(Mahesa)
Hari-hariku seperti biasa. Main game, menonton film, tidur, kadang kalau ingat mungkin aku akan makan. Tidak ada asupan yang bergizi yang masuk ke tubuhku. Bisa dibilang tubuhku kurus sekarang. Aku hanya melakukan sit up, di pagi dan malam hari ratusan kali untuk menghilangkan pikiranku yang aneh-aneh. Ya, rasa bersalahku kepada Sekar. Hal inilah yang membuatku memutuskan untuk meninggalkan Sekar untuk waktu yang tidak ditentukan. Karena Sekar pun tidak mengingatku, jadi itu adalah momen yang pas untuk membuat cerita bahwa Sekar memiliki suami yang sudah meninggal, agar Sekar tidak berusaha mengingat siapa aku.
Beberapa hari setelah aku melihat Sekar secara tidak sengaja, nafsu makanku semakin berkurang. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku. Aku hanya tergeletak saja di tempat
(Sekar) Mimpi itu. Aku bermimpi pria itu lagi, menatap gulungan ombak dengan punggung yang sendu. Aku selalu penasaran kenapa aku meninggalkannya dan tidak menemaninya. Aku yakin, pria itu sedang butuh seorang teman. Aku membuka mataku tiba-tiba. Ponselku berbunyi. Alarm selalu membuatku bangun tepat waktu setiap pagi. Walaupun aku tidak melakukan apa pun. Bekerja pun tidak. Sebetulnya aku ingin sekali bekerja. Beberapa minggu yang lalu aku sempat melihat-lihat beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahlianku. Aku bangun dari tidurku dan duduk di pinggiran tempat tidur. Aku menatap kedua kakiku yang menapak lantai berkarpet. Aku mendengar suara-suara samar di kepalaku. “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” Aku menoleh
(POV) Pagi ini tidak begitu cerah. Tidak secerah wajah Mahesa yang berjalan pelan dengan tumpuan tongkat sikunya yang hanya sebelah. Dia memang belum lancar berjalan. Ketika dia tidak memakai tongkatnya, kakinya terasa ngilu dan tertusuk-tusuk. Penyebabnya mungkin karena Mahesa tidak melakukan terapi setelah pemasangan pen pada kakinya yang patah pasca operasi beberapa bulan yang lalu. Semua karyawannya yang melihatnya masuk kembali terpana. Tampangnya kali ini terlihat berbeda. Selain kurus, rambut Mahesa agak panjang menjuntai di setengah telinganya, dan tumbuh jambang tipis di sekitar rahang dan dagunya. Banyak yang menyapa dengan sebuah senyuman senang karena Mahesa kembali lagi ke perusahaan. Ada juga yang sangat bersimpati padanya karena kisahnya yang sedih. Hanya mendengar desas-d
(Mahesa)Satu minggu sebelumnya, Beberapa minggu ini aku sibuk dan fokus mengurus perusahaanku pasca kekacauan yang dibuat oleh Brian dan Farel. Kelanjutannya, Brian ditahan dan menyusul Farel. Mama Rosa akhir-akhir ini sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Sempat aku mendengar Mama Rosa dan Darius bertengkar hebat karena Mama Rosa beranggapan bahwa Darius terlalu tega kepada anak-anak kandungnya daripada aku, yang entahlah dianggap anak angkat bukan, anak tiri juga bukan. “Malam ini kamu akan malam sama Pak Ari.” ucap Kiano melihat tab-nya. “Pak Ari? Siapa?” Aku menengadahkan kepalaku pada Kiano yang sedang berdiri. “D
(Mahesa) Kiano melihatku pulang dengan tatapan yang ingin menerkam tubuhku. “Kenapa tanganmu?” Dia melihat tanganku yang diperban. “Nggak sengaja.” “Bos, jangan cari masalah. Kamu sudah susah berjalan saja aku khawatir kalau kamu keluar sendirian. Sekarang pulang-pulang, tanganmu diperban.” “Sekar nggak sengaja menabrak aku dan memecahkan guci.” Kiano membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Dia siap mendengarkan dengan seksama ketika aku menyeut nama Sekar. Dia tidak jadi kutinggalkan di Jakarta. Dia be
(Sekar) Aku terbangun dengan deringan ponselku yang kencang. Kevin. Sembari aku merogoh tasku untuk mencari ponselku, aku melihat Mahesa tertidur di sebelahku, dengan kedua tangannya sebagai tumpuan kepalanya. Aku berdiri dan agak menjauh dari pondok kami tidur. KEVIN. “Halo.” jawabku. “Sekar kamu dimana? Aku baru aja landing.” “Landing? Ke mana?” Aku mengerutkan dahiku. “Denpasar.” Aku terdiam.&
(Sekar) Aku menemui Kevin yang tidak berhenti meneleponku. Malamnya, ketika aku baru saja merebahkan tubuhku ke kasur. Aku benar-benar merasa terganggu. Seharusnya dari awal aku harus bersikap tegas dengannya agar dia benar-benar tidak mendekatiku lagi. “Sekar!” Kevin memelukku kencang. Dia mencium leherku. Aku melepaskan pelukannya dengan cepat. Dia menentukan bar dimana kami harus bertemu. Banyak sekali asap rokok dan barnya terlalu ramai. Aku tidak suka. “Kamu sengaja menghindar dariku ya?” “Iya. Aku sibuk sekali dan nggak mau diganggu.” Aku duduk disebelahnya. Kevin menyodorkan segelas bir besar padaku yang sudah ada di situ. “Ak
(Sekar) Aku menguap di depan Laras. Siang hari ini sangat sulit bagiku. Mataku pun terlihat bengkak dan Laras mulai curiga dengan apa yang terjadi, karena Laras meneleponku pagi-pagi dan mengajakku untuk rapat. Untungnya rapat agak telat dan menunggu klien yang datang dari Australia. “Elo nggak apa-apa kan, Kar?” tanya Laras curiga. Dia menatap mataku yang bengkak. “Nggak apa-apa. Semalam gue nonton film di kamar hotel dan filmnya sedih. Walaupun lebih sedih kisah hidup gue sih.” elakku mencoba untuk bercanda. “Elo nggak berurusan dengan Kevin?” “Gue sempet ketemu semalam. Gue kurang suka
(Mahesa) Sekar membuka pintu dengan cepat, sedangkan aku duduk di sofa. Aku mendengar langkah kaki masuk ke dalam ruangan. “Sekar, ternyata kamu disini? Lama banget sih kam…” Kevin menghentikan langkah dan juga ucapannya ketika dia melihatku. Aku hanya menoleh ke arahnya. Ekspresi Kevin kaget bukan kepalang seperti melihat hantu. Aku tahu dia sangat syok melihatku berada di kamar Sekar. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Sekar. “A…Aku hanya mengecekmu.” jawabnya Kevin terbata-bata. “Mengecek seorang perempuan dengan memencet bel dengan membabi buta malam-malam beg