“Tentu saja kami bisa melakukan itu,” jawab si orang tua, ia saling pandang dengan anak gadisnya. “Tapi, ada hubungan apakah gerangan anak muda ini dengan mendiang Sialang Babega?”
Pandangan gadis manis tersebut pun seakan menuntut penjelasan yang sama terhadap Buyung Kacinduaan.
Buyung cukup menyadari hal ini, dan dia masih ingin merahasiakan jati dirinya dari orang-orang. Paling tidak, sampai ia mengetahui siapa sesungguhnya yang telah membunuh seluruh anggota keluarganya.
“Tidak,” ujar Buyung. “Menurut apa yang tadi Apak Tuo katakan, sepertinya mendiang Sialang Babega itu memang pantas mendapatkan penghormatan.”
“Aah…” si orang tua mengangguk-angguk meskipun ia tidak begitu yakin dengan alasan pemudah gagah itu. “Kau benar, orang gagah. Dia memang sepantasnya menerima penghormatan.”
“Apakah kita akan langsung pulang saja, Abak?” tanya sang gadis pada ayahn
Butuh empat kali peminuman teh, barulah Buyung Kacinduaan sampai juga di lokasi bekas rumahnya.“Di sinilah lokasi di mana rumah Sialang Babega pernah berdiri, Sati,” ujar si orang tua. “Sebelum orang-orang buruk kulikat[1] membakar rumah itu, membantai keluarganya. Ooh, dewa, kuharap Sialang Babega dan keluarganya tenang di Suwarga.”Ya, samar-samar, Buyung masih dapat mengenali lokasi itu. Lokasi rumahnya. Memang, sudah tidak ada rumahnya lagi di sana, tidak pula puing-puing hangus, semua sudah tertutup rumput liar dan semak belukar.Hanya barisan pohon-pohon di kiri dan kanan itu, juga pohon-pohon yang ada di bagian depan itu saja yang bisa menjadi petunjuk bagi Buyung.Dengan cepat pula bola mata si pemuda berkaca-kaca, namun ia sadar, dua orang di belakangnya itu pasti akan menjadi curiga jika ia menangis.“Di—di mana pusara Sialang Babega itu, Apak Tuo?” tanya Buyung dengan suara yang serak
Memasuki pekarangan rumah pria tua itu, Buyung Kacinduaan melihat seorang wanita yang sama tuanya dengan pria yang masih saja mengapit tangannya.Dan sampai sejauh itu, Buyung sama sekali tidak mengenali mereka. Tidak si pria tua tersebut, tidak anak gadisnya yang di belakang, tidak pula wanita tua yang duduk di beranda sembari mengunyah sirih itu.“Inilah gubuk kami, Sati,” ujar si pria tua. “Jangan sungkan kepada kami yang miskin ini.”Buyung tersenyum. “Apak Tuo, jangan berkata seperti itu. Aku justru merasa senang diundang ke mari.”Sang gadis melangkah lebih cepat, lalu berbelok ke samping dan memasuki gubuk mereka itu dari pintu belakang.“Siapa orang muda gagah yang kau bawa itu?” tanya sang wanita tua pada pria tua yang adalah suaminya. “Anak orang hanyut di mana yang kau bawa pulang?”“Hentikan saja merepetmu itu,” sahut si pria tua. “Kau hanya membikin ma
“Apa yang telah terjadi padamu, Buyung?” tanya wanita tua di tengah tangisnya, ia terus memeluk pemuda itu.Tidak ada yang bisa diperbuat Buyung Kacinduaan dengan hal tersebut selain mengusap-usap punggung wanita tua yang telah membantu kelahiran dirinya, dahulu.“Kenapa kau tega membohongi Amak Tuo-mu ini?”“Amak,” Buyung mengecup puncak kepala wanita tua itu. “Maafkan aku.”Si pria tua tersenyum dalam haru, ia mengusap-usap bahu pemuda tersebut sementara Upik Andam pun telah berurai air mata.Sungguh, Upik Andam sama sekali tidak menyangka, bocah tujuh tahun yang dulu sering ia ajak bermain itu, bocah yang selalu ingin tahu banyak hal itu, kini menjelma menjadi pemuda yang gagah menawan.Perlahan-lahan, Buyung duduk di tepi lantai beranda, memeluk wanita tua yang menangis di dadanya.Pria tua itu pun duduk bersila kaki di samping kiri Buyung. Sementara Upik Andam kembali ke dalam gubuk
“Buyung,” ujar Upik Andam. “Uda Masuga juga memiliki kepingan yang sama. Dia bilang, kepingan itu bahkan lebih berharga dari nyawanya sendiri.”“Kalaulah benar apa yang kau katakan itu,” ujar pria tua kepada Buyung Kacinduaan. “Sudah barang tentu, kepingan itu pulalah yang hendak diminta Datuk Hulubalang itu dari mendiang ayahmu.”“Yaah,” Buyung mengangguk. “Seperinya apa yang Apak Tuo katakan benar.”“Dan,” pria tua menghela napas dalam-dalam. “Aku tidak paham dengan kepingan itu, tidak mengerti sama sekali meski si Upik Andam pernah memperlihatkan benda itu padaku, tetap saja tidak aku mengerti, untuk apa atau seberharga apa kepingan tembikar itu.”“Entahlah,” sahut Buyung. “Aku pun tidak paham sama sekali. Ibu hanya berkata, perlihatkan tanda khusus itu kepada orang-orang Kerajaan dan sebutkan nama ayahku, mereka pasti sudah paham. Hanya it
“Tidak ada hal yang bisa dijadikan hiburan,” ujar Buyung. “Mungkin itu pulalah sebabnya orang-orang lebih suka bergunjing.”“Yaah, kau mungkin benar,” sahut Upik Andam. “Terlebih lagi, dengan kehidupan penduduk yang semakin sulit seperti saat sekarang ini. Nah…!”Lalu, Upik Andam menggisar rambut pemuda tersebut yang telah ia potong menjadi pendek sembari tertawa-tawa.“Ada apa, Uni?” tanya Buyung.“Kau sungguh beruntung, Buyung,” ujar Upik Andam.“Beruntung?”“Ya, beruntung,” balas sang gadis. “Kau laki-laki, tapi rambutmu sangat-sangat halus dan lebat, aku rasa tidak aku saja, semua gadis pasti akan iri padamu. Kau lihat rambutu ini, lebih kasar dari rambutmu. Menyedihkan!”“Aah…” Buyung terkekeh. “Apakah karena itu Uni memaksaku untuk memotong pendek rambutku?”“Benar sekali!
Pada pagi harinya, Buyung Kacinduaan bangun lebih cepat dari yang lainnya di dalam gubuk itu. Ia telah mandi, dan telah pula berpakaian.Pakaian itu adalah pakaian yang diberikan oleh Upik Andam kemarin sore kepadanya. Pakaian yang sesungguhnya milik ayahnya Upik Andam sendiri, akan tetapi sangat jarang digunakan.Tapi pakaian itu cukup pas di tubuh Buyung. Baju dan celana komprang itu berwarna coklat tua. Buyung juga menerima kain belikat, tapi bukan dari jenis yang mahal mengingat kondisi kehidupan Upik Andam dan keluarganya yang miskin.Kain belikat itu ia ikatkan di pinggangnya hingga ke sejengkal di atas lutut. Kini, penampilan pemuda gagah—yang semakin gagah menawan dengan potongan rambut pendeknya itu—sudah terlihat seperti seorang pendekar atau pesilat pada umumnya, meski hanya kurang pada deta di kepalanya saja.Paling tidak, dengan begini Buyung mungkin akan lebih terlindungi dari hawa dingin. Atau, yang menurut ucapan Upik Andam sor
“Aku memang pikun,” ujar si wanita tua dengan begitu lirih, “tapi aku tidak buta, Buyung. Se—selama ini, aku menyimpan semua kenyataan ini. Aku selalu berdoa pada para dewa dan dewi, agar suatu saat kelak, aku diberikan kesempatan untuk menyampaikan berita ini.”Buyung Kacinduaan memang tidak tahu seperti apa si Sutan Kobeh itu, atau pula anaknya yang dimaksudkan si wanita tua. Tapi ia masih bisa mengingat dengan jelas, bahwa Sutan Kobeh adalah Panghulu Nagari Bukit Apit Puhun.‘Para dewata di Suwarga,” jerit Buyung di dalam hati. ‘Kukuhkan hatiku untuk tidak terbawa dalam amarah. Inyiak, tolong lindungi aku…’“Dulu,” lanjut si wanita tua dengan kabar kebenaran yang telah lama ia simpan seorang diri. “Aku sempat akan mengatakan hal ini kepada Datuk Hulubalang itu, tapi aku masih ragu. Dan ketika aku benar-benar berniat akan mengatakan hal ini, sayangnya, dia telah pergi, kembali ke Ke
“Sudahlah, Suamiku,” ujar si wanita yang begitu angkuh duduk di kursinya itu. “Kau ambil saja anak-anak mereka, jadikan budak di rumah kita ini!”Bola mata Buyung Kacinduaan tidak bisa lebih lebar lagi mendengar ucapan istri dari pria yang bertelanjang dada itu.‘Manusia macam apa pula mereka?’ tanya Buyung yang sungguh tidak mempercayai pendengarannya sendiri. ‘Suami dan istri sama saja bejatnya!’Sementara kesembilan orang yang berlutut dan bersujud itu menggerung, mengerang dalam tangis demi mendengar ucapan si wanita yang berbalut pakaian dari kain yang mewah, serta perhiasan yang ada di leher, kedua tangan, bahkan di pergelangan kedua kakinya.“Ampun, Tuan Wali,” ujar seorang pria, sementara istrinya memeluk anak gadisnya yang masih delapan tahun itu. “Jangan lakukan ini pada kami. Kami janji, secepatnya akan mengumpulkan uang upeti itu.”“Janji kalian tak lebih sepe
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a