Banyu memasukkan flash drive ke laptop dengan ekspresi serius, lalu memutar rekaman CCTV di layar. Rekaman itu menunjukkan Kai keluar dan masuk apartemen setiap hari dengan waktu yang tidak menentu, meskipun tampak seperti rutinitas biasa. Banyu menatap rekaman itu sejenak, kemudian menghela napas dan mengalihkan pandangannya kepada Kai.“Kai. Ini rekaman yang gue dapet,” kata Banyu, menunjuk layar laptop di depannya. “Lo gak bakal lolos dengan bukti ini doang. Lo pulang, oke. Tapi apa buktinya lo gak ngelakuin apa-apa di luar?”Kai menghela napas panjang, tubuhnya terjatuh lemas di sofa. “Iya, Bang. Gue tahu. Rekaman ini gak bisa buktiin apa-apa. Tapi kalau Lana mulai ngarang waktu, ini bisa bantu gue—setidaknya sedikit.”Banyu menutup laptopnya dengan bunyi klik pelan. Pandangannya tajam, tapi tak terbaca. “Kai, sekarang tes DNA bisa dilakuin mulai tujuh minggu pakai darah ibunya. Gue yakin itu lebih berguna dari rekaman ini.”Kai mengangguk perlahan. “Nanti gue udah jadwalin. Dokt
Kai dan Sera berdiri di depan klinik. Langit mendung semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hati mereka. Lana sudah pergi lebih dulu dengan ekspresi puas yang menghantui Kai.“Ra,” Kai membuka suara pelan, memandangi istrinya yang menatap kosong ke depan. “Aku tau ini berat buat kamu, tapi... aku butuh kamu percaya sama aku.”Sera mendengus kecil, menoleh padanya. Matanya berkaca-kaca, tapi ada dingin yang menusuk di balik tatapannya. “Percaya?” katanya dengan nada rendah. “Mas, kamu tau gimana aku nggak bisa tidur beberapa hari ini mikirin Lana, dan sekarang dia bilang usia kandungannya cocok sama waktu kamu ada di New York? Gimana aku bisa percaya? Dari mana aku harus punya rasa percaya diri untuk membela kamu?”Kai mendekat, berusaha menggenggam tangan Sera, tapi dia menghindar. “Ra, tolong dengar aku. aku nggak inget ada hal yang terjadi di antara aku dan Lana. Malam itu, aku cuma kerja, lalu pulang. Kalau pun ada yang Lana bilang... aku nggak sadar, Ser. aku nggak akan perna
Sinar matahari pagi menerangi ruang tamu rumah megah keluarga Adnan. Sera duduk di hadapan ibu mertuanya, mengenakan pakaian kasual tapi tetap anggun dengan perut yang tampak menyembul. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru saja disuguhkan oleh seorang pelayan. Diani, yang duduk di seberangnya, tersenyum hangat. “Kamu kelihatan lebih lelah dari biasanya, Nak. Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?” Sera menundukkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kekalutan di hatinya. Namun, senyum tipis tetap ia paksakan. “Tidak apa-apa, Bu. Cuma... Mama baru sembuh, dan aku merasa harus lebih sering menghabiskan waktu sama Mama.” Diani mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya di sofa. “Jadi, kamu mau ke rumah Mamamu?”“Ibu pasti, bakal kangen. Rumah ini akan lebih sepi gak ada kamu dan Kai.”Pernyataan Ibunya membuat Sera terdiam, ia tidak mungkin bilang bahwa ia akan pulang sendiri.“Sera, Ibu pasti kangen banget sama kamu. Berapa lama rencananya kamu di sana?”Sera mengangkat wajahny
Matahari pagi menerobos masuk melalui jendela besar ruang makan. Meja makan yang elegan telah diisi dengan berbagai hidangan, tetapi suasana di sana jauh dari hangat. Sera duduk di kursinya, menyendok bubur pelan sambil sesekali menghela nafas. Sementara itu, Elli, kakaknya yang baru datang dari lantai atas, langsung duduk dengan tatapan tajam ke arah Sera. Rambutnya masih basah, tampaknya baru selesai mandi, tapi sikapnya sama dinginnya seperti biasanya. “Jadi, Lo balik ke rumah ini? Sendirian?” Elli membuka percakapan dengan nada sindiran yang menusuk. Ia tidak menunggu balasan Sera, langsung melanjutkan, “Lo mau apa lagi?”Sera meletakkan sendoknya perlahan, mencoba menjaga ketenangan. Ia tahu Elli selalu memiliki rasa tidak suka padanya, meski ia sendiri tidak pernah mengerti alasannya. “Aku cuma mau nemenin Mama. Itu aja,” jawab Sera lembut, berusaha tidak memancing amarah. Elli mendengus. “Nemenin Mama? Atau Lo cuma mau memastikan kalau Lo bakalan dapat bagian dari wari
Kai baru saja memasuki rumah sakit ketika ponselnya bergetar. Nama Sera tertera di layar. Ia mengangkat panggilan itu dengan cepat.“Aku udah di rumah sakit,” kata Kai langsung. “Kamu di mana?”Suara Sera terdengar pelan. “Aku masih di jalan dengan Mama. Mas, tolong masuk dulu. Katanya Papa terus manggil nama kamu. Aku gak tahu gimana ceritanya, padahal Papa kemarin masih koma kata Mama dan bahkan gak bisa respon kami semua. Mas pasti tau kan? Kayaknya Papa mau ngomong sesuatu sama, Mas.”Kai mengangguk meskipun tahu Sera tak bisa melihatnya. “Aku masuk sekarang.”Setelah memutus sambungan telepon, Kai langsung menuju ruang ICU. Seorang perawat mengantarnya masuk setelah dokter mengizinkan.Dani terbaring di ranjang, wajahnya terlihat sangat lemah. Matanya terbuka sedikit saat mendengar suara langkah Kai mendekat.“Kai...” suara Dani serak, hampir tidak terdengar.Pria itu terkejut. Papa mertuanya yang hampir tiga bulan ini dinyatakan koma kini bisa membuka matanya bahkan memanggil na
Kai menghentikan mobil di depan rumah mertuanya, sebuah rumah besar dengan taman kecil yang terlihat rapi meski sudah malam. Lampu teras menyala redup, menyinari pintu utama yang tertutup rapat. Ia melirik ke samping, ke arah Sera yang sejak tadi diam, menatap keluar jendela tanpa sepatah kata pun.“Ra,” panggil Kai pelan.Sera menoleh, tapi hanya sesaat. Ekspresinya sudah kembali dingin, berbeda jauh dari wajah rapuh yang tadi ia tunjukkan di rumah sakit. “Aku bisa masuk sendiri. Kamu nggak perlu turun,” ucapnya singkat.Sera membuka pintu mobil, tanpa menunggu Kai. Dengan cepat, ia keluar, langkahnya tegas menuju pintu rumah.Kai menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. Ketegangan yang terasa sejak di rumah sakit masih menyelimuti, dan kini semakin berat dengan sikap dingin Sera.“Sera,” panggil Kai, suaranya dalam.Sera yang sedang membuka pintu rumah menghentikan gerakannya, tapi tidak menoleh. “Apa lagi?” tanyanya tanpa ekspresi.Kai melangkah men
Kai tertegun, tatapannya jatuh pada surat perjanjian yang kini berada di tangan Lana. Tangannya mengepal erat di samping tubuhnya, sementara pikiran berputar liar, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar.“Jadi ini tentang uang,” gumam Kai, nada suaranya lebih datar daripada yang ia inginkan.Lana tersenyum tipis, seperti menikmati situasi ini. “Sebut saja investasi masa depan. Anak ini berhak mendapatkan yang terbaik, dan kamu... yah, kamu punya kapasitas untuk memberikannya.”Kai mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menenangkan diri. "Lana, aku nggak menolak tanggung jawabku. Tapi kamu masuk ke sini tanpa izin, menyerahkan surat seperti ini, seolah—"“Seolah aku mencoba memanfaatkanmu?” potong Lana cepat. “Aku hanya realistis, Kai. Aku tidak butuh kamu di hidupku. Tapi anak ini butuh. Kalau kamu pikir aku di sini buat memeras atau membuat drama, kamu salah besar.”Kai menarik napas panjang, mencoba menahan emosi. “Kalau begitu, kenapa tidak bicara baik-baik? Kenapa harus me
Kai duduk di ruang kerjanya, memandangi ponselnya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Sudah tiga hari berlalu sejak percakapan terakhirnya dengan Sera, dan itu pun tidak berakhir baik. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semua masalah ini telah mencuri segalanya darinya, termasuk kedamaian yang baru ia rasakan bersama istrinya.Ia menghela napas panjang, menggeser jari di layar ponsel, membuka percakapan terakhir mereka. Pesan itu masih ada di sana—pendek, tajam, dan penuh emosi. Kata-kata itu membayanginya, menambah beban di dadanya. Hari itu, ia memutuskan untuk mengesampingkan egonya. Ia tahu ia telah salah, dan yang ia butuhkan saat ini hanyalah mendengar suara Sera, meski hanya lewat pesan.Kai : [Ra, aku kangen.]Ia menatap pesan itu beberapa saat, ragu apakah ia harus mengirimnya. Tapi perasaan rindunya pada Sera mengalahkan segalanya. Ia menekan tombol “kirim” dan meletakkan ponselnya di atas meja, mencoba mengalihkan pikirannya.Namun, pikirannya terus kembali pada Ser
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.