Kai memandang Lukas dengan pandangan penuh arti. "Lo banyak berubah, Luke," katanya pelan, tapi nadanya serius. "Gue ngeliat lo sekarang, jauh beda dari anak muda keras kepala yang gue kenal dulu." Lukas mendengus, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Semua orang berubah. Lo nggak mungkin berharap gue tetap jadi keponakan lo yang nggak tau apa-apa dan otaknya gampang dipermainin. Langsung aja, apa yang sebenernya lo mau omongin?" Kai menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka mulut. "Gue cuma mau hubungan kita baik, Luke. Demi Abel, demi Anna. Anak-anak itu udah cukup pusing tanpa harus ikut drama orang dewasa." Lukas tertawa kecil, tapi nada tawanya dingin dan sinis. "Hubungan baik, ya? Lo yakin mau nyebut itu? Lo tau, gue aja bingung apa posisi Abel di keluarga lo. Dia harus manggil lo kakek? Karena lo technically om gue. Atau dia harus manggil lo om? Karena lo suami dari tantenya? Hubungan kita udah rumit dari awal ‘kan, ‘Om’ Kai." tekan Lukas.Kai tetap tenan
Sera tertegun saat mendengar suara Mamanya, Fara, dari seberang telepon. "Elli sedang merajuk," kata Fara dengan nada cemas. "Dia ingin pulang ke Indonesia. Katanya, hanya sebentar, untuk bertemu Abel. Setelah itu, dia berjanji tidak akan mengusik anak itu lagi. Tapi Raquel... Dia keberatan. Elli kan sedang hamil, dan kondisinya tidak pernah kuat setiap kali hamil."Sera menghela napas panjang, mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba ini. "Terus, Ma? Kak Raquel nggak ngijinin Kak Elli pulang 'kan?"Fara terdengar ragu sebelum menjawab, "Lebih dari itu, Sayang. Elli sudah mulai bertingkah. Dia bahkan bilang akan menggugurkan bayi itu kalau keinginannya tidak dituruti. Dia sudah berhenti minum vitamin kehamilan. Raquel bingung setengah mati. Tapi Elli nggak mau mendengar. Dia hanya ingin satu hal katanya… ketemu Abel."Sera menutup matanya, Sera merasa bersalah karena memberitahu keberadaan Abel di saat yang sepertinya kurang tepat. Ia tahu betapa Elli merindukan Abel. Selama ini, Sera
Di bawah pohon besar yang menaungi halaman sekolah, Abel duduk bersama Anna, menunggu jemputan mereka. Abel, yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba membuka pembicaraan."Anna," ucapnya pelan, "dimana tante yang kamu ceritakan itu tinggal? Tante yang menelpon waktu kita makan ayam sama Mama kamu."Anna menoleh, memiringkan kepala seolah berpikir. "Oh, Tante Elli? Dia tinggal di Belanda," jawabnya sambil tersenyum cerah. "Negaranya cantik, loh. Waktu aku pergi ke sana, bunga tulipnya lagi mekar. Aku suka banget!"Mata Abel menatap jauh ke depan, mendengarkan cerita Anna. "Apa kamu sering ke sana?" tanyanya.Anna mengangguk antusias. "Nggak sering, tapi setiap tahun pasti kami nyempetin ke Belanda! Aku senang sekali main di sana. Sepupuku Sheynina cantik banget. Kami suka main bareng. Raiden, adikku, juga senang main dengan Tobi, adik Sheynina. Mereka akrab sekali."Abel menunduk, mencengkeram buku di pangkuannya. "Sepertinya menyenangkan," gumamnya hampir tak terdengar."Memang menyena
Di malam yang sedikit dingin, Sera duduk di ruang keluarga sambil memandangi layar ponselnya. Pesan singkat dari Fara masih terpampang jelas dari layarnya.Mama : [Elli jadi berangkat lusa. Mama tidak bisa antar. Mama sudah ubah nama penumpangnya. Jangan lupa jemput mereka dan pastikan Elli bisa bertemu dengan Abel.]Sera menarik napas panjang. Meski cepat atau lambat keduanya akan bertemu, tapi rasanya masih asing bagi Sera untuk mempertemukan keduanya.Bukan karena Sera tidak ingin mempertemukan Abel dengan ibunya, tapi rasanya sesuatu memang seharusnya pada tempatnya hingga waktunya tepat. Waktu yang tepat adalah ketika Abel sudah bisa mengelola emosinya. Sudah bisa mengatur alur pikirnya.Lagi pula, ia rasa Lukas bukanlah ayah yang jahat. Dia mendidik Abel dengan baik dan sepertinya dia tidak kekurangan kasih sayang. Meskipun kepribadiannya cenderung pendiam, tapi Sera yakin tidak ada yang salah dengan Abel.Menanyakan soal Mama memang masalah, tapi ia rasa Abel bisa mengontrol em
Subuh itu, di sebuah kamar dengan pencahayaan redup, Nana melangkah masuk untuk memeriksa Abel sebelum memulai aktivitas paginya. Namun, ia terkejut melihat tubuh kecil itu menggigil hebat di bawah selimut. Wajah Abel tampak merah padam, dan napasnya terdengar berat. Ketika Nana menyentuh dahinya, suhu panas menyengat telapak tangannya."Abel!" serunya panik, menggoyangkan tubuh anak itu. Abel mengigau, menyebut kata-kata yang tak jelas. Nana segera keluar kamar dan berlari mencari Lukas.Lukas yang sedang terlelap di kamarnya langsung terbangun saat mendengar teriakan Nana. "Mas! Mas Lukas, Abel demam tinggi!" kata Nana dengan napas tersengal dengan air mata yang sudah menggantung di sudut matanya. Tanpa pikir panjang, Lukas segera berlari ke kamar Abel. Melihat kondisi putranya, ia langsung menggendong Abel dan bergegas ke mobil, diikuti Nana yang membawa tas kecil berisi barang penting.Di rumah sakit, Lukas duduk di samping ranjang Abel, matanya terus memperhatikan putranya yang
Abel membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tenggorokannya kering seperti padang pasir. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa menyilaukan, membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya. Saat matanya mulai fokus, ia melihat sosok Lukas yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Kepala ayahnya itu bersandar pada tangan yang masih menggenggam erat tangannya, seolah takut kehilangan Abel.pria kecil itu pun menatap ayahnya yang terlihat kelelahan, garis-garis di wajah Lukas menunjukkan betapa ia memikirkan banyak hal. Senyum kecil muncul di wajah Abel, meski tubuhnya masih terasa lemah. Dengan tangan kecilnya, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh rambut Lukas yang selalu harum di hidung Abel..Sentuhan lembut itu membangunkan Lukas. Matanya yang merah dan lelah langsung bertemu dengan tatapan sayu Abel. Lukas tertegun, melihat putranya tersenyum kecil meski wajah anak itu masih pucat. Dalam sekejap, perasaan bersalah kembali menghantam
Di tempat lain, Elli sedang duduk di ruang tunggu bandara, wajahnya tampak lelah namun ambisinya masih terlihat penuh. Di sebelahnya, Raquel duduk dengan tangan menyilang, ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Kamu benar-benar keras kepala, Ell,” ujar Raquel dingin. “Aku udah bilang, ini keputusan yang buruk. Kamu mempertaruhkan banyak hal, Ell. Termasuk hubungan kita.”Elli menoleh tajam ke arah suaminya. “Aku kira kamu mendukung aku, Kak. Aku pikir kamu juga mencintai Abel. Tapi ternyata, kamu bahkan nggak ingin aku ketemu anakku sendiri.”Raquel tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa maksud kamu, Ell? Kamu tahu aku selalu dukung kamu atas apapun. Kamu bilang apa? Aku gak sayang? Emang udah tujuh tahun berlalu El! Tapi aku inget gimana aku selalu nganggep dia anak aku sendiri. Aku sayang sama dia! Aku cuma–”“Cuma apa, Kak? Cuma mikirin diri kamu sendiri? Memikirkan keluarga kamu dan anak-anakmu? Dia anakku juga, Kak! Gak cuma Nina sama Tobi!” E
“Kenapa Mama ada di sini?”Citra menatapnya dengan ekspresi datar, namun nada suaranya tetap terkontrol. “Mama dengar cucu Mama sakit. Bagaimana mungkin Mama tidak datang?”Lukas menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. Selama bertahun-tahun terakhir, ia merasa jarak di antara mereka begitu jauh. Kehadiran wanita itu di sini, tiba-tiba, membuat Lukas bertanya-tanya.“Dari mana Mama tahu?” tanya Lukas akhirnya, suaranya masih terdengar kaku.“Mama punya sumber informasi, Lukas,” jawab Citra tanpa basa-basi. “Bawahanmu di kantor. Mereka melaporkan kalau kamu sedang izin beberapa hari ini di rumah sakit. Lalu Mama cari tahu lebih lanjut.”Lukas menghela napas, menundukkan kepalanya sejenak. Ia merasa jengkel, tapi juga tak bisa sepenuhnya marah. Ini ibunya, orang yang dulu selalu memastikan ia baik-baik saja, meski kini hubungannya tak lagi sehangat dulu.“jadi, Mama akhirnya mau menemui cucu Mama karena sakit?” tanya Lukas lagi, kali ini dengan nada lebih pelan. Senyumnya terlihat ge
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama