Cepatnya tusukan karambit di tangan pria itu menandakan bahwa dia setidaknya mengenal satu dua jurus silat.
Gadis di belakang bahkan sampai menutup mata karena ngeri membayangkan senjata tajam itu merobek perut Buyung Kacinduaan.
Buyung tidak bergerak seinci pun dari posisinya berdiri, sebab ia tahu, jika ia mengelak, justru gadis di belakangnya itulah yang akan menjadi sasaran kemarahan pria yang satu itu.
Dengan meniru gerakan cepat dari tamparan kaki depan sang harimau putih selama ini, Buyung Kacinduaan sudah dapat menepis tusukan itu.
Bahkan, dalam sekali gerakan itu saja, pergelangan tangan di pria tertekuk dan berdetak. Karambit terlepas dan terlempar jauh.
Lalu disusul dengan lesatan satu kaki dari Buyung yang mengantam keras hulu hati si pria.
Dukh!
Pria 30 tahun terlempar ke belakang, lalu terhempas di antara bebatuan. Bibirnya pecah terantuk batu. Ia melenguh pendek dengan wajah menggelembung dan merah, lalu terbatuk dan te
Buyung Kacinduaan yang telah lama tidak berkumpul dengan sesama, tentulah masih membawa sifat polosnya semasa kanak-kanak. Lagi pula, ia tidak pernah memedulikan seperti apa pun tampannya wajahnya, atau halusnya kulit tubuhnya itu, bentuk tubuhnya yang sudah terbilang gagah itu.Tidak sama sekali.Jadi, tentu ia berpikir gadis di hadapannya itu masih ketakutan terhadap kemunculan si Penunggu Lembah Ngarai Sianok.Padahal, sesungguhnya, gadis itu gugup karena berdiri begitu dekat dengan pemuda semenawan Buyung itu sendiri. Terlebih lagi, sang gadis masih mengingat betapa kagetnya pemuda gagah itu ketika melihat tubuhnya yang telanjang tadi.Masih muda, gagah menawan, berani, dan berteman dengan sang legenda seperti Inyiak Tuo Bamato Biru itu. Bukankah ini sesuatu yang sangat-sangat istimewa? Gumam sang gadis di salam hati.Hal ini semakin membuat sang gadis memerah wajahnya, hanya sanggup menunduk saja tanpa berani memandang wajah Buyung Kacinduaan.
Sama. Sang harimau putih tetap tidak menanggapi pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Buyung Kacinduaan.Buyung hampir-hampir berputus asa dengan sikap makhluk buas itu yang sangat berbeda sekali dari biasanya, meskipun ia menyadari ini sudah terjadi sedari semalam, namun kali ini jelas semakin parah.‘Seolah-olah, Inyiak Balang sedang meninggalkan perangai…’ sampai di sana, bola mata Buyung membesar menatap sosok makhluk buas berbulu tebal putih bergaris hitam di hadapannya itu.Buyung menelan ludah dengan wajah yang begitu cemas, dan berharap apa yang melintas di pikirannya barusan itu tidak akan menjadi kenyataan.Tidak, tidak, tidak… ini tidak mungkin!Meski demikian, tak urung degup jantung pemuda itu menjadi kacau balau, dengan deru napas yang memburu. Mau tidak mau, ia harus menentramkan perasaannya atau ini akan mempengaruhi tenaga dalamnya, yang berarti pula akan mengacaukan keselarasan racun-racun di dalam
Buyung Kacinduaan masih memeluk kepala sang harimau putih yang telah mencapai batas usianya itu. Sang pemuda menangis tersedu-sedu, mengusap-usap leher sang harimau.“Apa yang harus aku lakukan jika Inyiak meninggalkanku seorang diri seperti ini?”Sang pemuda tenggelam dalam kesedihannya. Tidak sekali jua terpikirkan olehnya jika suatu saat kelak ia harus berpisah seperti ini dengan makhluk buas yang selama sepuluh tahun telah melindunginya, mengajarinya banyak hal meski tidak secara langsung, atau setidaknya tanpa arahan berupa kata-kata yang jelas.Tidak sekali jua.Buyung menarik tubuh tak bernyawa itu lebih jauh ke pelukannya, dan untuk beberapa waktu lamanya, ia hanya menangis seperti itu saja.Ia sadar, ia sudah melanggar janjinya sendiri untuk tidak lagi menangis. Tapi ia tidak kuasa dengan kenyataan ini.Dan kalaupun ia harus menerima hukuman berat atas pelanggaran janjinya itu, Buyung bahkan rela dihukum mati saja oleh p
“Bahkan waktu pun tak hendak mengurai tubuhmu, Inyiak…” Buyung Kacinduaan menghela napas dalam-dalam.Entah disebabkan pengaruh suhu yang sejuk di dalam gua tersebut yang menjadikan jasad si Harimau Putih Bermata Biru itu terawetkan, atau pula ada penyebab lain.Yang pasti, untuk sekarang ini, Buyung tidak bisa berpikir banyak. Kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk ia memikirkan penyebab dari bangkai itu tidak membusuk sama sekali.Untuk sesaat, Buyung duduk berlutut menghadap jasad sang harimau putih, tua tangan bersitekan ke lututnya demi menopang tubuh yang sudah lemah.Bagaimanapun, ia harus mendapatkan makanan, ia harus mengisi perutnya, atau ia pun akan menemui kematian sebagaimana dengan jasad di hadapannya itu.Lalu, tatapan Buyung tertuju pada karambit yang tergeletak di lantai, di sisi kanan depan dari posisi ia duduk berlutut dengan kepala menekur.Lama memandangi benda tajam itu, tiba-tiba Buyung terperang
Butuh waktu dua puluh tujuh hari bagi Buyung Kacinduaan untuk menghabiskan semua daging di tubuh sang harimau putih, hingga kini yang tersisa dari sang Penunggu Lembah Ngarai Sianok itu hanyalah tulang belulang dan kulitnya yang berbulu tebal.Selama waktu itu pula Buyung melakukan kegiatan yang sama. Ia tidak lagi mengonsumsi cacing-cacing bercahaya itu, atau pula empedu ular berbisa.Tidak sama sekali.Setiap pagi, setelah ia memakan sekepal daging sang harimau, Buyung akan mengulang semua gerakan-gerakan yang ia pelajari. Gerakan-gerakan dari sang harimau putih sendiri yang terekam dengan sangat baik dalam ingatannya.Sang pemuda berlatih silat hanya berdasarkan insting dan kecerdasannya saja, di dalam gua itu yang menjadi saksi bisu akan kegigihan pemuda tersebut.Setelah berlatih dan menciptakan gerakan-gerakan pukulan, telapak, dan cakar, juga gerakan-gerakan kaki seharian, Buyung akan keluar dari dalam gua selalu di setiap sore. Dan melanjut
Di ambang mulut gua itu, Buyung Kacinduaan menghirup udara dalam-dalam, berdiri tenang untuk sesaat.Rambutnya yang hitam legam dan panjang sepunggung itu riap-riapan diembus sang angin. Buyung membawa sedikit kenangannya bersama sang harimau putih. Yakni, pada pergelangan kedua tangannya yang tertutup bulu harimau putih itu sendiri, lalu pada pinggangnya yang menahan celana komprang usang itu.Itu saja yang ia ambil dari bulu sang harimau putih sebagai pengingat baginya bahwa ia pernah dilindungi oleh sosok yang telah sangat lama disakralkan para penduduk.Dengan telapak kaki dilapisi terompah yang terbuat dari jalinan kulit kayu, Buyung akhirnya meninggalkan mulut gua tersebut.Sekali lagi ia melirik ke arah gua yang tersembunyi oleh kerimbunan semak belukar tersebut sebelum akhirnya ia melangkah ke arah utara.Ya, utara. Setidaknya, dalam masa sepuluh tahun itu, Buyung sudah mencoba mengingat-ingat dan memetakan di dalam kepalanya setiap sisi le
Detik selanjutnya sang pemuda melayang turun.Bandit yang telah melorotkan celananya itu bersiap-siap untuk melakukan penetrasi ke liang kewanitaan si gadis sebelum sesuatu menderu dan menerjangnya.Dugh!Melemparkan sosok itu jauh ke samping. Ia terhempas dan terbalik-balik dengan kondisi celana yang melorot hingga ke mata kaki.Bandit yang memegangi kedua tangan sang gadis tercekat begitu menyadari temannya terpental, hanya saja ia tidak punya cukup waktu untuk menyadari sebelum sesuatu menghantam dadanya dan itu membuatnya terpental hingga tubuhnya tersuruk ke dalam semak belukar.Bukh!Lalu bandit yang sedang menganiaya pria tua itu, ia bahkan belum sadar sama sekali bahwa dua rekannya telah dibikin terpental oleh seseorang sebab posisinya yang membelakangi kedua temannya itu.Saat bandit yang satu itu mengangkat tinggi tangannya untuk memukuli wajah pria tua, sesuatu menahan tangannya, ia memaksakan dengan seluruh tenaganya, tapi
“Tentu saja kami bisa melakukan itu,” jawab si orang tua, ia saling pandang dengan anak gadisnya. “Tapi, ada hubungan apakah gerangan anak muda ini dengan mendiang Sialang Babega?”Pandangan gadis manis tersebut pun seakan menuntut penjelasan yang sama terhadap Buyung Kacinduaan.Buyung cukup menyadari hal ini, dan dia masih ingin merahasiakan jati dirinya dari orang-orang. Paling tidak, sampai ia mengetahui siapa sesungguhnya yang telah membunuh seluruh anggota keluarganya.“Tidak,” ujar Buyung. “Menurut apa yang tadi Apak Tuo katakan, sepertinya mendiang Sialang Babega itu memang pantas mendapatkan penghormatan.”“Aah…” si orang tua mengangguk-angguk meskipun ia tidak begitu yakin dengan alasan pemudah gagah itu. “Kau benar, orang gagah. Dia memang sepantasnya menerima penghormatan.”“Apakah kita akan langsung pulang saja, Abak?” tanya sang gadis pada ayahn
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a