Kai terdiam di sudut ranjang. Matanya melihat ke arah karpet dengan tatapan kosong.Sera yang baru saja mandi untuk menghilangkan rasa lengket karena banyak berkeringat selama beraktivitas di luar, menghentikan langkahnya. Ia melihat suaminya itu kembali tidak bersemangat.Sosoknya menjelma menjadi Kai yang seperti biasanya, diam dan tidak banyak bicara. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi semenjak kepulangan mereka dari makam. SIfat Kai seolah berubah ke setelan awal saat bersama Sera.Sera memberanikan diri untuk mendekat, setidaknya kini ia sudah tidak lagi menjadi Sera yang hanya mau menerima dan diam saat suaminya menganggap dirinya tak ada.“Mas,” sapa Sera dengan tepukan di pundak pria itu.Kai tampak melihat ke arah istrinya dan tersenyum manis. “Sudah harum. Segar?”Sera mengangguk saja.Kai pun memeluk istrinya dan menyandarkan kepalanya di perut buncit sang istri. Pria itu tampak menghela nafas sesekali.“Kenapa, Mas?”Kai menggeleng.“Mas ingat almarhum Papa?” ucap Sera
Lana berdiri di depan kantor Kai, menunggu pria itu selesai dengan kesibukannya. Sudah berkali-kali ia mencoba menemui Kai, tapi selalu diakhiri dengan penolakan. Kali ini, ia berharap Kai akan berubah pikiran, mau bicara dengannya meski hanya sebentar. Namun, ketika pintu kantor terbuka dan Kai melihat Lana berdiri di sana, ekspresi wajahnya segera berubah dingin.“Lana, sebaiknya kamu pulang,” ujar Kai dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk perdebatan.“Tapi, Kai, kita belum selesai bicara… Aku hanya ingin meluruskan semuanya,” desak Lana, memandang Kai dengan harapan.Kai menarik napas dalam, berusaha sabar meski rasa jengkel perlahan menyeruak. "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Lana. Aku sudah memilih untuk fokus pada keluargaku. Datang seperti ini hanya akan membuat semuanya lebih rumit."Lana terdiam, menahan kekecewaan yang dalam. Tanpa sepatah kata lagi, Kai melangkah pergi, meninggalkan Lana yang berdiri terpaku dengan pandangan kosong. Setiap langkah yang diambi
Setelah percakapan tegang itu berakhir, Sera akhirnya tertidur lebih dulu setelah Kai berhasil menghujami Sera dengan banyak ciuman dan tanda cinta di lehernya.Kai, yang masih gelisah, terbaring di sampingnya dengan pikiran yang masih kusut. Semua masih terasa mengganjal, terutama bagaimana Sera bisa mendapatkan foto-foto dirinya bersama Lana. Dengan perlahan agar tidak membangunkan Sera, Kai mengambil ponsel istrinya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Saat membuka layar, pandangannya langsung tertuju pada daftar pesan terbaru—dan di situ, ia menemukan nama Lukas.Kai mengetuk obrolan itu dan melihat pesan terakhir dari Lukas yang berisi foto-foto pertemuannya dengan Lana, lengkap dengan pesan yang seolah memperingatkan Sera. Darah Kai mendidih seketika. "Jadi Lukas biang keroknya?" gumamnya dengan suara yang tertahan agar tidak membangunkan istrinya. Rasanya ia ingin segera menemui keponakannya malam itu juga, tetapi ia sendiri sudah kelelahan.Kai mengembalikan ponsel
Sera melangkah keluar dari ruangan Kai dengan langkah cepat, amarah masih membara di hatinya. Setelah percakapan dengan Raras yang menyinggungnya beberapa waktu lalu, pikirannya belum sepenuhnya tenang. Ia berjalan menuju lobi, berharap udara segar atau mungkin sepotong kue manis bisa sedikit mengalihkan rasa kesalnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok Lana di sudut lobi, duduk sendirian sambil memainkan ponselnya. Lana tampak begitu santai dan anggun, dengan senyum kecil yang mengembang di wajahnya seolah tanpa beban. Melihat wanita itu membuat amarah Sera seakan membara lagi, teringat akan masalah-masalah yang belakangan ini muncul karena nama Lana yang terus mengusik pikirannya.Sera berdecak sebal, “satu selesai, satu lagi datang. Nak, Mama kesal!” Adu Sera pada buah hatinya yang kini membuat efek tegang di rahimnya.Alih-alih mendekati Lana, Sera hanya memandanginya dari kejauhan. Dengan sikap dingin, ia memesan cokelat dingin dan sepotong kue dari bari
Sera menggenggam tangan Kai semakin erat, merasakan ketegangan yang mencekam di ruang rapat itu. Ia memandang suaminya dengan campuran rasa bingun dan tak percaya, sementara Kai menatap Lana dengan tatapan dingin seolah siap untuk membunuh.“Jangan membodohiku, Lana!” ujar Kai, suaranya rendah namun penuh ancaman. “Aku tahu pasti, aku tidak pernah menyentuhmu. Jangan berpikir kamu bisa memutarbalikkan fakta di hadapanku.”Lana mengangkat alisnya, tersenyum tipis yang terlihat sinis. “Kai, kamu sungguh yakin?” tanyanya, dengan nada suara lembut namun tajam. “Ingat malam itu, ketika kamu mabuk di acara perusahaan? Kamu mungkin sudah lupa, tapi aku tidak. Kamu bilang padaku betapa stresnya kamu, betapa kamu merasa dipojokkan oleh tekanan pekerjaan dan… Sera.” Lana melirik sekilas ke arah Sera, seolah ingin menambahkan lebih banyak luka.Kai mendengus, merasa amarahnya hampir tak terkendali. “Lana, jangan coba-coba gunakan itu sebagai alasan. Aku memang mabuk, tapi aku tahu betul batasank
Kai hanya bisa menatap punggung Sera yang bergerak dalam kesunyian, melakukan semua hal tanpa sepatah kata. Tidak ada suara perdebatan atau amarah. Kai merasa hampa, seperti ada kekosongan yang tidak bisa ia isi tanpa kehadiran Sera.Pagi itu, ia berharap setidaknya bisa memeluk istrinya—meminta pengertian, meski hanya dengan isyarat tanpa kata. Namun, saat ia mendekati Sera dan hendak menyentuhnya, wanita itu menjauh, menjaga jarak, lalu dengan suara yang nyaris berbisik, berkata, “Aku mau pulang ke rumah Mama untuk sementara.”Kalimat itu menghantam Kai. Dia tahu situasi ini sulit untuk Sera, tetapi melihat wanita yang dicintainya lebih memilih pergi meninggalkannya, bahkan tanpa berdebat, membuat dadanya terasa berat. Kai terdiam sejenak, tenggelam dalam pikiran. Janjinya kepada Fara, ibu mertuanya, terngiang kembali di benaknya.“Mama maafkan kali ini, Kai. Tapi jika suatu hari nanti Sera memutuskan untuk meninggalkanmu, Mama tidak akan ragu membawanya pergi. Mungkin hidupnya ti
Banyu memasukkan flash drive ke laptop dengan ekspresi serius, lalu memutar rekaman CCTV di layar. Rekaman itu menunjukkan Kai keluar dan masuk apartemen setiap hari dengan waktu yang tidak menentu, meskipun tampak seperti rutinitas biasa. Banyu menatap rekaman itu sejenak, kemudian menghela napas dan mengalihkan pandangannya kepada Kai.“Kai. Ini rekaman yang gue dapet,” kata Banyu, menunjuk layar laptop di depannya. “Lo gak bakal lolos dengan bukti ini doang. Lo pulang, oke. Tapi apa buktinya lo gak ngelakuin apa-apa di luar?”Kai menghela napas panjang, tubuhnya terjatuh lemas di sofa. “Iya, Bang. Gue tahu. Rekaman ini gak bisa buktiin apa-apa. Tapi kalau Lana mulai ngarang waktu, ini bisa bantu gue—setidaknya sedikit.”Banyu menutup laptopnya dengan bunyi klik pelan. Pandangannya tajam, tapi tak terbaca. “Kai, sekarang tes DNA bisa dilakuin mulai tujuh minggu pakai darah ibunya. Gue yakin itu lebih berguna dari rekaman ini.”Kai mengangguk perlahan. “Nanti gue udah jadwalin. Dokt
Kai dan Sera berdiri di depan klinik. Langit mendung semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hati mereka. Lana sudah pergi lebih dulu dengan ekspresi puas yang menghantui Kai.“Ra,” Kai membuka suara pelan, memandangi istrinya yang menatap kosong ke depan. “Aku tau ini berat buat kamu, tapi... aku butuh kamu percaya sama aku.”Sera mendengus kecil, menoleh padanya. Matanya berkaca-kaca, tapi ada dingin yang menusuk di balik tatapannya. “Percaya?” katanya dengan nada rendah. “Mas, kamu tau gimana aku nggak bisa tidur beberapa hari ini mikirin Lana, dan sekarang dia bilang usia kandungannya cocok sama waktu kamu ada di New York? Gimana aku bisa percaya? Dari mana aku harus punya rasa percaya diri untuk membela kamu?”Kai mendekat, berusaha menggenggam tangan Sera, tapi dia menghindar. “Ra, tolong dengar aku. aku nggak inget ada hal yang terjadi di antara aku dan Lana. Malam itu, aku cuma kerja, lalu pulang. Kalau pun ada yang Lana bilang... aku nggak sadar, Ser. aku nggak akan perna
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama