Lapangan hijau yang sangat luas sepanjang mata memandang, dihiasi dengan beberapa pohon rindang dan bukit-bukit kecil. Di salah satu bukitnya, ada dua gundukan yang dilapisi marmer mahal dengan warna abu-abu cemerlang. Pada masing-masing dari dua gundukan itu, tertuliskan nama orang yang berbaring di bawah sana, sebagai tempat peristirahatan terakhir mereka.
Ranesha membersihkan rerumputan liar yang masih bersisa sedikit, ia juga mengusap penuh sayang debu yang menempel pada marmer-marmernya. Bunga yang perempuan itu bawa tadi ia letakkan satu-satu pada dua kuburuan itu.
“Helena Seibert, Damian Seibert,” eja Ranesha pada dua nama yang tertulis di sana. Wajahnya mendadak muram.
“Apa … kalian tahu kalau Ranesha yang kalian kenal sudah tiada? Makasudku, aku bukan Ranesha yang kalian kenal, dia … hilang. Aku juga tidak tahu ke mana, tapi sekarang jiwaku menempati tubuh Ranesha ini,” raca
“Apa?” Ranesha mengarahkan pandangan netranya pada manik mata indah Juan. Seakan berusaha mencari celah kebohongan dan menuntut penjelasan lebih atas kata-kata ambigu lelaki itu barusan.Pasokan oksigen terasa semakin menipis dikala tubuh gadis itu masih sedikit gemetar kedinginan. Hal ini adalah kemungkinan besar ia tidak dapat mencerna dengan baik kata-kata Juan tadi.“K-Kau tadi bilang apa?” ulang Ranesha lagi, seolah mendesak agar mulut yang hanya tersenyum tipis itu kembali terbuka agar bicara.I’m into you, Ranesha. Hati Juan menjerit ingin mengeluarkan kalimat tersebut. Namun, ia malah terkekeh ringan dan mengacak pelan rambut Ranesha yang tadi ia rapikan.“Pasti CEO kita itu lagi, kan? Wah … sangat menyebalkan,” ujar Juan tidak jelas, ia memutar kepala lurus ke depan, memandang pada jalan yang lengang.“Maksu
Juan mengikuti Ranesha yang baru keluar dari mobilnya. Gadis itu Juan paksa ikut pulang bersamanya saja karena saat makan-makan tadi, Ranesha malah muntah tiba-tiba. Sungguh perempuan yang selalu berhasil memberikan Juan efek kejutan dan perhatian penuh. Masalah mobil yang Ranesha bawa, bisa menyuruh pelayan aau supir khusus untuk mengambilnya ke sana.“Yakin kalau kau baik-baik saja? Tidak ke rumah sakit dulu? Atau menemui Dokter Sylvia saja, akan aku antar,” bujuk lelaki itu untuk keseribu kalinya—mungkin. Ia tidak bisa berhenti cemas dengan wajah pucat dan mata bengkak gadis yang tengah bersamanya kini.Ranesha yang merasa dirinya masih sehat sentosa itu kembali menggeleng sebagai penolakan halus. Ia malah lebih memikirkan rasa malu paling mengerikan yang terus-terusan ia tunjukkan pada Juan. Apa aspal yang dia pijaki saat ini tidak bisa memuai jadi air laut saja? Ranesha ingin menyembunyikan diri sekarang.
Hancur. Satu kata yang masih tidak dapat menggambarkan perasaan kedua orang di dalam satu ruangan ini. Baik Hail mau pun Ranesha terlihat enggan bahkan untuk saling berbicara satu sama lain. Seolah ada jarak lintas dimensi yang menjulang dalam dan tinggi di antara keduanya. Dinding tak kasat mata yang semakin kokoh, lebih gelap dari pada kegelapan sekali pun.“Rating My Teacher meningkat dengan signifikan. Sampai saat ini tidak ada yang melaporkan masalah terkait bug, eror, atau yang lainnya,” lapor Ranesha tanpa menatap sang atasan di hadapan. Ia sok sibuk berbicara dengan tablet di tangan.“Ok,” balas Hail bahkan lebih dingin dari pada lautan di kutub es. Wajah pria itu terlihat lebih parah dari pada hari-hari sebelumnya. Dengan mata sedikit bengkak, garis hitam di kantung mata yang semakin terlihat, dan tentu titik kejenuhan yang tidak dapat wajah tersebut sembunyikan—meskipun tampan.
“Ugh ….” Mata Ranesha memandang dengan perasaan berkecamuk pada tiga anak manusia yang tengah duduk di atas sofa dengan dua komputer di atas meja. Ketiga pria di sana tengah berdiskusi dengan nyaman dalam ruang baru yang telah disiapkan sang sekretaris piawai dengan sempurna.Namun, entah kenapa Ranesha malah kesal sendiri. Memang dirinya jadi tidak berenang dalam kolam dokumen-dokumen seperti biasa, akan tetapi itu bukan berarti dia harus jadi penyiap makan dan minum ketiga orang di sana bukan?“Aku sudah seperti pembantu saja,” gumam perempuan bersurai cokelat terang ini. Tangannya yang memegang nampan berisi cemilan dan kopi jadi gemetar menahan rasa kekesalan. ia bagaikan bom yang dijinakan, tak bisa meledak lagi.“Oh? Makanan sudah datang!” seru Juan setelah mengangkat kepala dan menoleh, ia bisa merasakan aura kehadiran Ranesha yang mematung di ambang pintu.
Ada satu hal yang baru-baru ini disadari oleh Hail. Ia tidak lagi menunggu-nunggu Meriel seperti dulu. Pikirannya tidak lagi hanya terpaku pada bagaimana merebut hati Meriel agar sang istri mencintainya, supaya Meriel meninggalkan selingkuhan itu. Bukannya tidak sama sekali memikirkan hal tersebut, hanya saja ... kini tidak seperah dulu lagi.Celakanya adalah itu bukan kabar baik sama sekali. Malah buruk. Kenapa? Kenapa pikiran Hail tidak dipenuhi oleh Meriel lagi? Ia tahu bahwa hatinya masih milik Meriel. Hail paham betul akan perasaannya yang tergila-gila dengan gadis semanis gulali tersebut. Jadi, coba jawab kenapa saat ini otak Hail malah sering tertuju pada Ranesha. Kenapa Hail merasakan amarah yang lebih membara ketika melihat Ranehsa dengan lelaki lain ketimbang saat istrinya—Meriel—selingkuh dan bahkan tidur dengan Aron?Apa? Apa artinya semua ini?“This is weird.” Hail memijat pe
“Katakan!” Aron berjongkok, meraup wajah mungil Meriel hanya dengan satu tangan. Mata birunya yang segelap langit malam, menatap penuh kebencian pada wanita di hadapannya sekarang.“Katakan dengan jujur Meriel, apa kau menghubungi suamimu, hah? Apa kau mencintainya sekarang?” interogasi pemuda berhidung runcing dan memiliki garis wajah yang tegas itu. Ia tidak segan-segan mencengkram kuat kedua sisi wajah milik kekasihnya sendiri.Air bening sudah bergulir lancar dari netra berkilauan sang kekasih. Wanita itu hanya dapat meringkuk ketakutan saat didorong sampai jatuh dari tempat tidur oleh Aron. Tubuhnya yang seakan berada dalam genggaman makhluk buas tersebut hanya dapat gemetaran.Jangankan untuk bicara, bahkan untuk bernapas saja Meriel sudah mulai kesulitan. Seolah-olah oksigen sudah enggan padanya. Semua petaka ini berawal ketika Aron mendapati dirinya tengah membuka percakapan pesan di ponse
Pukul 07.00, Sarapan di kediaman keluarga Seibert. Ada total enam enggota keluarga. Caspian Seibert selaku pemimpin, Ranesha Seibert selaku putri semata wayangnya, Patricia Seibert selaku adik kandung Caspian, Ronald Seibert selaku suami dari Patricia, serta anak dari kedua orang itu yakni Zale Seibert dan Olyvia Seibert.Sarapan yang dulunya selama turun temurun bukanlah sebuah kewajiban, karena suatu alasan—Ranesha—kini menjadi salah satu hal wajib yang harus dihadiri semua anggota keluarga kecuali ada urusan sangat mendesak atau sakit.“Saya sebenarnya punya sesuatu yang akan membuat Kakak—ah, tidak. Bukan hanya Kakak, tapi semua orang di rumah akan terkesan kalau mendengar ini.”Sendok berisi secuil makanan yang akan memasuki mulut Zale terhenti. Tangannya seolah menjadi beku ketika ia kembali mengingat perkataan Ranesha kamarin. Sebenarnya, apa yang ingin perempuan sialan itu k
Ini adalah cerita beberapa tahun yang lalu, ketika Ranesha kecil mengalami tragedi yang besar. Katanya, anak kecil memiliki sistem yang ajaib untuk melindungi diri sendiri dari rasa sakit, yakni dengan memisahkan kenangan buruk menyakitkan tersebut, dengan dirinya sendiri. Namun, bagaimana jika sistem itu gagal berjalan dengan baik?Karena hal ini, Caspian mengambil keputusan yang membuat Ranesha yang dulu dan Ranesha yang sekarang, tidak tahu kebenaran apa yang ada di sana. Hal seperti apa persisnya yang terjadi pada tragedi tersebut. Yaitu saat kecelakaan maut—tunggal—mobil BMW hitam legam yang ditumpangi oleh Helena Seibert, Ranesha Seibert, dan Damian Seibert.“Maafkan kami, Tuan. Tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”Mungkin … kata-kata tersebut hanya akan muncul di sinetron atau sebuah drama yang klasik. Mana pernah Caspian membayangkan kalau kalimat konyol itu akan ia terima