“Awalnya mungkin tidak baik, Sera. Tapi, Tuhan tahu umatnya yang mana yang berusaha. Ibu yakin, baik kamu dan Kai sudah berusaha. Maaf kalau misalnya usaha Kai kurang maksimal. Tapi, Ibu yakin. Sangat yakin kalau anak ibu itu juga sedang mengusahakan yang terbaik. Jangan lelah dulu ya, Ra. Ibu, mohon.”Sera hanya diam. Permintaan itu terdengar tulus dari seorang wanita yang harus kehilangan suaminya hanya demi menemui menantunya di rumah sakit.Perasaan bersalah masih menghinggapi hatinya. Seandainya hari itu Sera tidak perlu kabur dan meminta cerai saja, mungkin tidak akan panjang begini urusannya. Tidak ada Papanya yang harus kembali mengalami masalah jantung, tidak juga ibunya yang harus terkena stroke.Apalagi, Ibu dan Papa mertuanya harus mengalami kecelakaan tragis itu.“Apa arti kata seandainya, kalau semuanya tidak bisa di ulang, Ra.” “Sera tersenyum kecut. Bingo! Ibu mertuanya memang seperti cenayang, tahu apa yang ada di pikirannya.“Semuanya sudah takdir. kalau sudah begitu
Elli masuk ke dalam kamar dan menemukan Mamanya yang memang sedikit membaik, sedang menatapnya. Tangan dan kakinya sudah kembali ke posisi semula, meski bicara masih belum sempurna.Terapi yang dijalaninya sedikit membuahkan hasil. Elli tahu, ini semua berkat perawat yang menjaga Mama dan Papanya secara bergantian. Semua fasilitas yang diberikan keluarga Adnan memang tidak main-main, hingga kesembuhan ibunya terasa lebih cepat dari umumnya.Tidak ada alasan ia harus marah pada Sera, karena meskipun semua ini ulah Sera, anak itu tetap bertanggung jawab penuh meski jarang datang.Tapi, Elli merasa tidak puas. Sebagai anak pertama adiknya itu terlalu merasa di atas angin. Anak yang nilainya pas-pasan dan lebih banyak membuat malu orang tua itu, rasanya tampak bersinar hanya karena menikahi pria kaya. Sedangkan dirinya yang berusaha mati-matian pun, masih tidak menghasilkan apapun.“Mama cari anak mama yang selalu Mama banggakan itu?” ucap Elli dengan nada ketus, tak mampu menahan kekecew
Wanita yang tampak jauh lebih tua dari usianya itu duduk lemah. Sakit yang ia derita selama dua bulan terakhir menggerogoti tubuhnya, membuatnya kurus dan pucat. Matanya yang lelah bertemu tatap dengan putri bungsunya yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Mama…” suara lirih Sera terdengar, dan tanpa menunggu, ia langsung menghambur ke pelukan ibunya. Wanita itu mendekap putrinya erat dan mengecup keningnya berulang kali. "Maafin Mama, Ra... Maafin Papa."Tangis Sera pecah, isaknya tertahan di bahu ibunya. “Sera yang harus minta maaf, Ma… Sera yang bikin Mama dan Papa jadi begini…” katanya dengan bahu yang bergetar hebat.Kai, berdiri tak jauh, memperhatikan dengan tatapan tak terbaca. Ia ingin mendekat dan menenangkan istrinya, namun tatapan tajam Fara—ibu mertuanya—membuatnya berhenti sejenak. Mata Fara memancarkan ketidaksukaan yang begitu jelas. Namun, Kai tak acuh dan memilih untuk mendekat, menyeret kursi untuk Sera dan menuntunnya duduk, lalu perlahan menyeka air mata
Fara duduk sambil menyesap air hangat di tangannya. Irama detak jantung itu bagai musik yang mengalun memenuhi indera pendengarannya. Wanita itu kemudian memasuki ruangan suaminya dan duduk di sampingnya.“Bukannya sakit hidup seperti ini, Dan.” Fara menatap suaminya sendu. Pria yang entah sejak kapan berubah menjadi kasar dan penuh ambisi itu, sudah lama sosok Dani yang penyayang itu di rindukan Fara. Berharap suaminya berubah seperti saat awal-awal mereka menikah, tapi rasanya mustahil.“Pergilah, Dan. Anak-anak akan baik-baik saja denganku. Ikhlaskan. Kamu memangnya tidak ingin tidur dengan damai? Semuanya ini pasti menyakitkan dan melelahkan kan, Dan?”Fara bukannya tidak ingin suaminya itu bangun, tapi rasanya setelah mendengar penjelasan dokter, keadaan Dani yang tak akan sempurna seperti sebelumnya pasti akan membuat pria ini akan semakin tertekan.Fara mengingat hari dimana ia mengatakan bagaimana kondisi Sera setelah tidak pulang semalaman.“Aku sudah bilang, didik anak-ana
Sera kembali ke rumah yang seperti sangkar emas baginya. Penuh kemewahan tapi membuat hatinya hampa.Halaman yang luas itu, memang asri karena ditumbuhi dengan bunga yang ditanam atas perintah ibu mertuanya.Perasaan dingin yang menyeruak itu perlahan menghangat saat tangan besar terasa memenuhi sela jemarinya yang kosong. Pria di sampingnya bahkan sudah memberikan senyum kecil di sudut bibirnya.‘Ini benar Mas Kai? Rasanya kayak mimpi.’ Hatinya masih bergolak sesekali ketika mendapati perlakuan berbeda Kai.Pria itu banyak berubah sejak menemui Mamanya. Bahkan, pria itu kini menarik tangannya lembut.Di pintu, Diani sudah merentangkan tangannya, seolah ia sudah siap menyambut Sera.“Ibu, kangen banget sama kamu, Ra.” Pelukan Diani erat. Wanita itu tulus mengatakannya karena ia memang kesepian di rumah besar peninggalan orang tua Samudera itu.Sera tersenyum, “Sera juga kangen jalan-jalan sama Ibu.”Wanita itu mengurai pelukannya lalu membenarkan anak-panak rambut Sera, “mulai sekaran
Sera menatap kolam renang yang tersaji di depan jendela kamarnya. Rasanya menenangkan melihat air biru itu bergerak mengikuti angin.Tiba-tiba sebuah tangan sudah memeluknya dan mengusap perutnya lembut. Lehernya pun terasa hangat karena sapuan halus nafas pria yang kini sudah membenamkan wajahnya di ceruk leher Sera.Geli, tapi Sera membiarkannya. Sera menyukai aroma menenangkan pria di belakangnya. Aroma yang selalu menenangkannya itu sempat menghilang sehingga membuatnya gelisah di banyak waktu.Pria itu kemudian mengecup tengkuknya sebelum mengecup pipi Sera.“Ra, aku janji mau berubah. Jangan bilang kalimat itu lagi, ya?” tanya Kai dengan suara yang masih saja datar, tapi terdengar hangat di telinga Sera.“Tergantung. Kalau kamu nyuekin aku lagi, aku gak pakai ngomong, Mas. Aku kabur langsung aja.”Kai segera membalik istrinya dan menatapnya dalam. “Coba aja, aku pastikan kamu nyesel.”Sera mencebik, “kamu yang akan nyesel, Mas. Hidupmu gak akan tenang memperlakukan aku kayak git
Ketiganya kini sudah berada di pemakaman yang memiliki fasilitas cukup bagus.Diani menghela nafasnya panjang. Sudah lama dia tidak lagi menginjakkan kaki di sana. Beberapa tahun ke belakang, ia bahkan belum pernah mengunjungi saudaranya yang sudah lebih dulu pergi.Kini, sepertinya ia akan lebih sering datang ke sana. Menemui pujaan hatinya yang pergi lebih dulu.“Ayo, Bu.” Ajakan Kai itu disertai dengan tangan yang sudah menggamit mesra tangan sang Ibu. Menantunya juga sudah merangkul lengannya, seolah ikut memberikan ketenangan pada Diani yang lututnya terasa bergetar. Kepercayaan dirinya untuk menemui suaminya memudar.Otaknya seolah menolak kenyataan bahwa suaminya itu telah tiada. Langkah kecilnya terhenti sempurna saat dari jauh ia melihat batu nisan baru di makam yang dulu beberapa kali dikunjunginya.Air matanya tak lagi bisa dibendung. Meski tak bersuara, air mata itu sudah menganak sungai. Pertahanan diri Diani roboh. Setelah dekat, wanita itu segera memeluk gundukan tan
Kai terdiam di sudut ranjang. Matanya melihat ke arah karpet dengan tatapan kosong.Sera yang baru saja mandi untuk menghilangkan rasa lengket karena banyak berkeringat selama beraktivitas di luar, menghentikan langkahnya. Ia melihat suaminya itu kembali tidak bersemangat.Sosoknya menjelma menjadi Kai yang seperti biasanya, diam dan tidak banyak bicara. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi semenjak kepulangan mereka dari makam. SIfat Kai seolah berubah ke setelan awal saat bersama Sera.Sera memberanikan diri untuk mendekat, setidaknya kini ia sudah tidak lagi menjadi Sera yang hanya mau menerima dan diam saat suaminya menganggap dirinya tak ada.“Mas,” sapa Sera dengan tepukan di pundak pria itu.Kai tampak melihat ke arah istrinya dan tersenyum manis. “Sudah harum. Segar?”Sera mengangguk saja.Kai pun memeluk istrinya dan menyandarkan kepalanya di perut buncit sang istri. Pria itu tampak menghela nafas sesekali.“Kenapa, Mas?”Kai menggeleng.“Mas ingat almarhum Papa?” ucap Sera
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama