“Tuan, sejak pagi saya tidak melihat Nyonya Nea, apa nyonya pergi?” tanya Mba Ani yang sedang menghidangkan sarapan.“Mama sakit bibi, kepalanya sakit jadi papa suruh tidur,” jawab Zee dengan mulut yang dipenuhi roti. “Nona Zee sudah beri obat mamanya?” tanya Mbak Ani sembari menekuk lututnya menyamakan tingginya dengan Zee. Zee mengangguk. “Tadi papa udah kasih makan sama obat.” Mbak Ani membelai lembut rambut Zee lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. Wanita paruh baya itu terhenti sejenak teringat akan sesuatu, diliriknya Aciel yang sedang menikmati makanannya. “Tuan,” panggil Mbak Ani dengan suara ragu. Aciel langsung menoleh dan mengerutkan kening. “Ada masalah, Bi?” tanya Aciel melihat Mbak Ani yang terlihat ragu untuk berbicara. “Begini, kemarin nyonya datang ke rumah. Siska mengatakan nyonya sempat bicara sama Nyonya Nea, setelah mereka bicara Nyonya Nea kepergok sesekali termenung gitu.” Mbak Ani tidak bisa melanjutkan ucapannya, ia ragu dan juga bingung. “Mama? Apa ya
Nea melirik ke belakang di mana Zee tertidur setelah menangis beberapa saat yang lalu. Ia menghela napas berat dan memejamkan matanya menikmati suara musik yang mengalun merdu masuk ke indera pendengarannya. Saat mata terpejam ia merasa seseorang mantapnya, perlahan mata Nea terbuka dan menoleh ke samping. “Ada yang salah sama wajah saya?” tanya Nea diselingi oleh kekehan kecil. “Tidak ada, saya hanya khawatir. Clara sudah kelewat batas.”Membahas mengenai wanita itu yang ternyata bernama Clara, muncul sebuah pertanyaan yang ingin sekali ditanyakannya pada pria di sebelahnya. “Kalau boleh tahu, siapa Clara. Jujur saya tidak peduli kalaupun dia pacar Mas El atau hubungan lainnya karena pernikahan kami hanya di atas kertas saja. Sebagai jaga-jaga bila terjadi sesuatu ke depannya.” Nea penasaran akan wanita itu tetapi sebisanya ia beralibi agar dirinya tidak terlihat penasaran.“Clara adalah teman kuliah saya, dari dulu dia ngincar Pak El, setiap kali ada kesempatan dia selalu mendekat
Hujan mengguyur kota malam ini. Terdapat beberapa genangan air di jalanan. Tiap kali mobil lewat maka akan ada cipratan air yang bisa membasahi pakaian. Cuaca sejuk dan angin yang cukup kuat membuat orang sekitar enggan untuk keluar. Berbeda dengan seorang wanita yang setia duduk di halte bus sejak tadi sore. Pakaiannya sudah basah akibat air hujan. Dingin yang menusuk kulitnya tidak membuat wanita itu beranjak dari duduknya. Ia terus menangis sambil menutupi wajahnya. “Kakak, baju kakak basah, pake jaket aku dulu ini.” Seorang gadis remaja menawarkan jaket pada wanita itu yang tak lain adalah Nea. Wajah Nea yang yang ditutupinya dengan telapak tangan langsung dibuka dan menatap ke arah gadis remaja itu. “Kakak nangis?” tanya gadis itu sambil memegang tangan Nea. Nea memalingkan wajah, ia menghapus jejak air mata dan kembali menoleh dengan wajah dihiasi senyum. “Tidak, hanya kena air hujan saja. Kamu pakai saja jaketnya, kamu baru pulang sekolah? Nanti sakit.” Nea mengembalikan ja
Pagi ini Nea memutuskan untuk kembali masuk ke kantor setelah drama kemarin selesai, ia pun sudah menyiapkan sarapan bersama Mbak Ani dan Zee sedang pakai baju bersama suster. Kini, Nea mulai mematut dirinya di depan kaca, memandangi penampilan dari atas hingga bawa. Setelah dirasa sudah sempurna, wanita itu berjalan keluar kamar dengan tas yang akan dibawanya ke kantor. Ini hari pertama Nea pergi ke kantor setelah menikah, ada rasa gugup dan takut juga. Orang-orang kantor pasti sudah mengetahui mengenai pernikahan Nea, memang tidak semua diundang tetapi kabar pasti sudah tersebar. “Nyonya, sudah saya siapkan nasi gorengnya di atas meja, Siska sudah menggoreng telur, ada ayam juga, dan kerupuk. Apa ada tambahan lain?” tanya Mbak Ani menghampiri Nea yang berjalan ke meja makan. “Sepertinya sudah lengkap, mbak. Mbak sarapan saja dulu, biar Nea yang urus sisanya.”“Baik nyonya, jika butuh bantuan kabarin saya saja.” Mbak Ani pun kembali ke dapur sementara Nea ke meja makan. Melihat mak
Saat memasuki ruang kerjanya, teman kantornya langsung menatap Nea. Tatapan ini yang membuat Nea merasa tidak nyaman, terlebih lagi ada rasa bersalah yang muncul karena dirinya menambah cuti beberapa hari karena masalah kemarin dan sakit. Setelah duduk di kursinya, ia langsung disambut dengan tatapan Ayu.Nea langsung memutar bola mata malas sambil menyenderkan tubuhnya di punggung kursi. “Mbak, mau nanya apa?” tanya Nea saat Ayu terus melihat dirinya dari atas sampai bawah.“Banyak, yang pertama kenapa kamu nggak cerita kalau calon suami kamu Pak El?” “Nea nggak mau kasih kejutan, lagian Mbak Ayu bakal tau juga siapa suami Nea. Gantian sekarang, kenapa Mbak nggak datang ke nikahan Nea?” Ayu menyengir sambil menggaruk tengkuknya. “Mertua mbak masuk rumah sakit, jadinya mbak di rumah sakit hari itu. Mau datang ke nikahan kamu tapi nggak ada yang nganterin, datang sendirian aja nggak seru.”“Sakit apa mbak?” tanya Nea. “Biasa, darah tinggi, sekarang di rumah. Jadi, pulang kerja mbak
Layar monitor telah menjadi makanan sehari-hari untuk Aciel. Hari ini dirinya begitu lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan dan juga beberapa kertas yang harus diperiksa. Ia pun bangkit dan melakukan sedikit peregangan. Sekilas diliriknya jam yang menggantung di dinding, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat dan pria itu telah bekerja hingga larut malam.“Pak, saya sudah mengirimkan semua berkasnya di E-mail nanti bisa di cek, pekerjaan saya sudah selesai, saya mau pulang.” Galen merasa lega setelah menyelesaikan pekerjaannya. Bukan kali pertama ia mengikuti Aciel untuk lembur seperti ini. Ia tidak tega melihat dia bekerja sendirian di kantor sebesar ini sampai tengah malam. “Oke, Galen aku mau bicara sebentar.” Jika Aciel berbicara santai itu artinya ia bicara dengan temannya bukan sekretaris.“Ada masalah apa?” Galen mencari tempat yang nyaman untuk mendengarkan Aciel. “Menurutmu, apa aku terlalu keras pada Nea? Mengenai Clara, kamu tahu sendiri wanita itu sangat sus
Rea duduk memandangi sebuah gedung besar di hadapannya. Saat ini gadis itu berada di sebuah kafe yang berhadapan langsung dengan gedung berlantai 15 tersebut. Ia sesekali melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Rea mempunyai janji dengan seseorang siang ini tapi hingga kini ia tidak melihat kedatangan orang tersebut. “Mana sih? Katanya mau datang,” kesal Rea. Ia bela-belain pulang sekolah ke sini tetapi yang membuat janji malah telat.“Nyebelin banget, mana tadi panas-panasan ke sini taunya telat. Kalau gitu duduk dulu di sekolah sambil makan cilok.”Tidak lama kemudian seorang pria menghampiri Rea dan duduk di hadapannya. Tatapan tidak bersahabat menyambut kedatangan pria itu.“Kurang lama datangnya, nggak sekalian sore aja kak?” kesal Rea.“Sorry, kak Niko ada kerjaan tadi, ini aja buru-buru ke sini.”Kemarahan Rea mulai surut saat melihat baju Niko basah akan keringat dan napasnya pun mulai tersengal-sengal. “Yaudah, mau pesan makan?”“Iya, nasi goreng aja deh sama
Kebiasaan Nea perlahan mulai berubah, ia yang biasanya bangun pagi untuk beribadah dan masak untuk sarapan terus menyuci saat di rumah orang tuanya, kini setiap pagi setelah beribadah ia akan masak untuk sarapan, menyiapkan Zee untuk berangkat ke sekolah, terus memastikan Aciel sudah bangun serta menyiapkan pakaiannya, setelah itu barulah sarapan. Hidup Nea berubah drastis, dulunya ia masih bisa berselancar di media sosial dengan bebas tetapi kini tidak. Ia kesulitan mencari waktu untuk memegang ponselnya. Dibanding memegang ponsel lebih baik dirinya istirahat."Zee, ayo cepat, jangan lihat ke kaca terus. Mama mau lihat papa habis ini." Nea terus memanggil Zee yang sedang mematut dirinya di cermin sambil menggoyangkan rambut yang sudah diikat oleh Nea. "Sebentar mama, Zee mau lihat rambut Zee tuing-tuing," ucapnya.Nea menghela napas. "Yasudah nanti kamu bisa lihat lagi, ayo pakai bedak dulu sebentar sayang." "Oke." Zee berlari ke arah Nea dan memajukan wajahnya agar Nea dengan lelu