Share

Benang Merah

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-25 03:12:54

“Buyung,” ujar Upik Andam. “Uda Masuga juga memiliki kepingan yang sama. Dia bilang, kepingan itu bahkan lebih berharga dari nyawanya sendiri.”

“Kalaulah benar apa yang kau katakan itu,” ujar pria tua kepada Buyung Kacinduaan. “Sudah barang tentu, kepingan itu pulalah yang hendak diminta Datuk Hulubalang itu dari mendiang ayahmu.”

“Yaah,” Buyung mengangguk. “Seperinya apa yang Apak Tuo katakan benar.”

“Dan,” pria tua menghela napas dalam-dalam. “Aku tidak paham dengan kepingan itu, tidak mengerti sama sekali meski si Upik Andam pernah memperlihatkan benda itu padaku, tetap saja tidak aku mengerti, untuk apa atau seberharga apa kepingan tembikar itu.”

“Entahlah,” sahut Buyung. “Aku pun tidak paham sama sekali. Ibu hanya berkata, perlihatkan tanda khusus itu kepada orang-orang Kerajaan dan sebutkan nama ayahku, mereka pasti sudah paham. Hanya it

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Keakraban

    “Tidak ada hal yang bisa dijadikan hiburan,” ujar Buyung. “Mungkin itu pulalah sebabnya orang-orang lebih suka bergunjing.”“Yaah, kau mungkin benar,” sahut Upik Andam. “Terlebih lagi, dengan kehidupan penduduk yang semakin sulit seperti saat sekarang ini. Nah…!”Lalu, Upik Andam menggisar rambut pemuda tersebut yang telah ia potong menjadi pendek sembari tertawa-tawa.“Ada apa, Uni?” tanya Buyung.“Kau sungguh beruntung, Buyung,” ujar Upik Andam.“Beruntung?”“Ya, beruntung,” balas sang gadis. “Kau laki-laki, tapi rambutmu sangat-sangat halus dan lebat, aku rasa tidak aku saja, semua gadis pasti akan iri padamu. Kau lihat rambutu ini, lebih kasar dari rambutmu. Menyedihkan!”“Aah…” Buyung terkekeh. “Apakah karena itu Uni memaksaku untuk memotong pendek rambutku?”“Benar sekali!

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-25
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kenyataan yang Terkuak

    Pada pagi harinya, Buyung Kacinduaan bangun lebih cepat dari yang lainnya di dalam gubuk itu. Ia telah mandi, dan telah pula berpakaian.Pakaian itu adalah pakaian yang diberikan oleh Upik Andam kemarin sore kepadanya. Pakaian yang sesungguhnya milik ayahnya Upik Andam sendiri, akan tetapi sangat jarang digunakan.Tapi pakaian itu cukup pas di tubuh Buyung. Baju dan celana komprang itu berwarna coklat tua. Buyung juga menerima kain belikat, tapi bukan dari jenis yang mahal mengingat kondisi kehidupan Upik Andam dan keluarganya yang miskin.Kain belikat itu ia ikatkan di pinggangnya hingga ke sejengkal di atas lutut. Kini, penampilan pemuda gagah—yang semakin gagah menawan dengan potongan rambut pendeknya itu—sudah terlihat seperti seorang pendekar atau pesilat pada umumnya, meski hanya kurang pada deta di kepalanya saja.Paling tidak, dengan begini Buyung mungkin akan lebih terlindungi dari hawa dingin. Atau, yang menurut ucapan Upik Andam sor

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-25
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selama Hayat Dikandung Badan

    “Aku memang pikun,” ujar si wanita tua dengan begitu lirih, “tapi aku tidak buta, Buyung. Se—selama ini, aku menyimpan semua kenyataan ini. Aku selalu berdoa pada para dewa dan dewi, agar suatu saat kelak, aku diberikan kesempatan untuk menyampaikan berita ini.”Buyung Kacinduaan memang tidak tahu seperti apa si Sutan Kobeh itu, atau pula anaknya yang dimaksudkan si wanita tua. Tapi ia masih bisa mengingat dengan jelas, bahwa Sutan Kobeh adalah Panghulu Nagari Bukit Apit Puhun.‘Para dewata di Suwarga,” jerit Buyung di dalam hati. ‘Kukuhkan hatiku untuk tidak terbawa dalam amarah. Inyiak, tolong lindungi aku…’“Dulu,” lanjut si wanita tua dengan kabar kebenaran yang telah lama ia simpan seorang diri. “Aku sempat akan mengatakan hal ini kepada Datuk Hulubalang itu, tapi aku masih ragu. Dan ketika aku benar-benar berniat akan mengatakan hal ini, sayangnya, dia telah pergi, kembali ke Ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-25
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pasangan Bejat

    “Sudahlah, Suamiku,” ujar si wanita yang begitu angkuh duduk di kursinya itu. “Kau ambil saja anak-anak mereka, jadikan budak di rumah kita ini!”Bola mata Buyung Kacinduaan tidak bisa lebih lebar lagi mendengar ucapan istri dari pria yang bertelanjang dada itu.‘Manusia macam apa pula mereka?’ tanya Buyung yang sungguh tidak mempercayai pendengarannya sendiri. ‘Suami dan istri sama saja bejatnya!’Sementara kesembilan orang yang berlutut dan bersujud itu menggerung, mengerang dalam tangis demi mendengar ucapan si wanita yang berbalut pakaian dari kain yang mewah, serta perhiasan yang ada di leher, kedua tangan, bahkan di pergelangan kedua kakinya.“Ampun, Tuan Wali,” ujar seorang pria, sementara istrinya memeluk anak gadisnya yang masih delapan tahun itu. “Jangan lakukan ini pada kami. Kami janji, secepatnya akan mengumpulkan uang upeti itu.”“Janji kalian tak lebih sepe

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-26
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Manusia yang Berlagak Menjadi Harimau

    “Mati kau!” teriak si Wali Jorong.Serangan itu memang tidak main-main, pikir Buyung. Bahkan dari gerakan mencakar kedua tangan itu, Buyung dapat mendengar suara-suara gesekan jari dengan udara seolah gesekan pisau tajam pada permukaan besi.Tidak ingin memandang enteng, Buyung menyikut punggung si pria besar, hingga pria besar terpental dan terhempas di dekat temannya yang sebelumnya telah tersungkur di sana.Kedua pria tinggi besar itu masih meraung-raung. Yang satu, jari dan pergelangan tangan kanannya remuk, sedang yang satu siku tangan kanannya patah ke arah dalam.Sementara si istri Wali Jorong itu malah memandang sinis pada keduanya, lalu pandangan itu berubah menjadi pandangan mesum ketika kembali pada sosok si pemuda tampan.Buyung Kacinduaan menghadapi cakar-cakar berdesing itu dengan jurus cakar pula. Empat cakar saling mencoba melukai tangan lawan masing-masing.Jelas Wali Jorong itu bukanlah pendekar silat biasa, pik

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-26
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Terpedaya

    Sang Wali Jorong lantas mengentakkan dua cakarnya ke depan, tidak ada lagi gerakan mencakar-cakar cepat seperti sebelumnya, kali ini ia sengaja ingin beradu kekuatan tenaga dalamnya dengan pemuda yang di matanya masihlah sangat mentah itu.Buyung Kacinduaan menerima itu, dua cakarnya pun dientakkan ke atas menyongsong dua cakar si Wali Jorong.Desg—desg!Dua cakar kembali saling bertemu untuk sesaat, dan tubuh si Wali Jorong tertahan di udara.“Mampus kau, anak muda!” teriak si Wali Jorong yang memforsir semua tenaga dalamnya ke kedua tangan lalu tersalurkan kek kedua cakarnya.Buyung mengentakkan satu kakinya lebih kuat ke tanah.Dhumm…!Satu ledakan tenaga dalam tercipta. Kuatnya ledakan mampu menggetarkan halaman depan rumah tersebut, sembilan penduduk biasa yang ada di sana sama menjerit ketakutan, mereka saling berangkulan dengan keluarga masing-masing.Akan halnya si Wali Jorong itu, tubuhnya terp

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-26
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Prinsip

    Cersss!Dua cakar si Wali Jorong yang menjejak di dada Buyung Kacinduan sama berdesis kencang laksana besi panas tersiram air dingin.Hanya saja, si Wali Jorong terperangah sebab cakarnya itu sama sekali tidak sanggup melukai dada si pemuda, hanya pakaiannya itu saja yang berlubang sebanyak jumlah jari tangan sang Wali Jorong.Kebingungan itu pun terlihat di wajah istri si Wali Jorong. Tidak mungkin hal ini terjadi! Pikirnya. Bagaimanapun, ia cukup tahu bahwa Cakar Harimau Besi suaminya itu bahkan mampu menembus batu dan besi.‘Apakah pemuda itu jauh lebih sakti dari suamiku?’ tanya si wanita di dalam hati. ‘Si—siapa dia sebenarnya?’Sementara dua pria berbadan besar di sudut kanan sana juga sama terperangahnya. Mereka saling pandang, menelan ludah, dan ketakutan jelas menjalar di tubuh keduanya. Tidak berpikir dua kali, mereka pun bangkit dengan cepat lalu melarikan diri dari kawan tersebut. Jika kedua tuan mereka saj

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-26
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Tanpa Amarah

    “Apakah kalian ingin meneruskan perkelahian ini?” ujar Buyung Kacinduaan, meski begitu, ia tidak ingin lengah. Ia tetap waspada dengan segala kemungkinan, terlebih lagi terhadap wanita di ujung kiri halaman tersebut.“Kau sombong sekali, orang muda!” teriak si Wali Jorong yang sedang bersila di tanah.“Sombong?” ulang Buyung. “Aku hanya tidak mau berubah menjadi orang-orang seperti kalian yang tidak memiliki rasa kemanusiaan terhadap manusia lainnya.”Seakan masih kurang percaya bahwa kesaktian dan tenaga dalamnya dapat dikalahkan begitu mudah, si wanita kembali melesat kencang ke arah si pemuda.Buyung sudah mengantisipasi hal ini, begitu wanita itu menyerangnya, ia sudah bersiap sedia.Telapak si wanita menderu ganas seiring gerakan tubuhnya yang aneh itu. Buyung pun bersiap-siap menggunakan jurus telapaknya juga. Hanya saja, begitu telapak wanita itu akan mendekati tubuhnya, telapak itu berubah ben

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-26

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status