Angga duduk di taman rumah sakit, lampu menerangi gelapnya taman yang terhampar rumput. "Angga," panggil seseorang. Angga gegas menoleh dan seorang perempuan yang mengenakan long dress berwarna biru muda itu tersenyum, membuat Angga terdiam sejenak sembari menatapnya. "Ka Ina," ucap Angga gegas berdiri. "Kakak, ruangan Alif ada di nomor 7A, biar Angga antarkan!" "Tunggu sebentar, Angga!" Ina menarik tangan Angga. Angga menatap aluran tangannya yang dipegangi oleh Ina itu. "Kamu kenapa? Tadi aku perhatiin kayaknya kamu lagi banyak pikiran?" tanya Ina. Angga menelan salivanya, ia pun kembali duduk di bangku taman yang diikuti oleh Ina. "Ceritalah Angga, barangkali aku bisa bantu!""Aku kesal kak, kenapa semuanya selalu disangkut pautkan dengan hal mistis.""Paman Amin?" sela Ina dengan tatapan dalamnya pada Angga. Angga mengangkat kepalanya, tatapan keduanya saling beradu. Tak lam, Angga mengangguk membenarkan, tangannya menggenggam erat."Itulah, Angga. Namanya juga di desa, seg
"Paman, gimana keadaan Alif sekarang?" tanya Ridwan. "Maaf, kemarin Ka Ina nggak ada di rumah, jadi Ridwan harus jaga rumah." Amin terdiam sejenak. "Alif masih belum sadarkan diri, Wan. Badannya penuh dengan bintik merah." Nada Amin sangatlah pelan. Ridwan duduk di samping Amin, pula dengan perasaan yang tidak menyenangkan, kesedihan tentu membubuhi hati mereka. "Ya Allah, kalau gitu kita ke sana yuk paman. Ridwan belum ada jenguk Alif." "Paman ndak bisa, Wan. Angga sedang marah sama paman. Dia ndak bolehin paman ketemu sama Alif." Ridwan menepuk pelan paha Amin. "Kenapa lagi dengan si Angga itu. Bukannya sudah dibantu keluar dari jerat ilmu hitam itu, malah begini sikapnya pada paman." Ridwan sedikit naik pitam. "Sudahlah, Wan. Angga tidak percaya akan hal seperti itu. Paman mau minta tolong sama kamu untuk bawakan air doa buat Alif. Semoga dengan air doa ia bisa segera pulih dan penyakit anehnya itu segera hilang." "Baiklah paman." "Ingat, jangan sampai ketahuan oleh Angga!"
Galuh sedari tadi menunggu kedatangan Angga, dia berjanji setelah pulang dari kantor dia akan menggantikan Galuh untuk menjaga Alif. Namun, sudah lewat beberapa jam dari waktu pulang Angga, dia masih belum dayang jua. "Ya Allah, kenapa Mas Angga belum datang! Aku khawatir terjadi apa-apa dengan Mas Angga. Dari tadi, perasaanku nggak enak gini." Galuh bermonolog, dia tidak melepaskan gawainya sembari menunggu pesan ataupun panggilan telepon dari Angga. "Galuh," ucap seseorang yang baru saja membuka pintu. "Ridwan, ya Allah kamu ngagetin aja. Masuk!" Ridwan pun masuk ke dalam ruangan, perlahan kakinya melangkah menuju ranjang yang mana Alif terbaring sudah berhari-hari di atas sana. "Gimana keadaannya, Galuh? Apakah ada pertanda Alif siuman?" tanya Ridwan membelakangi Galuh. Galuh mendekat ke ranjang Alif. "Masih belum, Wan. Tapi Alhamdulillahnya, setelah aku kasih air doa dari paman kemarin, merah-merah di badan Alif sedikit berkurang.""Oh iya, Wan. Kamu ada lihat Mas Angga nda
Galuh kembali ke dunia di mana tak ada seorang pun selain dirinya dan perempuan yang ia yakini sebagai arwah Adah itu. Setelah berminggu-minggu ia mimpi hal seperti itu, untuk kali ini ia tak begitu takut lagi. "Acil, tolong bicara sama Galuh. Galuh mohon jangan pergi jauh dari Galuh," ucap Galuh meringis. Perempuan berbaju putih dengan rambut panjang itu menghentikan langkahnya. "Sudah kubilang, jauhi laki-laki itu!" ucapnya. "Laki-laki yang mana, cil? Kenapa? Acil belum jawab pertanyaan Galuh." "Galuh..!" "Galuh..!" Panggilan itu sungguh mengusik Galuh, seketika pula perempuan di hadapannya itu telah menghilang, lenyap bagai ditelan bumi. "Galuh!!" Cahaya gelap berganti dengan terangnya sinar lampu. Galuh telah dikerumuni oleh beberapa orang terdekatnya. "Aku di mana?" ucap Galuh gegas bangkit, namun ia tak bisa duduk dengan tegap. "Kamu jangan banyak gerak dulu, kamu istirahat aja ya!" ucap Ina yang berusaha merebahkan Galuh kembali. Peluh sudah memenuhi sekujur tubuh G
"Kamu yakin sudah sembuh?" tanya Angga pada Galuh yang bersikeras minta pulang ke rumah. "Iya, Mas. Kita sudah sangat lama di sini, aku mau pulang. Kangen masak dan lain-lain." Angga berdecit pelan. "Baiklah, aku ngomong sama dokter dulu." Angga melenggang dari ruangan. Alif menyentuh tangan Galuh. "Ma," ucapnya. "Iya, Nak. Ada apa?" "Kita pulang ke rumah baru kan, bukan ke rumah yang itu?" tanya Lif dengan nada bicara sedikit tertekan. "Belum, sayang. Kita pulang ke rumah Tante Ina dulu, ya. In syaa Allah, sesegera mungkin kita pindah ke rumah baru kita." Galuh mengelus lembut kepala Alif. "Tapi, ma. Alif takut.." Setiap kali Alif mengatakan dia takut, Galuh selalu merasa tidak nyaman dengan nada bicara Alif. Angga sudah menegaskan pada Galuh jikalau Alif hanya mimpi buruk saja sehingga ia berubah jadi selalu ketakutan seperti ini. Namun, tak bisa dipungkiri jikalau Galuh juga merasakan hal yang sama dengan Alif, ada rasa tidak nyaman dan mengerikan di rumah i
Pagi telah menyapa, Galuh juga sudah selesai mengemas barang-barangnya dan barang-barang Alif. Suster sudah memberitahukan jikalau hari ini mereka berdua sudah boleh pulang ke rumah, namun Angga masih belum jua datang menjemput mereka. Dengan sisa uang lima puluh ribu di tangan Galuh, ia gunakan untuk menyewa g*car untuk pulang dikarenakan jaraknya yang lumayan jauh. "Ayah di mana, Ma? Kenapa dari semalam ayah ndak ada?" tanya Alif. Mereka berdua telah duduk di dalam mobil. Galuh mengelus pucuk kepala Alif dan menyengsarakan kepala Alif kepadanya. "Ayah kerja, Nak." Galuh sebenarnya juga tidak mengetahui di mana keberadaan Angga, padahal hari ini adalah hari libur kerja. Rasa khawatir dan takut bercampur menjadi satu, namun ia tidak ingin Alif merasakan apa yang Galuh rasakan saat ini. Selama di perjalanan menuju rumah, Alif tertidur pulas. Galuh masih berusaha mengirimkan pesan pada Angga namun sama saja, centang dua abu-abu yang menyapa. "Mas, apa yang terjadi sama kamu sih
Setelah seharian Galuh merasa tidak tenang, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumah Amin sedangkan Amin sedang pergi ke luar bersama Alif. Tok... Tok... Tok "Siapa itu?" ucap Galuh. Galuh pun mengambil kerudung dan memasangnya kemudian ia gegas ke pintu luar. Ceklek... Pintu terbuka "Ridwan," ucap Galuh saat melihat sosok yang berdiri di depannya. "Wan, kapan kamu datang? Bukannya kamu lagi di Jawa?" tanya Galuh. Ridwan hanya tersenyum dan masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan sepatah katapun. Galuh pun merasa heran dengan tingkah Ridwan yang se-diam itu. "Paman sedang keluar, baru aja sama Alif, katanya mereka pulang selesai salat magrib di musholla." Ridwan yang tadinya berjalan masuk menuju dapur itu pun terhenti, ia membalikkan badan dan sepoy-an angin dingin menghembus ke leher Galuh, sekilas Ridwan menatap ke arah Galuh dan berkata. "Pergi dari sini!" ucapnya yang kemudian berlalu pergi. Galuh hanya terpaku kaku di dekat pintu, entah mengapa ia ti
Suasana sedih masih menyelimuti hati kecil Galuh. Dia baru saja siuman dari pingsan, setelah beberapa menit meratapi wajah sang anak yang telah dibalut kain kapan, Galuh gegas meraih gawainya untuk menelpon Angga. "Mas, angkat telpon Galuh, Mas!" ucap Galuh penuh dengan permohonan. "Gimana Galuh, sudah bicara dengan Angga?" tanya Amin yang tiba-tiba datang. Galuh tertunduk lesu, gelengan pelan kepalanya memberi jawaban. "Mungkin dia sedang sangat sibuk. Keputusan ada di tanganmu, Galuh. Kita kuburkan Alif sekarang, atau menunggu Angga pulang?" tanya Amin lembut. "Tapi, paman kan masih belum sehat. Sebaiknya paman istirahat." Amin terdiam. "Sakit ini tidak ada apa-apanya Galuh. Paman minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Paman nggak tahu harus bagaimana menebus kelalaian paman ini." Amin berlutut di hadapan Galuh. "Sudah paman, ini takdir dari Allah. Paman sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Sebaiknya, sekarang saja kita lakukan proses pemakaman, Alif, pa
Berbulan-bulan telah berlalu, Galuh merasa sangat tenang tinggal di rumah Ustaz yang menampungnya saat ini. Ia juga ikut salat berjamaah dengan para jamaah perempuan dan berinteraksi dengan orang-orang yang sangat lemah lembut dan beragama yang kuat. Hari ini ustaz beserta rombongan pergi lagi ke kampung tempat Sari berada dan ini bukan kali pertama namun sudah yang kesekian kalinya. Galuh tidak bisa diam sembari menanti kabar. “Tenang, mbak Galuh. In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.” Istri ustaz menenangkan Galuh. “Iya, bu ustazah. Semoga saja semuanya baik-baik saja.” Tidak berapa lama suara gesekan kaki terdengar. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah. “Nah itu pasti mereka,” tebak istri ustaz. Galuh beserta yang lain pun gegas berdiri dan tidak sabar dengan berita yang akan mereka terima. Benar saja, rombongan yang tadi pagi berangkat itu sudah kembali dengan jumlah yang lengkap bahkan jumlah mereka bertambah, sumringa
“Assalamu'alaikum,” ucap Galuh mengetuk pintu. Tidak berapa lama ada jawaban dari dalam. “Waalaikumussalam.” Pintu pun terbuka, nampaklah sosok perempuan yang mengenakan hijab labuh dan lebar yang sedang tersenyum pada Galuh. “Nyari siapa ya, mbak?” tanyanya. Galuh mengeluarkan kertas yang sudah Sari berikan padanya. “Saya Galuh, mbak. Temennya Sari.” Galuh pun menyerahkan kertas tersebut. “Sari?” ucapnya sembari membaca kertas dari Galuh itu. “Mas, sini mas!” panggilnya. Hingga munculah sosok lelaki dengan wajah teduh dan basah dengan air wudhu. “Kenapa, sayang? Eh, ada tamu. Kenapa ndak disuruh masuk?” “Astagfirullah, kelupaan. Maaf ya, mbak. Silakan masuk!” “nggih, makasih.” Galuh pun masuk ke dalam rumah. “Ini loh, Mas. Sari, ada kabar dari Sari.” “Sari..” Keduanya pun nampak serius membaca kertas tersebut. Setelah itu pun mereka meminta Galuh menceritakan semua yang telah Sari ceritakan padanya sebagaimana sesuai dengan instruksi Sari sebelumnya. “Jadi begitu, ya Allah
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah gerbang yang bertuliskan “kuburan muslimin” Galuh pun menatap ke arah Sari. “Ada yang mau aku ziarahi, mau ikut ke dalam atau nunggu di sini?” tanya Sari. “Jika dibolehkan aku ikut,” jawab Galuh. “Tentu saja boleh, Galuh. Mari!” Galuh dan Sari pun masuk ke dalam gerbang itu, hamparan tanah luas yang sudah mulai sesak dengan batu nisan dan gundukan tanah memenuhi pandangan mata. Sari menuju satu pekuburan yang berada dekat pohon besar yang diikat dengan kain berwarna kuning paling pojok pekuburan. Ia duduk bertelimpuh kaki dekat kuburan itu yang diikuti oleh Galuh. Sari nampak sedang menabur bunga di atas kuburan serta air doa, Galuh yang tak ingin memgganggu itu pun hanya diam dan mendoakan dalam hatinya. “Galuh, kita sama-sama tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Kamu pastinya mengeetj bagaimana perasaaku,” tutur Sari yang mana rona di wajahnya berubah menjadi sendu.
Kejanggalan mulai lebih terasa oleh Galuh, terlebih bentuk gangguan dari makhluk sebelah yang membuat Galuh bahkan tidak bisa memejamkan matanya hingga kokokan ayam subuh menggema. Bukan hanya itu, ia juga sering kali mendengar Indah yang berteriak di tengah malam namun tidak ada satupun yang menghiraukan. "Ridwan," panggil Galuh dari balik pintu. Tidak berapa lama Ridwan dengan muka bantalnya membuka pintu. "Ada apa Galuh? Kamu lihat hantu lagi?" tanya Ridwan setelah menguap. "Maaf mengganggu waktu tidurmu, tapi tadi aku denger tante Indah teriak. Takutnya dia kenapa-napa," jelas Galuh. Ridwan membalasnya dengan seutas senyuman. "Ibu memang seperti itu kalau jam segini, Galuh. Maaf kalau teriakkan ibu mengganggu tidurmu, kamu ndak perlu khawatirin ibu, dia ndak kenapa-napa kok." "Tapi, Wan." "Tapi apa, Galuh? Ya sudah, aku bilangin ibu dulu ya jangan teriak-teriak biar kamu bisa tidur." "Ndak, bukan gitu, Wan. Aku cuman takut terjadi apa-apa aja ke tante." Ridwan mena
Di tengah malam yang sangat sunyu, suara gonggongan anjing memekak telinga, Galuh yang masih terjaga lantas saja membaca doa. Sudah dua malam ini dia tinggal di rumah Ridwan, sangat sulit baginya untuk memejamkan mata. Ketakutan menghantui Galuh setiap kali ia menuju alam mimpi, mimpi buruk memenuhi alam bawah sadarnya. Pula, terdengar bisikan memanggil nama Galuh tepat di samping telinganya, namun tiada siapapun ia dapati. Galuh menaruh mushaf kecilnya ke atas nakas, perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan penghuni rumah. Tenggorokan Galu terasa kering dan botol air yang tersedia di kamarnya sudah tiada berisi. Ia dengan terpaksa keluar kamar mengambil air ke dapur. Setelah mengambil air dan berniat untuk kembali ke kamar, terdengar suara aneh dari dalam kamar Indah. Galuh merasa penasaran, namun ia juga tidak berani bertindak semena-mena di rumah orang. "Galuh, jangan! Ini bukan rumahmu. Cepat pergi ke kamar!" gumam Galuh pada meme
Tatkala kamar terbuka, sebuah aroma busuk mulai menyeringai masuk ke rongga hidung. Galuh berusaha menahan rasa tidak sukanya, terlebih ia sedang mengandung yang mana tidak bisa mencium bau aneh apapun. Kamar dengan cahaya redup, tidak ada cahaya dari celah jendela atau pun dari celah ventilasi udara, sangat pengap dan berhawa panas. Semakin masuk ke dalam, terdengar suara rintihan kecil yang semakin meninggi. Galuh dengan erat memegangi ujung jilbabnya, ada gelitik rasa takut di dadanya namun ia tetap harus melangkah maju mengekori budhe yang sedang berjalan di depannya. "Galuh, kamu mual?" tanya budhe yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Galuh menelan ludah dengan pelan. "Tidak, budhe." "Jangan bohong, kamu sekarang sedang hamil pasti sangat mual kan? Sebentar lagi ya, kita tidak akan lama di sini. Setelah bertemu dengan Indah, sudah bertahun-tahun ia ingin bertemu denganmu." Akhirnya, mereka sampai pada kain tipis tembus pandang berwarna kuning yang dibuat
Setelah subuh, Galuh gegas untuk mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya. "Galuh, sudah. Biar aku saja, kamu ndak perlu repot- repot gini." Tiba-tiba Ridwan datang dari pintu belakang. "Nggak papa, Wan. Lagian aku capek kalau cuman duduk diam nggak ngelakuin apa-apa. Boleh ya aku bantuin bersih-bersih rumah, masak dan kalau ada yang bisa aku bantu-bantu aku bakal ngerasa lebih nyaman." Galuh memegangi erat batang sapu sembari memohon kepada Ridwan. Ridwan menghela napas panjang, kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah kalau itu mau kamu. Anggap aja ini rumah kamu, kamu boleh ngelakuin apa saja yang bisa bikin kamu senang dan nyaman. Tapi ingat, jangan sampai kecapean!" "Siap. Makasih, Wan." Galuh dengan senang hati melakukan segala kegiatan yang telah ia rancang. Saat Galuh asyik membereskan rumah serta mengumpulkan sampah-sampah yang tidak terbuang dari sudut-sudut rumah, tiba-tiba ia terhenti tatkala mendengar suara perempuan yang
Saat Galuh merebahkan badannya, ia teringat akan isi tas yang sedari tadi ia jaga. Galuh kembali bangkit fan mengambil tas miliknya yang ia taruh di atas nakas, ia pun membawa tas tersebut bersamanya ke atas ranjang, Galuh duduk di bibir ranjang dan perlahan membuka tas miliknya. Galuh mengeluarkan kotak kecil pemberian Salma padanya, menatapnya perlahan dan menaruhnya kembali ke dalam tas. "Aku masih penasaran dengan maksud Salma. Apa yang akan aku ketahui nantinya tentang Ridwan?" gumamnya yang kemudian ia mengambil ponselnya yang juga berada di dalam tas itu. "Astagfirullah sudah jam segini. Aku harus segera melaksanakan sholat." Galuh gegas kembali berdiri dan menaruh kembali tasnya di atas nakas. Galuh pun berjalan menuju dapur karena sudah diberitahu oleh budhe di mana tempatnya. Langkah kaki Galuh nampak pelan agar tidak membuat keributan menapak lantai semen tanpa kramik. Saat ia menyibak kain yang menjuntai di tengah pintu yang menjadi pembatas antara ruangan teng
Mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil taksi. "Wan, kamu sudah sampaikan permintaan maafku?" tanya Galuh yang duduk di samping Ridwan, namun dipisah tas besar yang berada di tengah mereka berdua. "Sudah, Galuh. Aku sudah sampaikan permintaanmu pada paman. Kata paman, pasti akan dia sampaikan. Kamu tenang saja," jawab Ridwan. Galuh pun menghembuskan napas pelan, kemudian menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata. Ridwan melirik pelan ke arah Galuh, lalu tersenyum dengan lembut. 'Ridwan sangat baik, aku nggak akan bisa berpikiran yang aneh-aneh padanya. Salma, mungkin prasangkamu telah salah,' gumam Galuh dalam hatinya. "Galuh, kamu yakin ndak mau ziarah ke makam Alif dulu sebelum pergi?" tanya Ridwan. Galuh gegas membuka matanya, kemudian menilik ke arah Ridwan yang berada di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku takut, Wan. Kalau aku ke sana aku bakalan ngerasa sedih lagi dan pingsan lagi. Jadi, aku rasa lebih baik begini. Tapi, doa