Abel membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tenggorokannya kering seperti padang pasir. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa menyilaukan, membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya. Saat matanya mulai fokus, ia melihat sosok Lukas yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Kepala ayahnya itu bersandar pada tangan yang masih menggenggam erat tangannya, seolah takut kehilangan Abel.pria kecil itu pun menatap ayahnya yang terlihat kelelahan, garis-garis di wajah Lukas menunjukkan betapa ia memikirkan banyak hal. Senyum kecil muncul di wajah Abel, meski tubuhnya masih terasa lemah. Dengan tangan kecilnya, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh rambut Lukas yang selalu harum di hidung Abel..Sentuhan lembut itu membangunkan Lukas. Matanya yang merah dan lelah langsung bertemu dengan tatapan sayu Abel. Lukas tertegun, melihat putranya tersenyum kecil meski wajah anak itu masih pucat. Dalam sekejap, perasaan bersalah kembali menghantam
Di tempat lain, Elli sedang duduk di ruang tunggu bandara, wajahnya tampak lelah namun ambisinya masih terlihat penuh. Di sebelahnya, Raquel duduk dengan tangan menyilang, ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Kamu benar-benar keras kepala, Ell,” ujar Raquel dingin. “Aku udah bilang, ini keputusan yang buruk. Kamu mempertaruhkan banyak hal, Ell. Termasuk hubungan kita.”Elli menoleh tajam ke arah suaminya. “Aku kira kamu mendukung aku, Kak. Aku pikir kamu juga mencintai Abel. Tapi ternyata, kamu bahkan nggak ingin aku ketemu anakku sendiri.”Raquel tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa maksud kamu, Ell? Kamu tahu aku selalu dukung kamu atas apapun. Kamu bilang apa? Aku gak sayang? Emang udah tujuh tahun berlalu El! Tapi aku inget gimana aku selalu nganggep dia anak aku sendiri. Aku sayang sama dia! Aku cuma–”“Cuma apa, Kak? Cuma mikirin diri kamu sendiri? Memikirkan keluarga kamu dan anak-anakmu? Dia anakku juga, Kak! Gak cuma Nina sama Tobi!” E
“Kenapa Mama ada di sini?”Citra menatapnya dengan ekspresi datar, namun nada suaranya tetap terkontrol. “Mama dengar cucu Mama sakit. Bagaimana mungkin Mama tidak datang?”Lukas menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. Selama bertahun-tahun terakhir, ia merasa jarak di antara mereka begitu jauh. Kehadiran wanita itu di sini, tiba-tiba, membuat Lukas bertanya-tanya.“Dari mana Mama tahu?” tanya Lukas akhirnya, suaranya masih terdengar kaku.“Mama punya sumber informasi, Lukas,” jawab Citra tanpa basa-basi. “Bawahanmu di kantor. Mereka melaporkan kalau kamu sedang izin beberapa hari ini di rumah sakit. Lalu Mama cari tahu lebih lanjut.”Lukas menghela napas, menundukkan kepalanya sejenak. Ia merasa jengkel, tapi juga tak bisa sepenuhnya marah. Ini ibunya, orang yang dulu selalu memastikan ia baik-baik saja, meski kini hubungannya tak lagi sehangat dulu.“jadi, Mama akhirnya mau menemui cucu Mama karena sakit?” tanya Lukas lagi, kali ini dengan nada lebih pelan. Senyumnya terlihat ge
Mobil hitam itu berhenti di depan gerbang sekolah dasar Annalie. Sera memandangi halaman sekolah yang mulai lengang setelah jam pulang. Sementara itu, Elli dan Raquel duduk dengan diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Sera menghela napas panjang, mencoba menyamankan suasana sebelum akhirnya berkata kepada supirnya, “Pak, tolong laporkan ke penjaga sekolah bahwa kita menjemput Annalie.”Supir itu pun mengangguk, lalu keluar dari mobil menuju pos penjaga. Tak lama setelahnya, gerbang kecil terbuka, dan sosok Annalie yang mungil berlari keluar dengan ransel kecil di punggungnya. Meski melihat Anna, tentu saja mata Elli masih berlarian mencari sosok yang ia ingin temui. Tapi nihil, sepertinya memang sekolah itu hanya bisa mengeluarkan siswanya jika anak tersebut sudah dijemput.Anna yang datang dengan wajah cemberut itu membuka pintu mobil namun langkahnya terhenti saat melihat siapa yang ada di dalam mobil.“Mama?” seru Anna, matanya melebar melihat ibunya di dal
Elli masih memandangi foto di tangan Anna ketika gadis kecil itu mulai bercerita.“Tante Elli, itu Abel,” kata Anna sambil menunjuk ke salah satu anak laki-laki di foto. “Dia temanku di sekolah. Itu yang aku cerita di mobil tadi. Aku mau kenalin dia ke Tante Elli sama Om Raquel. Tapi sekarang dia lagi sakit, katanya di rumah sakit.”Elli mengalihkan pandangannya dari foto ke Anna, rasa khawatir mulai merayap di hatinya. “Abel… sakit apa, Anna?” tanyanya, berusaha terdengar tenang.“Katanya demam,” jawab Anna polos. “Wali kelasku bilang mungkin karena perubahan cuaca. Makanya aku diingetin juga untuk jaga kesehatan. Mama juga ngingetin itu waktu ngobrol sama Pak Gino di mobil.”Hati Elli semakin tidak tenang. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Abel. Bagaimana keadaan anak itu sekarang? Apa dia baik-baik saja?Elli terdiam, dan Anna memanfaatkan momen itu untuk melanjutkan ceritanya. “Tante tahu nggak? Sebelum Abel sak
“Dia anakku, Luke! Aku berhak untuk ketemu dia. Yang misahin dia dari aku ‘kan kamu. Aku nggak mau berpisah sama dia. Jadi, itu hakku untuk bisa ketemu dia ‘kan?!” Lukas menghela napas panjang, sorot matanya tidak lagi setajam tadi. Kata-kata Elli seolah menusuk sisi hatinya yang rapuh. Ia tidak menjawab, hanya memalingkan wajahnya, tatapan dinginnya kini penuh pertimbangan. Dalam benaknya, ia teringat percakapan dengan sang ibu, yang menyebutkan bahwa cepat atau lambat, Abel akan mencari tahu kebenaran tentang ibunya. Tidak peduli sekeras apa Lukas mencoba melindunginya, anak itu tetap akan menginginkan jawaban.“Tunggu di sini,” kata Lukas akhirnya, nadanya datar namun tidak mengandung perlawanan seperti sebelumnya.Elli tidak menyangka bahwa semudah ini mengajak Lukas berdialog. Jika saja semudah ini, dari dulu, ia akan mencoba berkomunikasi dengan Lukas.Elli hanya belum tahu saja, banyak hal yang telah dilalui, sehingga pria itu kini sudah lebih lunak. Jika ia mencobanya sebel
Elli turun dari taksi dengan langkah berat, wajahnya yang lelah terlihat jelas meski ia mencoba menyembunyikannya. Satpam rumah segera menyambutnya dengan penuh semangat. "Bu Elli! Ibu sudah pulang?" tanyanya dengan nada penuh perhatian. Elli hanya mengangguk kecil. "Iya, Pak. Terima kasih," jawabnya sebelum melangkah ke dalam. Satpam itu langsung berlari masuk ke rumah, mengabarkan bahwa Elli sudah kembali. Tak lama kemudian, Sera muncul dengan langkah tertatih, tangannya memegangi perutnya yang sudah membesar karena kehamilannya yang sudah masuk bulan ketujuh. “Kak Elli!” seru Sera dengan nada penuh emosi. “Kamu ke mana aja? Pergi gitu aja tanpa ngomong apa-apa! Aku sampai bingung.” Elli menatap adiknya, lalu menarik napas panjang sebelum berkata dengan suara datar, “Maaf, Ra. Aku cuma ingin memastikan sesuatu.” Sera memandang kakaknya dengan tatapan tajam. “Kamu tahu nggak, Kak? Kak Raquel sama Mas Kai nyusul kamu ke rumah sakit karena cerita Anna. Dia bilang kamu nanya
Di sebuah rumah kecil di pedesaan Belanda, Elli dan Raquel berdiri di ambang pintu, menikmati udara musim semi yang segar. Rumah mereka memang sederhana, tapi kehangatan cinta dan tawa anak-anak membuatnya terasa megah. Di halaman belakang, Sheynina dan Tobias saling mengejar dengan penuh keceriaan. Rambut panjang Sheynina yang mirip Elli berkibar-kibar dihembus angin, sementara Tobias tertawa lepas, menunjukkan sisi manisnya yang mulai tumbuh dewasa. Mata Elli tertuju pada kebun kecil di depan rumah, di mana bunga-bunga tulip mulai bermekaran. Warna-warni cerah itu mengingatkannya bahwa hidup selalu punya cara untuk memulihkan diri, meski sebelumnya terasa sulit. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Raquel, menikmati keheningan bersama. “Hidup kita mungkin nggak sempurna, Kak Raquel,” ucap Elli dengan suara lembut. “Tapi aku merasa tenang sekarang.” Raquel merangkul bahunya erat, memberikan rasa nyaman yang hanya ia temukan dari pria itu. “Itu yang terpenting, Sayang. Kita kemb
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama