“Joe! Mengapa kau di sini? Seharusnya kau bersama ibuku sekarang, bukannya malah bersama gadis ini!” tanya Efram pada Joe. Ia terang-terangan menunjuk Lyra saat gadis itu berani datang ke pesta pertunangannya padahal Efram sudah memintanya untuk tidak muncul lagi.
Joe menundukkan kepalanya dengan hormat. “Maaf, Tuan Muda, tetapi nyonya besar sendiri lah yang memerintahkanku untuk mengantar Nona Lyra ke mari.”
“Lalu di mana sekarang ibuku?” tanya Erland tak bisa santai. Kekhawatiran di wajahnya masih belum hilang. Sementara Efram berpikir bahwa adiknya itu terlalu cemas tanpa alasan.
“Tenanglah,” ucap Efram pada Erland.
“Jika kau ditugaskan untuk mengantar gadis ini, lalu bersama siapa ibuku sekarang?” tanya Efram pada Joe.
“Nyonya besar meminta Tuan Zen untuk mengawalnya bersama Nona Jessie dengan mobil yang akan digunakan khusus untuk menjemput Nona Jessie—seperti yang Tuan Muda pesan kemarin.”
“Mengapa kau membiarkan ibu pergi?!” Erland bertanya tiba-tiba dengan nada yang meninggi, hal itu mengakibatkan perhatian beberapa orang teralih padanya.
“Jaga nada bicaramu, Erland. Jangan lupa di sini sedang ada banyak orang.” Efram mengingatkan.
Melihat kekhawatiran di wajah Erland, serta ketegangan di wajah Efram membuat Lyra merasa ada sesuatu yang salah.
“Mengapa kalian mempermasalahkan ini? Efram, kau tidak sedang mencurigai ayahku akan merencanakan hal buruk, ‘kan?” tanya Lyra pada Efram. Laki-laki itu menatapnya sesaat tanpa menjawabnya. Efram melihat Erland yang mencoba menghubungi seseorang. Adiknya itu tak bisa tenang sejak tadi.
Erland menjauhkan ponselnya dan mengembuskan napas kasar. “Ponsel ibu tidak bisa dihubungi.”
“Erland, sudah kubilang tidak akan terjadi apa-apa. Kau mengkhawatirkan ibu tanpa alasan,” ucap Efram yang tak tahan melihat kepanikan Erland yang mampu membuatnya ikut khawatir.
“Bagaimana aku bisa tenang? Ponselnya tidak bisa dihubungi. Bagaimana jika terjadi sesuatu?” Erland masih keukeuh mempertahankan kecurigaannya.
“Aku akan menghubungi Jessie,” ucap Efram. Saat ia hendak menghubungi calon tunangannya, pamannya Hans—adik dari ibunya—beserta istrinya menghampiri mereka dengan wajah yang panik.
“Efram, telah terjadi sesuatu. Aku baru saja mendapat telepon dari polisi bahwa mobil yang membawa Ibu dan tunanganmu mengalami kecelakaan. Mereka terluka parah sekarang.”
“Apa?!” Ponsel di genggaman Efram jatuh seketika. Semua orang di dalam aula terkejut. Lyra yang mengetahui bahwa ayah mereka juga bersama di dalam mobil itu lemas seketika.
***
“Aku ikut.”
Dengan kedua mata berkaca-kaca, Lyra menahan tangan Efram saat laki-laki itu hendak pergi. Efram teringat pada kejadian siang tadi antara dirinya, Lyra dan ayahnya. Efram merasa kacau usai mendapatkan kabar bahwa mobil yang ditumpangi ibu beserta calon tunangannya mengalami kecelakaan. Laki-laki itu tak mengatakan apa pun saat menangkap kedua mata Lyra yang meneteskan air mata. Hanya tatapan tajamnya yang seolah-olah berbicara, memberi peringatan terhadap gadis itu jika terjadi sesuatu terhadap kedua perempuan yang disayanginya.
Melepas tangan Lyra dengan paksa, laki-laki itu lalu menuju mobil diikuti yang lainnya.
Efram terpaksa harus meninggalkan pesta pertunangannya kala mendengar kabar kecelakaan Ibu dan calon tunangannya. Dengan meminta Hans mengurus nasib semua tamu undangan, Efram langsung meluncur ke rumah sakit tempat ibu dan tunangannya dievakuasi.
Efram, Erland, serta Lyra tiba di rumah sakit pukul 08.20 malam. Hans dan istrinya An menyusul 15 menit kemudian.
Semuanya menunggu dengan cemas. Erland memukul dinding berkali-kali saat melihat dari jendela bundar rumah sakit, ibunya terkapar tak sadarkan diri di dalam. Lyra juga menangis dan hampir terjatuh jika An tidak memegangnya saat melihat begitu banyak darah pada ayahnya. Sementara di belakang, kedua mata Efram memerah. Dua wanita yang dicintainya masuk ruangan yang sama, begitu terkejut saat ia melihat darah di mana-mana. Efram masih saja diam hingga salah satu perawat menutup tirai jendela.
Seharusnya hari ini ia bertunangan dengan perempuan yang dicintainya. Namun, takdir begitu kejam mempermainkannya. Meski Hans telah menghentikan Erland yang terus memukul dinding, Efram masih tetap di tempatnya. Tubuh itu memang diam, tetapi jiwanya telah hancur lebur atas kejadian yang menimpa mereka. Dua wanita yang amat dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Tak bergerak sedikit pun. Sedangkan Efram hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Laki-laki itu terlalu takut. Efram takut jika salah satu dari mereka, atau bahkan keduanya akan meninggalkannya.
Tiba-tiba kepala Efram terasa nyeri. Ia memejam begitu erat. Rasa sesak mulai menyeruak di dadanya. Kedua tangan laki-laki itu terangkat—menjambak rambutnya sendiri untuk meredakan rasa sakit itu. Namun, bukannya hilang, rasa sakitnya malah semakin bertambah.
“Lyra, sebaiknya kita doakan mereka. Ayahmu pasti akan sembuh, Nak.” Suara An membuat Efram membuka matanya. Ia menoleh sesaat, melihat An memeluk seorang gadis yang sedang menangis tersedu-sedu di kursi ruang tunggu.
Efram ingat kejadian siang tadi saat bagaimana ayah Lyra ingin ia membatalkan pertunangannya, dengan mengatakan bahwa putrinya sangat mencintainya. Efram juga mengingat perkataan Erland bahwa Zen bisa melakukan apa saja demi kebahagiaan putrinya. Bahkan, ia bisa mempertaruhkan nyawanya hanya untuk membuat Lyra bahagia. Namun, apakah benar Zen adalah dalang di balik kecelakaan ini? Apakah Zen tega membahayakan nyawa orang lain hanya untuk kebahagiaan Lyra? Jika benar, ini sangat gila.
Efram mendapatkan notifikasi pesan dari Joe—sopir sekaligus orang kepercayaannya. Joe mengirim sebuah gambar yang kemudian ia unduh. Gambar yang dikirim oleh Joe adalah potret rem mobil yang ditumpangi oleh ibu dan tunangannya saat mereka mengalami kecelakaan. Efram bertanya-tanya apa maksud Joe mengirim gambar itu. Tak berselang lama, Joe mengirim pesan teks kemudian.
“Tuan Efram, setelah diselidiki, salah satu penyebab kecelakaan terjadi diketahui karena rem ini tidak berfungsi. Siang tadi saya telah mengecek seluruh mesin dan tidak ada yang salah. Mobil baik-baik saja saat Nyonya Besar berangkat dari rumah. Namun, aku tidak tahu bagaimana bisa setelah berangkat dari kediaman Nona Jessie tiba-tiba rem menjadi tak berfungsi.”
Kedua tangan Efram mengepal seketika. Raut wajahnya menjadi sangat marah. Benar dugaannya, kecelakaan ini memang sudah direncanakan. Ia menatap nyalang pada gadis yang tengah menangis itu. Ponsel di tangannya ia banting seketika. Semua orang di sana terkejut melihat itu. Benar dugaannya, kecelakaan ini terjadi karena sudah direncanakan. Efram berpikir, siapa lagi yang ingin pertunangannya dibatalkan kecuali Lyra dan ayahnya? Ayah Lyra sendiri yang pasti sudah merusak rem mobil itu.bahwa semua terjadi karena Ayah Lyra telah merencanakan semuanya.
“Efram, ada apa?” tanya An.
Efram tak menjawab. Kedua kaki panjangnya melangkah lebar-lebar ke tempat Lyra bersama An duduk. Rahang laki-laki itu mengeras, urat-urat lehernya pun terlihat dengan jelas. Efram tak bisa memaafkan siapa pun yang telah menyebabkan kedua perempuan yang begitu dicintainya terbaring lemah tak berdaya di dalam sana.
Lyra tersentak kaget saat tiba-tiba Efram menariknya berdiri dan mencengkeram pergelangan tangannya. Mata laki-laki itu memerah menahan amarah. Lyra yang tadinya menangis menjadi kebingungan karena Efram begitu tiba-tiba mencengkeram tangannya.
“Benar dugaanku! Ayahmu lah yang telah merencanakan semua ini! Ayahmu ingin membunuh ibuku dan calon tunanganku!” Efram berteriak di depan Lyra yang membuat semua orang terkejut menghampirinya.
Cengkeraman di pergelangan tangannya membuat Lyra sedikit meringis karenanya. Hatinya telah hancur melihat ayahnya terluka parah akibat kecelakaan, kini dihancurkan lebih keras lagi dengan tuduhan yang dilayangkan Efram kepada ayahnya. Mulut Lyra terbuka memandang laki-laki yang merupakan sahabatnya dulu. Laki-laki yang kini penuh dengan amarah ketika melihatnya. “Ayahku juga terbaring di sana, bagaimana bisa kau menuduh ayahku ingin membunuh ibu dan calon tunanganmu?” ucap Lyra lemah. Suaranya menjadi serak akibat menangisi hari yang buruk ini. An yang tak mengerti perkataan Efram, menghampiri mereka berdua. “Efram, apa yang kau katakan? Apa maksudmu dengan mengatakan itu?” Efram menatap An sesaat lalu beralih menatap Lyra dengan amarah di wajahnya. “Joe mengirimiku pesan, Bibi. Bahwa ada yang menyabotase rem mobil yang ditumpangi oleh Ibu dan Jessie. Joe bilang, semuanya masih baik-baik saja saat ibuku berangkat dari rumah. Dia telah memeriksa semua mesin,
“I—ini ... ikat rambutku yang terbawa oleh ayah,” ucap Lyra yang terkejut memandang ikat rambut di tangannya.“Tidak salah lagi.” Efram bersuara membuat Lyra menoleh padanya. Sorot mata tajam laki-laki itu mengarah padanya. “Ayahmu yang telah merencanakan kecelakaan ini! Dan dia telah membunuh ibuku!” suara Efram sudah meninggi tanpa dia sadari, semua kekacauan yang terjadi membuat Efram begitu terpukul dan sulit mengontrol emosinya.“Tidak! Ayahku tidak mungkin pembunuhnya!” Lyra membantah tuduhan Efram. Tak terima Efram mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh.“Tetapi semua bukti mengarah pada ayahmu! Dia berusaha membunuh ibu dan tunanganku dengan merusak rem mobilnya!” teriak Efram di depan wajah Lyra.“Untuk saat ini, kami belum bisa memutuskan siapa pelakunya. Kami akan terus menyelidikinya lebih lanjut. Barang bukti akan kami ambil kembali.” Polisi memberi
Erland terduduk di samping ranjangnya—menatap gamang pada bingkai foto keluarga di tangannya. Sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki mereka. Salah satu anak tersenyum lebar menghadap kamera, sementara anak laki-laki lebih kecil berada di gendongan ibunya. Jari-jemari Erland meraba gambar wajah wanita itu. Wanita yang baru saja meninggalkannya tanpa bisa ia duga akan secepat itu. Dadanya terasa sakit mengingat kejadian yang tidak seharusnya terjadi itu. Kejadian yang berhasil merenggut nyawa ibunya.Tubuh Erland merosot. Meringkuk di lantai dingin kamarnya. Kasih sayang ibunya adalah kasih sayang yang tak bisa digantikan dengan apa pun. Sebagai anak bungsu, Erland belum bisa hidup tanpa kasih sayang sang ibu. Ia masih membutuhkan kehadiran wanita itu untuk menjadi penyokong hidupnya.Erland masih membutuhkan kasih sayang sang ibu untuk melengkapi hari hari-harinya. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah bisa ia dapatkan lagi.Baru saja 8 bulan lalu ay
“Tolong, biarkan aku bertemu dengan ayahku, Efram. Aku harus menemaninya.” Lyra memohon pada Efram.Efram memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.Kali ini amarahnya harus diuji karena gadis itu. “Kau tidak dengar apa yang kukatakan?” Tanya Efram masih berusaha sabar.“Aku tidak mengizinkanmu menemui ayahmu. Tidak hari ini.” Efram mengulangi perkataannya.Lyra merasa kecewa.“Tapi … kenapa?”“Kalau tidak, ya tidak.Tidak perlu banyak Tanya,” ucap Erland telak.Lyra benar-benar semakin merasa sedih mendengarnya.Ia tak bisa berjauhan dengan ayahnya sekali saja. Lyra berpikir bahwa ia harus menemani ayahnya dan selalu berada di sampingnya, tetapi karena kemarahan Efram, laki-laki itu sampai tak mengizinkannya untuk bertemu dengan ayahnya.“Efram sebentar sa—”“Ada apa Joe?”Lyra baru saja ingin mencoba bernegosiasi lagi pada Efram,
Dua hari usai Erland jatuh pingsan di dalam kamarnya, adik Efram itu memtusukan untuk kembali ke asrama kampusnya. Sebenarnya Efram masih tak tega melihat keadaan adiknya yang menderita setelah kepergian ibu mereka. Namun, Erland meyakinkan Efram bahwa dirinya ingin menjalankan kegiatannya kembali agar bisa melupakan kesedihannya.Efram memeluk Erland setelah mengantarnya sampai depan rumah besar mereka.“Aku berjanji akan menemukan pelakunya,” ucap Efram pada Erland.“Tidak perlu. Lagipula, ibu tidak akan kembali.” Erland membalasnya lemah. Tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih kembali. Duka yang menyelimuti keluarga mereka belum berakhir.“Tidak. Kita tidak bisa membiarkan pelaku pembunuh ibu hidup dengan tenang,” ucap Efram tegas.Erland mengingat bagaimana kakaknya itu menyalahkan Lyra atas semua kejadian yang menimpa keluarga mereka. Sampai-sampai kakaknya itu mengambil rumah yang mereka sewakan kepada Lyra
“Kau sudah pulang? Kebetulan sekali makanannya sudah matang.”Itu adalah suara Bibi Wan—asisten rumah tangga keluarga Efram yang telah bekerja dengannya sejak dirinya masih anak-anak. Keberadaan mini bar dapur memang cukup jauh dari pintu utama, tetapi karena tak ada pembatas antara mini bar dengan ruang tamu, Bibi dapat melihat dengan jelas kedatangan Efram dari balik pintu.Mencium sedapnya aroma yang makanan menghantarkan Efram untuk melangkah ke meja makanan, wajah lelahnya seketika berubah cerah menatap sup kesukaannya tersaji di atas meja.“Dari mana Bibi tahu aku pulang lebih cepat hari ini?” tanya Efram pada wanita paruh baya itu. Sup yang masih mengepul ditiupnya perlahan.Sembari mencuci tangannya yang mulai mengeriput, Bibi menjawab. “Bibi tidak tahu kalau kau akan pulang cepat. Saudara jauh Bibi sedang berkunjung ke rumah, jadi Bibi menyelesaikan pekerjaan lebih awal agar bisa menemui saudara Bibi.”
Lyra mengaduh karena pergelangan tangannya terasa sakit kala Efram menariknya keluar dari mobil dan menyeretnya ke dalam rumahnya. Efram menghempaskan Lyra hingga gadis itu hampir terhuyung. Bibi yang berada di dapur terkejut ketika mereka datang dan tiba-tiba Efram memperlakukan Lyra seperti itu.Lyra terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada sikap Efram yang kasar kepadanya. “Tidak bisakah kau sedikit lembut kepadaku?” tanya Lyra. Ia tak ingin menangis di depan Efram kali ini. Ia tak ingin terlihat sebagai gadis yang lemah di hadapan laki-laki yang tidak bisa mencintainya itu.Efram membuang muka sesaat, lalu menatap Lyra dengan manik tajamnya. “Siapa yang mengizinkanmu untuk menjenguk ayahmu?”“Maaf, aku tidak bertanya dulu padamu. Karena jika aku bertanya kau pasti tidak akan mengizinkanku.”Efram tahu Lyra sedang menyindirnya. Laki-laki itu tersenyum sinis. Langkah kakinya mendekat pada Lyra, menatap
Efram terawa sinis menatap wajah Lyra di balik cermin. “Lihatlah wajah ini. Semakin cantik wajahnya, semakin jahat pula orangnya.” Efram menekankan setiap kata-katanya. Lyra menggeleng—tak setuju dengan ucapan yang ditunjukan Efram kepadanya.“Lihat wajah ini!” Efram melepaskan cengkeramannya pada dagu Lyra. Gadis itu meringis pelan karenanya. “Kau dan ayahmu telah merencanakan ini semua untuk menghancurkan hari pertunanganku. Ayahmu telah membunuh ibuku dan menyebabkan Jessie tidak sadarkan diri hingga saat ini.”“Ayahku bukan pelakunya!” bantah Lyra menatap Efram yang berdiri di belakang tubuhnya pada bayangan di depan cermin. Suaranya mulai terdengar serak karena terlalu banyak menangis.“Kuncir rambut dan rem yang rusak sudah cukup membuktikan bahwa ayahmu berusaha merusak rem mobilnya. Ayahmu berniat ingin membunuh tunanganku agar aku tidak bisa melangsungkan pertunanganku di hari itu!” ucap
Lyra meraih catatan itu. Matanya menyapu beberapa daftar dengan judul “Hal-hal yang dilakukan dan tidak dilakukan ketika mereka menjadi suami istri”.Lyra menolehkan pandangannya pada Efram, kedua alisnya menyatu—mencari jawaban dari raut wajah Efram, yang ia temukan justru perasaannya yang mulai tak enak. Hal apalagi yang tengah Efram rencanakan padanya saat ini?“Apalagi ini, Efram? Apa tidak cukup membuat keputusan besar dengan menikah denganku?” tanya Lyra cukup lelah karena Efram terus-terusan menyakitinya atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.Efram membuang muka sesaat dan menatap malas pada Lyra. “Apa kau berubah menjadi gadis yang malas sekarang? Kau bisa membacanya sendiri, ‘kan?”Lyra mengatupkan bibirnya, dengan setengah hati dibacanya peraturan-peraturan yang dibuat oleh Efram itu. Namun, baru menyapu baris pertama, tatapan mata Lyra sudah melebar karenanya. Melihat Lyra yang tak kunjung m
“Aku tidak peduli, mau kau tidak ingin menikah denganku, itu bukan urusanku,” tegas Efram.Tangan Lyra ditarik oleh Efram, gadis itu sedikit tersentak ketika pandangan Efram tepat di depan matanya. “Cepat mandi dan anti bajumu, hari ini kau harus ikut denganku.”Lyra hendak menolak ketika Efram lebih dulu menebak isi pikiran gadis itu. “Jangan berpikir untuk menolak, karena jika kau menolak, maka pikirkan dulu keselamatan ayahmu.”Kalimat Efram membuat Lyra membungkam mulutnya, mau tak mau ia harus menuruti perintah laki-laki yang mulai gila itu karena memintanya untuk menikah dengannya.****Efram mengajak Lyra ke butik langganan ibunya semasa ia masih hidup. Hari ini mereka akan melakukan pengukuran baju pernikahan yang kata Efram tinggal menunggu dua minggu lagi. Efram sudah menemukan setelan jas yang akan ia pakai di hari pernikahannya nanti dengan Lyra. Sesungguhnya, Lyra merasa heran mengapa Efram bersedia
Lyra melengos. Bosan dengan tuduhan Efram yang terus menuduh ayahnya, karena berapa kali pun ia meyakinkan Efram bahwa ayahnya bukan pembunuh, laki-laki itu tak pernah mau percaya dengannya.Merasa lelah dengan tuduhan Efram, Lyra menyibak selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Karena ia pun berpikir bahwa Efram tidak akan tega melakukan itu pada ayahnya."Terserah. Aku tetap tidak akan menandatangani dokumen itu."Efram siap memencet beberapa nomor di ponselnya ketika Lyra berjalan mencapai pintu, kala sambungan terhubung ... "Halo?"Gerakan Lyra terhenti tepat saat tangannya mencapai gagang pintu. Ia menunggu, heran mengapa membuat panggilan secara tiba-tiba."Iya, ini aku. Tolong cek semua data dari pasien yang bernama Zen dari kecelakaan mobil malam itu."Lyra yang tak jadi keluar kamar menunggu perkataan Efram selanjutnya dengan was-was."Aku ingin hari ini juga, semua data itu dihapus. Dan aku akan mencabut seluruh fasilitas
Selama perjalanan, air mata Lyra menetes tanpa ia minta. Perasaan kecewanya terhadap Efram tak bisa dibendung lagi olehnya. Lyra tak bisa terus-terusan hidup seperti ini bersama Efram. Semakin sering mereka bertemu, semakin sering pula Lyra akan merasakan sakit karena sikap semena-mena Efram kepadanya.Sampai di rumah sakit, Lyra langsung menuju kamar di mana ayahnya dirawat. Gadis itu mengusap air matanya, tak ingin terlihat menangis di depan ayahnya. Lyra memasang senyumnya usai menutup pintu—berjalan memutari brankar ayahnya dan berhenti menatap wajah yang begitu dirindukannya itu.Diraihnya tangan ayahnya, merasakan detak nadinya yang masih ada, Lyra bernapas dengan lega. Gadis itu lalu menaruh tasnya dan mengambil kain yang telah dibasahi dengan air untuk membasuh tangan dan wajah ayahnya.Lyra memaksakan senyumnya kala membersihkan tangan ayahnya dengan pandangan kosong. “Ayah, hari ini Lyra diajak Efram ke sebuah restaurant mewah di pusat kota
“Tidak bisakah kau tidak menyalahkan ayahku sekali saja?” Lyra yang tak tahan dengan tuduhan Efram yang selalu menyalahkan ayahnya, akhirnya berterus terang kepada laki-laki itu.“Tidak bisa, karena ayahmu memang pelakunya. Lagipula, bukankah ini yang kau cita-citakan sejak dulu? Menikah dengan orang yang kau cintai? Bukankah itu juga yang diingankan oleh ayahmu agar aku menikahimu?” balas Efram dengan angkuhnya.Jika ini bukan restaurant dan dipenuhi banyak orang, Lyra pasti sudah menampar laki-laki itu. Mulut Efram benar-benar mudah mengatakan hal yang menyakitkan pada Lyra sekarang.“Bukan berarti karena aku mencintaimu, lalu kau akan melakukan ini padaku, Efram. Aku tidak pernah berpikir ingin menikah denganmu, karena di hatimu hanya ada orang lain.”Efram mendengus mendengar pernyataan Lyra. Ia sama sekali tak mempercayai perkataan gadis itu. Baginya semua perkataan gadis yang ia anggap naif itu sudah tak bisa dipe
“Mengapa di sini tertulis aku harus menandatangani kontrak untuk menjadi istrimu?” Lyra mengulang pertanyaannya karena tak mengerti sekaligus terkejut dengan tulisan yang baru saja ia baca.Lyra menoleh pada Efram yang duduk di sebelahnya. Menatap mata laki-laki itu untuk mencari jawaban di matanya. Namun, Efram hanya memberikan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Lyra.Lyra beralih pada pria yang memberikan berkas itu kepadanya. “Maaf, boleh saya tahu maksud dari berkas ini?”“Tentu saja,” jawab pria itu.Efram yang bersandar, kini menegakkan punggunya, hal itu membuat Lyra menatap sekilas karena pergerakannya. Namun, karena rasa penasarannya, Lyra menanti jawaban dari pria di depannya.“Begini, Nona Lyra. Alangkah lebih baik jika saya memperkenalkan diri saya dulu kepada Anda. Nama saya Bov, dan saya adalah pengacara Tuan Alexander semenjak beliau masih hidup. Dan pertemuan kita di sini adalah tidak la
Lyra seketika mengunci mulutnya. Selama perjalanan ke tempat yang belum pernah ia ketahui sebelumnya, Lyra tak berani menanyakan hal itu lagi pada Efram.Mobil yang dikendarai oleh Joe tiba di sebuah restoran terbesar di pusat kota.Mobil yang dikendarai oleh Joe itu berhenti di sebuah restoran terbesar di pusat kota. Lyra mengernyit ketika menyadari di mana Efram berakhir membawanya ke tempat yang dia rahasiakan. Lyra tak percaya dengan ini. Mengapa laki-laki itu nembawanya ke restoran seperti mewah ini? Agak aneh rasanya saat laki-laki itu sedang berduka dan kini malah mengajak gadis yang notabennya adalah orang yang kini Efram benci untuk pergi ke restoran."Turun," titah Efram.Lyra yang tengah heran menatap keluar dari balik jendela, kemudian menoleh pada Efram. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya semakin besar dan tidak bisa ia sembunyikan begitu saja."Efram, mengapa kita ke sini?"Efram menatap mala
Isakannya tak dapat ia bendung lagi saat Lyra tiba di kamarnya dan mengunci pintu. Gadis itu membanting tubuhnya ke ranjang dan menangis dengan keras, meluapkan semua perasaan sakit yang berhasil menghimpit dadanya. Hatinya benar-benar sakit. Efram telah memukul harga dirinya dengan telak sebagai seorang perempuan dan sahabat dari laki-laki itu. Lyra menangis sepanjang malam hingga jatuh tertidur. Pagi harinya, Lyra terbangun karena mendengar ketukan di pintu kamarnya. Melirik jam di nakas, rupanya ia bangun cukup siang. Lyra hampir melupakan tugas-tugasnya yang pernah diberitahukan Efram bahwa laki-laki itu memindahkan semua tugas bersih-bersih Bibi Wan kepadanya. Sementara tugas Bibi Wan sekarang hanya tinggal memasak dan mengurus keperluan di dapur saja. Lyra menyibak selimut, beranjak dari tempat tidurnya dan menatap cermin—terkejut melihat kedua matanya yang sembab karena habis menangis semalaman. Ia menoleh sesaat kea rah pintu kala ketukan kembali terdengar. R
(Warning! Ada sedikit adegan yang tidak cocok untuk di bawah umur!)Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika kedua mata Lyra masih tetap terjaga. Ia tak kunjung bisa memejamkan matanya usai pertengkarannya dengan Efram sore tadi—yang berhasil mengusik pikirannya hingga kini. Selain pertengkarannya dengan Efram, hal yang membuat Lyra tak bisa tidur karena memikirkan di mana keberadaan Efram hingga larut malam seperti ini laki-laki itu tak kunjung pulang.Efram sudah pergi sejak jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Usai pertengkaran mereka reda beberapa saat lalu, Lyra melihat mobil Efram pergi meninggalkan pelataran rumah, padahal Lyra tahu hari ini adalah hari libur Joe untuk pulang ke rumahnya. Itu artinya, Efram pergi seorang diri. Lyra terus bertanya-tanya ke mana Efram pergi seorang diri hingga larut malam begini?Lyra berusaha memejamkan matanya. Namun, sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah Efram. Lyra beranjak d