Kali ini Arsy tidak meninggalkan Wilda sendirian di belakang. Dia, Tere dan dosennya itu berjalan berdampingan, berderet tiga seperti anak SD yang sedang berjalan menuju kantin. Sementara Evan berjalan di belakang mereka. Mengawasi Arsy dan sesekali melihat buku yang ada di dekatnya.
"Aku saranin kamu ambil yang ini, deh. Pak Wira pernah bilang buku ini bagus. Saya juga pernah disarankan beli buku ini oleh beliau." Wilda menyodorkan satu buku yang baru saja dia ambil dari rak. Dia mencoba membuat Arsy terkesan. Semakin baik hubungannya dengan Arsy, semakin besar pula kesempatan dia bisa selalu bertemu dengan Evan.
"Oh ya? Terima kasih, Bu. Saya akan beli ini kalau begitu." Arsy menerima saran Wilda dengan antusias. Wilda adalah seorang dosen dan sudah pasti dia lebih tau selera sesama dosen seperti pak Wira bukan? Seketika dia merasa bersyukur Wilda ikut dengan mereka sekarang.
"Sama-sama. Kamu mau mencari apa lagi? Tere juga mau cari buku?"
"Oh, enggak, Bu. Saya tadi hanya ingin menemani Arsy kok," jawab Tere cepat.
"Sudah ini saja, Bu. Ibu Wilda mau mencari buku juga kan? Biar kita temani ..." tawar Arsy.
"Oh, nggak apa-apa? Ada sih, satu buku ...."
"Iya, Bu. Bu Wilda udah nemenin saya kan tadi." Arsy memasang senyum manisnya.
"Van, nggak apa-apa ya, Arsy temani aku dulu?"
Evan mengerutkan keningnya. Kenapa Wilda harus izin kepadanya?
Arsy pun sepertinya berpikiran yang sama. Evan tidak punya hak atas dirinya kan?
Tidak mendapat jawaban dari Evan, Arsy mengambil alih, "Ayo, Bu. Ibu cari buku yang bagaimana?"
Wilda pun berjalan tanpa arah. Dia tidak benar-benar ingin mencari buku. Dia hanya ingin lebih lama bersama Evan. Berharap saat Arsy mencari buku, dia bisa mencuri-curi mengobrol dengan laki-laki itu. Tapi sialnya Evan benar-benar tak tersentuh. Dia sangat disiplin atas jam kerjanya.
"Psst ..." saat ketiga perempuan itu berjalan dan berpapasan dengan dua orang anak laki-laki, Evan mendengar pria itu melakukan cat calling, entah untuk siapa. Evan mengabaikan saja.
Wilda pun berhenti di rak dengan kategori Biografi. Entah buku apa yang hendak dia cari di sana.
"Kalian kalau mau lihat-lihat, nggak apa-apa," ujar wanita itu. Sengaja ingin memisahkan diri dari Arsy dan Tere dengan tujuan nanti dia akan mendekati Evan untuk berpura-pura meminta saran.
"Oke, Bu. Kita ke sana dulu ya, nggak jauh-jauh kok." Arsy menunjuk arah barat ruangan. Wilda mengangguk.
Saat Arsy dan Tere pergi, Wilda melihat Evan mengekori kedua gadis itu dan dia sangat kesal. Strateginya tidak berhasil. Dia malah ditinggal sendirian.
Evan menjaga jarak dari Arsy dan Tere yang sedang melihat-lihat novel best seller. Belum apa-apa dia sudah jenuh dengan pekerjaan barunya. Doing nothing, just watching. Mengawasi dan menjaga jangan sampai nona majikannya itu kenapa-napa. Dia merindukan pekerjaannya yang membuat otaknya aktif bekerja. Sibuk dengan file-file dan brain storming dengan semua anggota timnya.
"Jangan main-main ya!!"
Lamunan Evan terurai lantaran mendengar suara keras dari arah Arsy dan Tere. Dia langsung terkejut saat melihat Tere sedang berseteru dengan dua laki-laki yang ... tadi melewati mereka??
Evan segera beranjak dan setengah berlari menghampiri mereka.
"Apa-apaan ini?" Evan langsung memisahkan dua kubu tersebut dengan tubuh dan tangannya yang terlentang di kiri dan kanan.
"Heh, siapa lo? Jangan ikut campur!" ujar salah seorang dari mereka.
"Kalian siapa? Jangan buat keributan di sini." Suara Evan tegas dan berat.
"Kita cuma pengen kenalan sama dia. Lu nggak usah ikut campur!"
Evan tidak mundur saat dadanya didorong salah seorang remaja tanggung tersebut. Jelas sekali usia mereka masih di bawah mereka bertiga.
"Mau kenalan dengan siapa?" tanya Evan tenang.
"Sama adek yang itu. Tapi kakaknya galak banget, cih!" Mereka mengira Tere adalah kakak Arsy.
Evan menoleh ke belakang. Melihat Arsy sedang menatap geram kepadanya. Apa salahnya sampai dipelototi seperti itu? Batin Evan. Kemudian dia berbalik lagi.
"Maaf, sebaiknya kalian pergi. Adik saya memang tidak suka sembarangan berkenalan dengan orang baru."
Arsy semakin menilik tajam pada Evan. Apa maksud laki-laki itu?? Ingin menolongnya atau ingin mempermalukannya??
"Cantik-cantik tapi sombong! Cuih!" Sebelum dua remaja tanggung itu pergi, mereka sempat mengoceh merendahkan Arsy. Alhasil perempuan itu semakin marah pada Evan dan semakin yakin kalau dia tidak membutuhkan bodyguard tidak berguna seperti laki-laki itu.
Arsy menarik Tere pergi. Tanpa menunggu Evan maupun Wilda. Dia berencana pulang berdua saja dengan Tere.
"Nona!" Namun tentu saja Evan mengejarnya. Mengikuti mereka sampai ke pintu keluar toko. Saat Evan menyadari Arsy melewati mobil mereka begitu saja, dia cepat-cepat menghalangi langkah kedua wanita itu.
"Maaf, Nona. Mobil ada di sebelah sana," katanya dengan nada pelan.
"Aku pulang dengan Tere."
"Maaf, Nona. Saya hanya melaksanakan tugas."
"Nanti aku yang bilang ke Papa. Kamu pulang duluan saja."
Arsy dengan keras kepalanya ingin melewati Evan. Tapi Evan mengingat gaji empat kali lipatnya. Satu tangannya dengan cepat memanjang di hadapan Arsy yang ada di sebelahnya. Itu adalah gerakan tersopan yang bisa dia lakukan. Daripada dia mengangkat gadis itu seperti karung goni, coba?
Arsy sangat terkejut. Tangan Evan hampir saja mengenai dadanya. Gadis itu spontan mundur dan melayangkan tatapan garang pada Evan.
"Kamu nggak sopan!" pekiknya.
"Maaf, Nona. Tolong Nona ikut saya."
Tere menyikut Arsy pelan. Dia tau temannya itu tidak menyukai Evan.
"Sudah, Sy. Pulang sana. Nanti papa kamu marah kalau kamu pulang sendiri," katanya memberi pengertian.
"Vann!" Tiba-tiba suara Wilda terdengar memanggil. Hanya Tere yang menoleh.
"Kalian kenapa ninggalin saya? Saya cari-cari tadi di dalam," protes Wilda seperti ingin penjelasan. Ingin marah tapi tidak mungkin. Nanti imejnya rusak. Pertanyaan barusan akhirnya dia ucapkan dengan membubuhkan senyuman di wajahnya.
"Nona ..." Evan kembali memanggil Arsy dengan sopan.
Dicueki Evan dan Arsy, Wilda lagi-lagi kebingungan. Ada apa dengan kedua orang itu? Barusan juga Evan memanggil gadis itu dengan lembut. Ada apa gerangan?
"Mas ..." suara Arsy tiba-tiba melembut. Seakan barusan tidak ada umpatan yang dia lontarkan kepada Evan. Baik Evan maupun Tere kembali terkejut. Arsy bersandiwara lagi. Tadi saja dia memakai kamu saat tidak ada Wilda. Memangnya kenapa dia harus bersandiwara? Pikir kedua orang itu.
"Mas, aku pulang dengan Tere. Mas tolong antar Bu Wilda sampai ke rumah," kata Arsy datar. Dia memberanikan diri melihat kedua mata yang sedang menahan emosi sekarang. Jika bukan karena gaji empat kali lipat itu, Evan ogah ikut dalam permainan anak kecil ini.
"Nona, maaf." Tanpa berbasa-basi lagi, Evan menggendong Arsy dengan tiba-tiba. Semuanya shock, terlebih Wilda. Arsy memekik kaget dan memukul dada Evan dengan kuat minta diturunkan.
"Ter, Wil, maaf, kita duluan. Bapak sudah menelepon, menyuruh Arsy pulang. Maaf, kalian bisa pulang sendiri 'kan?"
"Mana ada! Mas turunin, Mas!" Arsy berontak.
"I ... iya, nggak apa-apa ..." Tere belum tau harus memanggil apa ke Evan. Mas? Kang? Abang? Om? Hahh, entahlah.
Tanpa menunggu respon Wilda, Evan meninggalkan mereka. Membuka pintu dengan remot kontrol. Memasukkan Arsy ke kursi belakang. Memasang seatbelt gadis itu tanpa berbicara apa-apa.
Arsy membuang mukanya saat wajah Evan sangat dekat dengam wajahnya. Sekuat tenaga menahan diri supaya tidak tergoda dengan aroma parfum Evan yang melintasi hidungnya.
Sesudah itu Evan masuk ke kursi pengemudi. Menghidupkan mesin dan melajukan benda beroda empat itu dalam waktu singkat.
"Kamu kalau nggak mau bantu aku nggak usah jelek-jelekin aku. Aku nggak butuh bantuan yang kayak gitu." Arsy tidak tahan untuk tidak bersuara. Dia bukan lah tipe orang yang suka memendam kejanggalan yang tengah ia rasakan.
"Maaf, Nona. Saya hanya tidak ingin membuat keributan."
"Tapi mereka menganggap aku sombong 'kan akhirnya? Itu karena kata-kata kamu. Kamu tau nggak tadi mereka narik-narik aku sampai aku kecakar? Kalau begitu caranya siapa yang mau kenalan? Kamu harusnya patahkan tangan mereka, bukannya malah mojokin aku."
Evan terdiam. Dia sama sekali tidak melihat kejadiannya. Ingat kan, dia saat itu sedang melamun?? Tapi benarkah dia ditarik dan sampai dicakar? Demian dan Sarah akan memenggal kepalanya kalau melihat tangan puteri semata wayang mereka tergores.
Evan menepikan mobil di tepi jalan yang cukup lebar. Arsy yang sudah diam sejak tadi pun mengerutkan keningnya. Ngapain dia? Pikirnya.
Tahunya, Evan turun. Berjalan memutari mobil dan masuk dari pintu seat kosong di sebelah Arsy.
"Ngapain kamu?" hardik gadis itu tiba-tiba was-was.
"Maaf, saya tidak melihat kejadiannya. Mana yang tergores?"
Oke, Arsy cukup kaget. Apakah papanya menyuruh laki-laki ini untuk memperhatikannya sampai se-detail ini?
"Tidak usah. Nanti bisa diobati sendiri."
"Maaf, Nona. Sudah menjadi tugas saya untuk memastikan Nona tidak apa-apa."
"Kenapa? Kamu takut Papa marah? Tenang saja. Aku bisa jelasin ke Papa ...."
"Maaf ..." lagi-lagi Evan meminta maaf sebelum melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat Arsy marah. Maaf untuk meminta ijin yang dia ketahui jawabannya pasti tidak.
Evan menarik kedua lengan Arsy dengan sedikit menyentak. Tubuh gadis itu secara otomatis menjadi menghadap kepadanya. Arsy kaget bukan main. Matanya terbelalak merasakan kedua tangan besar Evan menempel di lengannya yang kecil. Baju lengan pendeknya membuat kulit mereka bersentuhan secara langsung dan itu menimbulkn efek kejut bagi gadis polos seperti Arsy.
"What the hell are you doing!!!" Dia meneriaki Evan lantaran shock. Belum apa-apa mereka sudah terlalu banyak sentuhan hari ini.
"Bagian mana yang tergores???" Evan membolak-balik lengan Arsy. Memeriksa sampai ke sikutnya, tapi tidak ada satu goresan pun di kulit putih bersih gadis itu.
"Nona berbohong?" Pria itu sudah hampir meledak karena merasa dipermainkan majikan kecilnya itu. Namun Arsy tiba-tiba membuka kepalan tangan kanannya dan menyodorkannya dengan berani ke hadapan Evan.
"Sssshhhh ..." Kini berganti pria itu yang terkejut. Dia spontan memalingkan wajahnya lantaran ngilu. Goresan panjang itu seperti diakibatkan sesuatu dan itu benda tajam. Tapi memang tidak terlalu dalam. Namun tetap saja ada darah yang terlihat, walaupun itu tipis.
"Apa di mobil ini ada kotak P3K?" tanya Evan kemudian.
"Sudah, aku nggak apa-apa." Arsy menarik tangannya dari pegangan Evan. "Ini hanya goresan kecil. Nggak sakit juga. Bentaran juga pasti sembuh," lanjutnya.
"Maafkan saya, Nona. Saya benar-benar sudah teledor dalam menjaga Nona." Evan menunduk di hadapan Arsy. Pria itu tidak malu mengaku salah karena kenyataanya memang demikian. Dia sudah membagi pikirannya saat seharusnya dia fokus mengawasi Arsy.
"Sudahlah. Lupakan. Kau membuat aku merasa buruk karena membuat orang yang lebih tua dariku menunduk kepadaku. Kembali lah menyetir."
Evan bergeming mendengar kalimat Arsy barusan. Seperti melihat sisi lain dari gadis yang seharian ini bersikap jutek kepadanya. Apakah sebenarnya Arsy itu berhati lembut? Pikirnya menerka-nerka.
"Baiklah. Tapi sekali lagi maafkan saya, Nona."
"Iya. Kau takut Papa tidak jadi menggajimu empat kali lipat seperti janjinya?" Arsy menyelidik. Tanpa sadar menyentil ego Evan yang cukup besar.
"Cukup! Kamu kira kalau bukan karena papa yang sangat menghormati ayah kamu, saya mau menerima pekerjaan hina ini??!!"
Arsy terhenyak. Evan akhirnya bersuara. Sepertinya laki-laki itu pun sudah berusaha meredam segala isi hati yang sesungguhnya ingin memberontak. Tapi tak apa. Arsy menyukainya. Bukan kah itu artinya mereka sama-sama tidak menyetujui perihal pengawalan ini?
"Kalau begitu seharusnya kamu bisa menolak Papa saat ingin memakai jasamu, kan?"
Sikap santai Arsy membuat darah tinggi Evan semakin naik. Dasar anak orang kaya, pikirnya.
"Mana bisa. Orang kaya seperti kalian selalu punya cara untuk membeli kami, orang tidak berduit. Sekeras apa pun kami menolak, kalian pasti selalu menang," jawab Evan sinis. Dia ingin melampiaskan kekesalannya. Kesal lantaran Demian bersikeras memaksa ayahnya untuk meminta dia bekerja menjadi pengawal untuk gadis manja ini. Demian sepertinya tau, ayahnya tidak akan bisa menolak karena Demian adalah bosnya di kantor.
"Jaga omongan mu! Kalau kalian punya harga diri seharusnya kalian akan tetap bertahan untuk tidak menerima pekerjaan hina ini walau harus mati sekali pun," balas Arsy tak kalah sengit. Kilatan matanya menggambarkan emosi yang mulai tersulut.
"Ya, begitulah yang selalu kudengar dari mulut orang kaya. Aku tidak bisa membalas kata-katamu karena itulah kelemahan kami. Harga diri kami selalu tidak ada nilainya di mata kalian. Ah ... lebih tepatnya kalian yang melihat kami tidak berharga, sehingga dengan mudahnya kalian membuat kami tunduk dengan uang kalian. Hahaha."
"Stop!!! Apa sebenarnya masalahmu!!" Arsy sugguh tidak terima Evan semakin jauh menghina orangtuanya.
"Aku muak dengan kalian! Kenapa dengan mudahnya ayahku menyuruhku berhenti bekerja di saat aku sedang berada di puncak karirku, hanya untuk menjadi seorang pengawal anak kecil sepertimu? Baru lah aku tau, semua itu ternyata karena ayahmu bisa menggaji aku empat kali lipat dari gajiku yang sebelumnya. Lihat lah, betapa uang bisa membeli harga diri kami orang kecil ini."
Arsy sudah panas hati. Selain menghina orangtuanya, Evan juga mengatainya anak kecil. Oke, dia tidak ingin berdebat kusir dengan pria yang sepertinya sudah gila di sebelahnya, dia membuka pintu dan keluar dari mobil.
"Hei! Mau kemana kamu!!" Evan buru-buru ikut keluar dan mengejar. Karena langkah kakinya lebih lebar dari Arsy, dia bisa meraih tangan gadis itu. Tentu saja langsung dihempas kuat-kuat oleh si empunya tangan.
"Urus sendiri masalahmu! Kau yang tidak bisa tegas dengan orangtuamu, kenapa jadi mengatai aku anak kecil? Kau delapan tahun lebih tua dari aku tapi bisa-bisanya kau menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidupmu?! Kalau kau tidak sepakat dengan ayahmu kenapa kau tidak kabur saja untuk menunjukkan aksi protesmu? Kenapa kau malah tunduk alih-alih mempertahankan karirmu? Jangan menyalahkan orangtuaku karena mereka punya uang banyak! Salahkan dirimu sendiri yang tidak punya pendirian!"
Kata-kata Arsy yang sangat panjang itu ibarat tamparan keras bagi Evan. Bibir mungil Arsy memang seperti cabe rawit. Pedas sekali. Tapi kenapa semua kalimatnya itu terasa benar? Evan jadi malu, seakan ditelanjangi.
Dia memang tidak punya pendirian untuk menolak tegas ayahnya. Harusnya, jika ayahnya seratus kali meminta, dia harus seratus satu kali menolak. Yang harus dia lakukan seharusnya tidak berhenti menolak dan menolak hingga ayahnya bosan. Bukan justru sebaliknya, kalah.
Gadis itu tidak salah ketika mengatainya tidak bisa tegas dan tidak punya pendirian. Meskipun ayahnya memelas sekali pun, dia tidak seharusnya menyerah dan mengiyakan perintah konyol ini.
Arsy melihat ada taksi yang akan lewat. Sebelum Evan bereaksi dan menahan langkahnya lagi, dia buru-buru berbalik dan menghambat taksi.
Evan pun tersadar dari pikirannya yang melayang entah kemana. Dia berusaha mengejar taksi yang ditumpangi Arsy namun sia-sia. Taksi itu melaju dengan sangat cepat.
"Matilah aku!" Evan menyugar rambutnya. Bisa-bisa kepalanya dipenggal oleh Demian jika Arsy menceritakan perdebatan mereka barusan.
*****
Arsy melenggang dengan sangat percaya diri saat turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Seharusnya hari ini dia sudah berangkat hanya dengan supir pribadinya bukan? Kemarin dia sudah sepakat dengan ayahnya kalau Evan hanya bertugas satu hari saja. Lagian, andai ayahnya tau betapa tidak profesionalnya Evan kemarin, sudah pasti ayahnya menyesal mempekerjakan pria itu. Namun baru saja dia menapakkan kakinya di anak tangga terakhir, sayup-sayup dia mendengar suara yang begitu mirip dengan suara laki-laki yang barusan ada si pikirannya. Si Evan itu. Tepatnya dari ruang makan, dimana dia juga mendengar suara ayah, ibu dan juga abangnya, Arsen. Dia tidak salah dengar 'kan? "Eh, Sy?" Ibunya, Sarah, sepertinya tidak sengaja melihat dia yang tadinya berniat ingin kabur. "Kamu udah beres? Sini?" Wanita itu memanggil. Benar saja, Arsy langsung mendapati pria yang dia harapkan tidak akan pernah dia temui lagi, sedang ada di sana. Duduk pers
Justru semua orang sedang memikirkan posisi anda, Nona!" Evan mengabaikan rasa sakit dan panas yang kini dia rasakan di pipi kirinya. Begitu pun dengan egonya yang kembali tersentil. Berani sekali anak kecil ini menamparnya??Lupakan egonya. Evan sebenarnya cukup terkejut melihat air mata yang menggenang di wajah Arsy. Mata gadis itu memerah, sama seperti hidungnya. Bibirnya bergetar saat membentak Evan barusan. Sejujurnya ada sedikit rasa iba yang muncul dalam diri pria berusia tiga puluh dua itu. Apa yang membuatnya sampai se-marah ini? Tanya Evan dalam hati."Bagian mananya?! Kalian pikir, mau ditaruh di mana muka aku sekarang?! Semua dosen dan teman-teman sekelasku sudah tau kalau aku hanya anak kecil yang sampai kapan pun nggak akan pernah dianggap dewasa sama orang tua aku!! Aku seakan-akan nggak bisa jaga diri sampai harus dikasih pengawal padahal umur aku udah dua puluh empat tahun. Aku malu! Kalian tau nggak??"Arsy marah besar. Sayangnya dia melampiask
Setelah kejadian yang menimpa Arsy tadi sampai di telinga Demian, semakin yakin lah pria paruh baya itu bahwa memang selama ini ada yang berusaha ingin menyelakai putrinya. Siapa lagi kalau bukan musuh bisnisnya?"Ini pasti ulah Benjamin." Demian mengepalkan kedua tangannya yang bertopang di siku di atas meja makan."Pa, jangan sembarangan ... kenapa Papa bisa menuduh Benjamin yang melakukannya?" Sarah, istrinya, mencoba menenangkan."Memangnya siapa lagi yang sedang bersaing dengan kita untuk tender Prima Rasa? Hanya perusahaan Benjamin." Demian menyebutkan salah satu program tender yang sedang mereka ikuti, yaitu tender pembangunan 50 depot rumah makan khas Sunda bernama Prima Rasa, yang akan dibangun di seluruh Nusantara. Itu adalah proyek terbesar di tahun ini. Puluhan perusahaan kontraktor ikut ambil bagian untuk memenangkan tender. Namun Demian lebih fokus pada Benjamin saja.Sarah mendesah. Dia memang tau Benjamin sangat berambisi untuk memen
Tanpa Gunawan dan Martini sadari, Evan mendengar pembicaraan mereka. Bahkan kalimat-kalimat berikutnya yang terucap dari mulut wanita yang sudah melahirkan Evan itu.Kecelakaan. Balas budi. Perjodohan. Tiga kata kunci yang dirangkai pria berkepala tiga tersebut menjadi sebuah fakta mengejutkan yang baru saja dia ketahui. Apa-apaan ini? Jadi sebenarnya tentang bodyguard ini adalah salah satu cara orang tua dan majikannya untuk membuat dia dan Arsy saling jatuh cinta? What?! Licik sekali??Jadi kecelakaan yang menimpa ibunya, Martini, beberapa tahun yang silam bukan hanya sebuah kecelakaan biasa seperti sebagaimana Evan ketahui selama ini. Ternyata itu adalah aksi heroik yang dilakukan ibunya demi menghindarkan Demian dan Sarah dari kecelakaan di sebuah lokasi proyek. What the ...Evan sungguh tidak habis pikir. Ternyata selama ini kedua orang tuanya tidak pernah jujur tentang peristiwa yang menimpa ibunya, yang mengakibatkan kaki wanita itu patah dan sempat
Sore itu juga mereka sekeluarga langsung berangkat ke Purwakarta, salah satu kota kecil di Jawa Barat yang terkenal dengan kulinernya yang khas, yaitu Sate Maranggi. Setidaknya, mereka akan membutuhkan waktu tempuh sekitar tiga jam jika melewati jalur tol. Arsy hampir tidak percaya karena ketiga orang terpenting dalam hidupnya itu benar-benar mengabulkan permintaannya. Senyum setengah tertawa menghiasai wajahnya lantaran kesenangan. Sepanjang berganti pakaian dia tidak berhenti bersenandung seperti anak kecil.“Sy?” Tiba-tiba Sarah membuka pintu kamarnya dan tubuh wanita itu masuk sebagian melalui pintu.“Iya, Ma?” Dia berbalik melihat ke arah ibunya.“Kamu butuh Evan nggak? Kalau butuh, biar mama minta dia ikut dengan kita.”“Nggak usah, Ma. Kan bukan jam kerja dia lagi.”“Beneran?”“Hm-m …” Arsy mengangguk. Dia tidak sadar kalau ibunya sedang berbicara den
Entah apa yang sedang dirasakan Evan saat ini. Mungkin sebuah realita telah membuka mata hatinya. Keluarga yang dia benci selama satu bulan belakangan ternyata tidak seburuk yang dia pikirkan. Keangkuhan orang kaya yang selalu dia alamatkan kepada keluarga Wijaya, nyatanya tidak dia temukan sedikit pun. Setidaknya selama kurang lebih delapan jam bersama-sama dengan mereka. Pulang pergi Jakarta - Purwakarta dan selama mengelilingi kota kecil tersebut.Evan justru merasakan kehangatan yang biasanya sudah jarang didapati di dalam keluarga konglomerat. Mereka juga sangat merangkul karyawan seperti pak Heru dan Evan sendiri. Selama di perjalanan dan selama di Purwakarta, tak pernah sedikitpun keluarga itu terlihat mengesampingkan supir dan bodyguard Arsy. Mereka duduk di meja yang sama, makan dengan menu yang sama dan dari piring yang sama pula.Demian dan pak Heru malah terlihat seperti teman karib saat mereka mengunjungi acara pertunjukan air mancur Sri Baduga yang
Bab 12. Es krimEvan menepati janjinya. Setelah malam itu, hubungannya dengan Arsy pun berubah menjadi baik. Oke, sebenarnya selama satu bulan terakhir dia yang menjauh dan menjadi dingin terhadap Arsy. Namun setelah melewati satu malam bersama keluarga itu, sepertinya Evan sudah salah dengan menganggap mereka adalah keluarga kaya yang jahat. Mungkin peristiwa kecelakaan ibunya waktu dulu memang sudah menjadi sebuah takdir. Evan memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Lagipula ibunya sudah sembuh sekarang, walaupun sudah tidak bisa beraktifitas seperti biasanya.Sekarang dia menjalankan tugasnya dengan hati yang lebih lapang. Arsy juga sudah tidak kaku lagi kepadanya. Sudah lebih rileks dan lebih santai. Apalagi gadis itu konsisten dengan panggilan ‘mas’-nya. Sepertinya Arsy sudah menganggap Evan seperti saudara laki-laki sendiri, sama seperti Arsen. Evan merasa begitu lebih baik. Dia pun lama kelamaan bisa memandang Arsy seperti adiknya sendiri yang
Adapun ide yang dimaksud Arsy kemarin lusa adalah sesuatu yang membuat Evan geleng-geleng kepala. Saat dia menjemput Arsy di rumah, wanita itu memakai dress normal yang berlengan dan roknya kembang se lutut. Tapi setelah sampai di club, dia mengganti pakaiannya di toilet. Evan jelas sangat terkejut dan nyaris menyuruh Arsy mengganti pakaiannya kembali.“Mas, jangan kasih tau Papa Mama yaa? Plis plis plis plissssss …” Arsy tahu Evan sedang marah sekarang. Oleh karena itu dia harus benar-benar membujuk dan memastikan agar pria itu tidak bocor ke orang tuanya.Evan yang sudah tidak selera, mengabaikan Arsy dan menyuruh gadis itu untuk segera bergabung dengan teman-temannya saja.“Syy!” Bagas yang Evan tau adalah fans sejati Arsy, datang menyambut wanita itu. Bagas sepertinya menyewa satu blok khusus di club untuk acara ulang tahunnya malam ini. Jelas sekali sepertinya dia bukan orang biasa.Bagas merangkul Arsy dan menari
Demian dan Sarah sudah menunggu Evan dan juga puteri mereka Arsy, di ruangan kantor Demian yang super lux. Kedua orang tua paruh baya itu sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi di kampus tadi. Ada dua hal yang menjadi topik hangat dalam berita tadi : ciuman dan pertunangan. Entah kenapa hal tersebut bisa mencuat ke media. Suara-suara langkah kaki terdengar dari luar. Dalam hitungan detik, pintu yang terbuat dari bahan kayu jati itu terdorong ke dalam dan Evan yang pertama kali muncul. "Masuk, Van." Demian mempersilakan. Di belakang laki-laki itu, muncul Arsy yang sepertinya tidak dalam kondisi baik-baik saja. Sarah mengulurkan tangan kanannya dan Arsy langsung menggapainya. Gadis kecil itu langsung duduk di sebelah kanan Sarah dan langsung memeluk sang ibu. Siapa pun sudah bisa menebak, dia pasti tertekan dengan berita ini. "Gimana ceritanya, Van? Apa yang terjadi?" Demian memberi waktu untuk Evan bercerita. "Ehm. Ini se
Kejadian di kampus tersebut rupanya langsung sampai ke telinga Demian yang sedang berada di kantor. Dia dan Sarah sedang mengawasi rapat pemegang saham saat kabar tentang pertunangan Arsy dan Evan menjadi trending topik di kampus sang puteri. Demian dan Sarah terpaksa keluar dari ruangan karena ajudan mereka menunjukkan sejumlah foto yang kini beredar di website kampus. Foto yang membuat Sarah seketika terkena migrain. "Bagaimana bisa ada foto ini? Siapa yang mengambil?" tanya wanita itu tidak percaya. Lebih ke bingung kenapa ada foto Evan dan Arsy sedang berciuman di dalam ruangan. Kalau dilihat dari pakaian Arsy, jelas-jelas itu sepertinya saat sang puteri sedang sidang thesis. "Ini foto lama. Kira-kira satu bulan yang lalu. Siapa yang sudah iseng mengambil foto ini?" Wanita itu tidak habis pikir. Dia sama sekali tidak keberatan karena Evan mencium Arsy. Lebih ke khawatir karena foto itu telah beredar dan sekarang sedang menjadi konsumsi publik. Apalagi per
Bukan hanya Wilda yang syok mendengar ucapan Evan barusan, melainkan wanita yang dia akui sebagai tunangan, yaitu Arsy. Bukankah mereka sudah sepakat untuk merahasiakan hal ini dulu, apalagi di kampus?Kaki Arsy refleks bergerak ke arah Evan dan menarik pergelangan tangan laki-laki itu. Dia khawatir Wilda akan melemparkan pertanyaan lagi untuk memperjelas maksud Evan. Lagian sekarang mereka sudah menjadi pusat perhatian. Arsy sama sekali tidak nyaman.Evan merasakan sentuhan tangan Arsy di kulitnya. Biasanya itu selalu berhasil membuat dirinya merasa nyaman. Namun tidak untuk sekarang. Rasa kesal yang menguasai hatinya masih tinggi. Apalagi Wilda seperti tidak percaya atas fakta yang barusan dia deklarasikan. Oh, mungkin bukan tidak percaya. Tidak terima lebih tepatnya."Tunangan? Cihhhhh," ejek wanita itu dengan gaya yang memuakkan. "Arsy itu anak konglomerat. Mimpi aja dia mau sama kamu yang bukan siapa-siapa, Van. Lagian ya kali keluarga Wijaya nggak bi
Sesuai kesepakatan kedua pihak keluarga, untuk saat ini pertunangan Evan dan Arsy masih menjadi hal yang dirahasiakan. Alasannya karena Arsy masih akan wisuda dan alangkah tidak baik jika kabar pertunangan mereka akan menambah kericuhan suasana kampus menjelang hari H. Arsy menurut saja karena baginya itu cukup masuk akal. Namun tidak bagi Evan. Semenjak dia diperkerjakan menjadi bodyguard Arsy dulu, laki-laki itu sudah sangat tahu bahwa Demian menyembunyikan sesuatu yang sangat penting terkait keselamatan puteri bungsunya. Maka dari itu, Evan memilih untuk mengikuti apa yang disarankan oleh orang tua mereka saja. Hal itu pulalah yang menyebabkan Evan tidak bisa terlalu menunjukkan kedekatannya dengan Arsy sekarang. Dia harus banyak-banyak mengelus dada saat dia melihat Bagas sering mendekati calon istrinya. Terkadang dia sudah sengaja berdiri begitu dekat dengan wanita, namun tidak kunjung membuat Bagas peka dan sadar diri. Benar-benar minta ditampol, rutuk Evan di dalam ha
Arsy memandangi cincin berlian yang kini melingkari jari manisnya. Sudah satu hari berlalu sejak dia dan Evan resmi bertunangan. Perasaannya yang masih bercampur aduk didominasi oleh rasa tidak percaya bahwa kini dia sudah terikat dengan seorang lawan jenis yang sempat mengabdi sebagai bodyguard-nya. Walaupun masih hanya bertunangan, bagi Arsy ini sudah jelas sangat mengikat dan sangat sakral. Dia sepenuhnya milik Evan dan begitu juga sebaliknya. Arsy sempat bagai kehilangan arah. Bertunangan adalah salah satu fase hidup yang belum pernah dia masukkan ke dalam list target yang ingin dia capai dalam waktu dekat. Dulu, dia berencana akan bekerja setelah wisuda S2-nya. Sekarang dia tiba-tiba berada di sebuah situasi dimana bekerja bukanlah sebuah kewajiban. Karena itu lah yang diucapkan Evan kemarin. Setelah ini, mereka akan mempersiapkan pernikahan dan setelah itu Arsy akan menjadi ibu rumah tangga yang hanya menghabiskan waktu di rumah. Evan memang belum mengutarakan
Evan akhirnya sepakat untuk menunda keinginannya menerima tawaran Demian. Baginya permintaan Arsy adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan baik mengingat gadis itu adalah calon istri Evan. Di samping itu, keinginan Arsy juga bagaikan angin segar untuk Evan yang masih mempertanyakan perasaan wanita itu kepadanya. Jika Evan tidak salah menangkap maksud sang kekasih, Arsy ingin mereka selalu bersama dan berdampingan dalam mengurus segala kebutuhan pertunangan keduanya. Bagi Evan, ini adalah sebuah kemajuan di dalam hubungan mereka. Dua minggu berlalu dengan cepat. Tiba-tiba saja hari H sudah tiba di depan mata. Acara pertunangan yang dilaksanakan secara privat di sebuah hotel itu sebentar lagi akan dimulai. Tamu yang diundang tidak banyak, hanya beberapa kerabat dekat dari keluarga Wijaya dan Gunawan. Teman-teman Evan darn Arsy pun belum diundang mengingat ini masih sebatas acara pertunangan saja. Arsy tidak bisa menutupi kegugupan yang mulai menyelimuti dirinya
Di sebuah ruangan yang cukup besar, yang merupakan bagian dari sebuah perkantoran elit yang sama-sama bergerak di bidang konstruksi. Seorang pria kisaran umur hampir menyentuh angka empat puluh, sedang menghirup tembakau kesukaannya dengan alat elektrik yang sedang hits di jaman sekarang. Senyumnya terlihat melengkung ketika dia menjepit alat tipis itu di belahan bibirnya. Ada satu hal yang membuat perasaannya bahagia pagi ini. Yaitu rasa menang karena sudah berhasil mengintimidasi seseorang yang selama ini menjadi pesaing bisnisnya. Demian Akira Wijaya. Pria itu adalah Benjamin. Pengusaha muda yang tidak terlalu terkenal di dunia bisnis namun punya power yang cukup kuat karena dia adalah putera dari seorang mafia proyek bernama Chan Li. Benjamin mendirikan perusahaan konstruksi hanya sebagai tameng. Kenyataanya, dia tidak memiliki orang-orang yang kredibel di bidangnya. Dia hidup dan makan dari hasil menindas pengusaha yang sedang menangani proyek besar seperti Demian.
Keputusan Demian sebenarnya sedikit mempengaruhi mood Arsen sepanjang sisa hari. Apalagi saat harus menyampaikan kabar kurang mengenakkan tersebut kepada seluruh timnya. Memang, tidak ada yang protes. Bahkan untuk mengajukan pertanyaan tentang alasan lebih jelasnya pun tidak ada yang berani. Jika itu sudah keputusan Demian, mereka memilih untuk menurut saja. Arsen sendiri sudah terlihat tidak bergairah. Itu artinya bos mereka itupun sudah terlebih dahulu mempertanyakan hal ini kepada sang ayah. Mereka tidak perlu ikut-ikutan bersikap seakan-akan lebih kecewa dan memperkeruh suasana. “Om ada benarnya, Baby. Seorang ayah pasti tau kapasitas anaknya. Jangan terlalu dimasukkan ke hati.” Selomitha, kekasih Arsen, sengaja datang ke kantor setelah mendapat panggilan dari pria itu. Arsen memintanya untuk datang menghiburnya. Setelah mendengar cerita Arsen, Mitha berusaha untuk melihat ini dari sudut pandang Demian, calon ayah mertuanya. Memang terkesan jahat di pihak Arsen,
“Mas beneran nggak jumpain ibu Wilda ‘kan tadi?”“Beneran dong. Kamu mau tanya apa aja tentang seminar kamu tadi, aku bisa jawab. Di menit ke berapa kamu menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, aku ingat. Menit ke tiga. Kamu masuk ke bagian kesimpulan di menit sembilan. Kamu selesai presentasi hanya dalam sebelas menit. Kemudian kamu sempat tersedak saat mengambil jeda untuk minum air mineral. By the way kamu tersedak karena apa? Gugup atau? Dan aku masih ingat pertanyaan dosen penguji yang bikin kamu sempat terdiam hampir tiga puluh detik. Aku menebak kamu sedang mencari jawabannya di kertas intisari yang kamu baca. Benar ‘kan? Dan yang nggak kalah penting, ka_”“Cukup-cukup!” Arsy memanjangkan tangan kanannya dan membekap mulut Evan yang sedang mengemudi. “Oke, oke, aku percaya sama Mas Evan,” lanjutnya sambil tersenyum. Sebenarnya Arsy juga tau Evan tidak meninggalkannya sedetikpun tadi. Siluet pri