Sera melangkah keluar dari ruangan Kai dengan langkah cepat, amarah masih membara di hatinya. Setelah percakapan dengan Raras yang menyinggungnya beberapa waktu lalu, pikirannya belum sepenuhnya tenang. Ia berjalan menuju lobi, berharap udara segar atau mungkin sepotong kue manis bisa sedikit mengalihkan rasa kesalnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok Lana di sudut lobi, duduk sendirian sambil memainkan ponselnya. Lana tampak begitu santai dan anggun, dengan senyum kecil yang mengembang di wajahnya seolah tanpa beban. Melihat wanita itu membuat amarah Sera seakan membara lagi, teringat akan masalah-masalah yang belakangan ini muncul karena nama Lana yang terus mengusik pikirannya.Sera berdecak sebal, “satu selesai, satu lagi datang. Nak, Mama kesal!” Adu Sera pada buah hatinya yang kini membuat efek tegang di rahimnya.Alih-alih mendekati Lana, Sera hanya memandanginya dari kejauhan. Dengan sikap dingin, ia memesan cokelat dingin dan sepotong kue dari bari
Sera menggenggam tangan Kai semakin erat, merasakan ketegangan yang mencekam di ruang rapat itu. Ia memandang suaminya dengan campuran rasa bingun dan tak percaya, sementara Kai menatap Lana dengan tatapan dingin seolah siap untuk membunuh.“Jangan membodohiku, Lana!” ujar Kai, suaranya rendah namun penuh ancaman. “Aku tahu pasti, aku tidak pernah menyentuhmu. Jangan berpikir kamu bisa memutarbalikkan fakta di hadapanku.”Lana mengangkat alisnya, tersenyum tipis yang terlihat sinis. “Kai, kamu sungguh yakin?” tanyanya, dengan nada suara lembut namun tajam. “Ingat malam itu, ketika kamu mabuk di acara perusahaan? Kamu mungkin sudah lupa, tapi aku tidak. Kamu bilang padaku betapa stresnya kamu, betapa kamu merasa dipojokkan oleh tekanan pekerjaan dan… Sera.” Lana melirik sekilas ke arah Sera, seolah ingin menambahkan lebih banyak luka.Kai mendengus, merasa amarahnya hampir tak terkendali. “Lana, jangan coba-coba gunakan itu sebagai alasan. Aku memang mabuk, tapi aku tahu betul batasank
Kai hanya bisa menatap punggung Sera yang bergerak dalam kesunyian, melakukan semua hal tanpa sepatah kata. Tidak ada suara perdebatan atau amarah. Kai merasa hampa, seperti ada kekosongan yang tidak bisa ia isi tanpa kehadiran Sera.Pagi itu, ia berharap setidaknya bisa memeluk istrinya—meminta pengertian, meski hanya dengan isyarat tanpa kata. Namun, saat ia mendekati Sera dan hendak menyentuhnya, wanita itu menjauh, menjaga jarak, lalu dengan suara yang nyaris berbisik, berkata, “Aku mau pulang ke rumah Mama untuk sementara.”Kalimat itu menghantam Kai. Dia tahu situasi ini sulit untuk Sera, tetapi melihat wanita yang dicintainya lebih memilih pergi meninggalkannya, bahkan tanpa berdebat, membuat dadanya terasa berat. Kai terdiam sejenak, tenggelam dalam pikiran. Janjinya kepada Fara, ibu mertuanya, terngiang kembali di benaknya.“Mama maafkan kali ini, Kai. Tapi jika suatu hari nanti Sera memutuskan untuk meninggalkanmu, Mama tidak akan ragu membawanya pergi. Mungkin hidupnya ti
Banyu memasukkan flash drive ke laptop dengan ekspresi serius, lalu memutar rekaman CCTV di layar. Rekaman itu menunjukkan Kai keluar dan masuk apartemen setiap hari dengan waktu yang tidak menentu, meskipun tampak seperti rutinitas biasa. Banyu menatap rekaman itu sejenak, kemudian menghela napas dan mengalihkan pandangannya kepada Kai.“Kai. Ini rekaman yang gue dapet,” kata Banyu, menunjuk layar laptop di depannya. “Lo gak bakal lolos dengan bukti ini doang. Lo pulang, oke. Tapi apa buktinya lo gak ngelakuin apa-apa di luar?”Kai menghela napas panjang, tubuhnya terjatuh lemas di sofa. “Iya, Bang. Gue tahu. Rekaman ini gak bisa buktiin apa-apa. Tapi kalau Lana mulai ngarang waktu, ini bisa bantu gue—setidaknya sedikit.”Banyu menutup laptopnya dengan bunyi klik pelan. Pandangannya tajam, tapi tak terbaca. “Kai, sekarang tes DNA bisa dilakuin mulai tujuh minggu pakai darah ibunya. Gue yakin itu lebih berguna dari rekaman ini.”Kai mengangguk perlahan. “Nanti gue udah jadwalin. Dokt
Kai dan Sera berdiri di depan klinik. Langit mendung semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hati mereka. Lana sudah pergi lebih dulu dengan ekspresi puas yang menghantui Kai.“Ra,” Kai membuka suara pelan, memandangi istrinya yang menatap kosong ke depan. “Aku tau ini berat buat kamu, tapi... aku butuh kamu percaya sama aku.”Sera mendengus kecil, menoleh padanya. Matanya berkaca-kaca, tapi ada dingin yang menusuk di balik tatapannya. “Percaya?” katanya dengan nada rendah. “Mas, kamu tau gimana aku nggak bisa tidur beberapa hari ini mikirin Lana, dan sekarang dia bilang usia kandungannya cocok sama waktu kamu ada di New York? Gimana aku bisa percaya? Dari mana aku harus punya rasa percaya diri untuk membela kamu?”Kai mendekat, berusaha menggenggam tangan Sera, tapi dia menghindar. “Ra, tolong dengar aku. aku nggak inget ada hal yang terjadi di antara aku dan Lana. Malam itu, aku cuma kerja, lalu pulang. Kalau pun ada yang Lana bilang... aku nggak sadar, Ser. aku nggak akan perna
Sinar matahari pagi menerangi ruang tamu rumah megah keluarga Adnan. Sera duduk di hadapan ibu mertuanya, mengenakan pakaian kasual tapi tetap anggun dengan perut yang tampak menyembul. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru saja disuguhkan oleh seorang pelayan. Diani, yang duduk di seberangnya, tersenyum hangat. “Kamu kelihatan lebih lelah dari biasanya, Nak. Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?” Sera menundukkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kekalutan di hatinya. Namun, senyum tipis tetap ia paksakan. “Tidak apa-apa, Bu. Cuma... Mama baru sembuh, dan aku merasa harus lebih sering menghabiskan waktu sama Mama.” Diani mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya di sofa. “Jadi, kamu mau ke rumah Mamamu?”“Ibu pasti, bakal kangen. Rumah ini akan lebih sepi gak ada kamu dan Kai.”Pernyataan Ibunya membuat Sera terdiam, ia tidak mungkin bilang bahwa ia akan pulang sendiri.“Sera, Ibu pasti kangen banget sama kamu. Berapa lama rencananya kamu di sana?”Sera mengangkat wajahny
Matahari pagi menerobos masuk melalui jendela besar ruang makan. Meja makan yang elegan telah diisi dengan berbagai hidangan, tetapi suasana di sana jauh dari hangat. Sera duduk di kursinya, menyendok bubur pelan sambil sesekali menghela nafas. Sementara itu, Elli, kakaknya yang baru datang dari lantai atas, langsung duduk dengan tatapan tajam ke arah Sera. Rambutnya masih basah, tampaknya baru selesai mandi, tapi sikapnya sama dinginnya seperti biasanya. “Jadi, Lo balik ke rumah ini? Sendirian?” Elli membuka percakapan dengan nada sindiran yang menusuk. Ia tidak menunggu balasan Sera, langsung melanjutkan, “Lo mau apa lagi?”Sera meletakkan sendoknya perlahan, mencoba menjaga ketenangan. Ia tahu Elli selalu memiliki rasa tidak suka padanya, meski ia sendiri tidak pernah mengerti alasannya. “Aku cuma mau nemenin Mama. Itu aja,” jawab Sera lembut, berusaha tidak memancing amarah. Elli mendengus. “Nemenin Mama? Atau Lo cuma mau memastikan kalau Lo bakalan dapat bagian dari wari
Kai baru saja memasuki rumah sakit ketika ponselnya bergetar. Nama Sera tertera di layar. Ia mengangkat panggilan itu dengan cepat.“Aku udah di rumah sakit,” kata Kai langsung. “Kamu di mana?”Suara Sera terdengar pelan. “Aku masih di jalan dengan Mama. Mas, tolong masuk dulu. Katanya Papa terus manggil nama kamu. Aku gak tahu gimana ceritanya, padahal Papa kemarin masih koma kata Mama dan bahkan gak bisa respon kami semua. Mas pasti tau kan? Kayaknya Papa mau ngomong sesuatu sama, Mas.”Kai mengangguk meskipun tahu Sera tak bisa melihatnya. “Aku masuk sekarang.”Setelah memutus sambungan telepon, Kai langsung menuju ruang ICU. Seorang perawat mengantarnya masuk setelah dokter mengizinkan.Dani terbaring di ranjang, wajahnya terlihat sangat lemah. Matanya terbuka sedikit saat mendengar suara langkah Kai mendekat.“Kai...” suara Dani serak, hampir tidak terdengar.Pria itu terkejut. Papa mertuanya yang hampir tiga bulan ini dinyatakan koma kini bisa membuka matanya bahkan memanggil na
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.