Meski di sini aku tersenyum sekalipun. Tetap saja, rasanya tidak sama tanpa kamu. ~MalaDewa*****Mala masih menggenggam erat gelang pemberian Dewa. Air matanya tak dapat ia hentikan. Bulir bening itu terus menerus turun membasahi pipinya."Mala Sayang. Oh astaga, putri bunda yang paling cantik. Udah dong jangan nangis terus." Ibunda Mala terus berusaha menghibur putrinya. Mereka sekarang sudah berada di sebuah rumah yang disiapkan ayah Mala untuk tempat tinggal mereka."Ne, kamsahamnida." Ayah Mala baru saja selesai menelpon. Dia langsung menghubungi kenalannya agar Mala bisa langsung masuk ke universitas."Sayang, ayah udah hubungi teman ayah. Besok kamu bisa mulai kuliah loh. Udah jangan sedih ya, Dewa juga ikut sedih kalau kamu sedih. Udah seminggu Sayang, masa kamu mau sedih terus?" ujar Ayah Mala sambil mengusap kepala putrinya."Bener kata Ayah, Nak. Kamu jangan sedih terus yah. Semangat dong,"Mala mengangguk sambil menyeka air matanya. "Iya, Bun, Yah."Dewa juga selalu memberi
Meski rasanya sulit menjalani hari-hari tanpa Dewa. Tapi akhirnya tepat hari ini Mala berhasil melewati bulan pertama dirinya di Korea. Di kampus Mala hanya terus fokus belajar, temannya hanya Lyra. Gadis itu saja yang selalu rajin menghampiri Mala ke kelasnya, karena kelas mereka berbeda.Namun belakangan Mala merasakan kepalanya seringkali pusing, perutnya juga terasa sakit sesekali. Walau begitu Mala tidak memberitahukannya pada bunda dan ayahnya. Mala tidak mau membuat cemas kedua orang tuanya, menurutnya ini hanyalah sakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya."Mala, kamu nggak makan siang?" tanya Lyra."Enggak, aku belum laper," geleng Mala."Tapi kok kamu pucet banget, Mala? Kamu lagi sakit kah?" Lyra menyentuh kening Mala yang agak berkeringat dan terlihat pucat."Enggak kok, aku nggak sakit." Mala lagi-lagi menggeleng."Mala, kamu tuh lemah banget, lihat deh bibir kamu sampai kering. Ini tandanya kamu sakit." Kali ini Lyra menyentuh pipi Mala yang terasa dingin. "Dingin b
Dewa sudah berada di depan rumah Natasha. Teringat lagi saat Mala begitu lemah tadi. Gadis kecilnya terus menangis tiada henti karena tidak ingin Dewa pergi lagi. Saat itu Dewa merasa sangat bersalah, dia berpikir Mala sakit karenanya."Wa. Kamu kok malah di sini? Ayo masuk," ajak Natasha saat melihat Dewa hanya termenung di depan pintu."Kak. Daddy udah tidur?" tanya Dewa pada kakaknya. Hari sudah larut, tapi Natasha sejak tadi menunggu adiknya pulang sehingga dia sengaja tidak tidur."Udah, tadi Daddy nunggu kamu. Tapi kayaknya dia kecapean, dia ketiduran."Natasha dapat melihat gurat kesedihan dari wajah adiknya. "Dewa? Kamu nggak apa-apa, kan?"Meski keduanya berbeda ibu. Tapi Natasha sangat menyayangi Dewa, ia pun cukup memahami watak adiknya, dia adalah lelaki yang kuat. Tapi sekarang apa ini? Natasha melihat adiknya seperti habis menangis dengan mata yang agak bengkak."Mala baik-baik aja, kan?"Dewa memeluk kakaknya. Saat itu dia benar-benar merasa buruk. "Mala lemah, Kak. Kat
Tau nggak kenapa aku nggak bisa jauh dari kamu? Itu karena berjauhan membuatku takut. Takut, kalau kamu akan berpaling. Takut, kalau kamu menemukan dia yang lain. Yang lebih membuat kamu nyaman dibandingkan aku. ~Nirmala Tau nggak apa yang paling aku kesel? Aku kesel sama jarum jam, kenapa lama banget bergeraknya. Aku ingin waktu berputar cepat, agar aku bisa segera bertemu kamu. Tapi, saat aku di sampingmu, waktu terasa sangat cepat berjalan. Padahal aku ingin waktu terhenti, sehingga aku bisa berlama-lama denganmu. ~Nirmala ******Dewa menghela napas panjang. Ia tersadar bahwa dirinya dan Mala tidak boleh berpisah apapun yang terjadi. Terkadang Dewa berpikir pendek. Dia hanya tidak ingin membuat Mala menderita. Tapi ternyata Mala justru jauh lebih menderita saat keduanya berpisah.Saat ini dia merasa agak lega. Mala menyadari akan kesalahannya, melupakan makan dan kesehatannya. Hal itu adalah penyebab Mala sakit seperti sekarang. Setidaknya kata-kata Dewa ada manfaatnya juga. Mal
Mala memandangi ruangan rumah sakit. Sepi, tidak ada siapapun sekarang. Ayah dan bundanya sedang pulang ke rumah. Pikirannya terus menyimpan banyak pertanyaan tentang perasaan Dewa saat ini padanya.Kita putus aja. Itu yang dikatakan Dewa kemarin padanya. Apa benar Dewa hanya tidak ingin dirinya tersiksa? Atau jangan-jangan Dewa yang ingin berpisah dengannya karena bosan. Tapi, kalau Dewa bosan, buat apa Dewa menangis saat dia sakit kemarin."Apa aku sanggup pisah sama kamu, kak?"Beberapa saat kemudian Mala tersentak mendengar suara pintu ruangannya terbuka. "Bunda atau Ayah?" Mala berbalik dan terkejut."Kak Dewa."Dewa pun masuk bersama dengan Maxime dan Natasha."Om Max?" sapa Mala."Mala Sayang, kamu gimana kabarnya?" tegur Max sambil berjalan mendekat."Mala baik, Om." Mala bermaksud berdiri, tapi Dewa mencegahnya. "Duduk aja," cegahnya."Iya, kamu duduk aja, Sayang." Maxime mengusap puncak kepala Mala. Gadis itu sudah dia anggap seperti putrinya sendiri."Hai Mala, masih ingat
Dewa dan Alyra dulunya berpacaran kurang lebih tiga tahun. Mereka menjalin hubungan dekat sejak Alyra duduk di bangku SMA sedangkan Dewa baru memulai kuliah.Hubungan mereka cukup harmonis. Alyra bukan hanya pacar, tapi juga seperti saudara perempuan bagi Dewa. Sampai saatnya semuanya harus berakhir karena sebuah insiden.Alyra berciuman dengan lelaki lain tepat di depan Dewa yang tidak sengaja memergoki mereka. Bukan sekali Dewa merasa Alyra mendustai hubungan mereka. Sebelumnya Dewa juga pernah melihat Alyra di antar oleh lelaki tersebut. Lelaki yang mencium bibir Alyra di hadapan Dewa."Dewa. Seandainya kamu mau denger penjelasan ku. Itu sama sekali nggak bener. Aku nggak selingkuh, aku cuma sayang kamu." Lyra menangis sambil menatap foto dirinya dan Dewa dahulu. Alyra masih dan akan selalu menyimpan foto kenangan itu."Kamu udah punya pacar, Wa." Alyra berucap lirih sambil mengusap ujung matanya yang basah. "Mala pacar kamu?" tanyanya pada foto Dewa yang sedang dia pandangi sekara
Dewa membuka matanya. Rupanya ia ketiduran tepat di sisi Mala yang masih terpejam lelap. Jam menunjukkan pukul 22.00 waktu Korea. Orang tua Mala sepertinya belum pulang. Dewa segera bangun, sebelum itu tak lupa ia mengecup kening Mala dengan lembut.Tak mungkin tidur bersama. Dewa keluar dari kamar Mala. Matanya begitu segar, ia sudah tidak mengantuk lagi. Sambil mengedarkan pandangan ke setiap penjuru rumah Mala. Dia memilih pergi ke teras untuk merasakan udara malam yang dingin di Seoul.Mengapa sampai saat ini Dewa masih saja memikirkan tentang mantan kekasihnya, Alyra. Masih terkejut, tidak menyangka dan bertanya-tanya."Kenapa dia ada di Korea? Pindah dari Jakarta?" gumamnya sambil berpikir. "Gimana kalau dia cerita ke Mala tentang yang dulu." Mendadak Dewa merasa cemas.Meskipun begitu dia yakin Mala tidak akan salah paham. Bagaimana pun juga itu hanyalah bagian dari masa lalunya. Suka tidak suka, mau tidak mau, setiap orang pasti memiliki masa lalu. Entah itu masa lalu yang sep
Terdiam. Mala menatap jauh ke gedung-gedung yang berbaris dengan gemerlap lampu layaknya bintang kecil jika dipandangi dari atas gedung dimana Mala berpijak saat ini.Helaan napas panjangnya, pertanda ia lelah.Tak kuasa menahan sesak di dadanya. Satu nama yang terpatri di hatinya. Masihkah akan tetap sama?Mala mem-block nomor ponsel Dewa dengan hati teriris pedih."Ini udah berakhir. Lupakan dia, Mala."Air mata turun membasahi pipinya. Tapi Mala langsung menghapusnya."Gwenchana," lirihnya sambil berbalik, pergi.****Hari ini Mala kembali ke kampusnya. Dia duduk di kelas dengan senyuman lebar melingkar di bibirnya. "Semangat!""Mala!""Lyra?" sahut Mala. Lyra langsung memeluknya. "Udah sembuh?"Mala mengangguk. "Ne."Lyra tersenyum. "Okay. Syukurlah.""Kemarin aku ke rumah sakit. Terus kata dokternya kamu udah semingguan lalu pulang ke rumah. Ternyata kamu udah ngampus hari ini," kata Lyra dibalas anggukan lagi dari Mala. "Iya,""Oh iya. Waktu itu pas aku baru sadar, pacarku lihat