TOK TOK TOK!!
"Buun... please buka pintunya dong?""NGGAK! Bunda nggak mau buka! Bunda malu punya anak laki-laki yang sudah menghamili anak orang! Mau taruh dimana muka Bunda, Gevan?!" Desti berteriak kesal dari balik pintu kamarnya yang dikunci dari dalam.Gevan menghembuskan napas gusar. Pasti Bunda sedang marah dan kecewa padanya, setelah ia mengatakan kalau Aluna hamil.Tadi saja Bunda langsung melotot menatap Gevan dan Aluna berganti-gantian, membuat kedua orang yang mendapatkan tatapan tajam itu pun otomatis menundukkan kepalanya.Lalu tanpa berucap sepatah kata pun, wanita paruh baya itu beranjak berdiri dan naik ke kamarnya di lantai dua. Ia pun lalu mengurung diri di sana.Gevan akhirnya menyerah dan memilih untuk membiarkan Bundanya yang masih kesal. Padahal ia pun belum sempat menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Gimana, Bunda masih marah, ya?" Tanya Aluna dengan wajah risau, saat Gevan memutuskan untuk turun kembali ke ruang tamu lantai bawah lalu duduk di sofa samping Aluna."Bunda merasa kesal dan malu karena mengira... saya yang menghamili kamu," tukas Gevan sambil menatap Aluna lekat-lekat."Terus, kenapa Pak Gevan nggak langsung bilang saja apa yang terjadi sebenarnya?" Cetus heran Aluna.Gevan seketika terdiam sesaat. Ya, kenapa tidak langsung jujur saja mengatakan bahwa bukan dirinya yang menghamili Aluna? Kenapa?"Pak?" Aluna bergeser untuk duduk lebih dekat dengan Gevan. "Kenapa Pak Gevan tidak bilang saja yang sebenarnya?" Ulang Aluna lagi dengan nada setengah mendesak."Itu karena... saya tidak mau." Gevan mengerjap heran dengan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri.Ya, tapi sebenarnya itu memang benar. Sesungguhnya ia enggan untuk mengatakan fakta yang sesungguhnya kepada Bunda.Mata bening beriris hitam milik Aluna itu pun sontak terlihat bingung. "Tapi kenapa tidak mau? Jadinya kan Bunda mengira kalau Pak Gevan sudah berbuat hal yang tidak-tidak. Padahal jelas-jelas bukan Pak Gevan yang bersalah!"Gevan segera mengalihkan tatapan mata hazelnya menjauh dari Aluna. Entah kenapa ia tiba-tiba saja mendadak merasa gerah setelah beradu pandang dengan Aluna dan mata bulatnya yang polos itu."Mau kemana?" Gevan bertanya pada Aluna yang mendadak berdiri dari sofa dan berjalan menuju ke arah tangga."Mau bicara sama Bunda. Saya akan jujur bilang yang sebenarnya. Bunda nggak boleh salah sangka mengira bahwa Pak Gevan yang menghamili saya! Itu kan tidak benar!" Cetus Aluna tegas. Ia hanya merasa harus meluruskan segalanya, agar kesalahpahaman ini pun dapat segera diluruskan.Namun seketika Gevan malah menelan ludah. Kenapa ia malah mendadak merasa merinding sampai ke tulang, saat Aluna yang mengatakan sederet kalimat 'Pak Gevan yang menghamili saya'?Ia tak bisa menghalau sebuah pemikiran erotis yang mendadak terlintas serta menyerbu benaknya, sebuah bayangan dari seorang gadis dengan tubuh sensual tanpa sehelai benang pun yang mendesah dengan suaranya yang manja di bawah tubuhnya.Bayangan... dari Aluna.Damned!!! Ada apa dengan dirinya?!Gevan memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir fantasi tak senonoh yang singgah di otaknya.Ketika akhirnya ia membuka mata, Gevan pun baru menyadari bahwa langkah Aluna hampir sampai di anak tangga yang pertama.Cepat-cepat ia berdiri dari sofa untuk menyusul gadis itu dan menangkap tangannya, membuat Aluna terkejut dan seketika berhenti melangkah."Jangan, Al. Biarkan saja Bunda mengira seperti itu," ucap Gevan tegas. Lalu ia menarik tangan Aluna dan menyeret gadis itu keluar dari rumah menuju ke mobilnya."Pak? Kita kan belum pamit sama Bunda? Lagipula apa alasannya Pak Gevan tidak mau Bunda tahu yang sebenarnya soal anak saya?" Tuntut Aluna, yang mulai merasa kesal karena Gevan hanya membisu saja dari tadi."Bodoh. Yang di perut itu bukan cuma anak kamu, tapi anak KITA. Ingat itu," sahut Gevan datar dengan tatapan yang fokus ke depan.Perlahan mobilnya pun keluar dari kediaman Samudra menuju jalan di depan rumah megah itu."Dan saat ini Bunda sedang ngambek, Al. Percuma juga kita mau pamit pun tetap nggak akan digubris sama beliau."Aluna terlihat murung setelah mendengar perkataan Gevan. Sekarang mungkin Bunda dan Pak Andro akan membenci dirinya, dan mengira Aluna-lah yang telah menggoda dan menjerumuskan Gevan, putra mereka satu-satunya.Aaarghh!! Aluna merasa malu sekali. Fix.Pasti sekarang dia sudah dicap perempuan nakal oleh mereka!Diam-diam, Aluna melirik ke arah Gevan yang sedang berkonsentrasi menyetir di kursi pengemudi.Dia benar-benar penasaran dengan alasan kenapa bosnya itu tiba-tiba saja melamarnya. Dan tak pelak Aluna pun berpikir... entah rumah tangga macam apa yang akan mereka jalani ke depannya.Keluarga Samudra adalah keluarga terhormat pemilik perusahaan jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia, sedangkan dia hanyalah seorang sekretaris CEO dan berasal dari keluarga biasa saja di Jogja.Apa nantinya Aluna akan bisa serta sanggup menyesuaikan diri dengan kehidupan mereka?"Kalau ditanya itu jawab, Al. Bukannya malah ngelamun!"Aluna pun seketika tersentak saat mendengar hardikan bosnya. Lamunannya serta merta buyar, dan kepalanya langsung tertoleh ke arah Gevan."Ehh? Uhm... memangnya tadi Pak Gevan bilang apa ya?" Tanya gelagapan gadis ituHelaan napas pelan namun tajam penuh ketidaksabaran pun menguar dari hidung Gevan. "Saya tanya, kamu mau makan siang dimana, Aluna?"Aluna refleks membulatkan bibirnya membentuk huruf O besar. "Ooh itu. Dimana saja oke sih, Pak... Saya pemakan segala kok."Gevan pun terdiam seperti berpikir untuk beberapa saat, sebelum kemudian menganggukkan kepalanya."Setahu saya sih wanita hamil nggak boleh makan yang mentah-mentah, kan? Seperti sushi atau rare steak gitu?"Aluna sedikit terperanjat mendengar bosnya yang biasa cuek, tiba-tiba cukup aware dan memperhatikan soal asupan makanan sehat untuk ibu hamil."Kok tahu sih, Pak?" Tanyanya penasaran.Gevan mengetuk pelan kepala Aluna dengan jarinya. "Ya tahulah. Kan saya jenius, nggak kayak kamu. Bodoh," decaknya menyebalkan."Pak. Kenapa sih, selalu bilang saya bodoh, bodoh... gini-gini saya itu bakal jadi istri Pak Gevan juga loh," sungut Aluna.Yang sudah-sudah biasanya dia memang tidak pernah peduli dengan hinaan Gevan, namun entah kenapa untuk kali ini ia kesal sekali mendengarnya.Mungkin karena hormon kehamilan yang meledak-ledak dan membuat perasaan Aluna menjadi semakin sensitif."Laaah, memang kamu bodoh! Buktinya, mau aja dikibulin sama Tommy. Coba kalau kamu nggak ketemu saya, siapa coba yang bakalan mau nikahin kamu, hm??" Satu alis lebat Gevan pun terangkat ke atas mengejek Aluna dengan tanpa perasaannya."Iya, saya memang bodoh," sahut Aluna tiba-tiba, setelah jeda beberapa saat."Saya bodoh karena sudah melakukan hal yang tercela, dan sekarang terpaksa harus menanggung akibatnya. Tapi saya juga nggak maksa Pak Gevan untuk membantu saya, kok. Bapak bebas kapan pun mau kalau mau membatalkan rencana menikah dengan saya. Lagipula, saya kan cuma gadis bodoh, jelek, baperan dan bukan tipe Pak Gevan sama sekali."Aluna pun langsung memalingkan wajahnya ke jendela kaca di sampingnya, setelah mengucapkan rentetan kalimat yang justru menyakitkan dirinya sendiri. Tanpa sadar, sebutir cairan bening jatuh melintasi pipinya tanpa bisa ia cegah.Uuuh... rasanya ingin sekali ia membentak Gevan Ahza Samudra yang tidak peka ini sampai puas! Kenapa sih, mulutnya yang seksi itu lemes banget kalau menghina Aluna?Coba kalau kata-kata manis yang keluar dari sana, atau paling nggak yang nggak nyelekit aja deh.Yang ada sekarang rasanya pengen banget Aluna jambakin rambut lurus lebatnya itu sambil cakar-cakar wajah ganteng tapi ngeselin itu!"Al? Kamu nangis??" Gevan melirik Aluna yang memalingkan wajahnya, namun ia bisa mendengar suara isakan pelan.Seketika Gevan pun meminggirkan dan memberhentikan mobilnya di bahu jalan. "Al. Hei. Kamu marah ya?" Gevan menyentuh pelan bahu Aluna, namun gadis itu tidak bergeming dan tetap memalingkan wajahnya ke jendela.Lelaki itu pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Biasanya Aluna nggak pernah sebaper ini deh... meskipun ia sering mengolok sekretarisnya itu.Terus kenapa sekarang... aaah ya, pasti gara-gara hormon kehamilan! Ya, Gevan pernah membaca kalau ibu hamil perasaannya jadi lebih sensitif.Ck, merepotkan sekali.Dengan terpaksa ia pun memutuskan untuk membuka pintu, lalu berjalan mengitari mobil menuju ke arah posisi pintu Aluna lalu membukanya--membuat Aluna terkejut dan seketika membelalakkan matanya."P-Pak Gevan mau ngapain?!" Pekik Aluna kaget, ketika melihat Gevan membuka pintu mobil dan berjongkok tepat di depannya."Makanya jangan lihat ke jendela terus. Kan saya lagi ngomong sama kamu," tukas Gevan dengan muka flatnya.Aluna mendengus. "Mau ngomong apa lagi? Mau menghina saya lagi? Udah pak, nggak perlu. Saya tahu diri kok kalau saya memang nggak ada bagus-bagusnya. Pak Gevan dan saya itu ibarat matahari yang bersinar terang dan kura-kura yang bodoh, jelek dan lamban!" Tandas Aluna dengan matanya yang lembab namun dengan berani menantang mata hazel Gevan.Gevan mengerjap-kerjapkan matanya dengan takjub mendengar perumpamaan yang diucapkan Aluna tadi. Sebenarnya ia ingin tertawa, tapi sekuat hati ditahan."Jadi menurut kamu, saya itu seperti matahari ya? Hm, boleh juga," cetusnya sambil manggut-manggut."Iya, matahari. Bagusnya dilihat dari jauh aja. Jangan deket-deket kalau nggak mau mati konyol karena terbakar!" Balas Aluna lagi.Bukannya marah, Gevan malah terkekeh geli mendengar ejekan itu, yang membuat Aluna pun menatapnya heran.'Eh si Gevan mulut lemes ini memang ternyata cakep juga kalau ketawa. Lesung pipinya jadi kelihatan gitu... 'Dua tahun Aluna menjadi sekretarisnya, baru kali ini dia melihat tawa Gevan yang ternyata diam-diam bikin jantungnya jadi loncat-loncat nggak karuan."Al, saya minta maaf ya. Mulai sekarang saya coba bicara yang sopan ke kamu, okay? Kamu benar, biar bagaimana pun kita bakal jadi suami istri ke depannya. Nggak pantas saya menghina kamu terus. Jadi maafin saya ya?"Suara maskulin dengan nada lembut itu sukses membuat Aluna makin bengong. 'Eh, si Gevan ini kesambet apa ya? Tumben banget sikapnya jadi manis gini. Bukan lagi nge-prank kan? Abis ini mulutnya nggak bakal balik lemes lagi kan?'Aluna menelan ludah dan menggigit bibirnya karena menahan rasa aneh yang terasa menjalar hingga ke perutnya.'Ih, perutku kok tiba-tiba merinding gini sih? Apa anakku di dalam perut kelaparan ya?'Karena jengah ditatap dengan begitu intens oleh Gevan, Aluna pun menunduk dengan wajah yang mulai merona. "I-iyaaa... sudah saya maafkan kok," cicitnya pelan.Gevan mengangkat dagu lancip Aluna dengan jari telunjuknya, hingga wajah gadis itu pun kembali mendongak menghadap wajahnya.Untuk beberapa saat, kedua insan itu pun saling menatap dalam keheningan lisan. Baru kali ini Aluna merasa gugup karena ditatap oleh bosnya ini, karena baru kali Gevan memandangi dirinya dengan sorot yang sangat... berbeda.Tak ada lagi mata yang mendelik kesal disusul oleh kata-kata tajam atau ledekan meremehkan.Untuk kali ini, Aluna seolah melihat sisi lain Gevan yang sangat berbeda. Sisi yang lebih tenang dan lembut, bukan yang pemarah dan suka meledak-ledak.Dan sejujurnya... Gevan sendiri pun sejak tadi sesungguhnya sulit sekali untuk fokus.Sejak ia baru menyadari bahwa bentuk bibir Aluna yang ternyata bukan saja terlihat lembut, tapi juga... terlihat sangat sensual.Gevan mengerjap pelan, sebelum kemudian ia memanggil Aluna dengan suara pelan dan sedikit serak."Al.""Ya, Pak?"Gevan menatap bibir polos Aluna yang merah alami tanpa pulasan lipstik, dan seketika lelaki itu pun refleks membasahi bibirnya sendiri."Kita kan berencana mau menikah... lalu apa nggak sebaiknya... kita mencoba untuk lebih dekat daripada sebelumya? Secara fisik, maksud saya."Pria itu pun lalu sedikit mendekatkan wajahnya dengan wajah Aluna seraya tak lepas memandangi bentuk bibir mengundang sekretarisnya."Apa saya boleh... cium bibir kamu, Al?"***Tentu saja Aluna ingin melayangkan protesnya atas permintaan bosnya yang sangat tiba-tiba serta nyeleneh itu.Namun sayangnya belum juga ia sempat berucap, bibir pink pucat dengan bagian tengahnya yang terbelah itu malah sudah keburu menyambar bibirnya.Gadis itu pun serta merta terhenyak, terdiam dalam keterpakuannya saat menyadari bahwa... Pak Gevan ternyata benar-benar menciumnya!!Aluna refleks menarik dirinya untuk menjauh, namun ia tak mampu berkutik saat kedua tangan Gevan tengah merangkum wajahnya yang mungil, membuatnya bahkan tak bisa sekedar memalingkan wajah.Awalnya memang terasa aneh, tak wajar, rikuh dan merinding di sekujur badan. Aluna tak bisa menampik semua perasaan yang tengah berkecamuk di dalam dirinya atas kedekatan intensnya dengan Gevan.Bibir yang biasa berucap sinis, ketus, meledek dan mengoloknya dengan kata-kata sadis itu kini malah menyesap bibirnya.Namun... Jika dipikir-pikir lagi, mungkin ada benarnya juga perkataan bosnya ini tadi tentang bagaimana m
"Jadi kamu ngusir aku, Van?" Tanya Adam dengan ekspresi tidak percaya.Gevan tertawa sumbang. "Sudah kubilang kalau Aluna itu calon istriku, Dam! Dan aku juga tidak akan ragu untuk memecat kamu kalau masih juga berusaha mendekati Aluna!"Lalu dengan langkahnya yang panjang dan pasti, Gevan pun bergerak menuju pintu keluar dan langsung membukanya dengan kasar. Tatapan tajamnya kembali terhunus ke arah Adam yang masih berdiri mematung dalam diam."Tunggu apa lagi? Silahkan keluar, Mr. Adam James Wrighton," ucap Gevan dengan nada sedingin es kutub utara.Adam menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas pelan. Tak ada gunanya melawan Gevan yang sedang emosi, itulah yang Adam sadari setelah delapan tahun berteman dengannya.Gevan memang sangat temperamental dan mudah meledak-ledak, apalagi jika sedang emosi. Amarahnya yang berkobar itu ibarat badai besar yang akan menyapu segalanya hingga porak-poranda. Lebih baik jika kita diam dan menyingkir sejauh mungkin daripada ikut hilang
Saat ini Aluna sedang mengobati luka-luka di wajah Gevan akibat pukulan serta tamparan dari ayahnya, Andromeda. Gadis itu benar-benar tidak menyangka kalau mantan bosnya itu bisa sesadis ini memukul putranya sendiri, anak satu-satunya pula!"Apa Pak Andro sering melakukan ini pada Pak Gevan?" Guman Aluna pelan. Ia sebenarnya bermaksud mengatakan kalimat itu hanya di dalam hati, namun tanpa sadar malah terucap pelan dari mulutnya.Namun Gevan yang mendengarnya pun hanya diam saja, sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan itu. Ia tahu kalau Aluna shock melihat sikap kejam ayahnya, karena selama ini pasti yang Aluna tahu hanyalah tentang Andromeda Samudra yang baik hati dan ramah. Aluna menatap dalam-dalam lelaki itu saat ia telah selesai mengobati wajah Gevan."Pak... bolehkan kalau saya bertanya?" Gevan masih diam dan membalas tatapan gadis itu dengan wajahnya yang penuh lebam. "Silahkan saja, tapi aku tidak akan menjawabnya."Kening Aluna pun seketika mengernyit. "Setid
Keesokan harinya, hanya Gevan yang datang ke kantor. Aluna benar-benar dilarang keras untuk bekerja. Selain karena Andro dan Desti khawatir kalau putra mereka itu akan kembali 'menyerang' Aluna seperti semalam, Desti juga ingin mengajak calon menantunya itu mencari oleh-oleh untuk dibawa ke Jogja sebagai buah tangan untuk orang tua Aluna.Ya, besok rencananya Andro dan Desti akan berkunjung ke Jogja dengan tujuan untuk melamar Aluna. "Capek, Lun?" Tanya Desti penuh perhatian, saat mereka sedang melihat-lihat syal sutra yang akan diberikan sebagai oleh-oleh untuk Mamanya Aluna.Aluna menggeleng. "Nggak, Bun. Aluna baik-baik saja, kok," sahutnya sambil tersenyum.Baru kali ini Aluna shopping dengan Desti, dan mereka ditemani oleh Mbak Sella asisten pribadi calon mertuanya itu."Ini Mbak Aluna, jus alpukat dengan gula sedikit." Sella menyodorkan segelas jus ke hadapan Aluna yang hanya bisa garuk-garuk kepala sambil meringis.Masalahnya, sedari tadi Desti terus saja menyuruh Sella memb
"Mas Gevan?!" Aluna benar-benar kaget saat Gevan tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang periksa kebidanan, dan sontak ia pun menjerit. Gimana nggak kaget? Masalahnya tadi itu sebenarnya Aluna dan Gevan sudah mencapai sebuah kesepakatan, kalau yang akan masuk ke dalam ruang periksa dokter ini hanyalah Aluna. Sedangkan Gevan hanya akan menunggunya di luar hingga kandungan Aluna selesai diperiksa. Aluna bahkan sudah merekam diam-diam semua percakapannya dengan dokter kandungan dengan menggunakan ponselnya. Tujuannya adalah agar Gevan dan Bunda bisa mendengar langsung kondisi anak yang ada di kandungan Aluna. Tapi kenapa lelaki ini malah tidak melakukannya sesuai kesepakatan?Aluna pun mendelik menatap Gevan yang dengan santainya berjalan masuk ke dalam, lalu pria itu melemparkan senyum datar pada dokter wanita yang sedang memeriksa Aluna. "Permisi dokter, saya adalah ayah dari janin yang dikandung Aluna. Gimana kondisi anak saya?" Tanya Gevan sambil berjalan ke arah Aluna yang berbar
'Apartemen Mas Gevan besar banget.'Aluna melangkah masuk dengan ragu, namun ia tak bisa menampik kekagumannya pada unit milik calon suaminya itu. Gevan membawanya masuk dan duduk di ruang tamu yang didominasi warna-warna monokrom--mirip seperti ruang kerjanya. Namun yang Aluna sukai di apartemen ini adalah hiasan dinding berupa lukisan-lukisan abstrak aneka corak warna yang membuat suasana jauh lebih hidup.Aluna tampak tertarik dan terus berdiri memandangi sebuah lukisan abstrak berwarna perpaduan kuning, putih dan abu-abu. "Kamu suka sama yang itu?" Tanya Gevan yang baru datang dari dapur membawa jus alpukat untuk Aluna, dan ia meletakkannya di atas meja tamu.Aluna mengangguk pelan dengan mata yang masih tertuju pada lukisan itu. "Suka banget sama warnanya. Meskipun bentuknya mirip tumpahan cat, tapi kelihatan artistik banget," komentarnya.Dengus tawa pun terdengar dari Gevan. 'Tumpahan cat, katanya? Belum tahu aja si Aluna kalau lukisan itu pernah ditawar seharga mobil SUV.'"
"Aku nggak bisa tidur karena baru kali ini berada dalam satu apartemen dengan wanita, namun dengan kamar yang berbeda," jawabnya dengan suara seraknya yang terdengar sangat seksi di telinga Aluna.Nada maskulin Gevan membuat Aluna sejenak terpana.Namun ketika sebuah kenyataan kembali datang untuk menghantamnya bagai petir yang menyambar, gadis itu pun baru tersadar. Sambil melipat tangan di dada, Aluna menatap Gevan dengan kedua alis terangkat menghakimi."Baru kali ini berada dalam SATU apartemen dengan wanita, namun dengan kamar yang BERBEDA?" ulang Aluna dengan nada sarkas. "Wow. Aku nggak nyangka kalau Mas Gevan yang datar dan dingin ini ternyata palyboy juga," sindirnya.Dengus tawa terdengar pelan dari bibir pink pucat Gevan. "Playboy sih engak, cuma yaa.. gitu deh," ucapnya menggantung tak pasti. "Kenapa? Cemburu? Jangan khawatir, aku tipe yang serius kalau sudah berkomitmen, kok. Toh aku juga nggak mempermasalahkan dan malah menerima masa lalu kamu, kan?" cetusnya sambil me
Saat pagi harinya, Gevan pun terbangun ketika cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden terasa menusuk matanya. Sambil mengerjap pelan dan memicingkan mata, ia menatap jam berbentuk bulat berwarna hitam yang menempel di dinding, lalu terkesiap kaget saat mengetahui bahwa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi!Pukul tujuh pagi??Gevan masih bengong karena baru kali ini dirinya bangun pagi sesiang ini. Kepalanya pun sontak menunduk untuk menatap seraut wajah cantik di dalam dekapannya yang masih terlelap damai dalam tidur.Aluna. Seulas senyuman lembut tanpa sadar kemudian tercetak di bibirnya, saat menyebut nama itu di dalam hatinya dengan penuh memuja. Gevan merasakan secercah perasaan asing yang kini tengah menyeruak di dalam batinnya. Rasanya seperti... ... mendengar suara pelan dari debur ombak. Seperti berbaring di atas pasir pantai yang lembut dan hangat. Seperti bergelung di dalam selimut tebal yang sangat nyaman. Seperti sebuah perasaan damai, dan juga terpenuhi..
Saat Adam masih celingukan mencari keberadaan Flora yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana, tiba-tiba saja Dante dan beberapa orang lelaki menariknya menuju ke dalam lift. Ya, rumah tiga lantai milik Pinkan memang memiliki lift kecil di dalamnya. "Party time!" Seru seseorang yang berada di samping Adam dengan penuh semangat, yang disambut dengan ribut sorakan riang lainnya. Oh damned. Sepertinya Adam sedang 'diculik' dan dibawa ke dalam Bachelor Party yang tadi disebutkan oleh Dante, padahal ia sama sekali belum bertemu dengan Flora untuk meminta ijin. Adam pun buru-buru meraih ponselnya, memutuskan untuk menelepon calon istrinya itu dan memberitahu mengenai acara yang sudah di atur oleh para sepupunya yang tukang culik ini. Paling tidak Flora harus tahu, karena Adam tidak ingin gadis itu memergokinya. Bisa kacau nanti. Namun sudah berkali-kali Adam menelepon ponsel Flora, tetap saja gadis itu tidak mengangkatnya. Adam pun berdecak sebal dan memutuskan untuk mengirim
Waktu berlalu tanpa terasa, dan hanya tinggal dua minggu lagi menuju hari pernikahan Adam dan Flora.Flora pun masih bekerja seperti biasa, meskipun Gevan membebaskannya jika ingin mengambil cuti. Tapi tentu saja gadis itu merasa tidak enak hati untuk mengambil cuti yang terlalu lama. Ah, bosnya itu memang terlalu baik.Dan ngomong-ngomong soal para calon pengantin, meskipun mereka masih bekerja di dalam satu Gedung, Adam dan Flora jarang sekali bertemu karena kesibukan masing-masing yang cukup menyita waktu. Adam masih saja berkutat dengan dua perusahaan, Samudra Corp. dan Wrighton Constructions, karena Noah yang juga masih menjalani terapi kanker harus menjaga kondisinya dan tidak boleh terlalu lelah.Hal inilah yang menjadi dilema bagi Adam. Di satu sisi sejujurnya ia lebih menyukai bekerja di Samudra Corp bersama Gevan, namun di sisi lain ia juga kasihan dengan Dad yang sepertinya sudah waktunya pensiun sebagai CEO Wrighton Constructions--terutama karena sedang sakit seperti in
Adam kembali mengarahkan padangannya ke langit malam, membuat Flora pun sontak ikut mendongak melihat langit. Tapi gadis itu malah terkesiap ketika kedua matanya tiba-tiba ditutup oleh tangan Adam, membuat dirinya serasa terkungkung oleh kegelapan.Lelaki itu mendekatkan bibirnya di telinga Flora untuk berhitung mundur, "Tiga, dua, satu..."Adam membuka tangannya dari mata Flora, bertepatan dengan ledakan sejuta bunga yang berkilau laksana emas yang menyinari langit malam.Flora membelalak, terpukau, tak menyangka kalau akan ada kembang api malam ini. Suara desing lembut yang diikuti oleh suara ledakan serta visual gemerlap di angkasa membuat matanya berkaca-kaca."Indahnya..." guman Flora lirih, tanpa melepaskan tatapannya dari langit.Adam yang sedari tadi hanya memandangi Flora, kini menyunggingkan senyum kemenangan. 'Yes, dia suka!!' Soraknya dalam hati. "Ini beneran kamu yang rencanain?" Flora mengalihkan wajah penuh tanya kepada Adam."Iya dong! Kembang api itu akan terus me
Setelah makan malam, Adam bersantai sejenak di rumah Flora sebelum ia pulang ke Jakarta. Ya, ia pulang sendirian, karena besoknya lelaki itu berencana melamar Flora dengan mengajak serta Dad. Jika ayahnya itu mau. Tadi sore ia sempat menelepon Noah dan menceritakan semuanya. Noah berkata dengan jujur bahwa dia kecewa, karena berharap putranya akan kembali bersama Anya."That is not gonna happened, Dad," ucap Adam di telepon tadi sore. "It's already over between us. It's over a long time ago," tukas Adam tegas tak terbantahkan.Noah hanya bisa menghela napas. Hantaman rasa bersalah kepada Anya tidak akan pernah bisa pudar karena telah membuat wanita itu menjadi istrinya, hingga akhirnya Anya pun terpisah dengan cinta sejatinya. Tapi apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Adam benar-benar telah mengubur perasaannya kepada Anya, dan membuka lembaran baru bersama Flora.Bahkan hingga sambungan telepon itu berakhir, Noah masih bungkam--enggan memberikan restunya.It's okay. Adam te
"Kalau begitu buktikan kalau kamu memang menyayangi Flora dengan sepenuh hati. Jangan cuma pacari putri kami, tapi nikahi dia," ultimatum Wahyu sambil berkacak pinggang.***Mungkin kalau ada penggaris meteran, rasanya ingin sekali Flora mengukur lebarnya senyum Adam saat ini. Ok, senyumnya memang tampan, tapi ya nggak perlu lebar-lebar gitu juga, kan??"Saya siap menikahi Flora, Pak Wahyu," jawab Adam cepat. "Kapan pun. Lebih cepat lebih baik," tambahnya, yang membuat Flora rasanya ingin menenggelamkan diri ke empang milik tetangga saking malunya. Wahyu terkesiap dan mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Adam barusan yang terdengar begitu tegas. Tak dipungkiri kalau ia senang dan cukup lega karena Adam sepertinya serius dengan putrinya. Apalagi lelaki itu juga yang telah membantunya mencari bukti-bukti yang membuat Wahyu keluar dari penjara. Dari situ saja sepertinya memang terlihat kalau Adam memang memiliki perhatian lebih kepada Flora.Hanya saja, pria paruh baya itu juga
"Tadi bicara apa aja sama Arrigo?" Flora mengangkat wajahnya dari buah mangga yang sedang ia kupas untuk Adam, ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut lelaki itu."Nggak ada yang penting, sih. Cuma say thanks aja karena Riggo sudah banyak bantu sebagai pengacara Papa, gratis pula," sahut Flora sambil kembali berkutat dengan buah mangga yang dia kupas.Mereka berdua sedang bersantai di dalam gazebo yang terletak di taman belakang rumah orang tua Flora, membiarkan Papa dan Mama Flora saling kangen-kangenan setelah beberapa hari Papanya itu berada di tahanan Polisi.Taman belakang ini tidak terlalu luas, tapi ditata dengan apik dan sangat asri. Di tengah-tengahnya ada gazebo kecil yang sering dijadikan outdoor dining room saat Flora masih tinggal di Bandung.Cuaca kota kembang Bandung ini yang tidak terlalu panas dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi pun membuat suasana menjadi rileks."Aa!" Flora bermaksud menyuapkan sepotong mangga yang ditusuk dengan garpu ke mulut Adam, ta
Sesampainya di Polretabes Bandung, Adam pun memarkirkan mobilnya, sementara Flora langsung menelepon Riggo--pengacara yang mewakili papanya yang juga teman sekolahnya di SMU dulu."Go, gimana? Papa sudah bisa dijemput belum?" "...""Oh. Kalau gitu aku tunggu di mobil aja ya? Telpon aja kalau semua sudah beres.""...""Ok. Thanks banget ya."Flora menghela napas saat ia menutup sambungan telepon itu. "Papa belum bisa keluar karena masih harus tanda tangan beberapa berkas pembebasan," ucapnya memberitahu sambil menatap Adam."Ariggo Putra itu, pengacara papa kamu?" Tanya Adam yang masih terlihat sibuk mengutak-atik tablet-nya.Flora mengangguk. "Kenapa? Kamu kenal ya?""Nggak. Aku cuma cari profilenya aja di LinkedIn. Beneran cuma temen? Bukan mantan kamu kan?"Flora berdecak sebal. "Curigaan banget sih?"Adam mengangkat wajahnya dari tablet dan menatap dingin gadis di depannya. "Jawab saja, Flora."Flora mendengus kesal. "Bukaann! Dia itu cuma salah satu temanku di SMA, kok. Beneran."
Suara ketukan pelan di pintu tak pelak membuat kedua pasang mata berbeda warna itu pun menoleh ke sana. "Siapa?" Tanya Flora pelan kepada Adam. Aneh sih. Ini kan kamar Presidential Suite. Jadi dari pintu depan nggak langsung ke kamar, melainkan melewati ruang tamu, dapur bersih, ruang kerja, baru deh ketemu kamar. Maka jika orang itu mengetuk pintu kamar, artinya dia memiliki access card juga untuk masuk ke dalam kamar 3356 ini! "Jangan takut, kayaknya itu cuma Gevan." Adam menurunkan tubuh Flora dari pangkuannya. "Mungkin dia cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja." Adam mendudukkan Flora di ranjang, lalu ia pun berdiri untuk membuka pintu. Seorang lelaki berwajah datar tanpa ekspresi berdiri di sana, lalu melongokkan kepalanya ke dalam kamar seperti sedang mencari-cari seseorang. "Mana Flora? Dia nggak apa-apa, kan?" Tepat seperti perkataan Adam sebelumnya, Gevan-lah yang sekarang berdiri di depan pintu kamar. Salah satu dari dua access card kamar ini memang dia
"ADAM!" Pekik Flora penuh kelegaan dan rasa syukur yang luar biasa. Beban berat yang tadi menggelayuti dadanya pun seketika terhempas. Ia tak peduli alasan kenapa lelaki itulah yang berada di kamar 3356, tak peduli kenapa bisa Adam-lah yang berada di situ alih-alih Raiden. Flora bahkan melupakan kenekatannya untuk datang ke kamar ini adalah bertujuan untuk menyelamatkan papanya. Ia lupa segalanya... karena teramat sangat lega. Flora memeluk erat tubuh atletis itu seperti tidak akan pernah melepasnya lagi, tanpa mengerti bahwa perbuatannya itu telah membuat seorang lelaki normal dengan hasrat yang meledak-ledak seperti Adam tentunya akan bereaksi. "Aaaa...!!" Flora memekik kaget dengan kedua netra bening yang membulat, saat lelaki itu mengangkat pinggangnya dan membuat kaki jenjang terbalut jeans itu melingkari tubuh Adam. Flora yakin kalau tubuhnya tidak enteng seperti Aluna yang mungil. Bobotnya 55 kilogram dengan tinggi 168 cm, namun Adam mengangkatnya dengan satu ta