Share

Bab 45.

Author: Ahgisa
last update Last Updated: 2024-11-04 21:31:46

Lila terkejut ketika melihat Lana berada di depan pintu rumahnya.

“Lana? Kamu kapan datang?”

Lana tersenyum tipis, “ini kejutan.”

“Masuklah,” ucap Lila yang segera membuka lebar pintu rumahnya.

Wanita itu tahu, bahwa Lana akan datang. Tapi Lila jelas tak tahu bahwa hari ini sahabat lamanya itu sudah sampai di Jakarta.

“Kapan kamu datang. Menginap dimana?”

“Kemarin. Aku menginap di hotel. Dekat sini,” ucap Lana yang kemudian segera masuk dan memeluk sahabatnya. ““Maafkan aku, La. Sepertinya semuanya jadi kacau gara-gara aku. Aku baru saja menemui ibu mertuamu untuk meminta maaf. Tadinya aku ragu mau mampir ke sini…”

Lila menghela nafas berat. Jujur saja, ia tak suka dengan apa yang terjadi, tapi Lana adalah sahabat lamanya dan yang paling banyak membantunya selama ia kesusahan beradaptasi di Amerika. Jadi ada kalanya, Lila seolah menolak kenyataan bahwa Lana menggoda adik iparnya. Mungkin saja, Sera salah paham.

Lila segera menggelengkan kepalanya, ia tidak mau merasa terikat dengan L
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Handayani
ihhh lana jadi jahat kok gitu sich! kai ngga pantas buat kamu... sebel ih dasar pelakor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 46.

    Sera tampak tertidur lelap, napasnya teratur di balik kelelahan yang terpancar di wajahnya. Diani, ibu mertuanya, masuk ke kamar dengan langkah lembut, lalu mendekati ranjang Sera dan menyeka peluh di dahinya tanpa ragu. Wanita itu merapikan selimut Sera, memastikan tubuhnya tetap hangat.Saat Kai membuka pintu kamar, ia menemukan ibunya tengah menyisir rambut panjang Sera dengan penuh kasih. “Bu, kenapa belum tidur?” bisik Kai.Diani menoleh, menatap anaknya dengan mata yang penuh keprihatinan dan kelembutan. “Ibu gak bisa tidur, Nak,” jawabnya perlahan. “Menantu Ibu sakit. Pasti berat buatnya, dan anakmu juga pasti merasa tidak nyaman.” Sambil tersenyum kecil, Diani meletakkan tangannya di atas perut Sera yang mulai membesar.Kai mendekati ranjang dan perlahan meletakkan saputangan yang telah ia basahi dan peras di kening Sera. Gerakannya lembut, penuh perhatian, membuat Diani yang menyaksikan dari dekat tersenyum kecil. Sungguh, selama ini ia mengira anaknya akan terus menjadi s

    Last Updated : 2024-11-05
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 47.

    Sera dengar semuanya. Setelah semua orang meninggalkan kamar, keheningan menyeruak, menyisakan hanya seorang wanita yang berbaring diam dengan mata terpejam. Namun, meski kelopak matanya tetap tertutup, air mata perlahan mengalir di pipinya, tak lagi mampu ia tahan. Sesekali, pundaknya bergetar menahan isak yang tak berani ia lepaskan.Di tengah keheningan yang begitu menyakitkan, pikirannya dipenuhi keraguan yang menyiksa. ‘Ya Tuhan, apakah permintaanku ini sudah benar?’ Hatinya terbelah, di antara harapan dan keputusasaan yang berselang-seling. ‘Apakah aku egois jika ingin semuanya berakhir? Tapi aku lelah sekali. Kalau semuanya tidak berakhir apa ada jaminan, Mas Kai berubah?’ Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, berkecamuk tanpa henti, seperti badai yang menghantam bertubi-tubi di dalam kepalanya.Sakit yang begitu menekan menjalar di kepalanya, membuatnya seolah kehilangan daya. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan guncangan di dadanya. Tiba-tiba, dalam keh

    Last Updated : 2024-11-05
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 48.

    “Maaf ya, Bu. Aku jadi gak bisa nganterin Ibu ketemu Papa,” ujar Kai, suaranya terdengar jelas di telinga Sera yang terjaga di atas brankar. Di sudut ruangan, Suami dan Ibu mertuanya duduk berjarak di sofa.Meskipun mereka berbicara pelan, Sera tetap dapat mendengar dengan jelas.“Gak apa-apa. Yang penting sekarang kesehatan Sera dan cucu Ibu. Bagaimana keadaannya? Dia sudah lebih baik, kan? Apa kata dokter?” tanya Ibu mertua dengan nada penuh perhatian.“Sera baik-baik saja, Bu. Sebentar lagi kami akan ke dokter, buat USG,” jawab Kai.“Apa sudah bisa dilihat jenis kelaminnya?”Kai menggeleng pelan. “Belum tahu, Bu. Nanti aku akan tanya ke dokter.”Diani menghela napas panjang, kemudian menggenggam tangan anaknya erat. “Nanti kalau Sera sudah sehat, antar Ibu ke makam ya. Kita ziarah bersama. Sera pasti belum kenal dengan keluarga lain, kan? Sama Kakakmu dan Mama yang lain?”Kai mengangguk. Pikirannya melayang, menyadari bahwa memang banyak hal tentang keluarganya yang belum diketahui

    Last Updated : 2024-11-06
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 49.

    “Selamat pagi, Ibu Sera, Pak Kai,” sapa dokter, sambil tersenyum hangat. “Bagaimana kabar Ibu Sera hari ini? Sudah baikan?”“Baik, Dok. Hanya saja… belum terbiasa ada yang bergerak di dalam perut, Dok. Jadi terkadang saya terkejut sendiri” jawab Sera dengan kekehan kecil. “Wajar, Bu. Apalagi ini sudah mulai mau masuk pertengahan trimester dua. Bayinya juga, sepertinya besar ya,” ujar dokter sambil memeriksa tekanan darah Sera. “Jadi, Ibu harus jaga kesehatan dan istirahat yang cukup ya. Jangan banyak pikiran, jangan stres berlebihan.”Senyum Sera sedikit meluntur, tapi ia mengangguk saja.Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, dokter mulai melakukan prosedur USG. Sebagai tindakan awal, gel dingin diratakan di atas perut Sera, disusul.dengan alat yang sedikit besar, berguna untuk mengambil gambar dari dalam perut Sera. “Nah, ini bayinya, Pak, Bu,” ujar dokter, sambil menunjukkan gambar bayi di layar monitor. “Udah hampir sempurna. Ini kaki, di tangannya.”Dokter terus memberika

    Last Updated : 2024-11-06
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 50.

    Bagaimana rasanya menjadi wanita yang hanya dipandang saat orang lain memerlukan sesuatu? Dianggap penting hanya ketika seseorang ingin memenuhi hasratnya? Sera merasakannya setiap hari. Benar, pernikahan memang bisa menghalangi dosa—menyatukan pasangan agar terhindar dari hal-hal yang tak baik. Namun, bukankah hidup ini lebih dari sekadar melepaskan hasrat semata?Sera mulai muak. Tubuhnya yang ringkih harus menahan rasa sakit akibat kehamilan, terlebih janin yang dikandungnya makin terasa berat dan membuatnya letih. Belum lahir, dokter sudah bilang bahwa gadis kecilnya itu akan mewarisi genetik ayahnya yang tinggi. tentu saja Sera tahu, itu akan berat. Tetapi, pria itu—ayah dari anak dalam kandungannya—malah mengeluhkan rasa lelahnya sendiri. Di tengah ketidakpedulian suaminya, Sera merasa dipaksa menghadapi segalanya sendirian, bahkan ketika tubuh dan batinnya semakin terkuras.Memahami perasaan Kai, suaminya, bukanlah perkara mudah. Terkadang ia merasa begitu dicintai, namun di

    Last Updated : 2024-11-07
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 51.

    Suara heels setinggi tujuh senti menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian banyak orang di lobi perkantoran itu. Sepasang kaki jenjang dalam balutan kemeja rapi itu menyita pandangan siapa pun yang lewat. Wanita cantik bak bintang film Hollywood itu melangkah dengan penuh percaya diri, membuat semua mata tertuju padanya.Keluarga besar Adnan memang terkenal akan pesona dan keanggunannya. Setiap kali salah satu dari mereka muncul, tak ada yang mampu mengalihkan perhatian. Namun, dia tak pernah di kenali dalam keluarga Adnan. Sosok wanita ini pun langsung menghidupkan suasana di lobi. "Halo, saya Lana dari kantor cabang New York. Bisakah saya bertemu dengan Tuan Kai?" tanyanya dengan ramah namun tegas kepada dua petugas concierge.Salah satu dari mereka segera tersenyum sopan dan menanggapi, "Apa Anda sudah membuat janji?"“Belum. Tapi bisakah Anda menanyakan apakah saya bisa menemuinya atau tidak?” Lana bertanya dengan ekspresi tenang, namun sorot matanya terlihat mantap."Silak

    Last Updated : 2024-11-08
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 52.

    “Awalnya mungkin tidak baik, Sera. Tapi, Tuhan tahu umatnya yang mana yang berusaha. Ibu yakin, baik kamu dan Kai sudah berusaha. Maaf kalau misalnya usaha Kai kurang maksimal. Tapi, Ibu yakin. Sangat yakin kalau anak ibu itu juga sedang mengusahakan yang terbaik. Jangan lelah dulu ya, Ra. Ibu, mohon.”Sera hanya diam. Permintaan itu terdengar tulus dari seorang wanita yang harus kehilangan suaminya hanya demi menemui menantunya di rumah sakit.Perasaan bersalah masih menghinggapi hatinya. Seandainya hari itu Sera tidak perlu kabur dan meminta cerai saja, mungkin tidak akan panjang begini urusannya. Tidak ada Papanya yang harus kembali mengalami masalah jantung, tidak juga ibunya yang harus terkena stroke.Apalagi, Ibu dan Papa mertuanya harus mengalami kecelakaan tragis itu.“Apa arti kata seandainya, kalau semuanya tidak bisa di ulang, Ra.” “Sera tersenyum kecut. Bingo! Ibu mertuanya memang seperti cenayang, tahu apa yang ada di pikirannya.“Semuanya sudah takdir. kalau sudah begitu

    Last Updated : 2024-11-09
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 53.

    Elli masuk ke dalam kamar dan menemukan Mamanya yang memang sedikit membaik, sedang menatapnya. Tangan dan kakinya sudah kembali ke posisi semula, meski bicara masih belum sempurna.Terapi yang dijalaninya sedikit membuahkan hasil. Elli tahu, ini semua berkat perawat yang menjaga Mama dan Papanya secara bergantian. Semua fasilitas yang diberikan keluarga Adnan memang tidak main-main, hingga kesembuhan ibunya terasa lebih cepat dari umumnya.Tidak ada alasan ia harus marah pada Sera, karena meskipun semua ini ulah Sera, anak itu tetap bertanggung jawab penuh meski jarang datang.Tapi, Elli merasa tidak puas. Sebagai anak pertama adiknya itu terlalu merasa di atas angin. Anak yang nilainya pas-pasan dan lebih banyak membuat malu orang tua itu, rasanya tampak bersinar hanya karena menikahi pria kaya. Sedangkan dirinya yang berusaha mati-matian pun, masih tidak menghasilkan apapun.“Mama cari anak mama yang selalu Mama banggakan itu?” ucap Elli dengan nada ketus, tak mampu menahan kekecew

    Last Updated : 2024-11-09

Latest chapter

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   190 - S3 - END

    Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   189 - S3

    Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   188 - S3

    Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   187 - S3

    Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   186 - S3

    Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   185 - S3

    Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   184 - S3

    Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   183 - S3

    Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   182 - S3

    Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status