“Tiga–”“Tunggu! Saya mohon, jangan upload video itu.” Wina langsung mencegah disertai dengan mata berkaca-kaca.“Baiklah, saya mengaku. Saya yang memasukkan bubuk racun itu ke dalam makanan si anak. Saya lalu membuangnya ke tempat sampah belakang restoran,” jelasnya.Lora memegang lengan Grissham bermaksud meminta laki-laki itu mengurungkan niatnya. “Kenapa kau melakukan itu? Kau tahu kan dampaknya tidak main-main?”Wina kembali menunduk. “Saya minta maaf, Bu. Saya terpaksa melakukan itu. Saya butuh uang banyak untuk biaya operasi ibu saya.”“Jika tidak segera operasi, nyawa ibu saya tidak tertolong. Saya tidak punya siapa-siapa lagi selain ibu saya,” paparnya seraya menangis tersedu-sedu.“Itu artinya kau disuruh oleh seseorang?” Giliran Grissham yang bertanya karena melihat Lora yang tampaknya terenyuh mendengar cerita Wina.Wina mengangguk tanpa mengangkat kepala. “Awalnya saya tidak mau. Tapi saya tidak punya pilihan lain karena ibu saya harus segera dioperasi dengan biaya yang b
“Seperti yang kita curigai sebelumnya, Freya menjadi dalang dibalik semua kekacauan ini. Aku sudah menemukan buktinya,” kata Grissham.“Itu urus belakangan aja, Kak. Sekarang yang lebih penting itu mengembalikan kepercayaan publik pada restoran kita. Percuma restoran buka kalau nggak dapat pelanggan. Yang ada kita malah rugi,” balas Lora.Grissham mengangguk setuju. “Kau benar. Selain itu, agar karyawan bisa kembali bekerja lagi.”Saat ini, keduanya berada di restoran tepatnya di meja depan, tempat yang biasa digunakan pelanggan. Mereka berdiskusi di sana karena sambil mengawasi si kembar yang hari ini diajak kemari.“Aku punya solusi, Kak.” Lora melipat tangan yang di atas meja dan menatap laki-laki di hadapannya dengan serius.“Semua menu makanan di restoran, kita daftarkan ke BPOM sekaligus sertifikasi halal. Dengan begitu, makanan kita akan terjamin aman karena sudah mendapatkan izin dari BPOM.”“Masyarakat juga pastinya akan merasa lebih aman dan nggak ragu-ragu lagi makan di res
Brak! Dhafin yang sedang fokus dengan berkas-berkasnya terlonjak kaget mendengar pintu ruang kerja yang dibuka dengan sangat keras mirip dobrakan.Ia mendongak dan menatap tajam orang yang menjadi tersangka utama atas kekagetannya itu, tak lain dan tak bukan adalah sekretaris sekaligus sahabatnya.“Buka pintunya bisa pelan-pelan?” tanyanya dingin.Arvan berjalan tergesa-gesa menghampiri Dhafin. “Gawat, Bro, gawat! Parah banget sumpah!”Dhafin menghela napas lalu meletakkan berkas di atas meja. Ia mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. “Apanya?”“Kamu udah buka sosmed belum?” tanya Arvan balik masih dengan posisi yang berdiri. “Nggak ada waktu,” jawab Dhafin datar sembari menggeleng pelan. Arvan berdecak kesal. Ia mengutak-atik ponselnya sejenak lalu menunjukkan sesuatu kepada Dhafin. “Nih, lihat!”Sontak, Dhafin melebarkan matanya terkejut melihat tampilan pada layar ponsel milik Arvan. Ia langsung bangkit dari duduknya dan….Brak! “Sialan Freya!” umpatnya setelah menggebrak mej
“Oh… atau jangan-jangan semua masalah yang terjadi di restorannya Lora itu juga karena ulahmu?”“Kamu menuduhku, Dhaf? Hanya demi Lora kamu tega menuduhku?” tanya Freya dengan mata yang kembali berkabut.Dhafin mendengus keras. “Aku cuma bertanya. Melihat tingkahmu yang kelewatan ini, aku jadi berpikir kalau kamulah yang menjadi dalangnya.”Plak!Freya menampar pipi Dhafin hingga tertoleh ke samping. “Tega kamu menuduhku seperti itu! Aku nggak mungkin menyakiti diriku sendiri sampai masuk rumah sakit. Aku nggak segila itu, Dhaf!”Dhafin kembali menoleh ke arah Freya sambil mengusap pipinya. “Terserah apa katamu, yang pasti berhenti mengusik hidup Lora!”“Jika sekali lagi aku mendengar berita nggak bener tentang Lora dan kamulah penyebabnya, aku nggak akan tinggal diam. Kau akan berurusan denganku!” balasnya tajam.Freya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang berjatuhan. “Kamu berubah, Dhaf. Kamu bukan Dhafin yang kukenal.”Dhafin tertawa keras hingga suaranya terdengar me
Ting!Dhafin beranjak dari posisi berbaringnya lantas mengambil ponselnya yang berdenting dalam tas kerjanya. Ia melihat ada beberapa pesan dari Arvan, salah satunya link video dari salah satu sosmed.[Tonton video itu sampai habis][Di situ Lora klarifikasi]Tanpa menunggu lama, Dhafin menekan tautan yang dikirim oleh sahabatnya dan langsung terhubung ke aplikasi TikTik.Video berdurasi lima menit itu mulai terputar. Diawali dengan Lora yang menjelaskan tentang hubungannya dengan Dhafin secara singkat. Lalu dilanjut dengan penjelasan mengenai kronologi sebernarnya waktu liburan bersama dengan dirinya. Di sana, Lora juga mencantumkan bukti berupa percakapannya bersama pengasuh si kembar.“Saya dengan Mas Dhafin tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hubungan kami hanya berkaitan dengan kepentingan anak-anak. Saya tidak melarang dan membatasi Mas Dhafin bertemu dengan mereka.”“Saya tidak ingin menjadi ibu jahat yang memisahkan anak dengan ayahnya. Mau bagaimana pun Mas Dhafin itu ayah kan
Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka
Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad
Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara
Pak Albern menyunggingkan senyum lebih lebar, bangga melihat kematangan yang mulai tumbuh dalam diri putranya. “Bagus itu,” ujarnya sembari mengangguk. “Kau boleh saja marah, cemburu, atau bahkan mendiamkan Lora. Tapi jangan terlalu lama.” Ia menyandarkan punggung ke sofa, kedua tangannya bertaut di atas paha, ekspresi wajahnya berubah serius namun tetap hangat. “Ingat, Grissham.” “Jagalah baik-baik hubunganmu dengan Lora. Jaga pula komunikasi di antara kalian, walau hanya lewat pesan singkat. Itu sangat penting dalam sebuah hubungan.” Nadanya mengendur, seolah mengajarkan sesuatu yang lahir dari pengalaman panjang hidupnya. “Kelak dalam kehidupan rumah tangga, sembilan puluh persen masalah bisa diselesaikan atau justru bertambah rumit karena komunikasi. Kalau dari awal sudah retak, bagaimana nanti kedepannya?” Pak Albern menoleh, menatap Grissham dengan mata penuh kebapakan. “Kalau ada yang mengganjal di hatimu, ungkapkan semuanya. Bicarakan baik-baik dan cari solusi bersama.”
Mentari jingga tergelincir ke ufuk barat. Cahaya senja yang meredup memantulkan semburat keemasan di lantai marmer ketika Grissham menapakkan kaki di kediaman keluarga Steward. Langkahnya terlihat gontai, seolah ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Gurat kelelahan tergambar jelas di wajahnya yang rupawan tanpa mampu disembunyikan. “Assalamu'alaikum,” ucapnya begitu memasuki rumah. Kebiasaan kecil itu sudah melekat dalam dirinya. Sebuah ajaran sederhana yang diwariskan Lora—katanya, dari almarhum sang nenek. Ia selalu melafalkannya, setiap kali melewati ambang pintu, entah ada orang di dalam atau tidak. Bahkan di kantornya, kebiasaan itu tetap ia lakukan. “Waalaikumsalam.” Grissham tersentak kaget. Langkahnya otomatis terhenti. Suara balasan itu terdengar jelas, membuatnya cepat menoleh ke arah sumbernya. Di sofa ruang tamu, di bawah cahaya temaram senja, seorang pria paruh baya duduk santai. Salah satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain, sementara kedua matany
Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir
Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda
Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den
Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya
“Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal
Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me