(Mahesa)
Aku melihat Sekar terhimpit antara dashboard mobil dan pintu yang ringsek. Dia menatapku sendu. Tangannya yang bebas meraihku walaupun jemari panjangnya tidak dapat meraihku dari himpitan bagian mobil yang ringsek. Aku bisa merasakan cairan mengalir ke seluruh dahiku. Dan…
Tiba-tiba aku terbangun. Aku hampir saja melepas selang infusku yang sengaja dipasang di tangan kiriku. Jantungku berdebar kencang, pusing, dan mataku agak kabur. Aku meraba kepalaku yang dibalut perban. Pusing sekali.
“Mahesa!” Derry memelukku.
Aku melihat Kiano juga dibelakangnya.
“Sekar dimana?&rdquo
(Sekar) Aku mendengar suara ombak yang berdesir indah di telingaku. Anginnya menerpa wajahku dan rambutku hingga berkibar indah. Ombaknya juga bergulung dengan sempurna. Aku berjalan menjauh meninggalkan pantai sambil menoleh ke belakang beberapa kali. Di sana aku melihat seorang laki-laki menatap gulungan ombak. Bahunya terlihat sendu dan kepalanya agak tertunduk menatap kakinya yang tersapu ombak. Kemudian aku terbangun. Alarm ponselku berbunyi nyaring. Aku meraih ponselku di meja kecil samping tempat tidur dengan malas dan mematikan alarm-nya. Dia lagi. Laki-laki itu yang selalu muncul di setiap mimpiku. Sudah hampir empat bulan ini aku bermimpi tentangnya. Aku selalu melihat tampak belakangnya. Perasaanku mengatakan dia merasakan kesedihan yang mendalam. Apakah itu hanya sebuah mimpi atau memori yang t
(Sekar) Aku membuka laptop dan mengecek beberapa file. Tidak ada sama sekali sesuatu di dalam laptopku yang mendukung memoriku muncul kembali. Sebetulnya kenapa sih suamiku menyuruh orang untuk melakukan hal-hal ini? Menghapus semua foto dan nomor telepon suamiku di ponsel, membersihkan semua barang-barang suamiku, dan bahkan mengambil semua album foto dan video pernikahanku. Yang paling parah, almarhum suamiku pun sampai membungkam seluruh keluargaku untuk tidak berbicara sedikit pun tentang dirinya. Aku menikahi siapa!? Kepalaku terasa ingin meledak memikirkannya. “Bu, aku nggak nikahin anak Presiden kan?” celetukku. “Kamu ini ada-ada aja. Ya enggaklah.”&nbs
(Mahesa) Hari-hariku seperti biasa. Main game, menonton film, tidur, kadang kalau ingat mungkin aku akan makan. Tidak ada asupan yang bergizi yang masuk ke tubuhku. Bisa dibilang tubuhku kurus sekarang. Aku hanya melakukan sit up, di pagi dan malam hari ratusan kali untuk menghilangkan pikiranku yang aneh-aneh. Ya, rasa bersalahku kepada Sekar. Hal inilah yang membuatku memutuskan untuk meninggalkan Sekar untuk waktu yang tidak ditentukan. Karena Sekar pun tidak mengingatku, jadi itu adalah momen yang pas untuk membuat cerita bahwa Sekar memiliki suami yang sudah meninggal, agar Sekar tidak berusaha mengingat siapa aku. Beberapa hari setelah aku melihat Sekar secara tidak sengaja, nafsu makanku semakin berkurang. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku. Aku hanya tergeletak saja di tempat
(Sekar) Mimpi itu. Aku bermimpi pria itu lagi, menatap gulungan ombak dengan punggung yang sendu. Aku selalu penasaran kenapa aku meninggalkannya dan tidak menemaninya. Aku yakin, pria itu sedang butuh seorang teman. Aku membuka mataku tiba-tiba. Ponselku berbunyi. Alarm selalu membuatku bangun tepat waktu setiap pagi. Walaupun aku tidak melakukan apa pun. Bekerja pun tidak. Sebetulnya aku ingin sekali bekerja. Beberapa minggu yang lalu aku sempat melihat-lihat beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahlianku. Aku bangun dari tidurku dan duduk di pinggiran tempat tidur. Aku menatap kedua kakiku yang menapak lantai berkarpet. Aku mendengar suara-suara samar di kepalaku. “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” Aku menoleh
(POV) Pagi ini tidak begitu cerah. Tidak secerah wajah Mahesa yang berjalan pelan dengan tumpuan tongkat sikunya yang hanya sebelah. Dia memang belum lancar berjalan. Ketika dia tidak memakai tongkatnya, kakinya terasa ngilu dan tertusuk-tusuk. Penyebabnya mungkin karena Mahesa tidak melakukan terapi setelah pemasangan pen pada kakinya yang patah pasca operasi beberapa bulan yang lalu. Semua karyawannya yang melihatnya masuk kembali terpana. Tampangnya kali ini terlihat berbeda. Selain kurus, rambut Mahesa agak panjang menjuntai di setengah telinganya, dan tumbuh jambang tipis di sekitar rahang dan dagunya. Banyak yang menyapa dengan sebuah senyuman senang karena Mahesa kembali lagi ke perusahaan. Ada juga yang sangat bersimpati padanya karena kisahnya yang sedih. Hanya mendengar desas-d
(Mahesa)Satu minggu sebelumnya, Beberapa minggu ini aku sibuk dan fokus mengurus perusahaanku pasca kekacauan yang dibuat oleh Brian dan Farel. Kelanjutannya, Brian ditahan dan menyusul Farel. Mama Rosa akhir-akhir ini sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Sempat aku mendengar Mama Rosa dan Darius bertengkar hebat karena Mama Rosa beranggapan bahwa Darius terlalu tega kepada anak-anak kandungnya daripada aku, yang entahlah dianggap anak angkat bukan, anak tiri juga bukan. “Malam ini kamu akan malam sama Pak Ari.” ucap Kiano melihat tab-nya. “Pak Ari? Siapa?” Aku menengadahkan kepalaku pada Kiano yang sedang berdiri. “D
(Mahesa) Kiano melihatku pulang dengan tatapan yang ingin menerkam tubuhku. “Kenapa tanganmu?” Dia melihat tanganku yang diperban. “Nggak sengaja.” “Bos, jangan cari masalah. Kamu sudah susah berjalan saja aku khawatir kalau kamu keluar sendirian. Sekarang pulang-pulang, tanganmu diperban.” “Sekar nggak sengaja menabrak aku dan memecahkan guci.” Kiano membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Dia siap mendengarkan dengan seksama ketika aku menyeut nama Sekar. Dia tidak jadi kutinggalkan di Jakarta. Dia be
(Sekar) Aku terbangun dengan deringan ponselku yang kencang. Kevin. Sembari aku merogoh tasku untuk mencari ponselku, aku melihat Mahesa tertidur di sebelahku, dengan kedua tangannya sebagai tumpuan kepalanya. Aku berdiri dan agak menjauh dari pondok kami tidur. KEVIN. “Halo.” jawabku. “Sekar kamu dimana? Aku baru aja landing.” “Landing? Ke mana?” Aku mengerutkan dahiku. “Denpasar.” Aku terdiam.&
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb