Sera dengar semuanya. Setelah semua orang meninggalkan kamar, keheningan menyeruak, menyisakan hanya seorang wanita yang berbaring diam dengan mata terpejam. Namun, meski kelopak matanya tetap tertutup, air mata perlahan mengalir di pipinya, tak lagi mampu ia tahan. Sesekali, pundaknya bergetar menahan isak yang tak berani ia lepaskan.Di tengah keheningan yang begitu menyakitkan, pikirannya dipenuhi keraguan yang menyiksa. ‘Ya Tuhan, apakah permintaanku ini sudah benar?’ Hatinya terbelah, di antara harapan dan keputusasaan yang berselang-seling. ‘Apakah aku egois jika ingin semuanya berakhir? Tapi aku lelah sekali. Kalau semuanya tidak berakhir apa ada jaminan, Mas Kai berubah?’ Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, berkecamuk tanpa henti, seperti badai yang menghantam bertubi-tubi di dalam kepalanya.Sakit yang begitu menekan menjalar di kepalanya, membuatnya seolah kehilangan daya. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan guncangan di dadanya. Tiba-tiba, dalam keh
“Maaf ya, Bu. Aku jadi gak bisa nganterin Ibu ketemu Papa,” ujar Kai, suaranya terdengar jelas di telinga Sera yang terjaga di atas brankar. Di sudut ruangan, Suami dan Ibu mertuanya duduk berjarak di sofa.Meskipun mereka berbicara pelan, Sera tetap dapat mendengar dengan jelas.“Gak apa-apa. Yang penting sekarang kesehatan Sera dan cucu Ibu. Bagaimana keadaannya? Dia sudah lebih baik, kan? Apa kata dokter?” tanya Ibu mertua dengan nada penuh perhatian.“Sera baik-baik saja, Bu. Sebentar lagi kami akan ke dokter, buat USG,” jawab Kai.“Apa sudah bisa dilihat jenis kelaminnya?”Kai menggeleng pelan. “Belum tahu, Bu. Nanti aku akan tanya ke dokter.”Diani menghela napas panjang, kemudian menggenggam tangan anaknya erat. “Nanti kalau Sera sudah sehat, antar Ibu ke makam ya. Kita ziarah bersama. Sera pasti belum kenal dengan keluarga lain, kan? Sama Kakakmu dan Mama yang lain?”Kai mengangguk. Pikirannya melayang, menyadari bahwa memang banyak hal tentang keluarganya yang belum diketahui
“Selamat pagi, Ibu Sera, Pak Kai,” sapa dokter, sambil tersenyum hangat. “Bagaimana kabar Ibu Sera hari ini? Sudah baikan?”“Baik, Dok. Hanya saja… belum terbiasa ada yang bergerak di dalam perut, Dok. Jadi terkadang saya terkejut sendiri” jawab Sera dengan kekehan kecil. “Wajar, Bu. Apalagi ini sudah mulai mau masuk pertengahan trimester dua. Bayinya juga, sepertinya besar ya,” ujar dokter sambil memeriksa tekanan darah Sera. “Jadi, Ibu harus jaga kesehatan dan istirahat yang cukup ya. Jangan banyak pikiran, jangan stres berlebihan.”Senyum Sera sedikit meluntur, tapi ia mengangguk saja.Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, dokter mulai melakukan prosedur USG. Sebagai tindakan awal, gel dingin diratakan di atas perut Sera, disusul.dengan alat yang sedikit besar, berguna untuk mengambil gambar dari dalam perut Sera. “Nah, ini bayinya, Pak, Bu,” ujar dokter, sambil menunjukkan gambar bayi di layar monitor. “Udah hampir sempurna. Ini kaki, di tangannya.”Dokter terus memberika
Bagaimana rasanya menjadi wanita yang hanya dipandang saat orang lain memerlukan sesuatu? Dianggap penting hanya ketika seseorang ingin memenuhi hasratnya? Sera merasakannya setiap hari. Benar, pernikahan memang bisa menghalangi dosa—menyatukan pasangan agar terhindar dari hal-hal yang tak baik. Namun, bukankah hidup ini lebih dari sekadar melepaskan hasrat semata?Sera mulai muak. Tubuhnya yang ringkih harus menahan rasa sakit akibat kehamilan, terlebih janin yang dikandungnya makin terasa berat dan membuatnya letih. Belum lahir, dokter sudah bilang bahwa gadis kecilnya itu akan mewarisi genetik ayahnya yang tinggi. tentu saja Sera tahu, itu akan berat. Tetapi, pria itu—ayah dari anak dalam kandungannya—malah mengeluhkan rasa lelahnya sendiri. Di tengah ketidakpedulian suaminya, Sera merasa dipaksa menghadapi segalanya sendirian, bahkan ketika tubuh dan batinnya semakin terkuras.Memahami perasaan Kai, suaminya, bukanlah perkara mudah. Terkadang ia merasa begitu dicintai, namun di
Suara heels setinggi tujuh senti menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian banyak orang di lobi perkantoran itu. Sepasang kaki jenjang dalam balutan kemeja rapi itu menyita pandangan siapa pun yang lewat. Wanita cantik bak bintang film Hollywood itu melangkah dengan penuh percaya diri, membuat semua mata tertuju padanya.Keluarga besar Adnan memang terkenal akan pesona dan keanggunannya. Setiap kali salah satu dari mereka muncul, tak ada yang mampu mengalihkan perhatian. Namun, dia tak pernah di kenali dalam keluarga Adnan. Sosok wanita ini pun langsung menghidupkan suasana di lobi. "Halo, saya Lana dari kantor cabang New York. Bisakah saya bertemu dengan Tuan Kai?" tanyanya dengan ramah namun tegas kepada dua petugas concierge.Salah satu dari mereka segera tersenyum sopan dan menanggapi, "Apa Anda sudah membuat janji?"“Belum. Tapi bisakah Anda menanyakan apakah saya bisa menemuinya atau tidak?” Lana bertanya dengan ekspresi tenang, namun sorot matanya terlihat mantap."Silak
“Awalnya mungkin tidak baik, Sera. Tapi, Tuhan tahu umatnya yang mana yang berusaha. Ibu yakin, baik kamu dan Kai sudah berusaha. Maaf kalau misalnya usaha Kai kurang maksimal. Tapi, Ibu yakin. Sangat yakin kalau anak ibu itu juga sedang mengusahakan yang terbaik. Jangan lelah dulu ya, Ra. Ibu, mohon.”Sera hanya diam. Permintaan itu terdengar tulus dari seorang wanita yang harus kehilangan suaminya hanya demi menemui menantunya di rumah sakit.Perasaan bersalah masih menghinggapi hatinya. Seandainya hari itu Sera tidak perlu kabur dan meminta cerai saja, mungkin tidak akan panjang begini urusannya. Tidak ada Papanya yang harus kembali mengalami masalah jantung, tidak juga ibunya yang harus terkena stroke.Apalagi, Ibu dan Papa mertuanya harus mengalami kecelakaan tragis itu.“Apa arti kata seandainya, kalau semuanya tidak bisa di ulang, Ra.” “Sera tersenyum kecut. Bingo! Ibu mertuanya memang seperti cenayang, tahu apa yang ada di pikirannya.“Semuanya sudah takdir. kalau sudah begitu
Elli masuk ke dalam kamar dan menemukan Mamanya yang memang sedikit membaik, sedang menatapnya. Tangan dan kakinya sudah kembali ke posisi semula, meski bicara masih belum sempurna.Terapi yang dijalaninya sedikit membuahkan hasil. Elli tahu, ini semua berkat perawat yang menjaga Mama dan Papanya secara bergantian. Semua fasilitas yang diberikan keluarga Adnan memang tidak main-main, hingga kesembuhan ibunya terasa lebih cepat dari umumnya.Tidak ada alasan ia harus marah pada Sera, karena meskipun semua ini ulah Sera, anak itu tetap bertanggung jawab penuh meski jarang datang.Tapi, Elli merasa tidak puas. Sebagai anak pertama adiknya itu terlalu merasa di atas angin. Anak yang nilainya pas-pasan dan lebih banyak membuat malu orang tua itu, rasanya tampak bersinar hanya karena menikahi pria kaya. Sedangkan dirinya yang berusaha mati-matian pun, masih tidak menghasilkan apapun.“Mama cari anak mama yang selalu Mama banggakan itu?” ucap Elli dengan nada ketus, tak mampu menahan kekecew
Wanita yang tampak jauh lebih tua dari usianya itu duduk lemah. Sakit yang ia derita selama dua bulan terakhir menggerogoti tubuhnya, membuatnya kurus dan pucat. Matanya yang lelah bertemu tatap dengan putri bungsunya yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Mama…” suara lirih Sera terdengar, dan tanpa menunggu, ia langsung menghambur ke pelukan ibunya. Wanita itu mendekap putrinya erat dan mengecup keningnya berulang kali. "Maafin Mama, Ra... Maafin Papa."Tangis Sera pecah, isaknya tertahan di bahu ibunya. “Sera yang harus minta maaf, Ma… Sera yang bikin Mama dan Papa jadi begini…” katanya dengan bahu yang bergetar hebat.Kai, berdiri tak jauh, memperhatikan dengan tatapan tak terbaca. Ia ingin mendekat dan menenangkan istrinya, namun tatapan tajam Fara—ibu mertuanya—membuatnya berhenti sejenak. Mata Fara memancarkan ketidaksukaan yang begitu jelas. Namun, Kai tak acuh dan memilih untuk mendekat, menyeret kursi untuk Sera dan menuntunnya duduk, lalu perlahan menyeka air mata
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.