[Ra, aku kangen.]Sera memandang layar ponselnya yang menyala, pesan itu terpampang jelas.Pesan dari Kai, singkat, sederhana, tapi terasa begitu berat. Namun, Sera memilih mengabaikannya. Ia meletakkan ponsel itu ke meja di samping tempat tidur, lalu menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya.Wanita itu sudah tidak bisa tidur telentang, ia miring ke kiri dan menatap jendela kamarnya yang menampilkan sinar matahari menyembul dari balik tirai.Kamar itu sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar samar di tengah keheningan. Sera memejamkan matanya, mencoba mencari kenyamanan di balik gulungan selimut, tetapi pikiran-pikirannya tak mau berhenti.Ketukan di pintu mengagetkannya, diikuti suara lembut yang sudah ia kenal. “Ra?”Belum sempat ia menjawab, pintu kamar terbuka perlahan, dan Fara melangkah masuk. Wanita itu membawa nampan kecil berisi secangkir teh hangat.“Mama udah nunggu kamu buat sarapan. Tapi yang ditunggu gak nongol-nongol,” kata Fara, menutup pintu di belakangny
Kai berdiri di depan pintu rumah besar itu, menggenggam ponselnya erat sambil memandang notifikasi pesan terakhirnya kepada Sera yang masih tak berbalas. Sudah sehari penuh, dan ia merasa tak bisa lagi menahan rasa rindunya sampai dua hari ke depan.Dengan napas panjang, ia berdiri saja mengamati pintu tinggi rumah itu. Tak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga membuka pintu utama dan mempersilahkannya masuk. “Silakan, Pak,” ujar wanita paruh baya itu sopan, meskipun raut wajahnya menunjukkan sedikit keheranan. Kai melangkah masuk dan matanya menyapu ruang tamu rumah mewah itu. Meski ini bukan pertama kalinya ia datang ke sini, tapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya merasa seperti tamu asing—bukan menantu dari pemilik rumah ini. “Mas Kai, Mbak Sera ada di kamarnya.”Kai tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. “Saya… tunggu di ruang tamu aja, Bi.” Pekerja itu tampak ragu sejenak, lalu mengangguk.Pandangan Kai menyapu ruangan yang tera
Kai mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan pesan-pesan dari Hugo yang mengonfirmasi rencana mereka. Beberapa video juga menunjukkan bagaimana kedekatan keduanya. “Ra, Lana dan Hugo cuma mau uangku. Dia pakai bayi itu untuk mengeruk keuntungan!” ucap Kai, dengan suara mendesak.Sera menoleh, wajahnya tetap dingin. wanita itu menarik napas panjang, memejamkan matanya sejenak. “Beri aku waktu, Mas. Aku tetap akan tunggu hasil tes. Bukan cuma untuk aku, tapi untuk kita.”Kai, yang awalnya hanya berdiri beberapa langkah dari Sera, kini tidak tahan lagi dengan jarak di antara mereka. Penjelasannya ternyata tidak banyak merubah sikap Sera.Kai tidak peduli lagi dengan apa tanggapan Sera. Perlahan, ia mendekat, dan sebelum Sera sempat menghindar, lengannya sudah merengkuh tubuh wanita itu dengan lembut. “Aku kangen,” bisiknya di telinga Sera, suaranya penuh kerinduan. “Aku kangen kamu, Ra… dan bayi kita.” Sera terdiam, tubuhnya tegang di dalam pelukan Kai. Tapi ia tidak menolak, hanya mem
Kai duduk dengan sikap tenang tapi tegas di sofa empuk private room restoran hotel tersebut.Di sampingnya, Bram memeriksa tablet dengan serius, meski sesekali melirik bosnya untuk memastikan keadaan. Dua pengawal berdiri tegap di belakang Kai, menciptakan suasana yang jauh dari santai. Ruangan itu penuh dengan aroma kopi dan parfum mahal, memberikan kesan elegan sekaligus tegang. Kai, yang biasanya menghindari pengawalan semacam ini, merasa tindakannya ini perlu untuk mengantisipasi rumor yang tidak perlu. Di tambah lagi, ia jadi punya tameng ketika Sera mungkin menuduhnya macam-macam. Ada saksi dalam ruangan ini yang bisa ia mintai tolong.Ketika pintu terbuka, suara langkah sepatu Lana terdengar mendahului kehadirannya. Wanita itu melangkah masuk, awalnya dengan senyum percaya diri yang menjadi ciri khasnya. Namun, senyumnya memudar begitu melihat keadaan ruangan. “Wah, suasananya lebih formal dari yang aku harapkan,” ujar Lana, mencoba terdengar santai, tapi nada suaranya je
Pagi itu, meja makan terasa hangat dengan aroma teh dan roti panggang yang baru selesai disiapkan. Sera duduk di samping Kai, menikmati suasana yang belum pernah terjadi sebelumnya, makan pagi bersama keluarga. Fara duduk di ujung meja, mengoles roti dengan selai strawberry dengan santai, sementara Elli melintas dengan tergesa-gesa. Elli tampak buru-buru, mengenakan blazer formal dengan tas kerja tergantung di bahunya. Ia melirik sekilas ke arah Kai, tatapannya dingin seperti biasa, lalu tanpa berkata apa-apa, melangkah cepat menuju pintu depan. “Elli!” panggil Fara dengan nada tegas, tapi Elli sudah menghilang di balik pintu. Fara menghela napas panjang, wajahnya kesal. “Anak itu benar-benar nggak tahu sopan santun. Masa pergi gitu aja?” Kai hanya menyesap kopinya, pikirannya melayang pada ucapan Dani beberapa waktu lalu di rumah sakit. ‘Awas Elli,’ begitulah Dani memperingatkannya dengan suara lemah. Saat itu, Kai tidak terlalu memikirkannya, tetapi pagi ini, melihat Elli
Elli melangkah keluar dari mobilnya dengan wajah yang dingin, berusaha tetap tenang meski ia sudah mendengar keributan dari dalam lobi. Saat pintu kaca otomatis terbuka, pandangannya langsung disambut oleh kerumunan vendor yang tampak gelisah dan marah. Beberapa di antaranya memegang dokumen tebal, sementara yang lain berbicara dengan nada tinggi ke resepsionis. Ketika mereka menyadari Elli telah datang, suasana langsung berubah. Para vendor itu bergerak cepat mendekatinya, melontarkan keluhan dengan nada memaksa. “Bu Elli, kapan tagihan kami dibayar?” “Kami sudah menunggu tiga bulan lebih!” “Perusahaan ini tidak bisa terus-menerus mengulur waktu!” Elli berhenti di tengah lobi, menarik napas panjang. Wajahnya tetap tenang meski kepalanya terasa berdenyut karena tekanan yang datang bertubi-tubi. Ia mengangkat tangan untuk meminta mereka tenang. “Saya mengerti masalah ini, dan saya bertanggung jawab penuh,” katanya dengan suara tegas. “Gimana caranya!”“Kalau cuma omong d
Rolland menyandarkan punggungnya di kursi, gelas minumannya yang sudah setengah kosong berputar di tangannya.Restoran dengan suasana semi-bar itu ramai seperti biasa, dengan musik yang mengalun pelan di latar belakang. Meski dikelilingi banyak orang, ia merasa terasing.Pandangan Rolland mengitari ruangan hingga berhenti pada seorang pria yang duduk sendirian di sudut, mengenakan jas kasual. Matanya menyipit, mencoba memastikan sosok itu. Bibirnya melengkung tipis. Lukas.Ia melambaikan tangan. “Lukas!”Lukas menoleh perlahan, ekspresinya datar seperti biasa. Melihat Rolland, pria itu mengangkat alis, tapi tak langsung bereaksi.“Sini, gabung!” ajak Rolland, suaranya sedikit lebih keras untuk mengalahkan riuh obrolan di sekitarnya. “Gue sendiri, nggak ada teman!”Lukas bergeming. Dia tidak ingin bergabung.Rolland, dengan langkah sempoyongan, membawa gelas minumannya mendekati meja Lukas. Wajahnya memerah, bukan hanya karena alkohol, tapi juga karena kemarahan yang perlahan-lahan me
Malam itu, kamar keluarga Adnan terasa hangat dengan suasana tenang yang mendominasi. Kai baru saja selesai mandi, mengenakan kaus putih santai dan celana panjang. Rambutnya masih sedikit basah, terlihat ia asal mengeringkannya dengan handuk sebelum melemparkan handuk itu ke sisi kursi.Pria itu melangkah mendekati ranjang, tempat Sera sudah berbaring dengan nyaman, mengenakan piyama longgar yang memperlihatkan perutnya yang mulai membesar. Di tangannya ada tablet, matanya terpaku pada layar, terlihat sibuk dengan sesuatu.Kai naik ke ranjang, bersandar di kepala ranjang sambil menyilangkan kakinya. Ia melirik istrinya yang tampak begitu fokus hingga tidak menyadari keberadaannya. Sambil tersenyum kecil, Kai meraih bantal di dekatnya dan menepuk pelan paha Sera.“Lagi ngapain, Bu Hamil?” tanyanya dengan nada menggoda.Sera mendongak sekilas, lalu kembali ke tabletnya. “Lihat-lihat desain kamar bayi,” jawabnya santai.Kai tertawa kecil, lalu menyenderkan tubuhnya lebih dekat ke Sera.
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.