat wajah kusut Arsy, gadis itu langsung tau jika sesi bimbingan sahabatnya itu tidak berjalan dengan baik. "Kenapa muka kamu kusut begitu? Pak Wira kasih tugas aneh-aneh lagi ya?" Arsy menjatuhkan bokongnya di sebelah Tere. Meletakkan tas dan map-nya begitu saja di atas meja yang ada di hadapa
Kali ini Arsy tidak meninggalkan Wilda sendirian di belakang. Dia, Tere dan dosennya itu berjalan berdampingan, berderet tiga seperti anak SD yang sedang berjalan menuju kantin. Sementara Evan berjalan di belakang mereka. Mengawasi Arsy dan sesekali melihat buku yang ada di dekatnya. "Aku saranin kamu ambil yang ini, deh. Pak Wira pernah bilang buku ini bagus. Saya juga pernah disarankan beli buku ini oleh beliau." Wilda menyodorkan satu buku yang baru saja dia ambil dari rak. Dia mencoba membuat Arsy terkesan. Semakin baik hubungannya dengan Arsy, semakin besar pula kesempatan dia bisa selalu bertemu dengan Evan. "Oh ya? Terima kasih, Bu. Saya akan beli ini kalau begitu." Arsy menerima saran Wilda dengan antusias. Wilda adalah seorang dosen dan sudah pasti dia lebih tau selera sesama dosen seperti pak Wira bukan? Seketika dia merasa bersyukur Wilda ikut dengan mereka sekarang. "Sama-sama. Kamu mau mencari apa lagi? Tere juga mau cari buku?" "Oh, engg
Arsy melenggang dengan sangat percaya diri saat turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Seharusnya hari ini dia sudah berangkat hanya dengan supir pribadinya bukan? Kemarin dia sudah sepakat dengan ayahnya kalau Evan hanya bertugas satu hari saja. Lagian, andai ayahnya tau betapa tidak profesionalnya Evan kemarin, sudah pasti ayahnya menyesal mempekerjakan pria itu. Namun baru saja dia menapakkan kakinya di anak tangga terakhir, sayup-sayup dia mendengar suara yang begitu mirip dengan suara laki-laki yang barusan ada si pikirannya. Si Evan itu. Tepatnya dari ruang makan, dimana dia juga mendengar suara ayah, ibu dan juga abangnya, Arsen. Dia tidak salah dengar 'kan? "Eh, Sy?" Ibunya, Sarah, sepertinya tidak sengaja melihat dia yang tadinya berniat ingin kabur. "Kamu udah beres? Sini?" Wanita itu memanggil. Benar saja, Arsy langsung mendapati pria yang dia harapkan tidak akan pernah dia temui lagi, sedang ada di sana. Duduk pers
Justru semua orang sedang memikirkan posisi anda, Nona!" Evan mengabaikan rasa sakit dan panas yang kini dia rasakan di pipi kirinya. Begitu pun dengan egonya yang kembali tersentil. Berani sekali anak kecil ini menamparnya??Lupakan egonya. Evan sebenarnya cukup terkejut melihat air mata yang menggenang di wajah Arsy. Mata gadis itu memerah, sama seperti hidungnya. Bibirnya bergetar saat membentak Evan barusan. Sejujurnya ada sedikit rasa iba yang muncul dalam diri pria berusia tiga puluh dua itu. Apa yang membuatnya sampai se-marah ini? Tanya Evan dalam hati."Bagian mananya?! Kalian pikir, mau ditaruh di mana muka aku sekarang?! Semua dosen dan teman-teman sekelasku sudah tau kalau aku hanya anak kecil yang sampai kapan pun nggak akan pernah dianggap dewasa sama orang tua aku!! Aku seakan-akan nggak bisa jaga diri sampai harus dikasih pengawal padahal umur aku udah dua puluh empat tahun. Aku malu! Kalian tau nggak??"Arsy marah besar. Sayangnya dia melampiask
Setelah kejadian yang menimpa Arsy tadi sampai di telinga Demian, semakin yakin lah pria paruh baya itu bahwa memang selama ini ada yang berusaha ingin menyelakai putrinya. Siapa lagi kalau bukan musuh bisnisnya?"Ini pasti ulah Benjamin." Demian mengepalkan kedua tangannya yang bertopang di siku di atas meja makan."Pa, jangan sembarangan ... kenapa Papa bisa menuduh Benjamin yang melakukannya?" Sarah, istrinya, mencoba menenangkan."Memangnya siapa lagi yang sedang bersaing dengan kita untuk tender Prima Rasa? Hanya perusahaan Benjamin." Demian menyebutkan salah satu program tender yang sedang mereka ikuti, yaitu tender pembangunan 50 depot rumah makan khas Sunda bernama Prima Rasa, yang akan dibangun di seluruh Nusantara. Itu adalah proyek terbesar di tahun ini. Puluhan perusahaan kontraktor ikut ambil bagian untuk memenangkan tender. Namun Demian lebih fokus pada Benjamin saja.Sarah mendesah. Dia memang tau Benjamin sangat berambisi untuk memen
Tanpa Gunawan dan Martini sadari, Evan mendengar pembicaraan mereka. Bahkan kalimat-kalimat berikutnya yang terucap dari mulut wanita yang sudah melahirkan Evan itu.Kecelakaan. Balas budi. Perjodohan. Tiga kata kunci yang dirangkai pria berkepala tiga tersebut menjadi sebuah fakta mengejutkan yang baru saja dia ketahui. Apa-apaan ini? Jadi sebenarnya tentang bodyguard ini adalah salah satu cara orang tua dan majikannya untuk membuat dia dan Arsy saling jatuh cinta? What?! Licik sekali??Jadi kecelakaan yang menimpa ibunya, Martini, beberapa tahun yang silam bukan hanya sebuah kecelakaan biasa seperti sebagaimana Evan ketahui selama ini. Ternyata itu adalah aksi heroik yang dilakukan ibunya demi menghindarkan Demian dan Sarah dari kecelakaan di sebuah lokasi proyek. What the ...Evan sungguh tidak habis pikir. Ternyata selama ini kedua orang tuanya tidak pernah jujur tentang peristiwa yang menimpa ibunya, yang mengakibatkan kaki wanita itu patah dan sempat
Sore itu juga mereka sekeluarga langsung berangkat ke Purwakarta, salah satu kota kecil di Jawa Barat yang terkenal dengan kulinernya yang khas, yaitu Sate Maranggi. Setidaknya, mereka akan membutuhkan waktu tempuh sekitar tiga jam jika melewati jalur tol. Arsy hampir tidak percaya karena ketiga orang terpenting dalam hidupnya itu benar-benar mengabulkan permintaannya. Senyum setengah tertawa menghiasai wajahnya lantaran kesenangan. Sepanjang berganti pakaian dia tidak berhenti bersenandung seperti anak kecil.“Sy?” Tiba-tiba Sarah membuka pintu kamarnya dan tubuh wanita itu masuk sebagian melalui pintu.“Iya, Ma?” Dia berbalik melihat ke arah ibunya.“Kamu butuh Evan nggak? Kalau butuh, biar mama minta dia ikut dengan kita.”“Nggak usah, Ma. Kan bukan jam kerja dia lagi.”“Beneran?”“Hm-m …” Arsy mengangguk. Dia tidak sadar kalau ibunya sedang berbicara den
Demian dan Sarah sudah menunggu Evan dan juga puteri mereka Arsy, di ruangan kantor Demian yang super lux. Kedua orang tua paruh baya itu sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi di kampus tadi. Ada dua hal yang menjadi topik hangat dalam berita tadi : ciuman dan pertunangan. Entah kenapa hal tersebut bisa mencuat ke media. Suara-suara langkah kaki terdengar dari luar. Dalam hitungan detik, pintu yang terbuat dari bahan kayu jati itu terdorong ke dalam dan Evan yang pertama kali muncul. "Masuk, Van." Demian mempersilakan. Di belakang laki-laki itu, muncul Arsy yang sepertinya tidak dalam kondisi baik-baik saja. Sarah mengulurkan tangan kanannya dan Arsy langsung menggapainya. Gadis kecil itu langsung duduk di sebelah kanan Sarah dan langsung memeluk sang ibu. Siapa pun sudah bisa menebak, dia pasti tertekan dengan berita ini. "Gimana ceritanya, Van? Apa yang terjadi?" Demian memberi waktu untuk Evan bercerita. "Ehm. Ini se
Kejadian di kampus tersebut rupanya langsung sampai ke telinga Demian yang sedang berada di kantor. Dia dan Sarah sedang mengawasi rapat pemegang saham saat kabar tentang pertunangan Arsy dan Evan menjadi trending topik di kampus sang puteri. Demian dan Sarah terpaksa keluar dari ruangan karena ajudan mereka menunjukkan sejumlah foto yang kini beredar di website kampus. Foto yang membuat Sarah seketika terkena migrain. "Bagaimana bisa ada foto ini? Siapa yang mengambil?" tanya wanita itu tidak percaya. Lebih ke bingung kenapa ada foto Evan dan Arsy sedang berciuman di dalam ruangan. Kalau dilihat dari pakaian Arsy, jelas-jelas itu sepertinya saat sang puteri sedang sidang thesis. "Ini foto lama. Kira-kira satu bulan yang lalu. Siapa yang sudah iseng mengambil foto ini?" Wanita itu tidak habis pikir. Dia sama sekali tidak keberatan karena Evan mencium Arsy. Lebih ke khawatir karena foto itu telah beredar dan sekarang sedang menjadi konsumsi publik. Apalagi per
Bukan hanya Wilda yang syok mendengar ucapan Evan barusan, melainkan wanita yang dia akui sebagai tunangan, yaitu Arsy. Bukankah mereka sudah sepakat untuk merahasiakan hal ini dulu, apalagi di kampus?Kaki Arsy refleks bergerak ke arah Evan dan menarik pergelangan tangan laki-laki itu. Dia khawatir Wilda akan melemparkan pertanyaan lagi untuk memperjelas maksud Evan. Lagian sekarang mereka sudah menjadi pusat perhatian. Arsy sama sekali tidak nyaman.Evan merasakan sentuhan tangan Arsy di kulitnya. Biasanya itu selalu berhasil membuat dirinya merasa nyaman. Namun tidak untuk sekarang. Rasa kesal yang menguasai hatinya masih tinggi. Apalagi Wilda seperti tidak percaya atas fakta yang barusan dia deklarasikan. Oh, mungkin bukan tidak percaya. Tidak terima lebih tepatnya."Tunangan? Cihhhhh," ejek wanita itu dengan gaya yang memuakkan. "Arsy itu anak konglomerat. Mimpi aja dia mau sama kamu yang bukan siapa-siapa, Van. Lagian ya kali keluarga Wijaya nggak bi
Sesuai kesepakatan kedua pihak keluarga, untuk saat ini pertunangan Evan dan Arsy masih menjadi hal yang dirahasiakan. Alasannya karena Arsy masih akan wisuda dan alangkah tidak baik jika kabar pertunangan mereka akan menambah kericuhan suasana kampus menjelang hari H. Arsy menurut saja karena baginya itu cukup masuk akal. Namun tidak bagi Evan. Semenjak dia diperkerjakan menjadi bodyguard Arsy dulu, laki-laki itu sudah sangat tahu bahwa Demian menyembunyikan sesuatu yang sangat penting terkait keselamatan puteri bungsunya. Maka dari itu, Evan memilih untuk mengikuti apa yang disarankan oleh orang tua mereka saja. Hal itu pulalah yang menyebabkan Evan tidak bisa terlalu menunjukkan kedekatannya dengan Arsy sekarang. Dia harus banyak-banyak mengelus dada saat dia melihat Bagas sering mendekati calon istrinya. Terkadang dia sudah sengaja berdiri begitu dekat dengan wanita, namun tidak kunjung membuat Bagas peka dan sadar diri. Benar-benar minta ditampol, rutuk Evan di dalam ha
Arsy memandangi cincin berlian yang kini melingkari jari manisnya. Sudah satu hari berlalu sejak dia dan Evan resmi bertunangan. Perasaannya yang masih bercampur aduk didominasi oleh rasa tidak percaya bahwa kini dia sudah terikat dengan seorang lawan jenis yang sempat mengabdi sebagai bodyguard-nya. Walaupun masih hanya bertunangan, bagi Arsy ini sudah jelas sangat mengikat dan sangat sakral. Dia sepenuhnya milik Evan dan begitu juga sebaliknya. Arsy sempat bagai kehilangan arah. Bertunangan adalah salah satu fase hidup yang belum pernah dia masukkan ke dalam list target yang ingin dia capai dalam waktu dekat. Dulu, dia berencana akan bekerja setelah wisuda S2-nya. Sekarang dia tiba-tiba berada di sebuah situasi dimana bekerja bukanlah sebuah kewajiban. Karena itu lah yang diucapkan Evan kemarin. Setelah ini, mereka akan mempersiapkan pernikahan dan setelah itu Arsy akan menjadi ibu rumah tangga yang hanya menghabiskan waktu di rumah. Evan memang belum mengutarakan
Evan akhirnya sepakat untuk menunda keinginannya menerima tawaran Demian. Baginya permintaan Arsy adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan baik mengingat gadis itu adalah calon istri Evan. Di samping itu, keinginan Arsy juga bagaikan angin segar untuk Evan yang masih mempertanyakan perasaan wanita itu kepadanya. Jika Evan tidak salah menangkap maksud sang kekasih, Arsy ingin mereka selalu bersama dan berdampingan dalam mengurus segala kebutuhan pertunangan keduanya. Bagi Evan, ini adalah sebuah kemajuan di dalam hubungan mereka. Dua minggu berlalu dengan cepat. Tiba-tiba saja hari H sudah tiba di depan mata. Acara pertunangan yang dilaksanakan secara privat di sebuah hotel itu sebentar lagi akan dimulai. Tamu yang diundang tidak banyak, hanya beberapa kerabat dekat dari keluarga Wijaya dan Gunawan. Teman-teman Evan darn Arsy pun belum diundang mengingat ini masih sebatas acara pertunangan saja. Arsy tidak bisa menutupi kegugupan yang mulai menyelimuti dirinya
Di sebuah ruangan yang cukup besar, yang merupakan bagian dari sebuah perkantoran elit yang sama-sama bergerak di bidang konstruksi. Seorang pria kisaran umur hampir menyentuh angka empat puluh, sedang menghirup tembakau kesukaannya dengan alat elektrik yang sedang hits di jaman sekarang. Senyumnya terlihat melengkung ketika dia menjepit alat tipis itu di belahan bibirnya. Ada satu hal yang membuat perasaannya bahagia pagi ini. Yaitu rasa menang karena sudah berhasil mengintimidasi seseorang yang selama ini menjadi pesaing bisnisnya. Demian Akira Wijaya. Pria itu adalah Benjamin. Pengusaha muda yang tidak terlalu terkenal di dunia bisnis namun punya power yang cukup kuat karena dia adalah putera dari seorang mafia proyek bernama Chan Li. Benjamin mendirikan perusahaan konstruksi hanya sebagai tameng. Kenyataanya, dia tidak memiliki orang-orang yang kredibel di bidangnya. Dia hidup dan makan dari hasil menindas pengusaha yang sedang menangani proyek besar seperti Demian.
Keputusan Demian sebenarnya sedikit mempengaruhi mood Arsen sepanjang sisa hari. Apalagi saat harus menyampaikan kabar kurang mengenakkan tersebut kepada seluruh timnya. Memang, tidak ada yang protes. Bahkan untuk mengajukan pertanyaan tentang alasan lebih jelasnya pun tidak ada yang berani. Jika itu sudah keputusan Demian, mereka memilih untuk menurut saja. Arsen sendiri sudah terlihat tidak bergairah. Itu artinya bos mereka itupun sudah terlebih dahulu mempertanyakan hal ini kepada sang ayah. Mereka tidak perlu ikut-ikutan bersikap seakan-akan lebih kecewa dan memperkeruh suasana. “Om ada benarnya, Baby. Seorang ayah pasti tau kapasitas anaknya. Jangan terlalu dimasukkan ke hati.” Selomitha, kekasih Arsen, sengaja datang ke kantor setelah mendapat panggilan dari pria itu. Arsen memintanya untuk datang menghiburnya. Setelah mendengar cerita Arsen, Mitha berusaha untuk melihat ini dari sudut pandang Demian, calon ayah mertuanya. Memang terkesan jahat di pihak Arsen,
“Mas beneran nggak jumpain ibu Wilda ‘kan tadi?”“Beneran dong. Kamu mau tanya apa aja tentang seminar kamu tadi, aku bisa jawab. Di menit ke berapa kamu menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, aku ingat. Menit ke tiga. Kamu masuk ke bagian kesimpulan di menit sembilan. Kamu selesai presentasi hanya dalam sebelas menit. Kemudian kamu sempat tersedak saat mengambil jeda untuk minum air mineral. By the way kamu tersedak karena apa? Gugup atau? Dan aku masih ingat pertanyaan dosen penguji yang bikin kamu sempat terdiam hampir tiga puluh detik. Aku menebak kamu sedang mencari jawabannya di kertas intisari yang kamu baca. Benar ‘kan? Dan yang nggak kalah penting, ka_”“Cukup-cukup!” Arsy memanjangkan tangan kanannya dan membekap mulut Evan yang sedang mengemudi. “Oke, oke, aku percaya sama Mas Evan,” lanjutnya sambil tersenyum. Sebenarnya Arsy juga tau Evan tidak meninggalkannya sedetikpun tadi. Siluet pri