Kai baru saja memasuki rumah sakit ketika ponselnya bergetar. Nama Sera tertera di layar. Ia mengangkat panggilan itu dengan cepat.“Aku udah di rumah sakit,” kata Kai langsung. “Kamu di mana?”Suara Sera terdengar pelan. “Aku masih di jalan dengan Mama. Mas, tolong masuk dulu. Katanya Papa terus manggil nama kamu. Aku gak tahu gimana ceritanya, padahal Papa kemarin masih koma kata Mama dan bahkan gak bisa respon kami semua. Mas pasti tau kan? Kayaknya Papa mau ngomong sesuatu sama, Mas.”Kai mengangguk meskipun tahu Sera tak bisa melihatnya. “Aku masuk sekarang.”Setelah memutus sambungan telepon, Kai langsung menuju ruang ICU. Seorang perawat mengantarnya masuk setelah dokter mengizinkan.Dani terbaring di ranjang, wajahnya terlihat sangat lemah. Matanya terbuka sedikit saat mendengar suara langkah Kai mendekat.“Kai...” suara Dani serak, hampir tidak terdengar.Pria itu terkejut. Papa mertuanya yang hampir tiga bulan ini dinyatakan koma kini bisa membuka matanya bahkan memanggil na
Kai menghentikan mobil di depan rumah mertuanya, sebuah rumah besar dengan taman kecil yang terlihat rapi meski sudah malam. Lampu teras menyala redup, menyinari pintu utama yang tertutup rapat. Ia melirik ke samping, ke arah Sera yang sejak tadi diam, menatap keluar jendela tanpa sepatah kata pun.“Ra,” panggil Kai pelan.Sera menoleh, tapi hanya sesaat. Ekspresinya sudah kembali dingin, berbeda jauh dari wajah rapuh yang tadi ia tunjukkan di rumah sakit. “Aku bisa masuk sendiri. Kamu nggak perlu turun,” ucapnya singkat.Sera membuka pintu mobil, tanpa menunggu Kai. Dengan cepat, ia keluar, langkahnya tegas menuju pintu rumah.Kai menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. Ketegangan yang terasa sejak di rumah sakit masih menyelimuti, dan kini semakin berat dengan sikap dingin Sera.“Sera,” panggil Kai, suaranya dalam.Sera yang sedang membuka pintu rumah menghentikan gerakannya, tapi tidak menoleh. “Apa lagi?” tanyanya tanpa ekspresi.Kai melangkah men
Kai tertegun, tatapannya jatuh pada surat perjanjian yang kini berada di tangan Lana. Tangannya mengepal erat di samping tubuhnya, sementara pikiran berputar liar, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar.“Jadi ini tentang uang,” gumam Kai, nada suaranya lebih datar daripada yang ia inginkan.Lana tersenyum tipis, seperti menikmati situasi ini. “Sebut saja investasi masa depan. Anak ini berhak mendapatkan yang terbaik, dan kamu... yah, kamu punya kapasitas untuk memberikannya.”Kai mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menenangkan diri. "Lana, aku nggak menolak tanggung jawabku. Tapi kamu masuk ke sini tanpa izin, menyerahkan surat seperti ini, seolah—"“Seolah aku mencoba memanfaatkanmu?” potong Lana cepat. “Aku hanya realistis, Kai. Aku tidak butuh kamu di hidupku. Tapi anak ini butuh. Kalau kamu pikir aku di sini buat memeras atau membuat drama, kamu salah besar.”Kai menarik napas panjang, mencoba menahan emosi. “Kalau begitu, kenapa tidak bicara baik-baik? Kenapa harus me
Kai duduk di ruang kerjanya, memandangi ponselnya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Sudah tiga hari berlalu sejak percakapan terakhirnya dengan Sera, dan itu pun tidak berakhir baik. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semua masalah ini telah mencuri segalanya darinya, termasuk kedamaian yang baru ia rasakan bersama istrinya.Ia menghela napas panjang, menggeser jari di layar ponsel, membuka percakapan terakhir mereka. Pesan itu masih ada di sana—pendek, tajam, dan penuh emosi. Kata-kata itu membayanginya, menambah beban di dadanya. Hari itu, ia memutuskan untuk mengesampingkan egonya. Ia tahu ia telah salah, dan yang ia butuhkan saat ini hanyalah mendengar suara Sera, meski hanya lewat pesan.Kai : [Ra, aku kangen.]Ia menatap pesan itu beberapa saat, ragu apakah ia harus mengirimnya. Tapi perasaan rindunya pada Sera mengalahkan segalanya. Ia menekan tombol “kirim” dan meletakkan ponselnya di atas meja, mencoba mengalihkan pikirannya.Namun, pikirannya terus kembali pada Ser
[Ra, aku kangen.]Sera memandang layar ponselnya yang menyala, pesan itu terpampang jelas.Pesan dari Kai, singkat, sederhana, tapi terasa begitu berat. Namun, Sera memilih mengabaikannya. Ia meletakkan ponsel itu ke meja di samping tempat tidur, lalu menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya.Wanita itu sudah tidak bisa tidur telentang, ia miring ke kiri dan menatap jendela kamarnya yang menampilkan sinar matahari menyembul dari balik tirai.Kamar itu sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar samar di tengah keheningan. Sera memejamkan matanya, mencoba mencari kenyamanan di balik gulungan selimut, tetapi pikiran-pikirannya tak mau berhenti.Ketukan di pintu mengagetkannya, diikuti suara lembut yang sudah ia kenal. “Ra?”Belum sempat ia menjawab, pintu kamar terbuka perlahan, dan Fara melangkah masuk. Wanita itu membawa nampan kecil berisi secangkir teh hangat.“Mama udah nunggu kamu buat sarapan. Tapi yang ditunggu gak nongol-nongol,” kata Fara, menutup pintu di belakangny
Kai berdiri di depan pintu rumah besar itu, menggenggam ponselnya erat sambil memandang notifikasi pesan terakhirnya kepada Sera yang masih tak berbalas. Sudah sehari penuh, dan ia merasa tak bisa lagi menahan rasa rindunya sampai dua hari ke depan.Dengan napas panjang, ia berdiri saja mengamati pintu tinggi rumah itu. Tak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga membuka pintu utama dan mempersilahkannya masuk. “Silakan, Pak,” ujar wanita paruh baya itu sopan, meskipun raut wajahnya menunjukkan sedikit keheranan. Kai melangkah masuk dan matanya menyapu ruang tamu rumah mewah itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia datang ke sini, tapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya merasa seperti tamu asing—bukan menantu dari pemilik rumah ini. “Mas Kai, Mbak Sera ada di kamarnya.”Kai tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. “Saya… tunggu di ruang tamu aja, Bi.” Pekerja itu tampak ragu sejenak, lalu mengangguk.Pandangan Kai menyapu ruangan yang tera
Kai mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan pesan-pesan dari Hugo yang mengonfirmasi rencana mereka. Beberapa video juga menunjukkan bagaimana kedekatan keduanya. “Ra, Lana dan Hugo cuma mau uangku. Dia pakai bayi itu untuk mengeruk keuntungan!” ucap Kai, dengan suara mendesak.Sera menoleh, wajahnya tetap dingin. wanita itu menarik napas panjang, memejamkan matanya sejenak. “Beri aku waktu, Mas. Aku tetap akan tunggu hasil tes. Bukan cuma untuk aku, tapi untuk kita.”Kai, yang awalnya hanya berdiri beberapa langkah dari Sera, kini tidak tahan lagi dengan jarak di antara mereka. Penjelasannya ternyata tidak banyak merubah sikap Sera.Kai tidak peduli lagi dengan apa tanggapan Sera. Perlahan, ia mendekat, dan sebelum Sera sempat menghindar, lengannya sudah merengkuh tubuh wanita itu dengan lembut. “Aku kangen,” bisiknya di telinga Sera, suaranya penuh kerinduan. “Aku kangen kamu, Ra… dan bayi kita.” Sera terdiam, tubuhnya tegang di dalam pelukan Kai. Tapi ia tidak menolak, hanya mem
Kai duduk dengan sikap tenang tapi tegas di sofa empuk private room restoran hotel tersebut.Di sampingnya, Bram memeriksa tablet dengan serius, meski sesekali melirik bosnya untuk memastikan keadaan. Dua pengawal berdiri tegap di belakang Kai, menciptakan suasana yang jauh dari santai. Ruangan itu penuh dengan aroma kopi dan parfum mahal, memberikan kesan elegan sekaligus tegang. Kai, yang biasanya menghindari pengawalan semacam ini, merasa tindakannya ini perlu untuk mengantisipasi rumor yang tidak perlu. Di tambah lagi, ia jadi punya tameng ketika Sera mungkin menuduhnya macam-macam. Ada saksi dalam ruangan ini yang bisa ia mintai tolong.Ketika pintu terbuka, suara langkah sepatu Lana terdengar mendahului kehadirannya. Wanita itu melangkah masuk, awalnya dengan senyum percaya diri yang menjadi ciri khasnya. Namun, senyumnya memudar begitu melihat keadaan ruangan. “Wah, suasananya lebih formal dari yang aku harapkan,” ujar Lana, mencoba terdengar santai, tapi nada suaranya je
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama