Akhir pekan ini Nea disibukkan dengan pesanan dari Dayana. Setelah bangun tidur ia buru-buru masuk ke dapur dan menyiapkan semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan sembari menunggu suster dan mbak yang lainnya datang. Aciel juga menambah satu orang lagi karyawan Nea. Kemarin mereka sudah membuat risoles yang sudah dibaluri tepung panir, jadi hari ini tinggal gorengnya saja. Bumbu-bumbu mie sudah sebagian diracik Nea, tersisa sedikit lagi. Mbak Ani kebahagian membuat buko pandan. Menu yang satu ini adalah hasil permintaan Mbak Ani yang ahli dalam membuat makanan satu itu. Semua orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tersisa Siska yang belum kedapatan pekerjaan karena sedang menjemur pakaian. "Mbak, nanti buko pandannya jangan terlalu manis, dibuat sedang aja, takut pada nggak bisa makan manis sama dipenuhi aja Cup-nya," ucap Nea. "Iya nyonya, nanti saya koreksi rasanya, oh ya nyonya, tadi malam saya udah kupas bawang, ada di dalam kulkas. Nyonya tinggal blender aja."Nea mengacun
Ini kali pertamanya Nea mengunjungi rumah mertuanya. Nea tidak sendirian melainkan ditemani oleh Acil yang secara sukarela mengantarkannya ke sini. Sebelumnya Mbak Ani dan Siska sudah pergi terlebih dahulu bersama makanan yang dipesan oleh Dayana. Nea masih belum mau beranjak dari mobil hingga Aciel merasa geram dan frustrasi melihat wanita itu masih tetap duduk. "Ne, mau sampai kapan duduk?" tanya Aciel.Nea menggeleng dengan raut wajah khawatir. Ia sendiri masih belum siap menghadapi banyak orang terlebih lagi teman-teman dari dayana yang sudah memenuhi rumah ibu mertuanya itu. "Aku takut banget, mas. Gimana kalau aku salah tingkah?"Tangan Aciel terulur meraih tangan wanitanya. "Tidak perlu khawatir, lakukan sebisamu jangan memaksakan diri. Kalau lelah kita bisa pulang." "Apa aku bisa?" Anggukan kepala Aciel membuat keyakinan dalam diri Nea langsung bangkit. "Jangan gugup, bersikap seperti biasa. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun kenapa harus takut?" Benar! Nea harus mengi
"Saya mau bicara." Tiga kata itu bak perintah yang tidak bisa dibantah sedikit pun sementara orang yang diberi perintah sangat tidak suka disuruh-suruh seperti itu. Alhasil, tidak ada pergerakan sama sekali.Merasa kesal tidak ada respon, seorang pria memakai kemeja hitam maju beberapa langkah mendekati Aciel yang masih sibuk dengan makanannya. "Saya bicara dengan anda!" tegasnya. "Silakan, di sana ada tempat duduk silakan duduk," ucap Aciel santai menunjuk kursi yang ada di depannya."Oke." Ia pun duduk dengan rasa kesal."Apa yang ingin dibicarakan? Silakan, saya ada kunjungan lapangan ke pembangunan gedung, silakan dipercepat!""Oh gini ya bicara sama orang yang sok berkuasa! Keren, keren, apa ini juga cara anda memaksa Nea?"Lagi dan lagi Niko mengangkat topik yang sama. Sejauh ini Niko tidak bertindak apa pun setelah mendengar pembicaraan Aciel dan Galen. Ya, pria itu adalah Niko. "Kenapa? Apakah saya mengusik hidup anda?" "Tentu, dengan Anda mengusik hidup Nea sama saja mengu
Aciel berusaha keras untuk pulang lebih awal akan tetapi masalah di lapangan cukup menguras otaknya dan tidak bisa ditinggalkan. Ada beberapa kesalahan perencanaan yang tidak sesuai dengan lapangan. Ia pun memijit pelipisnya, Jika begini tidak akan sesuai jadwal dan mengalami kerugian."Kalian bagaimana, Kenapa tidak dicek terlebih dahulu kondisi tanah di sini? Seharusnya dicek dan diuji terlebih dahulu sebelum melakukan perencanaan lebih lanjut jika begini bangunan akan molor selesainya," tegas Aciel pada para pegawainya. Konsultan perencana berdiri lebih depan dengan kepala menunduk. "Maaf pak, saya tidak meneliti lebih jauh. Saya akan mencari cara untuk menangani masalah ini.""Bagaimana caranya? Yasudah, nanti beri tahu saya bagaimana perkembangannya, besok Galen yang akan ke sini." Wajah kecewa Aciel meninggalkan lokasi proyek membuat orang-orang yang berbaris tadi langsung panik. Saat keluar dari lokasi proyek, Aciel menyadarkan tubuhnya di pintu mobil sambil memejamkan mata.
"Kenapa kamu tiba-tiba berpikiran demikian? Apakah aku selama ini pernah merendahkanmu? Ne, siapa yang mengatakan itu? Siapa yang membuatmu berpikir begitu?" Aciel mulai mendekati istrinya yang kembali terisak kuat. Nea enggan menatap Aciel, matanya terus menatap ke bawah. "Nea serendah itu," lirihnya.Kedua pipi Nea dipegang oleh Aciel dan perlahan diangkatnya agar dirinya bisa menatap wajah sang istri. "Kamu berharga, sangat berharga. Aku bahkan tidak bisa kehilanganmu saat ini," ucap Aciel.Mata Nea tak berkedip, menatap bola mata Aciel yang memancarkan ketulusan. Jantungnya pun ikut berdetak kencang bersamaan dengan kupu-kupu berterbangan bebas di perutnya, sangat menggelitik dan aneh. Tetapi sesaat kemudian wanita itu mengalihkan pandangannya. "Tapi kenapa mas? Kenapa harus ada kontrak yang mengikat kita? Aku tahu pernikahan kita memang sebuah kesepakatan, aku sadar itu tapi setiap kali aku mengingatnya aku selalu merasa rendah.""Kamu masih terikat akan kontrak itu? Kamu menga
Rea akhirnya bisa tersenyum lega saat melihat sang kakak keluar dari kamar dalam keadaan mata bengkak serta wajah sebab akibat menangis. Tidak ada yang bertanya mengenai mengapa dia menangis karena tidak ingin membuat wanita itu semakin sedih lagi. Selain itu aja juga meminta pada mereka untuk bersikap seperti biasa dan seolah tidak terjadi apa-apa. "Kak, semua semua pesanannya udah Rea bungkus tinggal diantar saja.""Terima kasih Re, nanti Pak Didin yang mengantarkannya. Siska mana? Bilang sama dia sisa buko pandan yang tadi masukin kulkas aja." Anggukan kepala dari sang adik membuat Nea mengembangkan senyum. Nea duduk di kursi meja makan sambil menyenderkan kepalanya di sandaran kursi. Tak lama setelah itu, Galen muncul dengan sekotak kue dengan keringat yang mengucur. "Lho? Kenapa Kak Galen keringatan?" tanya Nea saat pria itu menaruh kue di meja makan. Galen tersenyum. "Gara-gara suami kamu," kelakar Galen. Bertepatan dengan itu Aciel baru saja keluar dari kamar dengan pakaia
Dingin menusuk kulit Nea, embusan angin memenangkan anak rambut wanita itu. Ia begitu menikmati cuaca dingin malam ini. Baju tipis dan celana panjangnya tak membuat dirinya merasa hangat. Tak ada niatan sama sekali mengambil selimut di dalam, ia duduk memejamkan mata sambil mendengarkan musik yang mengalun di telinganya.Ceklek! Suara pintu kamar mandi terbuka membuat Nea mengalihkan perhatian. Aciel yang baru selesai mandi sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Percikan air yang berasal dari rambut menambah pesona pria itu. Bak iklan shampo, Aciel membuat Nea tak bisa mengalihkan pandangannya, kepalanya ikut miring saat pintu menghalangi pemandangannya."Dia tampan," gumam Nea dengan senyum merekah sempurna."Ne? Ada apa?" tanya Aciel.Suara Aciel membuat ia tersadar dan langsung memalingkan mata menatap ke depan, ia bergumam tidak jelas sambil memainkan cincin pernikahan mereka."Tidak apa," jawabnya.Sial! Jantung Nea berdetak tidak karuan. Apa yang terjadi pada Nea belakang
Niko memandangi kalender yang tergantung di dinding kantor pengacara. Tubuh tegapnya berdiri sambil bersedekap dada menghadap ke tembok. Sangat sulit untuknya bisa masuk ke ruangan ini. Baru kali ini ia bersyukur atas koneksi orang tuanya."Niko, saya tidak bisa mengatakan lebih. Ini sudah melanggar privasi dan jika ada yang mengetahuinya saya bisa dilaporkan."Wajah ketakutan dan tatapan penuh harap yang dilihat Niko mampu menggoyahkan pendiriannya. "Pak, saya tidak meminta banyak, hanya informasi saja. Apakah itu susah?"Pengacara yang bicara pada Niko tersebut langsung menggelengkan kepala dengan tangan memijit pelipis. "Informasi yang kamu inginkan adalah milik seorang pengusaha yang memiliki pengaruh yang cukup besar. Reputasi saya dipertaruhkan di sini saya rasa saya sudah cukup membalas kebaikan orang tua kamu."Entah sejak kapan Niko berubah menjadi pemaksa dan tidak peduli akan orang sekitar. Ia memanfaatkan jasa orang tuanya pada pengacara yang menangani kontrak Nea dan Acie