“Kau pulangnya bersama Pak Dhafin?” Suara Grissham terdengar terkejut. Mungkin tidak menyangka Lora bisa bersama mantan suaminya.“Oh, baiklah. Pulangnya hati-hati, ya. Kalau bisa, kau langsung ke restoran saja. Di sini ada aku, Mira, Zelda, dan Evan. Nanti kita cari solusi bersama-sama,” katanya.“Iya, Kak. Aku memang niatnya langsung ke restoran,” balas Lora.“Baiklah, kami tunggu. Kau yang tenang, ya. Ingat, kau tak sendirian. Ada kami yang akan membantumu, hm?” ujar Grissham dengan suara yang teduh sekaligus menenangkan.“Iya, Kak.” Lora mengangguk kecil meskipun tahu Grissham tidak bisa melihatnya. Setetes air jatuh dari kelopak matanya tanpa bisa dicegah dan dengan segera ia menghapusnya.Panggilan telepon pun berakhir.Lora menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Benar kata Grissham, ia harus tenang agar bisa mencari solusi dengan kepala dingin.Dhafin yang melihat itu sedikit banyak merasa cemburu dan iri. Sejak tadi Lora enggan berbicara padanya.
Zelda mengedarkan pandangan menatap orang-orang yang berada di ruangan ini bermaksud meminta pendapat mereka.Grissham menjentikkan jarinya. “Ide bagus. Saya setuju dengan usulanmu. Nanti saya akan bilang ke Ayah terkait hal itu.”Zelda tersenyum puas. “Ini juga menguntungkan untuk si anak karena Rumah Sakit Medika Utama kan menjadi salah satu rumah sakit swasta terbaik dengan pengobatan yang sangat bagus.”Grissham mengangguk setuju. “Betul sekali. Kita lanjutkan, ya.”Ia beralih menatap Mira di seberangnya. “Mira, besok kau pergi ke restoran kedua untuk menemui waiter yang bersangkutan dan dengarkan cerita selengkapnya.”“Cek juga CCTV di hari kejadian itu berlangsung. Video yang tersebar hanya sepotong saja sehingga semua orang tidak tahu cerita awalnya bagaimana. Kuncinya di sini,” titahnya.“Baik, Pak, besok saya yang akan ke sana,” balas Mira.“Lalu untuk yang ke restoran ketiga….” Grissham menatap orang terdekatnya bergantian.Evan yang duduk di samping Zelda mengangkat tangann
“Ingat perjanjian kita. Kalau sampai restoran itu bangkrut, saya akan mengambil kembali peninggalan ibu saya dan tidak mengizinkanmu mengelolanya lagi.”Lora menelan salivanya susah payah. Tangannya berkeringat dingin dan sedikit gemetaran.Ia dilanda gugup yang luar biasa hingga tanpa sadar mengeratkan genggaman tangan pada jemari Grissham. “Lora.” Suara Pak Albern kembali terdengar memanggil namanya.Lora berdehem sejenak untuk mengurangi kegugupannya. “I-iya, Om. Saya... saya ingat perjanjian itu. Saya tidak akan membiarkan Restoran Star Shine jatuh.”“Ayah tenang saja. Kami semua saling bekerja sama untuk mengatasi semua masalah ini dan memulihkan kembali nama baik restoran,” timpal Grissham dengan suara sedikit keras.“Aku juga tidak akan tinggal diam dan membiarkan restoran peninggalan Oma hancur begitu saja.” Laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya pada Lora lantas memegang persneling. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan agar bisa fokus membantu Lora dalam menjawab
Plak!“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.Sayangnya, ia justru didorong menjauh.Bugh!“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ib
“Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga
“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang
[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]Deg!Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!][Iblis berkedok manusia][Dasar pembunuh!][Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!][Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa][Pembunuh!!
“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai memb
“Ingat perjanjian kita. Kalau sampai restoran itu bangkrut, saya akan mengambil kembali peninggalan ibu saya dan tidak mengizinkanmu mengelolanya lagi.”Lora menelan salivanya susah payah. Tangannya berkeringat dingin dan sedikit gemetaran.Ia dilanda gugup yang luar biasa hingga tanpa sadar mengeratkan genggaman tangan pada jemari Grissham. “Lora.” Suara Pak Albern kembali terdengar memanggil namanya.Lora berdehem sejenak untuk mengurangi kegugupannya. “I-iya, Om. Saya... saya ingat perjanjian itu. Saya tidak akan membiarkan Restoran Star Shine jatuh.”“Ayah tenang saja. Kami semua saling bekerja sama untuk mengatasi semua masalah ini dan memulihkan kembali nama baik restoran,” timpal Grissham dengan suara sedikit keras.“Aku juga tidak akan tinggal diam dan membiarkan restoran peninggalan Oma hancur begitu saja.” Laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya pada Lora lantas memegang persneling. Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan agar bisa fokus membantu Lora dalam menjawab
Zelda mengedarkan pandangan menatap orang-orang yang berada di ruangan ini bermaksud meminta pendapat mereka.Grissham menjentikkan jarinya. “Ide bagus. Saya setuju dengan usulanmu. Nanti saya akan bilang ke Ayah terkait hal itu.”Zelda tersenyum puas. “Ini juga menguntungkan untuk si anak karena Rumah Sakit Medika Utama kan menjadi salah satu rumah sakit swasta terbaik dengan pengobatan yang sangat bagus.”Grissham mengangguk setuju. “Betul sekali. Kita lanjutkan, ya.”Ia beralih menatap Mira di seberangnya. “Mira, besok kau pergi ke restoran kedua untuk menemui waiter yang bersangkutan dan dengarkan cerita selengkapnya.”“Cek juga CCTV di hari kejadian itu berlangsung. Video yang tersebar hanya sepotong saja sehingga semua orang tidak tahu cerita awalnya bagaimana. Kuncinya di sini,” titahnya.“Baik, Pak, besok saya yang akan ke sana,” balas Mira.“Lalu untuk yang ke restoran ketiga….” Grissham menatap orang terdekatnya bergantian.Evan yang duduk di samping Zelda mengangkat tangann
“Kau pulangnya bersama Pak Dhafin?” Suara Grissham terdengar terkejut. Mungkin tidak menyangka Lora bisa bersama mantan suaminya.“Oh, baiklah. Pulangnya hati-hati, ya. Kalau bisa, kau langsung ke restoran saja. Di sini ada aku, Mira, Zelda, dan Evan. Nanti kita cari solusi bersama-sama,” katanya.“Iya, Kak. Aku memang niatnya langsung ke restoran,” balas Lora.“Baiklah, kami tunggu. Kau yang tenang, ya. Ingat, kau tak sendirian. Ada kami yang akan membantumu, hm?” ujar Grissham dengan suara yang teduh sekaligus menenangkan.“Iya, Kak.” Lora mengangguk kecil meskipun tahu Grissham tidak bisa melihatnya. Setetes air jatuh dari kelopak matanya tanpa bisa dicegah dan dengan segera ia menghapusnya.Panggilan telepon pun berakhir.Lora menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Benar kata Grissham, ia harus tenang agar bisa mencari solusi dengan kepala dingin.Dhafin yang melihat itu sedikit banyak merasa cemburu dan iri. Sejak tadi Lora enggan berbicara padanya.
[Restoran yang sebagus itu ternyata dalamnya cuma gimmick doang][Percuma makanan enak, tapi ada racunnya][Udah ada dua korban. Dan mungkin aja masih ada korban lain yang belum speak up][Jadi takut buat makan di sana. Entar jadi korban selanjutnya lagi][Mending tutup aja sih kalau kata gue mah. Percuma juga, nggak bakal laku lagi][Jangan-jangan ramainya karena penglaris lagi. Terus sekarang memakan korban. Hiii... serem. Nggak lagi deh makan di sana][Belum pernah makan di sana dan pengen banget nyoba. Tapi setelah tau berita ini, nggak jadi deh][Sumpah! Ini restoran terburuk yang pernah gue temui][Dapurnya pasti jorok tuh. Ewh 🤮][Katanya punya pelayanan yang bagus. Pelayanan bagus apaan yang membentak anak kecil?][Gue nggak bisa bayangin gimana perasaan si ibu melihat anaknya dibentak di depan umum][Kalau capek istirahat dulu, Mbak. Jangan malah melampiaskan ke anak kecil yang nggak tau apa-apa][Tolong dong, itu waitersnya didisiplinkan biar nggak semena-mena sama pelangga
Dhafin menelan salivanya susah payah lalu menatap anak-anaknya yang tampak senang. Ia tidak punya pilihan lain selain pasrah membuka mulut dan menerima suapan makanan dari Lora. “Aemmm…. Enak kan, Papa?” Lora tertawa puas melihat Dhafin yang kesusahan mengunyah makanan itu.Rasakan! Siapa suruh jahil.Dhafin menatap Naina kesal dengan mulut yang penuh. Meskipun begitu, ia tersenyum tipis melihat Lora dan anak-anaknya tertawa bahagia.Pria itu merasa dejavu karena pernah mengalami ini sebelumnya. Bayangan ketika dirinya disiapi bakso jumbo oleh Lora kembali terngiang. Ia tersenyum kecil mengingatnya.Hari kelima liburan, Lora mengajak anak-anak ke kebun binatang. Bedanya kali ini ada Dhafin yang ikut bersama mereka. Tujuan utama mengajak ke tempat ini adalah sebagai pembelajaran agar anak-anak bisa melihat secara nyata visualisasi hewan-hewan, bukan hanya lewat gambar atau video saja.Mereka berjalan beriringan dengan Dhafin yang menggendong Zora dan Lora yang menggandeng Azhar. Suda
Lora menarik napasnya berusaha sabar. “Iya, Nak, tapi mandi dulu. Tadi kalian habis main air dari kolam terus nggak bilas. Badannya bisa gatal-gatal loh.”“Mandi dulu, yuk, Sayang. Habis mandi kalian boleh main sama Papa sepuasnya,” bujuknya tanpa menyerah.“Mau ndi ma Papa,” balas mereka seakan memberikan penawaran.Lora sedikit terkejut mendengar permintaan anaknya yang semakin nyeleneh lalu menggeleng. “Nggak boleh, Nak. Mandi sama Mama aja, ya.”“Ndak mau! Ndak mau! Ndak mau!” Dua bocil itu merengek seraya menggeleng ribut tanda-tanda akan tantrum.“Azhar! Zora! Nurut atau Mama marah,” ucap Lora tegas lantas menatap Dhafin yang hanya diam saja. “Bantuin bujuk kek. Gara-gara kamu nih.”Dhafin kembali berlutut untuk menyesuaikan tinggi si kembar. “Kalian mandi dulu, ya, sama Mama. Papa nggak akan kemana-mana kok. Setelah mandi, Papa janji akan mengajak kalian jalan-jalan sore di sekitar villa. Mau?”Si kembar mengangguk antusias. “Mau, Papa.”“Baiklah, sekarang kalian masuk kamar te
“Azhar, Zora, bagaimana perasaan kalian hari ini, hm? Apa kalian happy?” Lora menatap kedua anak-anaknya bergantian. Pertanyaan itu setiap hari ia tanyakan untuk mengetahui bagaimana perasaan mereka tanpa ditutup-tutupi. Dirinya ingin melatih si kembar agar bisa terbuka sejak kecil.“Eppy, Mama,” jawab si kembar kompak.Lora tersenyum bahagia. “Ya udah, kalian habiskan makan siangnya setelah itu kita kembali ke villa. Oke, Sayang?”“Ote, Mama.” Si kembar pun mematuhi perintah sang ibu untuk menghabiskan makanannya. Mereka memang makan sendiri di meja khusus anak yang disediakan oleh restoran. Namun, keduanya juga sesekali dibantu oleh Lora dan Amina dengan disuapi agar cepat selesai.Seperti yang sudah diagendakan sebelumnya, Lora mengambil cuti seminggu untuk quality time bersama si kembar dengan mengajak mereka liburan.Tujuannya untuk melepas penat sekaligus menggantikan waktu yang tersita kemarin akibat pekerjaan yang menumpuk. Tempat yang dituju pun tidak jauh-jauh, yaitu di d
“Ma, Pa, apa kalian yakin kalau anak-anaknya Lora itu cucu kalian?”Bu Anita mengusap mulutnya dengan tisu setelah selesai makan. Ia mengerutkan kening tidak mengerti dengan pertanyaan Freya. “Apa maksdumu Freya? Jelas-jelas mereka cucu kami karena secara hukum mereka itu anaknya Dhafin,” balasnya tidak terima.Freya tersenyum tenang, sudah bisa menebak mereka tidak mudah percaya. Namun, ia sudah punya rencana lain. “Apa Mama nggak curiga kalau mereka sebenarnya bukan anaknya Dhafin, tapi sengaja mengaku-ngaku?”“Mengaku-ngaku bagaimana?” tanya Pak Daniel yang juga telah menyelesaikan acara makannya.Freya melipat tangannya di atas meja. “Gini, Ma, Pa. Kalau memang mereka adalah anaknya Dhafin, kenapa Lora memilih kabur dan menggugat cerai Dhafin?”“Ditambah lagi dia malah menyembunyikan kehamilannya. Apa nggak mencurigakan? Jangan-jangan Lora hamil anak laki-laki lain,” ucapnya.Bu Anita mengangkat sebelah alisnya. “Dengan kata lain Lora selingkuh begitu?”Freya mengedikkan bahunya.
Pak Daniel menghela napas. “Kita bahas di rumah saja. Sekarang kita makan dulu. Dhafin dan Freya pasti sudah menunggu kita.”Pria itu membawa sang istri ke keluar mall menuju restoran tempat janjian dengan putranya.Tiba di restoran, sepasang suami-istri yang tak lagi muda itu langsung menuju ke privat room yang sudah di reservasi sebelumnya.Di sana, sudah ada Dhafin dan Freya yang ternyata lebih dulu datang. Makanan pun telah terhidang sempurna di atas meja.“Mama, Papa,” sapa Freya sambil berdiri lalu melakukan cipika-cipiki dengan Bu Anita, sedangkan dengan Pak Daniel ia hanya mencium tangan. “Aku kira Mama sama Papa udah datang duluan, ternyata baru tiba.”Bu Anita mengusap lengan Freya sejenak. “Maaf, ya, kalau kalian harus menunggu lama. Soalnya Mama harus beli barang dulu di mall.”Freya tersenyum. “Nggak papa, Ma, kami juga baru datang kok. Iya, Sayang?” tanyanya sembari menoleh ke arah Dhafin. Dhafin hanya membalas dengan deheman tanpa ikut berdiri.Freya mempersilahkan mer