Sera tertegun saat mendengar suara Mamanya, Fara, dari seberang telepon. "Elli sedang merajuk," kata Fara dengan nada cemas. "Dia ingin pulang ke Indonesia. Katanya, hanya sebentar, untuk bertemu Abel. Setelah itu, dia berjanji tidak akan mengusik anak itu lagi. Tapi Raquel... Dia keberatan. Elli kan sedang hamil, dan kondisinya tidak pernah kuat setiap kali hamil."Sera menghela napas panjang, mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba ini. "Terus, Ma? Kak Raquel nggak ngijinin Kak Elli pulang 'kan?"Fara terdengar ragu sebelum menjawab, "Lebih dari itu, Sayang. Elli sudah mulai bertingkah. Dia bahkan bilang akan menggugurkan bayi itu kalau keinginannya tidak dituruti. Dia sudah berhenti minum vitamin kehamilan. Raquel bingung setengah mati. Tapi Elli nggak mau mendengar. Dia hanya ingin satu hal katanya… ketemu Abel."Sera menutup matanya, Sera merasa bersalah karena memberitahu keberadaan Abel di saat yang sepertinya kurang tepat. Ia tahu betapa Elli merindukan Abel. Selama ini, Sera
Di bawah pohon besar yang menaungi halaman sekolah, Abel duduk bersama Anna, menunggu jemputan mereka. Abel, yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba membuka pembicaraan."Anna," ucapnya pelan, "dimana tante yang kamu ceritakan itu tinggal? Tante yang menelpon waktu kita makan ayam sama Mama kamu."Anna menoleh, memiringkan kepala seolah berpikir. "Oh, Tante Elli? Dia tinggal di Belanda," jawabnya sambil tersenyum cerah. "Negaranya cantik, loh. Waktu aku pergi ke sana, bunga tulipnya lagi mekar. Aku suka banget!"Mata Abel menatap jauh ke depan, mendengarkan cerita Anna. "Apa kamu sering ke sana?" tanyanya.Anna mengangguk antusias. "Nggak sering, tapi setiap tahun pasti kami nyempetin ke Belanda! Aku senang sekali main di sana. Sepupuku Sheynina cantik banget. Kami suka main bareng. Raiden, adikku, juga senang main dengan Tobi, adik Sheynina. Mereka akrab sekali."Abel menunduk, mencengkeram buku di pangkuannya. "Sepertinya menyenangkan," gumamnya hampir tak terdengar."Memang menyena
Di malam yang sedikit dingin, Sera duduk di ruang keluarga sambil memandangi layar ponselnya. Pesan singkat dari Fara masih terpampang jelas dari layarnya.Mama : [Elli jadi berangkat lusa. Mama tidak bisa antar. Mama sudah ubah nama penumpangnya. Jangan lupa jemput mereka dan pastikan Elli bisa bertemu dengan Abel.]Sera menarik napas panjang. Meski cepat atau lambat keduanya akan bertemu, tapi rasanya masih asing bagi Sera untuk mempertemukan keduanya.Bukan karena Sera tidak ingin mempertemukan Abel dengan ibunya, tapi rasanya sesuatu memang seharusnya pada tempatnya hingga waktunya tepat. Waktu yang tepat adalah ketika Abel sudah bisa mengelola emosinya. Sudah bisa mengatur alur pikirnya.Lagi pula, ia rasa Lukas bukanlah ayah yang jahat. Dia mendidik Abel dengan baik dan sepertinya dia tidak kekurangan kasih sayang. Meskipun kepribadiannya cenderung pendiam, tapi Sera yakin tidak ada yang salah dengan Abel.Menanyakan soal Mama memang masalah, tapi ia rasa Abel bisa mengontrol em
Subuh itu, di sebuah kamar dengan pencahayaan redup, Nana melangkah masuk untuk memeriksa Abel sebelum memulai aktivitas paginya. Namun, ia terkejut melihat tubuh kecil itu menggigil hebat di bawah selimut. Wajah Abel tampak merah padam, dan napasnya terdengar berat. Ketika Nana menyentuh dahinya, suhu panas menyengat telapak tangannya."Abel!" serunya panik, menggoyangkan tubuh anak itu. Abel mengigau, menyebut kata-kata yang tak jelas. Nana segera keluar kamar dan berlari mencari Lukas.Lukas yang sedang terlelap di kamarnya langsung terbangun saat mendengar teriakan Nana. "Mas! Mas Lukas, Abel demam tinggi!" kata Nana dengan napas tersengal dengan air mata yang sudah menggantung di sudut matanya. Tanpa pikir panjang, Lukas segera berlari ke kamar Abel. Melihat kondisi putranya, ia langsung menggendong Abel dan bergegas ke mobil, diikuti Nana yang membawa tas kecil berisi barang penting.Di rumah sakit, Lukas duduk di samping ranjang Abel, matanya terus memperhatikan putranya yang
Abel membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tenggorokannya kering seperti padang pasir. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa menyilaukan, membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya. Saat matanya mulai fokus, ia melihat sosok Lukas yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Kepala ayahnya itu bersandar pada tangan yang masih menggenggam erat tangannya, seolah takut kehilangan Abel.pria kecil itu pun menatap ayahnya yang terlihat kelelahan, garis-garis di wajah Lukas menunjukkan betapa ia memikirkan banyak hal. Senyum kecil muncul di wajah Abel, meski tubuhnya masih terasa lemah. Dengan tangan kecilnya, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh rambut Lukas yang selalu harum di hidung Abel..Sentuhan lembut itu membangunkan Lukas. Matanya yang merah dan lelah langsung bertemu dengan tatapan sayu Abel. Lukas tertegun, melihat putranya tersenyum kecil meski wajah anak itu masih pucat. Dalam sekejap, perasaan bersalah kembali menghantam
Di tempat lain, Elli sedang duduk di ruang tunggu bandara, wajahnya tampak lelah namun ambisinya masih terlihat penuh. Di sebelahnya, Raquel duduk dengan tangan menyilang, ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Kamu benar-benar keras kepala, Ell,” ujar Raquel dingin. “Aku udah bilang, ini keputusan yang buruk. Kamu mempertaruhkan banyak hal, Ell. Termasuk hubungan kita.”Elli menoleh tajam ke arah suaminya. “Aku kira kamu mendukung aku, Kak. Aku pikir kamu juga mencintai Abel. Tapi ternyata, kamu bahkan nggak ingin aku ketemu anakku sendiri.”Raquel tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa maksud kamu, Ell? Kamu tahu aku selalu dukung kamu atas apapun. Kamu bilang apa? Aku gak sayang? Emang udah tujuh tahun berlalu El! Tapi aku inget gimana aku selalu nganggep dia anak aku sendiri. Aku sayang sama dia! Aku cuma–”“Cuma apa, Kak? Cuma mikirin diri kamu sendiri? Memikirkan keluarga kamu dan anak-anakmu? Dia anakku juga, Kak! Gak cuma Nina sama Tobi!” E
“Kenapa Mama ada di sini?”Citra menatapnya dengan ekspresi datar, namun nada suaranya tetap terkontrol. “Mama dengar cucu Mama sakit. Bagaimana mungkin Mama tidak datang?”Lukas menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. Selama bertahun-tahun terakhir, ia merasa jarak di antara mereka begitu jauh. Kehadiran wanita itu di sini, tiba-tiba, membuat Lukas bertanya-tanya.“Dari mana Mama tahu?” tanya Lukas akhirnya, suaranya masih terdengar kaku.“Mama punya sumber informasi, Lukas,” jawab Citra tanpa basa-basi. “Bawahanmu di kantor. Mereka melaporkan kalau kamu sedang izin beberapa hari ini di rumah sakit. Lalu Mama cari tahu lebih lanjut.”Lukas menghela napas, menundukkan kepalanya sejenak. Ia merasa jengkel, tapi juga tak bisa sepenuhnya marah. Ini ibunya, orang yang dulu selalu memastikan ia baik-baik saja, meski kini hubungannya tak lagi sehangat dulu.“jadi, Mama akhirnya mau menemui cucu Mama karena sakit?” tanya Lukas lagi, kali ini dengan nada lebih pelan. Senyumnya terlihat ge
Mobil hitam itu berhenti di depan gerbang sekolah dasar Annalie. Sera memandangi halaman sekolah yang mulai lengang setelah jam pulang. Sementara itu, Elli dan Raquel duduk dengan diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Sera menghela napas panjang, mencoba menyamankan suasana sebelum akhirnya berkata kepada supirnya, “Pak, tolong laporkan ke penjaga sekolah bahwa kita menjemput Annalie.”Supir itu pun mengangguk, lalu keluar dari mobil menuju pos penjaga. Tak lama setelahnya, gerbang kecil terbuka, dan sosok Annalie yang mungil berlari keluar dengan ransel kecil di punggungnya. Meski melihat Anna, tentu saja mata Elli masih berlarian mencari sosok yang ia ingin temui. Tapi nihil, sepertinya memang sekolah itu hanya bisa mengeluarkan siswanya jika anak tersebut sudah dijemput.Anna yang datang dengan wajah cemberut itu membuka pintu mobil namun langkahnya terhenti saat melihat siapa yang ada di dalam mobil.“Mama?” seru Anna, matanya melebar melihat ibunya di dal
Anna duduk di kursinya dengan wajah masam, menatap layar komputer yang menampilkan tabel data kepegawaian. Sesekali ia mendesah, bosan dengan tugas monoton yang ia kerjakan sejak pagi. Magang di Miracle Group, perusahaan milik keluarga besar Adnan - Candra, awalnya terdengar seperti pengalaman yang menyenangkan. Tapi kenyataannya, kehidupan magangnya tidak semudah yang ia bayangkan. Sebagai salah satu cucu dari keluarga besar Adnan, Anna seharusnya memiliki akses istimewa. Namun, ia sengaja menyembunyikan identitasnya. Itu adalah keputusan bersama keluarganya agar ia bisa merasakan bekerja tanpa perlakuan khusus.Sementara itu, Abel Candra, sepupunya, juga magang di perusahaan yang sama. Namun, kehadiran Abel sering kali menarik perhatian karena ketampanannya dan tentu saja, siapa yang tak tahu cucu tampan Tuan Jaden Arash Candra, sang pemimpin Miracle Group.Lima tahun terakhir anaknya kembali ikut memimpin Miracle Group, Lukas – ayah Abel. Tentu saja itu membuat Abel lebih sering
Di sebuah rumah kecil di pedesaan Belanda, Elli dan Raquel berdiri di ambang pintu, menikmati udara musim semi yang segar. Rumah mereka memang sederhana, tapi kehangatan cinta dan tawa anak-anak membuatnya terasa megah. Di halaman belakang, Sheynina dan Tobias saling mengejar dengan penuh keceriaan. Rambut panjang Sheynina yang mirip Elli berkibar-kibar dihembus angin, sementara Tobias tertawa lepas, menunjukkan sisi manisnya yang mulai tumbuh dewasa. Mata Elli tertuju pada kebun kecil di depan rumah, di mana bunga-bunga tulip mulai bermekaran. Warna-warni cerah itu mengingatkannya bahwa hidup selalu punya cara untuk memulihkan diri, meski sebelumnya terasa sulit. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Raquel, menikmati keheningan bersama. “Hidup kita mungkin nggak sempurna, Kak Raquel,” ucap Elli dengan suara lembut. “Tapi aku merasa tenang sekarang.” Raquel merangkul bahunya erat, memberikan rasa nyaman yang hanya ia temukan dari pria itu. “Itu yang terpenting, Sayang. Kita kemb
Elli turun dari taksi dengan langkah berat, wajahnya yang lelah terlihat jelas meski ia mencoba menyembunyikannya. Satpam rumah segera menyambutnya dengan penuh semangat. "Bu Elli! Ibu sudah pulang?" tanyanya dengan nada penuh perhatian. Elli hanya mengangguk kecil. "Iya, Pak. Terima kasih," jawabnya sebelum melangkah ke dalam. Satpam itu langsung berlari masuk ke rumah, mengabarkan bahwa Elli sudah kembali. Tak lama kemudian, Sera muncul dengan langkah tertatih, tangannya memegangi perutnya yang sudah membesar karena kehamilannya yang sudah masuk bulan ketujuh. “Kak Elli!” seru Sera dengan nada penuh emosi. “Kamu ke mana aja? Pergi gitu aja tanpa ngomong apa-apa! Aku sampai bingung.” Elli menatap adiknya, lalu menarik napas panjang sebelum berkata dengan suara datar, “Maaf, Ra. Aku cuma ingin memastikan sesuatu.” Sera memandang kakaknya dengan tatapan tajam. “Kamu tahu nggak, Kak? Kak Raquel sama Mas Kai nyusul kamu ke rumah sakit karena cerita Anna. Dia bilang kamu nanya
“Dia anakku, Luke! Aku berhak untuk ketemu dia. Yang misahin dia dari aku ‘kan kamu. Aku nggak mau berpisah sama dia. Jadi, itu hakku untuk bisa ketemu dia ‘kan?!” Lukas menghela napas panjang, sorot matanya tidak lagi setajam tadi. Kata-kata Elli seolah menusuk sisi hatinya yang rapuh. Ia tidak menjawab, hanya memalingkan wajahnya, tatapan dinginnya kini penuh pertimbangan. Dalam benaknya, ia teringat percakapan dengan sang ibu, yang menyebutkan bahwa cepat atau lambat, Abel akan mencari tahu kebenaran tentang ibunya. Tidak peduli sekeras apa Lukas mencoba melindunginya, anak itu tetap akan menginginkan jawaban.“Tunggu di sini,” kata Lukas akhirnya, nadanya datar namun tidak mengandung perlawanan seperti sebelumnya.Elli tidak menyangka bahwa semudah ini mengajak Lukas berdialog. Jika saja semudah ini, dari dulu, ia akan mencoba berkomunikasi dengan Lukas.Elli hanya belum tahu saja, banyak hal yang telah dilalui, sehingga pria itu kini sudah lebih lunak. Jika ia mencobanya sebel
Elli masih memandangi foto di tangan Anna ketika gadis kecil itu mulai bercerita.“Tante Elli, itu Abel,” kata Anna sambil menunjuk ke salah satu anak laki-laki di foto. “Dia temanku di sekolah. Itu yang aku cerita di mobil tadi. Aku mau kenalin dia ke Tante Elli sama Om Raquel. Tapi sekarang dia lagi sakit, katanya di rumah sakit.”Elli mengalihkan pandangannya dari foto ke Anna, rasa khawatir mulai merayap di hatinya. “Abel… sakit apa, Anna?” tanyanya, berusaha terdengar tenang.“Katanya demam,” jawab Anna polos. “Wali kelasku bilang mungkin karena perubahan cuaca. Makanya aku diingetin juga untuk jaga kesehatan. Mama juga ngingetin itu waktu ngobrol sama Pak Gino di mobil.”Hati Elli semakin tidak tenang. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Abel. Bagaimana keadaan anak itu sekarang? Apa dia baik-baik saja?Elli terdiam, dan Anna memanfaatkan momen itu untuk melanjutkan ceritanya. “Tante tahu nggak? Sebelum Abel sak
Mobil hitam itu berhenti di depan gerbang sekolah dasar Annalie. Sera memandangi halaman sekolah yang mulai lengang setelah jam pulang. Sementara itu, Elli dan Raquel duduk dengan diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Sera menghela napas panjang, mencoba menyamankan suasana sebelum akhirnya berkata kepada supirnya, “Pak, tolong laporkan ke penjaga sekolah bahwa kita menjemput Annalie.”Supir itu pun mengangguk, lalu keluar dari mobil menuju pos penjaga. Tak lama setelahnya, gerbang kecil terbuka, dan sosok Annalie yang mungil berlari keluar dengan ransel kecil di punggungnya. Meski melihat Anna, tentu saja mata Elli masih berlarian mencari sosok yang ia ingin temui. Tapi nihil, sepertinya memang sekolah itu hanya bisa mengeluarkan siswanya jika anak tersebut sudah dijemput.Anna yang datang dengan wajah cemberut itu membuka pintu mobil namun langkahnya terhenti saat melihat siapa yang ada di dalam mobil.“Mama?” seru Anna, matanya melebar melihat ibunya di dal
“Kenapa Mama ada di sini?”Citra menatapnya dengan ekspresi datar, namun nada suaranya tetap terkontrol. “Mama dengar cucu Mama sakit. Bagaimana mungkin Mama tidak datang?”Lukas menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. Selama bertahun-tahun terakhir, ia merasa jarak di antara mereka begitu jauh. Kehadiran wanita itu di sini, tiba-tiba, membuat Lukas bertanya-tanya.“Dari mana Mama tahu?” tanya Lukas akhirnya, suaranya masih terdengar kaku.“Mama punya sumber informasi, Lukas,” jawab Citra tanpa basa-basi. “Bawahanmu di kantor. Mereka melaporkan kalau kamu sedang izin beberapa hari ini di rumah sakit. Lalu Mama cari tahu lebih lanjut.”Lukas menghela napas, menundukkan kepalanya sejenak. Ia merasa jengkel, tapi juga tak bisa sepenuhnya marah. Ini ibunya, orang yang dulu selalu memastikan ia baik-baik saja, meski kini hubungannya tak lagi sehangat dulu.“jadi, Mama akhirnya mau menemui cucu Mama karena sakit?” tanya Lukas lagi, kali ini dengan nada lebih pelan. Senyumnya terlihat ge
Di tempat lain, Elli sedang duduk di ruang tunggu bandara, wajahnya tampak lelah namun ambisinya masih terlihat penuh. Di sebelahnya, Raquel duduk dengan tangan menyilang, ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Kamu benar-benar keras kepala, Ell,” ujar Raquel dingin. “Aku udah bilang, ini keputusan yang buruk. Kamu mempertaruhkan banyak hal, Ell. Termasuk hubungan kita.”Elli menoleh tajam ke arah suaminya. “Aku kira kamu mendukung aku, Kak. Aku pikir kamu juga mencintai Abel. Tapi ternyata, kamu bahkan nggak ingin aku ketemu anakku sendiri.”Raquel tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa maksud kamu, Ell? Kamu tahu aku selalu dukung kamu atas apapun. Kamu bilang apa? Aku gak sayang? Emang udah tujuh tahun berlalu El! Tapi aku inget gimana aku selalu nganggep dia anak aku sendiri. Aku sayang sama dia! Aku cuma–”“Cuma apa, Kak? Cuma mikirin diri kamu sendiri? Memikirkan keluarga kamu dan anak-anakmu? Dia anakku juga, Kak! Gak cuma Nina sama Tobi!” E
Abel membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tenggorokannya kering seperti padang pasir. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa menyilaukan, membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya. Saat matanya mulai fokus, ia melihat sosok Lukas yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Kepala ayahnya itu bersandar pada tangan yang masih menggenggam erat tangannya, seolah takut kehilangan Abel.pria kecil itu pun menatap ayahnya yang terlihat kelelahan, garis-garis di wajah Lukas menunjukkan betapa ia memikirkan banyak hal. Senyum kecil muncul di wajah Abel, meski tubuhnya masih terasa lemah. Dengan tangan kecilnya, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh rambut Lukas yang selalu harum di hidung Abel..Sentuhan lembut itu membangunkan Lukas. Matanya yang merah dan lelah langsung bertemu dengan tatapan sayu Abel. Lukas tertegun, melihat putranya tersenyum kecil meski wajah anak itu masih pucat. Dalam sekejap, perasaan bersalah kembali menghantam