Sera kembali ke rumah yang seperti sangkar emas baginya. Penuh kemewahan tapi membuat hatinya hampa.Halaman yang luas itu, memang asri karena ditumbuhi dengan bunga yang ditanam atas perintah ibu mertuanya.Perasaan dingin yang menyeruak itu perlahan menghangat saat tangan besar terasa memenuhi sela jemarinya yang kosong. Pria di sampingnya bahkan sudah memberikan senyum kecil di sudut bibirnya.‘Ini benar Mas Kai? Rasanya kayak mimpi.’ Hatinya masih bergolak sesekali ketika mendapati perlakuan berbeda Kai.Pria itu banyak berubah sejak menemui Mamanya. Bahkan, pria itu kini menarik tangannya lembut.Di pintu, Diani sudah merentangkan tangannya, seolah ia sudah siap menyambut Sera.“Ibu, kangen banget sama kamu, Ra.” Pelukan Diani erat. Wanita itu tulus mengatakannya karena ia memang kesepian di rumah besar peninggalan orang tua Samudera itu.Sera tersenyum, “Sera juga kangen jalan-jalan sama Ibu.”Wanita itu mengurai pelukannya lalu membenarkan anak-panak rambut Sera, “mulai sekaran
Sera menatap kolam renang yang tersaji di depan jendela kamarnya. Rasanya menenangkan melihat air biru itu bergerak mengikuti angin.Tiba-tiba sebuah tangan sudah memeluknya dan mengusap perutnya lembut. Lehernya pun terasa hangat karena sapuan halus nafas pria yang kini sudah membenamkan wajahnya di ceruk leher Sera.Geli, tapi Sera membiarkannya. Sera menyukai aroma menenangkan pria di belakangnya. Aroma yang selalu menenangkannya itu sempat menghilang sehingga membuatnya gelisah di banyak waktu.Pria itu kemudian mengecup tengkuknya sebelum mengecup pipi Sera.“Ra, aku janji mau berubah. Jangan bilang kalimat itu lagi, ya?” tanya Kai dengan suara yang masih saja datar, tapi terdengar hangat di telinga Sera.“Tergantung. Kalau kamu nyuekin aku lagi, aku gak pakai ngomong, Mas. Aku kabur langsung aja.”Kai segera membalik istrinya dan menatapnya dalam. “Coba aja, aku pastikan kamu nyesel.”Sera mencebik, “kamu yang akan nyesel, Mas. Hidupmu gak akan tenang memperlakukan aku kayak git
Ketiganya kini sudah berada di pemakaman yang memiliki fasilitas cukup bagus.Diani menghela nafasnya panjang. Sudah lama dia tidak lagi menginjakkan kaki di sana. Beberapa tahun ke belakang, ia bahkan belum pernah mengunjungi saudaranya yang sudah lebih dulu pergi.Kini, sepertinya ia akan lebih sering datang ke sana. Menemui pujaan hatinya yang pergi lebih dulu.“Ayo, Bu.” Ajakan Kai itu disertai dengan tangan yang sudah menggamit mesra tangan sang Ibu. Menantunya juga sudah merangkul lengannya, seolah ikut memberikan ketenangan pada Diani yang lututnya terasa bergetar. Kepercayaan dirinya untuk menemui suaminya memudar.Otaknya seolah menolak kenyataan bahwa suaminya itu telah tiada. Langkah kecilnya terhenti sempurna saat dari jauh ia melihat batu nisan baru di makam yang dulu beberapa kali dikunjunginya.Air matanya tak lagi bisa dibendung. Meski tak bersuara, air mata itu sudah menganak sungai. Pertahanan diri Diani roboh. Setelah dekat, wanita itu segera memeluk gundukan tan
Kai terdiam di sudut ranjang. Matanya melihat ke arah karpet dengan tatapan kosong.Sera yang baru saja mandi untuk menghilangkan rasa lengket karena banyak berkeringat selama beraktivitas di luar, menghentikan langkahnya. Ia melihat suaminya itu kembali tidak bersemangat.Sosoknya menjelma menjadi Kai yang seperti biasanya, diam dan tidak banyak bicara. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi semenjak kepulangan mereka dari makam. SIfat Kai seolah berubah ke setelan awal saat bersama Sera.Sera memberanikan diri untuk mendekat, setidaknya kini ia sudah tidak lagi menjadi Sera yang hanya mau menerima dan diam saat suaminya menganggap dirinya tak ada.“Mas,” sapa Sera dengan tepukan di pundak pria itu.Kai tampak melihat ke arah istrinya dan tersenyum manis. “Sudah harum. Segar?”Sera mengangguk saja.Kai pun memeluk istrinya dan menyandarkan kepalanya di perut buncit sang istri. Pria itu tampak menghela nafas sesekali.“Kenapa, Mas?”Kai menggeleng.“Mas ingat almarhum Papa?” ucap Sera
Lana berdiri di depan kantor Kai, menunggu pria itu selesai dengan kesibukannya. Sudah berkali-kali ia mencoba menemui Kai, tapi selalu diakhiri dengan penolakan. Kali ini, ia berharap Kai akan berubah pikiran, mau bicara dengannya meski hanya sebentar. Namun, ketika pintu kantor terbuka dan Kai melihat Lana berdiri di sana, ekspresi wajahnya segera berubah dingin.“Lana, sebaiknya kamu pulang,” ujar Kai dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk perdebatan.“Tapi, Kai, kita belum selesai bicara… Aku hanya ingin meluruskan semuanya,” desak Lana, memandang Kai dengan harapan.Kai menarik napas dalam, berusaha sabar meski rasa jengkel perlahan menyeruak. "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Lana. Aku sudah memilih untuk fokus pada keluargaku. Datang seperti ini hanya akan membuat semuanya lebih rumit."Lana terdiam, menahan kekecewaan yang dalam. Tanpa sepatah kata lagi, Kai melangkah pergi, meninggalkan Lana yang berdiri terpaku dengan pandangan kosong. Setiap langkah yang diambi
Setelah percakapan tegang itu berakhir, Sera akhirnya tertidur lebih dulu setelah Kai berhasil menghujami Sera dengan banyak ciuman dan tanda cinta di lehernya.Kai, yang masih gelisah, terbaring di sampingnya dengan pikiran yang masih kusut. Semua masih terasa mengganjal, terutama bagaimana Sera bisa mendapatkan foto-foto dirinya bersama Lana. Dengan perlahan agar tidak membangunkan Sera, Kai mengambil ponsel istrinya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Saat membuka layar, pandangannya langsung tertuju pada daftar pesan terbaru—dan di situ, ia menemukan nama Lukas.Kai mengetuk obrolan itu dan melihat pesan terakhir dari Lukas yang berisi foto-foto pertemuannya dengan Lana, lengkap dengan pesan yang seolah memperingatkan Sera. Darah Kai mendidih seketika. "Jadi Lukas biang keroknya?" gumamnya dengan suara yang tertahan agar tidak membangunkan istrinya. Rasanya ia ingin segera menemui keponakannya malam itu juga, tetapi ia sendiri sudah kelelahan.Kai mengembalikan ponsel
Sera melangkah keluar dari ruangan Kai dengan langkah cepat, amarah masih membara di hatinya. Setelah percakapan dengan Raras yang menyinggungnya beberapa waktu lalu, pikirannya belum sepenuhnya tenang. Ia berjalan menuju lobi, berharap udara segar atau mungkin sepotong kue manis bisa sedikit mengalihkan rasa kesalnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok Lana di sudut lobi, duduk sendirian sambil memainkan ponselnya. Lana tampak begitu santai dan anggun, dengan senyum kecil yang mengembang di wajahnya seolah tanpa beban. Melihat wanita itu membuat amarah Sera seakan membara lagi, teringat akan masalah-masalah yang belakangan ini muncul karena nama Lana yang terus mengusik pikirannya.Sera berdecak sebal, “satu selesai, satu lagi datang. Nak, Mama kesal!” Adu Sera pada buah hatinya yang kini membuat efek tegang di rahimnya.Alih-alih mendekati Lana, Sera hanya memandanginya dari kejauhan. Dengan sikap dingin, ia memesan cokelat dingin dan sepotong kue dari bari
Sera menggenggam tangan Kai semakin erat, merasakan ketegangan yang mencekam di ruang rapat itu. Ia memandang suaminya dengan campuran rasa bingun dan tak percaya, sementara Kai menatap Lana dengan tatapan dingin seolah siap untuk membunuh.“Jangan membodohiku, Lana!” ujar Kai, suaranya rendah namun penuh ancaman. “Aku tahu pasti, aku tidak pernah menyentuhmu. Jangan berpikir kamu bisa memutarbalikkan fakta di hadapanku.”Lana mengangkat alisnya, tersenyum tipis yang terlihat sinis. “Kai, kamu sungguh yakin?” tanyanya, dengan nada suara lembut namun tajam. “Ingat malam itu, ketika kamu mabuk di acara perusahaan? Kamu mungkin sudah lupa, tapi aku tidak. Kamu bilang padaku betapa stresnya kamu, betapa kamu merasa dipojokkan oleh tekanan pekerjaan dan… Sera.” Lana melirik sekilas ke arah Sera, seolah ingin menambahkan lebih banyak luka.Kai mendengus, merasa amarahnya hampir tak terkendali. “Lana, jangan coba-coba gunakan itu sebagai alasan. Aku memang mabuk, tapi aku tahu betul batasank
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.