"Oh, nggak ada apa-apa, sih. Kalau Bunda lagi di rumah ya bagus. Gevan mau ke rumah Bunda kira-kira setengah jam lagi ya? Mau ngenalin calon mantu..."
"Aaaahh!!!" Perkataan Gevan pun terputus dan pria itu refleks berteriak, karena Aluna yang tanpa sadar telah mengikat dasinya terlalu kuat hingga lehernya pun tercekik.Di seberang sana, terdengar nada heran bundanya yang bertanya ada apa gerangan yang membuat Gevan tiba-tiba saja berteriak."Oh? Enggak Bund, tadi ada kucing nakal nyakar kaki Gevan. Udah Gevan usir kok," tukasnya sambil mendelik kesal dan menoyor kepala Aluna dengan sadis.Aluna pun hampir saja menjerit dan mengaduh akibat toyoran bar-bar bosnya itu, namun Gevan cepat-cepat menutup mulut sekretarisnya dengan satu tangannya yang bebas.Tatapan dari manik hazel pria itu menyorot tajam ke arah Aluna dengan penuh ancaman, agar gadis itu tidak mengeluarkan suaranya."Iya, Bun. Kalau begitu Gevan siap-siap dulu. Sampai ketemu di rumah. Bye..." Gevan pun akhirnya mengakhiri sambungan telepon dengan Bundanya."Hmmmph..." Aluna memukul-mukul tangan Gevan yang masih saja menutup mulutnya dan membuat gadis itu tak bisa bernapas.Seakan baru tersadar, pria itu pun baru melepaskan tangannya yang membekap mulut Aluna dari tadi."Pak Gevan!! Mau bunuh saya ya?!" Pekik Aluna gusar sambil megap-megap kehabisan napas.Gevan hanya berdecih. "Nggak kebalik? Kamu sendiri berniat mau mencekik saya dengan dasi, kan?""Iiih... itu kan nggak sengaja! Lagian siapa yang bapak maksud calon mantu dari Bunda-nya Pak Gevan, coba? Bukan saya, kan? Kan tadi saya sudah bilang mau pikir-pikir dulu??" Protes Aluna tidak terima.Gevan melipat tangannya di dada sambil menaikkan dagunya. "Ck. Nggak usah berlagak mau mikir segala deh! Penawaran itu hanya berlaku saat ini. Kalau kamu nggak mau ya sudah, saya bisa cari perempuan lain kok buat dibawa ke hadapan Bunda. Tapi kamu sendiri belum tentu bisa mendapat calon suami yang mau menerima kamu apa adanya kan?"Touché. Tepat sekali.Aluna pun seketika terdiam.Iya, dengan kondisi hamil begini tentu dia akan mendapatkan suami yang menerima dirinya, jika Tommy brengsek itu masih saja tidak mau bertanggung jawab.Sebenarnya Aluna berniat untuk membesarkan anaknya sendiri saja, namun kedua orang tuanya belum tentu setuju. Jangan-jangan malah mereka menikahkan Aluna dengan lelaki pilihan mereka yang dia tak suka!Tapi..."Pak, coba deh perhatikan muka saya baik-baik," Aluna pun menunjuk wajahnya sendiri."Bapak kan sering bilang kalau saya ini nggak cantik, sradak sruduk, baperan... apa Pak Gevan yakin nanti bakal tahan melihat saya setiap hari?" Tanya Aluna sangsi."Menikah itu kan bukan cuma buat setahun dua tahun, Pak. Atau jangan-jangan... Pak Gevan ingin menikah kontrak seperti yang di novel-novel gitu ya? Yang hanya setahun langsung cerai?""Cih. Kebanyakan baca novel kamu, Al. Pernikahan yang saya maksud sama sekali bukan seperti itu, tapi untuk selamanya--kecuali kamu ketahuan selingkuh, maka saya nggak akan segan dan langsung tendang kamu keluar saat itu juga," tegas Gevan."Dan ya... secara fisik memang kamu sama sekali tidak memenuhi kriteria saya. Tapi jujur sih cuma sama kamu, saya bisa tahan berdekatan dengan perempuan dalam durasi waktu yang cukup lama," cetus Gevan yang membuat Aluna serta merta kaget mendengarnya."Maksudnya gimana pak?" Tanya Aluna bingung."Ck. Udah, nggak usah banyak tanya! Kamu siap-siap saja sana, lima menit lagi kita berangkat ke rumah orang tua saya," usir Gevan sambil mendorong pelan tubuh Aluna agar keluar dari ruangannya.***Di dalam mobil menuju kediaman keluarga Samudra, untuk beberapa saat Gevan dan Aluna terdiam dengan pikirannya masing-masing."Nanti kalau ditanya sejak kapan kita pacaran, jawab saja dengan jujur," tukas Gevan tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi udara."Eeh... jujur gimana nih, maksud bapak? Kan kita sama sekali nggak pernah pacaran?" Tanya Aluna heran."Nah, itu kamu tahu! Kita memang nggak pacaran, tapi sayalah yang langsung melamar kamu hari ini," tutur Gevan sambil tetap fokus pada jalanan di depannya."Selanjutnya biar saya yang jelaskan semua kepada Bunda, dan kamu cukup diam saja. Ngerti?!"Aluna pun hanya menjawab titah si boss dengan anggukan pelan tanpa suara.Sesampainya di kediaman keluarga Samudra, Gevan menghentikan mobilnya di bagian entrance rumah mewah tiga lantai itu, lalu membuka pintu mobilnya setelah menyuruh Aluna untuk juga keluar.Aluna beberapa kali sudah pernah ke sini sebelumnya, saat mengantarkan berkas untuk Pak Andromeda Samudra, ayah dari Gevan.Ya, Aluna adalah sekretaris Andromeda sebelum jabatan CEO Samudra Corp. diturunkan kepada anaknya.Itu sebabnya Aluna tidak takut pada Gevan yang galaknya nggak ketolong, karena selain ia memang sudah terbiasa juga karena sudah mengerti seluk beluk pekerjaan di Samudra Corp.Bahkan awal mula Gevan menjabat CEO, Aluna-lah satu-satunya karyawan yang berani melawannya.Hingga akhirnya dia tak tahan dengan sikap Gevan yang pemarah dan intimidatif, Aluna pun mengajukan surat pengunduran diri.Mendengar Aluna yang mengajukan resign, Andro dan Desti--istrinya--mengundang Aluna untuk makan malam bersama, lalu membujuk gadis itu untuk membatalkan pengunduran dirinya.Aluna yang merasa tidak enak dengan kebaikan mantan bos serta istrinya itu, akhirnya mengalah dan tidak jadi mengundurkan diri.Namun entah kenapa sejak itu juga Gevan pun tidak terlalu galak lagi dengannya.Yah, kata-kata pria itu memang masih suka nyelekit kalau menghina, tapi sekarang Aluna sudah mulai terbiasa dan bisa mengabaikannya."Ya ampun, Gevan! Jadi Aluna yang kamu maksud sebagai calon mantu buat Bunda??!" Pekik Desti senang, mengetahui bahwa Aluna yang berdiri di samping anaknya.Aluna pun langsung bergerak untuk menyalami serta mencium tangan Desti. "Apa kabar, Bu Desti?" Sapanya ramah sambil tersenyum."Mulai sekarang panggil 'Bunda', ya Aluna?" Sahut Desti sambil tersenyum dan mengelus kepala Aluna.Desti memang sejak dulu sudah menyukai Aluna, dan dalam hati seringkali berdoa agar anaknya Gevan akan berjodoh dengan sekretarisnya itu.Sifat Aluna yang manis dan sabar serta pemberani, dinilai cocok untuk mengatasi Gevan yang pemarah dan perfeksionis.Itu sebabnya Desti tidak ingin Aluna resign dan membujuknya untuk tetap bekerja bersama anaknya.Ia bahkan sampai mengancam Gevan agar bersikap lebih baik lagi kepada Aluna, kalau tidak ingin diabaikan oleh Bundanya sendiri.Aluna terlihat salah tingkah dan meringis dalam hati, merasa tak enak hati karena merasa telah membohongi wanita elegan dan baik hati ini. "Uhm... ya, Bunda," sahutnya akhirnya.Bunda Desti lalu mengajak Gevan dan Aluna masuk dan mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu luas bergaya klasik-mewah.Seorang maid datang menghampiri mereka dengan membawakan teh chamomile dan cake coklat yang sepertinya menggoda selera Aluna.Duh, kalau saja sekarang dalam situasi santai, Aluna sudah menghabiskan cake lezat itu tanpa malu-malu seperti biasanya.Namun meskipun Aluna sudah sangat mengenal Bu Desti serta Pak Andro, tetap saja kedatangannya kali ini resmi sebagai perkenalan dirinya sebagai calon istri Gevan.Oh my God. Calon istri Gevan??? Rasanya Aluna masih belum percaya..."Ayo dicicip, Lun. Jangan tegang gitu, ah! Santai saja... kan kamu sudah sering ke sini?" Desti terkekeh pelan melihat Aluna yang duduk dengan kaku di sofa, padahal biasanya gadis itu langsung melahap cake coklat kesukaannya tanpa malu-malu."Ayah dimana, Bun?" Gevan yang bertanya."Masih main golf. Tahu sendiri kan, ayahmu itu! Kalau sudah asyik main nggak mau diganggu," dengus Desti sambil cemberut.Gevan mengangguk. Tak masalah jika ayah tak ada, toh Aluna dan ayahnya sudah lama saling mengenal karena Aluna adalah sekretarisnya sebelum jabatan CEO beralih kepadanya.Malah sebenarnya Gevan sudah merasa kalau kedua orang tuanya ini berharap dirinya dan Aluna akan menjalin hubungan hingga ke jenjang pernikahan.Mereka memang tidak pernah mengatakannya secara gamblang, namun Gevan sampai muak mendengar nama Aluna yang selalu saja dipuji-puji setiap kali dia berkunjung ke rumah ini.Mereka masih berbincang santai sambil memakan cake, atau lebih tepatnya, Aluna saja yang makan karena Gevan tidak suka makanan manis.Lelaki itu bahkan menyodorkan kue miliknya kepada Aluna saat melihat cake di piring Aluna sudah tandas. Sambil meringis malu, Aluna pun menerima dan memakannya dengan lahap."Jadi kamu sudah serius sama Aluna, Van?" Tanya Desti antusias. Senyum manis pun terulas bibir berlipstik merah muda elegan miliknya.Gevan mengangguk. "Iya, Bun. Gevan serius, dan kami memutuskan untuk secepat mungkin menikah dan menggelar resepsi. Kalau pernikahannya diadakan dua minggu lagi, gimana Bun?"Desti dan Aluna pun sama-sama kaget mendengarnya. Bahkan Aluna hampir saja tersedak cake coklatnya mendengar perkataan bos mulut lemesnya itu."Dua minggu?" Seru Desti tak percaya."Van, mungkin kamu sudah tak sabar untuk menikahi Aluna, tapi ya jangan terburu-buru juga! Persiapan menikah itu paling tidak dua bulan. Bunda mau kalian mendapatkan resepsi yang indah dan tak terlupakan, karena momen itu tidak akan pernah terulang kembali," tutur Bundanya."Ha? Dua bulan?? Nggak Bun, Gevan mau menikah secepatnya saja. Ya udah tiga minggu deh," tukasnya sambil menggeleng tegas. "Banyak kok wedding organizer yang bisa kita sewa dalam waktu yang mepet begitu. Bunda tenang aja. Biar Gevan saja yang urus semuanya.""GEVAN AHZA SAMUDRA!"Aluna sampai terlonjak kaget mendengar suara hardikan Desti yang bernada tinggi. Selama ini Desti selalu bersikap lembut dan sering tertawa, jadi rasanya aneh melihat wanita itu marah. Seketika gadis itu pun menundukkan wajahnya takut-takut."Apa sih yang membuat kamu ingin menikah secepat itu? Sebenarnya ada apa ini? Kenapa terburu-buru seolah ingin mengejar sesuatu??" Tuntut Desti dengan wajah kesal bercampur curiga.Gevan pun menghela napas pelan, dan berpikir serta memutuskan untuk membuka semuanya saja di hadapan Bunda. Toh jika tidak sekarang, pasti nanti semua akan terbuka juga."Sebelumnya Gevan minta maaf, Bun. Bukan maksud Gevan ingin membuat Bunda marah, hanya saja... Gevan ingin sesegera mungkin menikah karena... Aluna sudah hamil, Bun."***TOK TOK TOK!!"Buun... please buka pintunya dong?" "NGGAK! Bunda nggak mau buka! Bunda malu punya anak laki-laki yang sudah menghamili anak orang! Mau taruh dimana muka Bunda, Gevan?!" Desti berteriak kesal dari balik pintu kamarnya yang dikunci dari dalam.Gevan menghembuskan napas gusar. Pasti Bunda sedang marah dan kecewa padanya, setelah ia mengatakan kalau Aluna hamil. Tadi saja Bunda langsung melotot menatap Gevan dan Aluna berganti-gantian, membuat kedua orang yang mendapatkan tatapan tajam itu pun otomatis menundukkan kepalanya. Lalu tanpa berucap sepatah kata pun, wanita paruh baya itu beranjak berdiri dan naik ke kamarnya di lantai dua. Ia pun lalu mengurung diri di sana.Gevan akhirnya menyerah dan memilih untuk membiarkan Bundanya yang masih kesal. Padahal ia pun belum sempat menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Gimana, Bunda masih marah, ya?" Tanya Aluna dengan wajah risau, saat Gevan memutuskan untuk turun kembali ke ruang tamu lantai bawah lalu duduk di sofa sa
Tentu saja Aluna ingin melayangkan protesnya atas permintaan bosnya yang sangat tiba-tiba serta nyeleneh itu.Namun sayangnya belum juga ia sempat berucap, bibir pink pucat dengan bagian tengahnya yang terbelah itu malah sudah keburu menyambar bibirnya.Gadis itu pun serta merta terhenyak, terdiam dalam keterpakuannya saat menyadari bahwa... Pak Gevan ternyata benar-benar menciumnya!!Aluna refleks menarik dirinya untuk menjauh, namun ia tak mampu berkutik saat kedua tangan Gevan tengah merangkum wajahnya yang mungil, membuatnya bahkan tak bisa sekedar memalingkan wajah.Awalnya memang terasa aneh, tak wajar, rikuh dan merinding di sekujur badan. Aluna tak bisa menampik semua perasaan yang tengah berkecamuk di dalam dirinya atas kedekatan intensnya dengan Gevan.Bibir yang biasa berucap sinis, ketus, meledek dan mengoloknya dengan kata-kata sadis itu kini malah menyesap bibirnya.Namun... Jika dipikir-pikir lagi, mungkin ada benarnya juga perkataan bosnya ini tadi tentang bagaimana m
"Jadi kamu ngusir aku, Van?" Tanya Adam dengan ekspresi tidak percaya.Gevan tertawa sumbang. "Sudah kubilang kalau Aluna itu calon istriku, Dam! Dan aku juga tidak akan ragu untuk memecat kamu kalau masih juga berusaha mendekati Aluna!"Lalu dengan langkahnya yang panjang dan pasti, Gevan pun bergerak menuju pintu keluar dan langsung membukanya dengan kasar. Tatapan tajamnya kembali terhunus ke arah Adam yang masih berdiri mematung dalam diam."Tunggu apa lagi? Silahkan keluar, Mr. Adam James Wrighton," ucap Gevan dengan nada sedingin es kutub utara.Adam menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas pelan. Tak ada gunanya melawan Gevan yang sedang emosi, itulah yang Adam sadari setelah delapan tahun berteman dengannya.Gevan memang sangat temperamental dan mudah meledak-ledak, apalagi jika sedang emosi. Amarahnya yang berkobar itu ibarat badai besar yang akan menyapu segalanya hingga porak-poranda. Lebih baik jika kita diam dan menyingkir sejauh mungkin daripada ikut hilang
Saat ini Aluna sedang mengobati luka-luka di wajah Gevan akibat pukulan serta tamparan dari ayahnya, Andromeda. Gadis itu benar-benar tidak menyangka kalau mantan bosnya itu bisa sesadis ini memukul putranya sendiri, anak satu-satunya pula!"Apa Pak Andro sering melakukan ini pada Pak Gevan?" Guman Aluna pelan. Ia sebenarnya bermaksud mengatakan kalimat itu hanya di dalam hati, namun tanpa sadar malah terucap pelan dari mulutnya.Namun Gevan yang mendengarnya pun hanya diam saja, sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan itu. Ia tahu kalau Aluna shock melihat sikap kejam ayahnya, karena selama ini pasti yang Aluna tahu hanyalah tentang Andromeda Samudra yang baik hati dan ramah. Aluna menatap dalam-dalam lelaki itu saat ia telah selesai mengobati wajah Gevan."Pak... bolehkan kalau saya bertanya?" Gevan masih diam dan membalas tatapan gadis itu dengan wajahnya yang penuh lebam. "Silahkan saja, tapi aku tidak akan menjawabnya."Kening Aluna pun seketika mengernyit. "Setid
Keesokan harinya, hanya Gevan yang datang ke kantor. Aluna benar-benar dilarang keras untuk bekerja. Selain karena Andro dan Desti khawatir kalau putra mereka itu akan kembali 'menyerang' Aluna seperti semalam, Desti juga ingin mengajak calon menantunya itu mencari oleh-oleh untuk dibawa ke Jogja sebagai buah tangan untuk orang tua Aluna.Ya, besok rencananya Andro dan Desti akan berkunjung ke Jogja dengan tujuan untuk melamar Aluna. "Capek, Lun?" Tanya Desti penuh perhatian, saat mereka sedang melihat-lihat syal sutra yang akan diberikan sebagai oleh-oleh untuk Mamanya Aluna.Aluna menggeleng. "Nggak, Bun. Aluna baik-baik saja, kok," sahutnya sambil tersenyum.Baru kali ini Aluna shopping dengan Desti, dan mereka ditemani oleh Mbak Sella asisten pribadi calon mertuanya itu."Ini Mbak Aluna, jus alpukat dengan gula sedikit." Sella menyodorkan segelas jus ke hadapan Aluna yang hanya bisa garuk-garuk kepala sambil meringis.Masalahnya, sedari tadi Desti terus saja menyuruh Sella memb
"Mas Gevan?!" Aluna benar-benar kaget saat Gevan tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang periksa kebidanan, dan sontak ia pun menjerit. Gimana nggak kaget? Masalahnya tadi itu sebenarnya Aluna dan Gevan sudah mencapai sebuah kesepakatan, kalau yang akan masuk ke dalam ruang periksa dokter ini hanyalah Aluna. Sedangkan Gevan hanya akan menunggunya di luar hingga kandungan Aluna selesai diperiksa. Aluna bahkan sudah merekam diam-diam semua percakapannya dengan dokter kandungan dengan menggunakan ponselnya. Tujuannya adalah agar Gevan dan Bunda bisa mendengar langsung kondisi anak yang ada di kandungan Aluna. Tapi kenapa lelaki ini malah tidak melakukannya sesuai kesepakatan?Aluna pun mendelik menatap Gevan yang dengan santainya berjalan masuk ke dalam, lalu pria itu melemparkan senyum datar pada dokter wanita yang sedang memeriksa Aluna. "Permisi dokter, saya adalah ayah dari janin yang dikandung Aluna. Gimana kondisi anak saya?" Tanya Gevan sambil berjalan ke arah Aluna yang berbar
'Apartemen Mas Gevan besar banget.'Aluna melangkah masuk dengan ragu, namun ia tak bisa menampik kekagumannya pada unit milik calon suaminya itu. Gevan membawanya masuk dan duduk di ruang tamu yang didominasi warna-warna monokrom--mirip seperti ruang kerjanya. Namun yang Aluna sukai di apartemen ini adalah hiasan dinding berupa lukisan-lukisan abstrak aneka corak warna yang membuat suasana jauh lebih hidup.Aluna tampak tertarik dan terus berdiri memandangi sebuah lukisan abstrak berwarna perpaduan kuning, putih dan abu-abu. "Kamu suka sama yang itu?" Tanya Gevan yang baru datang dari dapur membawa jus alpukat untuk Aluna, dan ia meletakkannya di atas meja tamu.Aluna mengangguk pelan dengan mata yang masih tertuju pada lukisan itu. "Suka banget sama warnanya. Meskipun bentuknya mirip tumpahan cat, tapi kelihatan artistik banget," komentarnya.Dengus tawa pun terdengar dari Gevan. 'Tumpahan cat, katanya? Belum tahu aja si Aluna kalau lukisan itu pernah ditawar seharga mobil SUV.'"
"Aku nggak bisa tidur karena baru kali ini berada dalam satu apartemen dengan wanita, namun dengan kamar yang berbeda," jawabnya dengan suara seraknya yang terdengar sangat seksi di telinga Aluna.Nada maskulin Gevan membuat Aluna sejenak terpana.Namun ketika sebuah kenyataan kembali datang untuk menghantamnya bagai petir yang menyambar, gadis itu pun baru tersadar. Sambil melipat tangan di dada, Aluna menatap Gevan dengan kedua alis terangkat menghakimi."Baru kali ini berada dalam SATU apartemen dengan wanita, namun dengan kamar yang BERBEDA?" ulang Aluna dengan nada sarkas. "Wow. Aku nggak nyangka kalau Mas Gevan yang datar dan dingin ini ternyata palyboy juga," sindirnya.Dengus tawa terdengar pelan dari bibir pink pucat Gevan. "Playboy sih engak, cuma yaa.. gitu deh," ucapnya menggantung tak pasti. "Kenapa? Cemburu? Jangan khawatir, aku tipe yang serius kalau sudah berkomitmen, kok. Toh aku juga nggak mempermasalahkan dan malah menerima masa lalu kamu, kan?" cetusnya sambil me
Saat Adam masih celingukan mencari keberadaan Flora yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana, tiba-tiba saja Dante dan beberapa orang lelaki menariknya menuju ke dalam lift. Ya, rumah tiga lantai milik Pinkan memang memiliki lift kecil di dalamnya. "Party time!" Seru seseorang yang berada di samping Adam dengan penuh semangat, yang disambut dengan ribut sorakan riang lainnya. Oh damned. Sepertinya Adam sedang 'diculik' dan dibawa ke dalam Bachelor Party yang tadi disebutkan oleh Dante, padahal ia sama sekali belum bertemu dengan Flora untuk meminta ijin. Adam pun buru-buru meraih ponselnya, memutuskan untuk menelepon calon istrinya itu dan memberitahu mengenai acara yang sudah di atur oleh para sepupunya yang tukang culik ini. Paling tidak Flora harus tahu, karena Adam tidak ingin gadis itu memergokinya. Bisa kacau nanti. Namun sudah berkali-kali Adam menelepon ponsel Flora, tetap saja gadis itu tidak mengangkatnya. Adam pun berdecak sebal dan memutuskan untuk mengirim
Waktu berlalu tanpa terasa, dan hanya tinggal dua minggu lagi menuju hari pernikahan Adam dan Flora.Flora pun masih bekerja seperti biasa, meskipun Gevan membebaskannya jika ingin mengambil cuti. Tapi tentu saja gadis itu merasa tidak enak hati untuk mengambil cuti yang terlalu lama. Ah, bosnya itu memang terlalu baik.Dan ngomong-ngomong soal para calon pengantin, meskipun mereka masih bekerja di dalam satu Gedung, Adam dan Flora jarang sekali bertemu karena kesibukan masing-masing yang cukup menyita waktu. Adam masih saja berkutat dengan dua perusahaan, Samudra Corp. dan Wrighton Constructions, karena Noah yang juga masih menjalani terapi kanker harus menjaga kondisinya dan tidak boleh terlalu lelah.Hal inilah yang menjadi dilema bagi Adam. Di satu sisi sejujurnya ia lebih menyukai bekerja di Samudra Corp bersama Gevan, namun di sisi lain ia juga kasihan dengan Dad yang sepertinya sudah waktunya pensiun sebagai CEO Wrighton Constructions--terutama karena sedang sakit seperti in
Adam kembali mengarahkan padangannya ke langit malam, membuat Flora pun sontak ikut mendongak melihat langit. Tapi gadis itu malah terkesiap ketika kedua matanya tiba-tiba ditutup oleh tangan Adam, membuat dirinya serasa terkungkung oleh kegelapan.Lelaki itu mendekatkan bibirnya di telinga Flora untuk berhitung mundur, "Tiga, dua, satu..."Adam membuka tangannya dari mata Flora, bertepatan dengan ledakan sejuta bunga yang berkilau laksana emas yang menyinari langit malam.Flora membelalak, terpukau, tak menyangka kalau akan ada kembang api malam ini. Suara desing lembut yang diikuti oleh suara ledakan serta visual gemerlap di angkasa membuat matanya berkaca-kaca."Indahnya..." guman Flora lirih, tanpa melepaskan tatapannya dari langit.Adam yang sedari tadi hanya memandangi Flora, kini menyunggingkan senyum kemenangan. 'Yes, dia suka!!' Soraknya dalam hati. "Ini beneran kamu yang rencanain?" Flora mengalihkan wajah penuh tanya kepada Adam."Iya dong! Kembang api itu akan terus me
Setelah makan malam, Adam bersantai sejenak di rumah Flora sebelum ia pulang ke Jakarta. Ya, ia pulang sendirian, karena besoknya lelaki itu berencana melamar Flora dengan mengajak serta Dad. Jika ayahnya itu mau. Tadi sore ia sempat menelepon Noah dan menceritakan semuanya. Noah berkata dengan jujur bahwa dia kecewa, karena berharap putranya akan kembali bersama Anya."That is not gonna happened, Dad," ucap Adam di telepon tadi sore. "It's already over between us. It's over a long time ago," tukas Adam tegas tak terbantahkan.Noah hanya bisa menghela napas. Hantaman rasa bersalah kepada Anya tidak akan pernah bisa pudar karena telah membuat wanita itu menjadi istrinya, hingga akhirnya Anya pun terpisah dengan cinta sejatinya. Tapi apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Adam benar-benar telah mengubur perasaannya kepada Anya, dan membuka lembaran baru bersama Flora.Bahkan hingga sambungan telepon itu berakhir, Noah masih bungkam--enggan memberikan restunya.It's okay. Adam te
"Kalau begitu buktikan kalau kamu memang menyayangi Flora dengan sepenuh hati. Jangan cuma pacari putri kami, tapi nikahi dia," ultimatum Wahyu sambil berkacak pinggang.***Mungkin kalau ada penggaris meteran, rasanya ingin sekali Flora mengukur lebarnya senyum Adam saat ini. Ok, senyumnya memang tampan, tapi ya nggak perlu lebar-lebar gitu juga, kan??"Saya siap menikahi Flora, Pak Wahyu," jawab Adam cepat. "Kapan pun. Lebih cepat lebih baik," tambahnya, yang membuat Flora rasanya ingin menenggelamkan diri ke empang milik tetangga saking malunya. Wahyu terkesiap dan mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Adam barusan yang terdengar begitu tegas. Tak dipungkiri kalau ia senang dan cukup lega karena Adam sepertinya serius dengan putrinya. Apalagi lelaki itu juga yang telah membantunya mencari bukti-bukti yang membuat Wahyu keluar dari penjara. Dari situ saja sepertinya memang terlihat kalau Adam memang memiliki perhatian lebih kepada Flora.Hanya saja, pria paruh baya itu juga
"Tadi bicara apa aja sama Arrigo?" Flora mengangkat wajahnya dari buah mangga yang sedang ia kupas untuk Adam, ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut lelaki itu."Nggak ada yang penting, sih. Cuma say thanks aja karena Riggo sudah banyak bantu sebagai pengacara Papa, gratis pula," sahut Flora sambil kembali berkutat dengan buah mangga yang dia kupas.Mereka berdua sedang bersantai di dalam gazebo yang terletak di taman belakang rumah orang tua Flora, membiarkan Papa dan Mama Flora saling kangen-kangenan setelah beberapa hari Papanya itu berada di tahanan Polisi.Taman belakang ini tidak terlalu luas, tapi ditata dengan apik dan sangat asri. Di tengah-tengahnya ada gazebo kecil yang sering dijadikan outdoor dining room saat Flora masih tinggal di Bandung.Cuaca kota kembang Bandung ini yang tidak terlalu panas dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi pun membuat suasana menjadi rileks."Aa!" Flora bermaksud menyuapkan sepotong mangga yang ditusuk dengan garpu ke mulut Adam, ta
Sesampainya di Polretabes Bandung, Adam pun memarkirkan mobilnya, sementara Flora langsung menelepon Riggo--pengacara yang mewakili papanya yang juga teman sekolahnya di SMU dulu."Go, gimana? Papa sudah bisa dijemput belum?" "...""Oh. Kalau gitu aku tunggu di mobil aja ya? Telpon aja kalau semua sudah beres.""...""Ok. Thanks banget ya."Flora menghela napas saat ia menutup sambungan telepon itu. "Papa belum bisa keluar karena masih harus tanda tangan beberapa berkas pembebasan," ucapnya memberitahu sambil menatap Adam."Ariggo Putra itu, pengacara papa kamu?" Tanya Adam yang masih terlihat sibuk mengutak-atik tablet-nya.Flora mengangguk. "Kenapa? Kamu kenal ya?""Nggak. Aku cuma cari profilenya aja di LinkedIn. Beneran cuma temen? Bukan mantan kamu kan?"Flora berdecak sebal. "Curigaan banget sih?"Adam mengangkat wajahnya dari tablet dan menatap dingin gadis di depannya. "Jawab saja, Flora."Flora mendengus kesal. "Bukaann! Dia itu cuma salah satu temanku di SMA, kok. Beneran."
Suara ketukan pelan di pintu tak pelak membuat kedua pasang mata berbeda warna itu pun menoleh ke sana. "Siapa?" Tanya Flora pelan kepada Adam. Aneh sih. Ini kan kamar Presidential Suite. Jadi dari pintu depan nggak langsung ke kamar, melainkan melewati ruang tamu, dapur bersih, ruang kerja, baru deh ketemu kamar. Maka jika orang itu mengetuk pintu kamar, artinya dia memiliki access card juga untuk masuk ke dalam kamar 3356 ini! "Jangan takut, kayaknya itu cuma Gevan." Adam menurunkan tubuh Flora dari pangkuannya. "Mungkin dia cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja." Adam mendudukkan Flora di ranjang, lalu ia pun berdiri untuk membuka pintu. Seorang lelaki berwajah datar tanpa ekspresi berdiri di sana, lalu melongokkan kepalanya ke dalam kamar seperti sedang mencari-cari seseorang. "Mana Flora? Dia nggak apa-apa, kan?" Tepat seperti perkataan Adam sebelumnya, Gevan-lah yang sekarang berdiri di depan pintu kamar. Salah satu dari dua access card kamar ini memang dia
"ADAM!" Pekik Flora penuh kelegaan dan rasa syukur yang luar biasa. Beban berat yang tadi menggelayuti dadanya pun seketika terhempas. Ia tak peduli alasan kenapa lelaki itulah yang berada di kamar 3356, tak peduli kenapa bisa Adam-lah yang berada di situ alih-alih Raiden. Flora bahkan melupakan kenekatannya untuk datang ke kamar ini adalah bertujuan untuk menyelamatkan papanya. Ia lupa segalanya... karena teramat sangat lega. Flora memeluk erat tubuh atletis itu seperti tidak akan pernah melepasnya lagi, tanpa mengerti bahwa perbuatannya itu telah membuat seorang lelaki normal dengan hasrat yang meledak-ledak seperti Adam tentunya akan bereaksi. "Aaaa...!!" Flora memekik kaget dengan kedua netra bening yang membulat, saat lelaki itu mengangkat pinggangnya dan membuat kaki jenjang terbalut jeans itu melingkari tubuh Adam. Flora yakin kalau tubuhnya tidak enteng seperti Aluna yang mungil. Bobotnya 55 kilogram dengan tinggi 168 cm, namun Adam mengangkatnya dengan satu ta