Arsy baru selesai berurusan dengan dosen pembimbingnya selang satu setengah jam kemudian. Wajahnya sedikit kusut lantaran dosennya yang bergelar doktor itu menyuruh dia untuk mencari literatur tambahan lagi supaya thesisnya lebih ‘berisi'. Padahal Arsy sudah mengumpulkan hampir lima puluh referensi yang mencakup buku teori, jurnal, hasil penelitian dan wawancara dengan narasumber langsung.
Sebagaimana syarat untuk thesis pascasarjana yang mewajibkan minimal punya empat puluh referensi, seharusnya pak Wira sudah cukup tau jika Arsy bahkan sudah berusaha lebih dengan melampirkan lima puluh lebih referensi.
Tere masih menunggunya di depan ruangan seperti tadi. Melihat wajah kusut Arsy, gadis itu langsung tau jika sesi bimbingan sahabatnya itu tidak berjalan dengan baik.
"Kenapa muka kamu kusut begitu? Pak Wira kasih tugas aneh-aneh lagi ya?"
Arsy menjatuhkan bokongnya di sebelah Tere. Meletakkan tas dan map-nya begitu saja di atas meja yang ada di hadapan mereka.
"Masak aku harus nambah literatur lagi, Ter? Kurang banyak apa coba? Huft."
"Kok bisa? Bukannya kemarin pak Wira bilang sudah cukup ya?"
Arsy menggeleng lemah. "Entah lah, Ter. Mau cari buku apa lagi coba? Perasaan semua buku tentang bisnis mikro yang ada di toko buku udah aku borong."
Tere jadi ikut prihatin. Arsy adalah sahabat satu angkatannya dan teman seperjuangannya untuk dosen pembimbing yang satu ini. Gadis itu sangat tahu betul, pak Wira memang sering tidak konsisten dengan ucapannya, karena dia juga pernah mengalaminya sebelum ini.
"Mau aku temani cari bukunya?"
"Kamu mau? Kamu kosong nggak hari ini?"
"Mumpung hari ini aku kerjanya shift sore, ayo aja. Tapi aku nebeng ya? Kepo sama bodyguard-mu itu, hihi!" jawab Tere jujur. Dia memang sedikit kepo dengan laki-laki tampan yang menjadi topik hangat di fakultas mereka sejak tadi pagi.
"Astaga, Ter! Aku sampai lupa! Ayo ayo! Kasihan dia nungguin lama!"
Arsy benar-benar melupakan sebuah fakta bahwa sekarang dia tidak sendirian lagi di kampus. Ada Evan yang ditugaskan untuk mengikutinya dan gadis itu benar-benar lupa hal tersebut lantaran terlalu lama berkutat dengan pak Wira. Sempat-sempatnya dia duduk di sofa seperti sekarang!
Arsy menyambar semua barang-barangnya lagi dan beranjak dari sisi Tere. Langkah cepatnya hampir tidak bisa diimbangi temannya itu lantaran dia terlalu tergesa-gesa.
Ternyata Evan masih menunggunya di tempat yang tadi. Tepatnya di kursi taman yang ada di bawah pohon. Laki-laki itu pun masih bersama dosen pengganti bu Retno yang tadi, Wilda.
Saat melihat kedatangan Arsy, Evan tiba-tiba berdiri. Wilda pun tehenyak, melihat ke arah Evan memandang. Gadis itu lagi? Tanyanya dalam benak. Setelah satu setengah jam berbincang dengan Evan, Wilda sama sekali tidak menemukan clue tentang siapa gadis itu. Evan hanya mengatakan kalau kehadirannya di kelas tadi merupakan bagian dari sebuah pekerjaan.
Melihat ada Wilda, Arsy jadi serba salah. Mengajak Evan pergi atau tidak. Jelas sekali mereka sedang mengobrol. Arsy sungkan menginterupsi mereka. Walaupun Evan sudah berdiri sebagaimana harusnya, gadis itu tetap merasa tidak enak. Ingat kan, wanita yang sedang menatap aneh padanya itu adalah dosennya? Tentu saja Arsy tidak mau cari masalah.
"Selamat pagi, Bu ..." Arsy menyapa Wilda duluan dengan ramah.
"Selamat pagi. Kamu mahasiswi yang di kelas tadi ya? Kenalkan, Wilda ..." Wanita itu mengulurkan tangannya ke hadapan Arsy. Well, kalau Evan dan Arsy punya hubungan, ada baiknya dia menjalin pertemanan dengan Arsy juga kan?
"Arsy, Bu." Arsy membalas uluran tangan dosennya itu. Tidak lupa dia tersenyum dengan ramah. Entah apa pun hubungan Wilda dengan Evan, dia memilih untuk tidak ikut campur.
"Barusan dari pak Wira?"
"Iya, Bu. Kok Bu Wilda tau?" tanya Arsy dengan wajah berseri. Apakah dosen cantik ini memperhatikannya tadi?
"Saya pernah lihat kamu di ruangan beliau."
"Oh ... begitu ya Bu?" Lagi, Arsy tersenyum. "Iya, Bu. Lumayan lama bimbingannya."
"Memangnya sudah bab berapa?" Wilda lanjut bertanya. Seakan ingin menunjukkan kepada Evan kalau dia bisa berteman dengan Arsy.
"Sudah pembahasan, Bu. Tapi disuruh tambah literarur sama pak Wira."
"Oh ya? Kamu sudah tau mau beli buku apa lagi?"
Arsy menggeleng. "Ini rencana mau cari buku lagi, Bu."
"Oh? Ke mana? Saya bisa ikut nggak? Sekalian mau cari buku juga. Nanti saya juga bisa bantu carikan buku yang pas untuk thesis kamu."
"Boleh, Bu!" Tanpa berpikir panjang, Arsy langsung menerima tawaran Wilda. Tidak ada ruginya kan?
"Ini, teman kamu?"
"Astaga!!" Arsy langsung tersadar jika masih ada Tere di belakangnya. Dia terlalu asyik dengan Wilda. "Sori sori Ter, aku sampai lupa! Kenalin, Bu, ini Tere, teman saya." Arsy pun menyebutkan nama Tere di hadapan Wilda.
Tere dengan gampang bersalaman dengan Wilda. Tapi saat dia menjulurkan tangan ke arah Evan, pria itu bergeming. Memangnya dia wajib mengenal teman majikannya? Pikir Evan.
"Mas ...?" panggil Arsy tiba-tiba. Alhasil kata itu berdengung di dalam gendang telinga Evan. Mas. Mas. MAS?! Kenapa tiba-tiba gadis itu menyematkan panggilan itu kepadanya?
"Kenalin, ini temen aku, Tere." Arsy memberi kode pada Evan agar menyambut uluran tangan Tere yang kini mengambang di udara.
"Evan." Oke, mau tidak mau dia berkenalan dengan orang baru lagi. Cukup mengejutkan, hari ini dia dikelilingi tiga perempuan di hari pertamanya bekerja.
"Ya sudah. Mas, kita ke Gr*media ya? Yang di Jalan Aceh. Tau kan?"
Evan menaikkan satu alisnya. Kemana sikap bengis gadis itu? Kenapa sekarang mendadak sopan dan lembut seperti ini? Apa maksudnya?
Seakan mengerti arti ekspresi Evan, Arsy pun menaikkan satu alisnya, seperti memberi kode kalau 'kita harus main cantik di depan mereka'. Kan nggak lucu kalau Wilda tau kalau Arsy tidak menyukai Evan?
"Baik, Nona. Kita berangkat sekarang?" tanya pria itu kemudian.
"Iya. Sekarang." Maksudmu kapan lagi? Kesal Arsy dalam hati.
Evan pun membuat gesture mempersilakan Arsy berjalan duluan di depannya. Hal itu langsung membuat Wilda kebingungan.
"Ayo, Ter." Arsy menggandeng tangan Tere. Wilda? Terserah dia lah mau ngapain di belakang, pikirnya.
Sedangkan Evan sendiri yang sudah berada dalam mode tugasnya, ikut mengabaikan Wilda. Wanita itu berjalan di belakang Arsy dan Tere, lalu Evan di belakang Wilda.
"Kamu ngapain jalan di belakang, Van?" Wilda masih belum paham dengan situasi mereka, hingga akhirnya Evan berucap pelan, namun masih bisa terdengar jelas di telinga Arsy dan Tere.
"Maaf, Wil. Aku lagi kerja."
Jawaban itu pun lantas membuat Wilda mengerti apa pekerjaan yang dimaksud Evan sejak tadi. Apakah dia seorang pengawal?? Pengawal gadis itu???
Seketika Wilda merasa bodoh sendiri. Gadis itu sangat beruntung memiliki bodyguard seperti Evan. Setiap detik berdekatan dengan laki-laki itu. Dan tadi pun Arsy memanggil Evan dengan panggilan 'mas'. Panggilan itu terdengar cukup mesra di telinga Wilda. Apakah hubungan mereka hanya sebatas majikan dan pengawal? Atau lebih dari itu?? Wilda sangat penasaran.
Sesampainya di parkiran, Evan dilanda kebingungan. Di mana Arsy harus duduk? Jika Wilda yang harus duduk di sebelahnya, apakah itu sopan? Secara dia sedang dalam posisi bekerja. Wilda pasti akan mengoceh di sepanjang jalan.
"Nona." Evan spontan membuka pintu yang ada di sebelah kursi kemudi dan mempersilakan Arsy masuk.
Arsy sempat menatapnya kebingungan. Namun Evan memberi kode yang entahlah apa artinya, namun sukses membuat Arsy mau tidak mau menurut kepadanya.
"Ter, aku di depan ya," katanya. Tere mengangguk dan tersenyum.
Setelah Arsy masuk, Evan mempersilakan Tere dan Wilda supaya ikut masuk di kursi penumpang. Tentu saja tanpa embel-embel membukakan pintu.
Setelah mereka berempat sudah berada di dalam mobil, Evan menghidupkan GPS. Mengetik nama toko buku ternama yang berada di alamat yang disebutkan Arsy tadi. Setelah itu dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
*****
Selama berada di dalam mobil, Arsy, Tere dan Wilda bertukar cerita. Evan sendiri konsisten dengan prinsipnya. Selama dia dalam posisi bertugas, dia mengabaikan pertanyaan jika itu bukan dari Arsy, majikannya. Wilda sampai beberapa kali dibuat malu karena pertanyaannya menggantung, tidak ada jawaban dari Evan.
"Mas ..." lagi-lagi suara lembut itu membuat telinga Evan mendengung. Apa-apaan gadis ini? Kenapa masih saja memanggilnya dengan panggilan yang intim seperti itu? Keluh Evan di dalam hati.
"Mas ...!" Arsy bahkan menyentuh siku Evan dan ... jederrr!! Sekujur tubuh laki-laki itu seperti dijalari aliran listrik. Dia tersentak kaget. What the ...
"Bu Wilda nanya tuh. Mas ngelamun ya?" tegur Arsy. "Lagi bawa mobil kok ngelamun sih, Mas?"
Bibir Evan kelu. Masih belum bisa mencerna kalimat Arsy yang sangat banyak sejak tadi. Perasaan sejak pagi gadis itu berbicara kepadanya dengan sebutan 'kamu', kenapa sekarang dia sangat rajin memakai 'mas' di depan Wilda dan Tere? Dia sangat pintar bersandiwara.
"Oh iya. Kenapa, Wil?" Evan melirik sebentar ke kaca yang ada di atas dahinya. Melihat sekilas ke arah Wilda yang duduk persis di belakangnya.
"Aku tadi tanya, kamu masih paham materi kuliah kita yang dulu nggak? Secara jurusan kita kan sama dengan Arsy dan Tere."
"Oh, itu. Udah banyak lupa." Evan menjawab singkat sambil tersenyum.
"Masak mahasiswa cumlaude udah lupa, Van?" Wilda lanjut menggoda. Dia lupa, kalau bukan karena Arsy yang menyuruh Evan bicara, pria itu pasti tidak akan menjawab pertanyaannya.
Evan menyengir kuda. Tak menjawab apa pun.
Arsy kembali dilema. Sepertinya dia mulai paham, Evan ini sangat profesional. Dia tidak ingin mencampuradukkan urusan pribadi dan urusan kerjaan. Tapi dia iba melihat Wilda yang sangat ingin berbicara panjang lebar, namun Evan terpaksa mengabaikannya.
"Mas cumlaude?" Arsy lagi-lagi terpaksa menjadi jembatan obrolan tersebut.
"Eh?" Evan sport jantung lagi. Haruskah dia menghitung berapa banyak kata yang sudah keluar dari bibir mungil majikannya itu? Perasaan saat berangkat kerja mobil mereka sunyi senyap.
"Kok eh? Mas, fokus!"
Tere dan Wilda kaget mendengar suara Arsy yang sedikit memekik kesal.
"Maaf, Nona. Saya fokus menyetir."
Jawaban Evan cukup jelas, membuat Arsy tidak ingin melanjutkan obrolan dengannya lagi. Bodoh amat kalau si Wilda-Wilda itu ingin mengajak pria itu bicara tapi diabaikan. Toh Evan sendiri yang tidak bersedia bicara. Namun, dia sendiri tetap melibatkan Wilda saat dia dan Tere mengobrol.
Perjalanan yang sedikit canggung itu berakhir juga. Mereka akhirnya tiba. Saat mesin mobil dimatikan, ketiga wanita itu langsung membereskan barang bawaannya.
Entah kapan Evan keluar dari mobil dan memutari benda itu, tau-tau pintu di sebelah Arsy sudah terbuka.
"Silakan, Nona."
Wilda dan Tere melihatnya dengan reaksi yang berbeda. Tere tersenyum malu-malu, sedangkan Wilda sedikit tidak suka.
"Duluan saja, sabuk pengamanku stuck." Arsy tidak berbohong. Seatbelt-nya memang tidak bisa dibuka. "Sepertinya supir papa nggak ngecek tadi pagi," tambahnya lagi.
"Maaf, biar saya lihat dulu." Evan tidak berpikir apa pun. Dia murni ingin membantu Arsy. Spontanitasnya membuat semua orang yang ada di dalam mobil itu terkejut. Evan memasukkan tubuhnya ke dalam mobil dan melewati tubuh Arsy.
Arsy mematung. Dia membeku. Aroma parfum Evan menembus indera penciumannya begitu saja. Gila! Wangi sekali! Tanpa sadar Arsy menutup kedua matanya dan membiarkan dia terhipnotis oleh aroma tersebut.
Entah berapa detik Evan membereskan pengait seatbelt-nya. Sepertinya hanya sekitar lima belas detik. Pria itu bergerak lagi, ke luar. Lagi-lagi angin menghembuskan wangi-wangian itu ke dalam hidung minimalis Arsy.
"Sudah, Nona." Evan kembali berdiri tegak.
"Makasih, Mas." Arsy harus tersenyum kan?? Karena dia masih dalam mode sandiwara.
Lalu gadis itu turun. Tere dan Wilda sudah menunggunya di luar.
Wilda merasa jengah menyadari Arsy sangat istimewa di sini. Gadis kecil itu menempati kasta tertinggi di antara mereka berempat. Gadis ini pasti anak orang kaya, tebaknya. Tidak se-level dengan keluarga Evan. Tapi, dari cara Evan memperlakukan Arsy, dia khawatir kalau kedua orang itu memang ada hubungan lebih.
Seketika dia menjadi khawatir.
*****
Kali ini Arsy tidak meninggalkan Wilda sendirian di belakang. Dia, Tere dan dosennya itu berjalan berdampingan, berderet tiga seperti anak SD yang sedang berjalan menuju kantin. Sementara Evan berjalan di belakang mereka. Mengawasi Arsy dan sesekali melihat buku yang ada di dekatnya. "Aku saranin kamu ambil yang ini, deh. Pak Wira pernah bilang buku ini bagus. Saya juga pernah disarankan beli buku ini oleh beliau." Wilda menyodorkan satu buku yang baru saja dia ambil dari rak. Dia mencoba membuat Arsy terkesan. Semakin baik hubungannya dengan Arsy, semakin besar pula kesempatan dia bisa selalu bertemu dengan Evan. "Oh ya? Terima kasih, Bu. Saya akan beli ini kalau begitu." Arsy menerima saran Wilda dengan antusias. Wilda adalah seorang dosen dan sudah pasti dia lebih tau selera sesama dosen seperti pak Wira bukan? Seketika dia merasa bersyukur Wilda ikut dengan mereka sekarang. "Sama-sama. Kamu mau mencari apa lagi? Tere juga mau cari buku?" "Oh, engg
Arsy melenggang dengan sangat percaya diri saat turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Seharusnya hari ini dia sudah berangkat hanya dengan supir pribadinya bukan? Kemarin dia sudah sepakat dengan ayahnya kalau Evan hanya bertugas satu hari saja. Lagian, andai ayahnya tau betapa tidak profesionalnya Evan kemarin, sudah pasti ayahnya menyesal mempekerjakan pria itu. Namun baru saja dia menapakkan kakinya di anak tangga terakhir, sayup-sayup dia mendengar suara yang begitu mirip dengan suara laki-laki yang barusan ada si pikirannya. Si Evan itu. Tepatnya dari ruang makan, dimana dia juga mendengar suara ayah, ibu dan juga abangnya, Arsen. Dia tidak salah dengar 'kan? "Eh, Sy?" Ibunya, Sarah, sepertinya tidak sengaja melihat dia yang tadinya berniat ingin kabur. "Kamu udah beres? Sini?" Wanita itu memanggil. Benar saja, Arsy langsung mendapati pria yang dia harapkan tidak akan pernah dia temui lagi, sedang ada di sana. Duduk pers
Justru semua orang sedang memikirkan posisi anda, Nona!" Evan mengabaikan rasa sakit dan panas yang kini dia rasakan di pipi kirinya. Begitu pun dengan egonya yang kembali tersentil. Berani sekali anak kecil ini menamparnya??Lupakan egonya. Evan sebenarnya cukup terkejut melihat air mata yang menggenang di wajah Arsy. Mata gadis itu memerah, sama seperti hidungnya. Bibirnya bergetar saat membentak Evan barusan. Sejujurnya ada sedikit rasa iba yang muncul dalam diri pria berusia tiga puluh dua itu. Apa yang membuatnya sampai se-marah ini? Tanya Evan dalam hati."Bagian mananya?! Kalian pikir, mau ditaruh di mana muka aku sekarang?! Semua dosen dan teman-teman sekelasku sudah tau kalau aku hanya anak kecil yang sampai kapan pun nggak akan pernah dianggap dewasa sama orang tua aku!! Aku seakan-akan nggak bisa jaga diri sampai harus dikasih pengawal padahal umur aku udah dua puluh empat tahun. Aku malu! Kalian tau nggak??"Arsy marah besar. Sayangnya dia melampiask
Setelah kejadian yang menimpa Arsy tadi sampai di telinga Demian, semakin yakin lah pria paruh baya itu bahwa memang selama ini ada yang berusaha ingin menyelakai putrinya. Siapa lagi kalau bukan musuh bisnisnya?"Ini pasti ulah Benjamin." Demian mengepalkan kedua tangannya yang bertopang di siku di atas meja makan."Pa, jangan sembarangan ... kenapa Papa bisa menuduh Benjamin yang melakukannya?" Sarah, istrinya, mencoba menenangkan."Memangnya siapa lagi yang sedang bersaing dengan kita untuk tender Prima Rasa? Hanya perusahaan Benjamin." Demian menyebutkan salah satu program tender yang sedang mereka ikuti, yaitu tender pembangunan 50 depot rumah makan khas Sunda bernama Prima Rasa, yang akan dibangun di seluruh Nusantara. Itu adalah proyek terbesar di tahun ini. Puluhan perusahaan kontraktor ikut ambil bagian untuk memenangkan tender. Namun Demian lebih fokus pada Benjamin saja.Sarah mendesah. Dia memang tau Benjamin sangat berambisi untuk memen
Tanpa Gunawan dan Martini sadari, Evan mendengar pembicaraan mereka. Bahkan kalimat-kalimat berikutnya yang terucap dari mulut wanita yang sudah melahirkan Evan itu.Kecelakaan. Balas budi. Perjodohan. Tiga kata kunci yang dirangkai pria berkepala tiga tersebut menjadi sebuah fakta mengejutkan yang baru saja dia ketahui. Apa-apaan ini? Jadi sebenarnya tentang bodyguard ini adalah salah satu cara orang tua dan majikannya untuk membuat dia dan Arsy saling jatuh cinta? What?! Licik sekali??Jadi kecelakaan yang menimpa ibunya, Martini, beberapa tahun yang silam bukan hanya sebuah kecelakaan biasa seperti sebagaimana Evan ketahui selama ini. Ternyata itu adalah aksi heroik yang dilakukan ibunya demi menghindarkan Demian dan Sarah dari kecelakaan di sebuah lokasi proyek. What the ...Evan sungguh tidak habis pikir. Ternyata selama ini kedua orang tuanya tidak pernah jujur tentang peristiwa yang menimpa ibunya, yang mengakibatkan kaki wanita itu patah dan sempat
Sore itu juga mereka sekeluarga langsung berangkat ke Purwakarta, salah satu kota kecil di Jawa Barat yang terkenal dengan kulinernya yang khas, yaitu Sate Maranggi. Setidaknya, mereka akan membutuhkan waktu tempuh sekitar tiga jam jika melewati jalur tol. Arsy hampir tidak percaya karena ketiga orang terpenting dalam hidupnya itu benar-benar mengabulkan permintaannya. Senyum setengah tertawa menghiasai wajahnya lantaran kesenangan. Sepanjang berganti pakaian dia tidak berhenti bersenandung seperti anak kecil.“Sy?” Tiba-tiba Sarah membuka pintu kamarnya dan tubuh wanita itu masuk sebagian melalui pintu.“Iya, Ma?” Dia berbalik melihat ke arah ibunya.“Kamu butuh Evan nggak? Kalau butuh, biar mama minta dia ikut dengan kita.”“Nggak usah, Ma. Kan bukan jam kerja dia lagi.”“Beneran?”“Hm-m …” Arsy mengangguk. Dia tidak sadar kalau ibunya sedang berbicara den
Entah apa yang sedang dirasakan Evan saat ini. Mungkin sebuah realita telah membuka mata hatinya. Keluarga yang dia benci selama satu bulan belakangan ternyata tidak seburuk yang dia pikirkan. Keangkuhan orang kaya yang selalu dia alamatkan kepada keluarga Wijaya, nyatanya tidak dia temukan sedikit pun. Setidaknya selama kurang lebih delapan jam bersama-sama dengan mereka. Pulang pergi Jakarta - Purwakarta dan selama mengelilingi kota kecil tersebut.Evan justru merasakan kehangatan yang biasanya sudah jarang didapati di dalam keluarga konglomerat. Mereka juga sangat merangkul karyawan seperti pak Heru dan Evan sendiri. Selama di perjalanan dan selama di Purwakarta, tak pernah sedikitpun keluarga itu terlihat mengesampingkan supir dan bodyguard Arsy. Mereka duduk di meja yang sama, makan dengan menu yang sama dan dari piring yang sama pula.Demian dan pak Heru malah terlihat seperti teman karib saat mereka mengunjungi acara pertunjukan air mancur Sri Baduga yang
Bab 12. Es krimEvan menepati janjinya. Setelah malam itu, hubungannya dengan Arsy pun berubah menjadi baik. Oke, sebenarnya selama satu bulan terakhir dia yang menjauh dan menjadi dingin terhadap Arsy. Namun setelah melewati satu malam bersama keluarga itu, sepertinya Evan sudah salah dengan menganggap mereka adalah keluarga kaya yang jahat. Mungkin peristiwa kecelakaan ibunya waktu dulu memang sudah menjadi sebuah takdir. Evan memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Lagipula ibunya sudah sembuh sekarang, walaupun sudah tidak bisa beraktifitas seperti biasanya.Sekarang dia menjalankan tugasnya dengan hati yang lebih lapang. Arsy juga sudah tidak kaku lagi kepadanya. Sudah lebih rileks dan lebih santai. Apalagi gadis itu konsisten dengan panggilan ‘mas’-nya. Sepertinya Arsy sudah menganggap Evan seperti saudara laki-laki sendiri, sama seperti Arsen. Evan merasa begitu lebih baik. Dia pun lama kelamaan bisa memandang Arsy seperti adiknya sendiri yang
Demian dan Sarah sudah menunggu Evan dan juga puteri mereka Arsy, di ruangan kantor Demian yang super lux. Kedua orang tua paruh baya itu sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi di kampus tadi. Ada dua hal yang menjadi topik hangat dalam berita tadi : ciuman dan pertunangan. Entah kenapa hal tersebut bisa mencuat ke media. Suara-suara langkah kaki terdengar dari luar. Dalam hitungan detik, pintu yang terbuat dari bahan kayu jati itu terdorong ke dalam dan Evan yang pertama kali muncul. "Masuk, Van." Demian mempersilakan. Di belakang laki-laki itu, muncul Arsy yang sepertinya tidak dalam kondisi baik-baik saja. Sarah mengulurkan tangan kanannya dan Arsy langsung menggapainya. Gadis kecil itu langsung duduk di sebelah kanan Sarah dan langsung memeluk sang ibu. Siapa pun sudah bisa menebak, dia pasti tertekan dengan berita ini. "Gimana ceritanya, Van? Apa yang terjadi?" Demian memberi waktu untuk Evan bercerita. "Ehm. Ini se
Kejadian di kampus tersebut rupanya langsung sampai ke telinga Demian yang sedang berada di kantor. Dia dan Sarah sedang mengawasi rapat pemegang saham saat kabar tentang pertunangan Arsy dan Evan menjadi trending topik di kampus sang puteri. Demian dan Sarah terpaksa keluar dari ruangan karena ajudan mereka menunjukkan sejumlah foto yang kini beredar di website kampus. Foto yang membuat Sarah seketika terkena migrain. "Bagaimana bisa ada foto ini? Siapa yang mengambil?" tanya wanita itu tidak percaya. Lebih ke bingung kenapa ada foto Evan dan Arsy sedang berciuman di dalam ruangan. Kalau dilihat dari pakaian Arsy, jelas-jelas itu sepertinya saat sang puteri sedang sidang thesis. "Ini foto lama. Kira-kira satu bulan yang lalu. Siapa yang sudah iseng mengambil foto ini?" Wanita itu tidak habis pikir. Dia sama sekali tidak keberatan karena Evan mencium Arsy. Lebih ke khawatir karena foto itu telah beredar dan sekarang sedang menjadi konsumsi publik. Apalagi per
Bukan hanya Wilda yang syok mendengar ucapan Evan barusan, melainkan wanita yang dia akui sebagai tunangan, yaitu Arsy. Bukankah mereka sudah sepakat untuk merahasiakan hal ini dulu, apalagi di kampus?Kaki Arsy refleks bergerak ke arah Evan dan menarik pergelangan tangan laki-laki itu. Dia khawatir Wilda akan melemparkan pertanyaan lagi untuk memperjelas maksud Evan. Lagian sekarang mereka sudah menjadi pusat perhatian. Arsy sama sekali tidak nyaman.Evan merasakan sentuhan tangan Arsy di kulitnya. Biasanya itu selalu berhasil membuat dirinya merasa nyaman. Namun tidak untuk sekarang. Rasa kesal yang menguasai hatinya masih tinggi. Apalagi Wilda seperti tidak percaya atas fakta yang barusan dia deklarasikan. Oh, mungkin bukan tidak percaya. Tidak terima lebih tepatnya."Tunangan? Cihhhhh," ejek wanita itu dengan gaya yang memuakkan. "Arsy itu anak konglomerat. Mimpi aja dia mau sama kamu yang bukan siapa-siapa, Van. Lagian ya kali keluarga Wijaya nggak bi
Sesuai kesepakatan kedua pihak keluarga, untuk saat ini pertunangan Evan dan Arsy masih menjadi hal yang dirahasiakan. Alasannya karena Arsy masih akan wisuda dan alangkah tidak baik jika kabar pertunangan mereka akan menambah kericuhan suasana kampus menjelang hari H. Arsy menurut saja karena baginya itu cukup masuk akal. Namun tidak bagi Evan. Semenjak dia diperkerjakan menjadi bodyguard Arsy dulu, laki-laki itu sudah sangat tahu bahwa Demian menyembunyikan sesuatu yang sangat penting terkait keselamatan puteri bungsunya. Maka dari itu, Evan memilih untuk mengikuti apa yang disarankan oleh orang tua mereka saja. Hal itu pulalah yang menyebabkan Evan tidak bisa terlalu menunjukkan kedekatannya dengan Arsy sekarang. Dia harus banyak-banyak mengelus dada saat dia melihat Bagas sering mendekati calon istrinya. Terkadang dia sudah sengaja berdiri begitu dekat dengan wanita, namun tidak kunjung membuat Bagas peka dan sadar diri. Benar-benar minta ditampol, rutuk Evan di dalam ha
Arsy memandangi cincin berlian yang kini melingkari jari manisnya. Sudah satu hari berlalu sejak dia dan Evan resmi bertunangan. Perasaannya yang masih bercampur aduk didominasi oleh rasa tidak percaya bahwa kini dia sudah terikat dengan seorang lawan jenis yang sempat mengabdi sebagai bodyguard-nya. Walaupun masih hanya bertunangan, bagi Arsy ini sudah jelas sangat mengikat dan sangat sakral. Dia sepenuhnya milik Evan dan begitu juga sebaliknya. Arsy sempat bagai kehilangan arah. Bertunangan adalah salah satu fase hidup yang belum pernah dia masukkan ke dalam list target yang ingin dia capai dalam waktu dekat. Dulu, dia berencana akan bekerja setelah wisuda S2-nya. Sekarang dia tiba-tiba berada di sebuah situasi dimana bekerja bukanlah sebuah kewajiban. Karena itu lah yang diucapkan Evan kemarin. Setelah ini, mereka akan mempersiapkan pernikahan dan setelah itu Arsy akan menjadi ibu rumah tangga yang hanya menghabiskan waktu di rumah. Evan memang belum mengutarakan
Evan akhirnya sepakat untuk menunda keinginannya menerima tawaran Demian. Baginya permintaan Arsy adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan baik mengingat gadis itu adalah calon istri Evan. Di samping itu, keinginan Arsy juga bagaikan angin segar untuk Evan yang masih mempertanyakan perasaan wanita itu kepadanya. Jika Evan tidak salah menangkap maksud sang kekasih, Arsy ingin mereka selalu bersama dan berdampingan dalam mengurus segala kebutuhan pertunangan keduanya. Bagi Evan, ini adalah sebuah kemajuan di dalam hubungan mereka. Dua minggu berlalu dengan cepat. Tiba-tiba saja hari H sudah tiba di depan mata. Acara pertunangan yang dilaksanakan secara privat di sebuah hotel itu sebentar lagi akan dimulai. Tamu yang diundang tidak banyak, hanya beberapa kerabat dekat dari keluarga Wijaya dan Gunawan. Teman-teman Evan darn Arsy pun belum diundang mengingat ini masih sebatas acara pertunangan saja. Arsy tidak bisa menutupi kegugupan yang mulai menyelimuti dirinya
Di sebuah ruangan yang cukup besar, yang merupakan bagian dari sebuah perkantoran elit yang sama-sama bergerak di bidang konstruksi. Seorang pria kisaran umur hampir menyentuh angka empat puluh, sedang menghirup tembakau kesukaannya dengan alat elektrik yang sedang hits di jaman sekarang. Senyumnya terlihat melengkung ketika dia menjepit alat tipis itu di belahan bibirnya. Ada satu hal yang membuat perasaannya bahagia pagi ini. Yaitu rasa menang karena sudah berhasil mengintimidasi seseorang yang selama ini menjadi pesaing bisnisnya. Demian Akira Wijaya. Pria itu adalah Benjamin. Pengusaha muda yang tidak terlalu terkenal di dunia bisnis namun punya power yang cukup kuat karena dia adalah putera dari seorang mafia proyek bernama Chan Li. Benjamin mendirikan perusahaan konstruksi hanya sebagai tameng. Kenyataanya, dia tidak memiliki orang-orang yang kredibel di bidangnya. Dia hidup dan makan dari hasil menindas pengusaha yang sedang menangani proyek besar seperti Demian.
Keputusan Demian sebenarnya sedikit mempengaruhi mood Arsen sepanjang sisa hari. Apalagi saat harus menyampaikan kabar kurang mengenakkan tersebut kepada seluruh timnya. Memang, tidak ada yang protes. Bahkan untuk mengajukan pertanyaan tentang alasan lebih jelasnya pun tidak ada yang berani. Jika itu sudah keputusan Demian, mereka memilih untuk menurut saja. Arsen sendiri sudah terlihat tidak bergairah. Itu artinya bos mereka itupun sudah terlebih dahulu mempertanyakan hal ini kepada sang ayah. Mereka tidak perlu ikut-ikutan bersikap seakan-akan lebih kecewa dan memperkeruh suasana. “Om ada benarnya, Baby. Seorang ayah pasti tau kapasitas anaknya. Jangan terlalu dimasukkan ke hati.” Selomitha, kekasih Arsen, sengaja datang ke kantor setelah mendapat panggilan dari pria itu. Arsen memintanya untuk datang menghiburnya. Setelah mendengar cerita Arsen, Mitha berusaha untuk melihat ini dari sudut pandang Demian, calon ayah mertuanya. Memang terkesan jahat di pihak Arsen,
“Mas beneran nggak jumpain ibu Wilda ‘kan tadi?”“Beneran dong. Kamu mau tanya apa aja tentang seminar kamu tadi, aku bisa jawab. Di menit ke berapa kamu menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, aku ingat. Menit ke tiga. Kamu masuk ke bagian kesimpulan di menit sembilan. Kamu selesai presentasi hanya dalam sebelas menit. Kemudian kamu sempat tersedak saat mengambil jeda untuk minum air mineral. By the way kamu tersedak karena apa? Gugup atau? Dan aku masih ingat pertanyaan dosen penguji yang bikin kamu sempat terdiam hampir tiga puluh detik. Aku menebak kamu sedang mencari jawabannya di kertas intisari yang kamu baca. Benar ‘kan? Dan yang nggak kalah penting, ka_”“Cukup-cukup!” Arsy memanjangkan tangan kanannya dan membekap mulut Evan yang sedang mengemudi. “Oke, oke, aku percaya sama Mas Evan,” lanjutnya sambil tersenyum. Sebenarnya Arsy juga tau Evan tidak meninggalkannya sedetikpun tadi. Siluet pri