Liam memarkirkan mobilnya ke dalam garasi dan memasuki rumah dari pintu penghubung. Ia mengulum senyum mendapati Kakak, Adik serta Iparnya duduk bersama di ruang tamu, meliriknya dengan tatapan yang berbeda.
“Benar, kan! Mami bilang, calonnya Kak Liam tuh masih anak SMA. Gila ... Masa calon kakak iparku lebih mudaan?”
“Jadi yang kamu bilang kemarin beneran, Sayang?”
“Itu info paling akurat!” sahut perempuan bermata sipit yang menatap serius suaminya yang berada di sampingnya.
Sedangkan pria berdarah Indonesia itu melirik ke sebelahnya. Kakak iparnya bernama Xavier Ogawa—Kakak Liam—sibuk bermain game di ponsel.
“Kak? Masa kita kalah sama Kak Liam? Kita nikah sama yang seumuran. Lah, sekali dapat Kak Liam justru nikah sama yang masih polos.”
“Nggak iri, Kak?” tanya adik iparnya dengan selisih empat tahun itu.
“Ih, Putra! Maksud kamu apa, bilang kamu
“Hai ...”Bibir Indira sukses terbuka. Ia menganga lebar, nyaris tidak berkedip karena terlalu syok dengan tamu yang datang dipukul delapan malam.Siapa lagi jika bukan pria yang tadi sore baru saja mengantar pulang Indira.Liam Ogawa.Bukankah pria itu sempat berucap akan bertemu kembali besok? Atau jam di rumah pria itu berbeda, layaknya mereka tengah berada di zona waktu—negara—yang berbeda. Sampai perbedaan jam saja tidak dikenali lebih baik oleh pria tinggi di hadapannya.“Ya ampun?! Ada Nak Liam, ya?!”“Dira! Ngapain kamu suruh calon suamimu berdiri lama-lama di depan pintu?!”Indira meringis sakit, tersadar saat Mama tercintanya justru menepuk bahunya cukup kuat. Wanita itu kesal dengan sikap Indira yang tidak mempersilakan Liam masuk, memilih untuk terpaku lebih lama. Pikiran anaknya entah berada di mana sampai enggan terkoneksi dengan baik.
Indira berpura-pura sibuk memandang langit malam dari balkon apartemen Liam, meskipun ia tahu ada langkah yang mulai mendekat.“Untuk kamu,” ucap Liam mengulurkan satu cangkir teh, sedangkan di tangan lain pria itu pun sama.Perempuan itu segera menerimanya. “Lo nggak suka kopi?”Itu pertanyaan pertama yang Indira lontarkan setelah ia bungkam cukup lama dan berusaha menghindar dari Liam. Ucapan pria itu saat di depan pintu unit masih terbayang dalam benaknya.Terlalu manis untuk mendapatkan respons tubuhnya yang tidak keruan.Huh! Jangan-jangan ia sudah mulai masuk ke dalam perangkap Om Mesum ini?!“Ya. Lebih suka yang manis. Apalagi kalau lihat kamu. Bawaannya selalu tersugesti untuk tersenyum.”Sial!Hampir saja Indira akan bersiap minum dan ia bisa tersedak mendengar rayuan ‘maut’ seorang Liam Ogawa yang sekarang berdiri di sampin
“Sekarang kamu pilih gaun untuk pertunanganmu sama Liam. Nanti Mama sama calon ibu mertuamu yang bakal sesuaikan pakaian Liam. Dia sibuk untuk tiga hari ke depan, menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum akhirnya melaksanakan pertunangan.”Indira tidak berkedip sama sekali.Perempuan itu bahkan masih membuka sedikit bibirnya, menatap wanita yang mengajaknya pergi ke Mal untuk berbelanja. Terlebih Indira yang masih memakai seragam sekolah, dijemput sang Mama yang terlalu aneh hari ini.Tapi, memang sudah diduganya jika kedatangan wanita itu tidaklah mengundang ketenangan. Senyum Mama Indira sangat menakutkan.“Ma ...”“... Hayo?! Mau bantah lagi? Masih nggak capek merengek terus? Silakan aja, sebanyak apa pun kamu menolak alias membantah ucapan Mama. Sebanyak itu pula Mama berusaha membuat kamu lelah.” senyum lebar berbanding terbalik dengan wajah datar Indira.Perempuan itu mendengk
“Buset, Dira ... Cincinnya bagus banget. Ini pasti mahal,” puji Naomi mengusap untuk kesekian kalinya cincin yang tersemat di jemari tangan Indira.Bukan cincin pertunangan. Melainkan cincin untuk dipakai Indira tanpa ada makna lain, kecuali mempercantik lingkar jemari tangannya.See? Mengerti maksud Indira?Liam membahagiakan Indira dengan cara tidak terduga. Datang ke toko untuk memilih cincin pertunangan dan mendapatkan bonus perhiasan satu lagi. Cincin untuk mempercantik dirinya.“Brand yang sama,” balas perempuan itu melirik setengah tidak berminat Naomi yang masih saja mengagumi cincin berkilau dengan harga yang tidak akan sanggup mereka bayar.Keduanya sedang duduk di atas kasur Indira, masih memakai seragam olahraga. Ini hari terakhir Indira melepas masa lajang dan akan terikat besok hari untuk melaksanakan pertunangan. Setelah itu? Rentetan aktifitas termasuk memilih gaun pernikahan pasti a
“Mulai sekarang kamu harus rajin belajar masak,” cetus Mama Indira sibuk berdiri, menyiapkan nasi goreng yang sudah dirinya buat ke dalam piring lebar milik suami dan anaknya.“Karena sebentar lagi kamu bakal menikah,” sambungnya.Wanita itu yang berdiri di antara suami dan anaknya cukup mudah menaruh nasi bergantian di sana. Tangannya bergerak, tapi bibirnya tidak lantas berhenti untuk menceramahi anak semata wayang.“Belum sampai satu minggu Dira jadi tunangan dari salah satu anak di Keluarga Ogawa, Ma ...” balasnya lemas, sibuk menutup mulut karena menguap. Matanya sulit sekali terbuka sempurna. Padahal, ia sudah rapi dengan seragam sekolah yang mengenakan rompinya.Sedangkan Papa Indira tertawa kecil, melihat putrinya yang sudah dilirik sang Mama dengan tajam. “Kamu tidur jam berapa semalam?” tanyanya dengan mata memicing.Indira yang tidak mendongak sama sekali untuk sekadar menatap p
“Gila ... Lo berasa jadi sugar baby,” cetus Naomi menggeleng tidak percaya, menatap saldo milik Indira dari m-banking milik perempuan berparas cantik itu.“Hah? Sugar baby.”“Iya, level dasar. Gue yakin, tembus seratus juta lo minta sama tunangan lo bakal dijabanin. Ya ... Ibarat dia kan lebih dewasa dan punya segalanya dan lo terlihat dimanja, jadi ratu kesayangannya,” jelasnya nyengir lebar dan mendapati dengkusan sebal Indira.Perempuan itu segera menutup ponselnya saat jam pelajaran di istirahat pertama telah usai. Guru mereka tidak masuk dan digantikan dengan tugas yang sudah diserahkan oleh Ketua Kelas. Mereka mengerjakan dengan tertib tanpa membuat keributan, meskipun di dalam kelas tetap saja banyak ponsel yang terlihat dan makanan yang berada di beberapa meja murid lainnya.“Lo tau? Tadinya gue cuma mau ngetes emosi dan tingkat sabarnya udah sampai di mana. Paling enggak, pagi-pagi gue bisa buat dia kesal d
Indira mengumpati kebodohannya yang terlalu histeris saat Liam menundukkan wajahnya. Sial! Pria itu beberapa menit lalu menggodanya, tidak untuk membuatnya sampai kejang-kejang atau berakibat fatal untuk menamparnya. Tidak peduli jika pria itu adalah tunangannya.Hal terbaik, Liam tertawa puas, berhasil menggodanya sekaligus Indira tahu jika pria itu selalu saja bisa mengendalikan dirinya dan bersikap biasa dengan keadaan mereka serapat itu.Ia mengembuskan napas kasar, melirik ke arah pintu dapur saat Liam belum kembali. Pria itu sibuk di sana dan menyuruh Indira duduk di ruang tengah dengan tayangan film kartun. Tidak sesuai dengan seragam SMA yang masih melekat di tubuhnya.“Kalau gue menyusul ke sana ... Aman nggak, ya?”Ia sangat ragu, meskipun sudah tahu tidak akan ada hal yang membuat pandangannya terkontaminasi atau sampai menggoda iman. Pria itu sudah membalut tubuh atletis dengan kaus polos dipadukan celan
Liam Ogawa ... Pria itu adalah sosok yang baik. Sayangnya, tengsin yang terlalu tinggi membuat Indira Aubrey enggan mengakuinya. Bisa berisiko pria keturunan Jepang itu besar kepala dan membuatnya semakin leluasa untuk menjahilinya.Ia melirik Liam yang mulai menjatuhkan tubuh di samping Indira. Setelah makan bersama, mereka memutuskan untuk menonton tayangan kartun sejenak, sebelum nantinya tunangan Indira mengantarkannya pulang.“Kamu nggak mau ganti baju?”“Ngapaian? Bawa juga enggak,” ketusnya mulai menoleh dengan mata memicing.Liam mendengkus geli melihat ekspresi yang sudah sangat dikenalnya. Pria itu mengedik, mulai mengambil camilan di atas meja yang sudah disiapkannya untuk mereka berdua.“Aku udah siapkan beberapa gaun dan pakaian santai di lemari kamar kita.”Ia mendelik, kaget. “Untuk apa?!”
Ketukan sandal, kedua tangan yang dilipat depan dadan serta sorot tajam itu membuat Liam menatap bingung istri kecilnya. Ia baru saja tiba di rumah pukul sembilan malam, sesuai perjanjian di antara dirinya dan Indira. Pria itu mendapatkan izin untuk mengikuti reuni dan pulang di saat acara belum selesai.Apa yang salah?Bahkan, selama mereka menikmati liburan bulan madu, Indira membebaskan Liam pergi datang ke reuni dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak sekali, melainkan beberapa kali dan satu hari mereka pulang ke Jakarta, Indira mengingatkan Liam.Ia sudah paham dan tidak akan membuat istrinya marah atau menangis lagi.Tapi belum sempat ia membuka pintu unit apartemen. Indira sudah berada di depannya, menunggu dengan raut wajah berbeda. Sebenarnya Liam sudah sangat ketakutan karena jika Indira marah ... maka ia harus menenangkannya. Liam pernah gagal untuk meluluhkan hati Indira ketika marah. Suasana hati istrinya kerap tidak terduga akan lulu
Indira tidak pernah menduga. Sekali jatuh cinta, maka ia merasakan kebahagiaan luar biasa selalu melingkupi dirinya bersama orang terkasih. Ia mencintai Liam, menerima semua kekurangan ... kesalahan yang pernah suaminya buat. Tapi apa pun itu, mereka sudah melangkah bersama, menata pecahan yang pernah menghunus tepat di hati.Bahkan, Indira sudah membuang rasa salah tingkah tiap Liam mulai menggoda atau ingin bermesraan dengannya. Karena sejak malam itu, ia ingin menjadi perempuan yang bisa mengimbangi sikap dewasa Liam, ikut mesum dan tentunya ikut romantis!Perempuan itu sedikit mendongak saat fotografer yang mereka sewa, memberikan aba-aba. Senyumnya semringah saat Liam memeluk pinggangnya dari samping, lalu membawa bibir basah itu ke leher istrinya. Mereka sudah menghabiskan banyak pose di tempat berbeda.“Cium, dong,” pinta perempuan itu merona saat pelukan mereka terurai.“Dari tadi kamu nggak pernah cium bibir aku,” gerutu I
‘Ingat, Dira Sayang. Sekarang kamu udah tau bagaimana isi hati kamu dan ternyata ... kamu juga sangat mencintai suamimu. Jadi, lupakan semua hal yang bisa membuat kamu malu dengan keadaan sebelumnya dan jadilah perempuan yang terlihat dewasa untuk merayu pria tampan.’‘Keberhasilanmu kali pertama adalah bagian terpenting yang bisa membuat Liam terus mengenang hal mendebarkan sama kamu, Nak.’‘Jangan kecewakan suamimu yang sudah menunggu kamu selama ini. Lakukan penuh cinta dan sayang yang kamu pancarkan dengan ketulusan hati.’Indira berdebar.Perempuan cantik itu memegang bagian di mana jantungnya berdetak kuat. Ia merasakan kedua pipi memanas saat di hadapannya ... ia terlihat sedikit lebih dewasa dari usianya dan juga bagaimana ia merias diri; memperlihatkan bagian yang harus terkesan sensual.Bibir kemerahan oleh lipstik dan juga riasan yang tidak terlalu tebal. Selama tinggal dalam satu unit yang sama. Indir
Tidak ada hari yang membuat mereka lelah untuk menciptakan kebersamaan yang manis. Liam dan Indira membuktikan, jika hal kecil bisa sangat berarti dan membuat komunikasi di antara keduanya terjalin kuat.Setelah pulang bekerja atau Indira yang memang kerap pulang cepat karena dalam masa ujian, mereka akan menyiapkan makan malam. Baik Indira ataupun Liam sudah saling mengerti dan memusatkan status mereka sebaik mungkin.Mereka akan menonton bersama di sore hari dan di tiap malam, Liam akan menjadi tutor bagi Indira dalam mengulas materi apa pun untuk besok harinya.Hmm, lebih tepatnya tutor tampan. Suami yang merangkap sebagai guru private sangat menyenangkan bagi Indira. Ia bisa meminta hadiah istimewa dan mendebarkan. Apalagi jika bukan sebuah ciuman panjang. Karena akhir-akhir ini Liam terlalu jual mahal.Dari mereka kembali bersama ke unit, sepertinya Indira yang memperlihatkan sisi agresif. Setiap malam pun ia sengaja memeluk Liam dan membawa satu kak
“Gimana? Jawabannya udah benar semua, kan?”Indira tampak nyaman melingkarkan kedua tangannya di leher Liam, merangkul pria itu dari belakang seraya membiarkan suaminya duduk memeriksa materi yang mereka ulas bersama di meja belajar Indira.Malam sudah menunjukkan pukul sembilan. Tapi ditemani suaminya, Indira tetap semangat untuk ujian nasional di hari pertama besok. Harinya berlanjut dengan bahagia tanpa beban dan belajar ... tentu saja ia memahami dengan baik, tanpa berpikir hal pelik seperti beberapa waktu lalu.Omong-omong, suami ya? Tentu saja! Indira dengan perasaan berdebar melirik cincin di jemari tangannya. Ia mengulum senyum, menghadirkan rona merah yang begitu kentara. Pun, jemari tangan Liam di atas meja belajar Indira yang sesekali membuka lembaran materi, memperlihatkan jemari itu tetap tersemat cincin pernikahan mereka.Keduanya memberikan simbol cinta dengan cincin pernikahan yang tidak akan mereka lepas, kecuali untuk sementa
Liam tersenyum miris saat pandangannya sangat lekat memandang foto pernikahan yang ia diam-diam simpan dengan rapi di galeri. Ruang khusus dengan nama yang tertera ringkas ‘Pernikahan’, entah kenapa pernah ia pisahkan dan membuat folder sendiri.“Setelah pernikahan kita yang aku ingat hanya untuk terus sadar kalau waktu itu aku udah punya kamu. Aku nggak menjalani hari sebagai pria lajang dan ada seorang perempuan yang menjalani komitmen bersamaku.”Liam mengulas senyum manis, meskipun perih dan gemuruh dalam dadanya kian menguat seiring jemari tangan mengusap lembut layar ponsel. Foto pernikahan ia dan Indira yang terlihat banyak orang manis. Tapi Liam tahu, dalam hati Indira menatap dirinya dengan umpatan yang terlalu banyak.Ia tertawa kecil, membayangkan kemarahan Indira yang memantik bagian terdalam hatinya. Pria itu tidak pernah menemukan kesan seringan dan semanis ini saat berkomunikasi dengan seorang perempuan.Itu yang mem
Bianca mengalihkan pandangan saat wanita itu menatapnya lurus, meskipun ia tahu jika ada air mata di pelupuk matanya. Diam-diam, jemari tangan itu mengepal di bawah meja, membawa dirinya pada keadaan yang tidak diinginkan.“Pernikahan putri Tante hancur, Bi. Kamu tau hal itu, kan?”Rahang Bianca mengetat ketika suara itu bergetar. Nyaris berupa bisikan dan itu sangat membuat Bianca kian mengepalkan kedua tangan, membuat buku jemari tangannya memutih. Ia membenci jika yang membawanya ke mari adalah Mama Indira.Ia tidak sengaja bertemu wanita itu di supermarket dan sekarang? Bianca terjebak dalam percakapan yang serius dan wanita itu adalah sosok pertama yang akan melindungi Indira.“Pernikahan Dira sudah berada di ujung tanduk,” lanjut wanita itu.Bianca langsung menatap manik mata Mama Indira dengan sorot tegasnya. Ia seolah tersudut ... dipojokkan dengan sangat tidak adil. Senyumnya tertarik sedikit, tampak menatap dan mem
Tangis Indira pecah saat ia memeluk erat wanita yang telah melahirkan dan meyakinkan Indira tentang suaminya sendiri. Ia mengatakan semua ... tanpa ada satupun yang ditutupi mengenai keretakan hubungan di antara dirinya dan Liam.Bahkan, Mama Indira membungkam mulutnya, nyaris bergetar saat Indira mengatakan hubungan asmara yang sempat dijalin antara Liam dan Bianca.Wanita itu hanya duduk tenang bersama suaminya di ruang tengah. Sampai ia mendengar satu tamu yang datang magrib, ia langsung membuka dan mendapati Indira memeluknya erat dalam mata sembab dan air mata yang tidak berhenti usai.Orangtua Indira kaget, mengenai hal yang tidak pernah perempuan itu ungkapkan sama sekali.Namun, bukan hanya air mata Indira yang terus saja membawa pilu dan sesak dalam hati orangtuanya. Mama Indira dan Papanya pun tampak sakit ... ketika Indira membuang begitu saja kue ulang tahun yang telah disiapkan pria itu untuknya.“Naomi datang ke unit Dira dan Li
‘Maaf, Indira. Aku harus pergi sebelum kamu bangun. Pagi tadi Xavier minta aku temani dia ke Bandung dan kami berdua akan balik lagi ke Jakarta setelahnya. Kamu pergi ke sekolah sendiri, ya. Sarapan paginya udah aku siapkan.’Indira menggerutu sebal dan melempar asal secarik kertas di tempel bagian depan kulkas. Ia menaruhnya di atas meja dapur, lalu duduk di sana dengan mengembuskan napas lelah.“Kenapa, sih?”“Giliran kemarin bangun pagi, dia masih tidur dan suasananya aman-aman aja. Sekarang harus ditinggal, tepat di saat gue ulang tahun,” sahutnya mengusap wajahnya yang masih kusut.Indira pikir, ia kembali berada di posisi Liam kemarin. Perempuan itu baru bangun jam enam kurang lima belas menit dan beranjak terlebih dulu keluar kamar saat tidak mendapati Liam berada di sisi ranjang.Namun, kenyataannya Liam memang tidak ada di unit dan sudah pergi duluan.Indira menilik piama tidurnya. “Ya udah,