“Apa?” Dhafin sedikit melebarkan mata tajamnya. Netra berwarna coklat itu memperlihatkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan.Ia berharap salah mendengar. Namun, suara Lora yang pelan seakan-akan berdengung di telinganya membuat napasnya tercekat.“Iya, Mas, orang tuaku nggak setuju kalau kita rujuk.” Lora mengulang perkataannya. Ia menatap tepat di kedua bola mata Dhafin seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main.Dhafin tertegun dengan jantung yang mempompa liar. Hatinya mencelos serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Jadi, Lora menolak rujuk karena orang tuanya tidak setuju.“Kenapa nggak setuju? Padahal semuanya baik-baik aja. Bukankah mereka udah memaafkanku?” tanyanya yang terdengar seperti protes.Lora mengangguk sembari melipat tangannya di atas meja. “Mereka memang memaafkanmu, tapi bukan berarti bisa kembali. Orang tuaku punya kekhawatiran yang besar padaku yang akan terluka lagi kalau kita rujuk.”Dhafin merasakan dadanya bergemuruh hebat mendengar pengaku
Lora lagi-lagi menggeleng tegas. “Nggak usah, Mas Dhafin. Udah jelas orang tuaku nggak setuju, jadi percuma aja. Jangan membuang waktu untuk keputusan yang udah final.”‘Maaf, Mas. Aku cuma nggak ingin kamu tau kalau aku udah dijodohkan sama Kak Sham. Kamu pasti akan lebih kecewa lagi,’ lanjutnya dalam hati seraya menatap Dhafin dengan perasaan bersalah.“Tapi, Lora–”Drrtt!Ucapan Dhafin terpotong oleh suara dering ponsel milik Lora. Wanita itu segera mengangkat telepon dan berbincang sejenak dengan sang penelepon yang ternyata dari Amina. Setelah mengakhiri telepon, Lora kembali memusatkan perhatiannya pada Dhafin. “Mas Dhafin, aku udah mantap dengan keputusanku. Aku minta maaf atas jawabanku yang mengecewakan.”Ia meminum pesanannya hingga tinggal setengah lantas membereskan barang-barangnya. “Aku pamit pulang duluan, ya, Mas. Si kembar udah mencariku.”Ia lantas beranjak dari duduknya sambil sedikit menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum,” pamitny
Lora berdiri dengan perasaan resah. Kedua bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan Dhafin yang terasa menusuk itu. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Otaknya tiba-tiba terasa kosong. Kedatangan Dhafin kemari saja sudah membuatnya kaget bukan main. Lora tak pernah menduga hal yang ditutup-tutupi dari Dhafin akhirnya terungkap sekarang. Ya, meskipun pria itu akan tahu nantinya, tetapi bukan berarti secepat ini juga.“Lora,” panggil Dhafin terdengar sangat dingin bercampur geram. Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut Lora sendiri.“Ee… itu… a-aku… aku….” Lora berkata dengan gagap hingga tanpa sadar mengeratkan pegangan tangannya pada lengan sang ayah seolah meminta bantuan.Pak Raynald yang menyadari itu dan mulai bisa membaca situasi menoleh pada putrinya. “Apa kau belum belum memberitahu Dhafin tentang ini, Princess?” “Ayah…” Lora menatap ayahnya melas dan menggeleng samar. Tangannya semakin erat
Plak!“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.Sayangnya, ia justru didorong menjauh.Bugh!“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ib
“Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga
“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang
[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]Deg!Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!][Iblis berkedok manusia][Dasar pembunuh!][Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!][Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa][Pembunuh!!
“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai memb
Lora berdiri dengan perasaan resah. Kedua bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan Dhafin yang terasa menusuk itu. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Otaknya tiba-tiba terasa kosong. Kedatangan Dhafin kemari saja sudah membuatnya kaget bukan main. Lora tak pernah menduga hal yang ditutup-tutupi dari Dhafin akhirnya terungkap sekarang. Ya, meskipun pria itu akan tahu nantinya, tetapi bukan berarti secepat ini juga.“Lora,” panggil Dhafin terdengar sangat dingin bercampur geram. Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut Lora sendiri.“Ee… itu… a-aku… aku….” Lora berkata dengan gagap hingga tanpa sadar mengeratkan pegangan tangannya pada lengan sang ayah seolah meminta bantuan.Pak Raynald yang menyadari itu dan mulai bisa membaca situasi menoleh pada putrinya. “Apa kau belum belum memberitahu Dhafin tentang ini, Princess?” “Ayah…” Lora menatap ayahnya melas dan menggeleng samar. Tangannya semakin erat
Lora lagi-lagi menggeleng tegas. “Nggak usah, Mas Dhafin. Udah jelas orang tuaku nggak setuju, jadi percuma aja. Jangan membuang waktu untuk keputusan yang udah final.”‘Maaf, Mas. Aku cuma nggak ingin kamu tau kalau aku udah dijodohkan sama Kak Sham. Kamu pasti akan lebih kecewa lagi,’ lanjutnya dalam hati seraya menatap Dhafin dengan perasaan bersalah.“Tapi, Lora–”Drrtt!Ucapan Dhafin terpotong oleh suara dering ponsel milik Lora. Wanita itu segera mengangkat telepon dan berbincang sejenak dengan sang penelepon yang ternyata dari Amina. Setelah mengakhiri telepon, Lora kembali memusatkan perhatiannya pada Dhafin. “Mas Dhafin, aku udah mantap dengan keputusanku. Aku minta maaf atas jawabanku yang mengecewakan.”Ia meminum pesanannya hingga tinggal setengah lantas membereskan barang-barangnya. “Aku pamit pulang duluan, ya, Mas. Si kembar udah mencariku.”Ia lantas beranjak dari duduknya sambil sedikit menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum,” pamitny
“Apa?” Dhafin sedikit melebarkan mata tajamnya. Netra berwarna coklat itu memperlihatkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan.Ia berharap salah mendengar. Namun, suara Lora yang pelan seakan-akan berdengung di telinganya membuat napasnya tercekat.“Iya, Mas, orang tuaku nggak setuju kalau kita rujuk.” Lora mengulang perkataannya. Ia menatap tepat di kedua bola mata Dhafin seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main.Dhafin tertegun dengan jantung yang mempompa liar. Hatinya mencelos serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Jadi, Lora menolak rujuk karena orang tuanya tidak setuju.“Kenapa nggak setuju? Padahal semuanya baik-baik aja. Bukankah mereka udah memaafkanku?” tanyanya yang terdengar seperti protes.Lora mengangguk sembari melipat tangannya di atas meja. “Mereka memang memaafkanmu, tapi bukan berarti bisa kembali. Orang tuaku punya kekhawatiran yang besar padaku yang akan terluka lagi kalau kita rujuk.”Dhafin merasakan dadanya bergemuruh hebat mendengar pengaku
[Assalamu'alaikum, Mas. Apa hari ini kamu ada waktu untuk bertemu?][Aku ingin membahas kelanjutan permintaan rujuk waktu itu sekaligus memberikan jawaban. Rasanya nggak enak kalau lewat telepon][Waalaikumsalam, Lora. Sepulang kantor nanti sore aku free. Ingin bertemu dimana?][Di kafe dekat kantormu aja. Bisa kan?][Bisa-bisa, sampai bertemu nanti]Itu merupakan sepengal pesan yang dikirimkan oleh Lora siang tadi. Dhafin jadi kembali teringat dengan permintaan mantan istrinya yang ingin minta petunjuk lewat sholat Istikharah selama seminggu.Tanpa terasa tibalah hari ini saatnya Dhafin mendengar jawaban itu. Sungguh, ia sangat antusias dan tidak sabar ingin segera bertemu Lora. Ia berharap jawaban yang diberikan oleh Lora sama seperti yang dirinya punya usai melaksanakan sholat Istikharah juga.Kini, pria berparas tampan itu duduk sendiriam di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Tubuhnya bersandar pada kursi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.Ia menunggu kehadiran
“Ayah, Ibun, ada hal penting yang ingin kubicarakan.”Setelah makan malam usai, mereka berkumpul di ruang tengah hanya untuk sekedar bersantai melepas penat. Terkecuali Florence yang katanya harus menyiapkan presentasi penting.Lora pun memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara kepada orang tuanya tentang permintaan rujuk Dhafin. Mumpung mereka sedang tidak sibuk.“Tentang apa?” tanya Pak Raynald menanggapi perkataan putrinya.Lora menatap kedua orang tuanya bergantian lalu menarik napas dalam-dalam. “Jadi gini, Ayah, Ibun. Beberapa hari sebelum aku menginap di sini, Mas Dhafin bersama orang tuanya datang ke rumah.” “Mereka ke rumahmu? Tumben banget. Kalau Dhafin nggak heran, ya. Lah, ini orang tuanya. Untuk apa mereka ke sana?” tanya Bu Radha dengan nada sedikit terkejut.“Mereka datang untuk meminta maaf kepadaku atas semua kesalahan yang mereka lakukan selama ini. Mereka juga ingin memperbaiki segalanya,” jelas Lora.“Lalu apa kau memaafkan mereka?” Gantian Pak Raynald yang bert
Lora menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut. Ia menatap kedua orang tuanya bergantian lalu beralih melirik Florence yang duduk di samping sang ibu tengah menikmati makanan. Dalam hati, dirinya merasa agak keberatan dengan usulan mereka. Bukan tidak nyaman tinggal di sini, tetapi…. “Aku kan udah punya rumah sendiri, Bun, Yah. Kalau aku tinggal di sini, bagaimana dengan rumahku? Bakal kosong nantinya,” ucapnya menolak secara tersirat. “Kan ada asistenmu. Siapa itu namanya?” sahut Bu Radha sekaligus bertanya. “Mbak Mira,” jawab Lora sebelum melahap makanannya yang tertunda. “Nah, iya, biar Mira aja yang menempati rumahmu. Kamunya tinggal di sini bersama si kembar. Ya, kayak sekarang ini misalnya. Daripada kamu harus bolak-balik.” “Tapi, Bun, Mbak Mira sebentar lagi kan mau menikah. Pasti nanti bakal ikut suaminya,” bantah Lora usai menelan makanannya. Bu Radha meletakkan sendok dan garpu di atas piring lantas memusatkan perh
Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya. “Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru. Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.” “Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat. “Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora. Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an,
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek