“Apakah kalian ingin meneruskan perkelahian ini?” ujar Buyung Kacinduaan, meski begitu, ia tidak ingin lengah. Ia tetap waspada dengan segala kemungkinan, terlebih lagi terhadap wanita di ujung kiri halaman tersebut.
“Kau sombong sekali, orang muda!” teriak si Wali Jorong yang sedang bersila di tanah.
“Sombong?” ulang Buyung. “Aku hanya tidak mau berubah menjadi orang-orang seperti kalian yang tidak memiliki rasa kemanusiaan terhadap manusia lainnya.”
Seakan masih kurang percaya bahwa kesaktian dan tenaga dalamnya dapat dikalahkan begitu mudah, si wanita kembali melesat kencang ke arah si pemuda.
Buyung sudah mengantisipasi hal ini, begitu wanita itu menyerangnya, ia sudah bersiap sedia.
Telapak si wanita menderu ganas seiring gerakan tubuhnya yang aneh itu. Buyung pun bersiap-siap menggunakan jurus telapaknya juga. Hanya saja, begitu telapak wanita itu akan mendekati tubuhnya, telapak itu berubah ben
Si wanita berdiri dan melangkah mendekati suaminya, si Wali Jorong yang masih bersila di tanah demi mengurangi rasa sakit di dalam dadanya.“Kalian berdua diberi amanah oleh Kerajaan Minanga,” ujar Buyung Kacinduaan pada pasangan suami-istri tersebut. “Menjadi Wali Jorong demi kemajuan dan kemakmuran dusun ini. Nyatanya, kalian malah membebankan upeti kepada penduduk, bahkan, dengan teganya kalian akan merampas anak-anak mereka.”“Jangan kau banyak cakap, orang muda!” ujar si Wali Jorong, sementara istrinya sudah berada di sampingnya. “Kalau kau hendak membunuh kami, lakukan saja. Kuakui, kesaktian dan tenaga dalammu melebihi kami berdua. Jadi, hentikan saja omong kosongmu itu!”Buyung tersenyum tipis. “Kalian benar-benar pasangan yang tidak punya hati,” ujarnya. “Kutanyakan pada kalian, apakah Datuk Panghulu Nagari mengetahui tentang ini? Datuk Hulubalang Nagari?”“Aku merasa k
Di waktu yang bersamaan ketika Buyung Kacinduaan sedang menghadapi si Wali Jorong dan istrinya yang licik itu, di rumah Sutan Kobeh si Panghulu Nagari. Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak yang kini telah berusia 30 tahun sedang melakukan satu hal yang sangat-sangat tidak terpuji.Di ruang depan yang luas di dalam rumah utama tersebut, Sutan Kobeh terikat pada satu tiang yang ada di tengah-tengah ruangan. Kondisi pria yang kini berusia 50 tahun itu terlihat sangat-sangat menyedihkan.“Ayah berpikir bahwa aku tidak mengetahui apa yang telah Ayah perbuat pada ibuku?” ujar Darna sembari menyeringai. Wajah itu kini telah ditumbuhi kumis dan jenggot yang cukup lebat. “Begitukah yang Ayah pikir?”“Ka—kau…” Sutan Kobeh tersedak, lalu cairan merah kehitam-hitaman meleleh dari mulutnya hingga membasahi dadanya. “Kau anak yang tidak tahu balas budi, Darna!” teriaknya.Darna menden
Darna Dalun meninggalkan saja mayat Sutan Kobeh terikat seperti itu pada tiang di tengah-tengah ruangan, semua isi perut pria setengah baya itu bergeletakkan di lantai, di dekat kakinya.Pria itu membuka pintu kamar utama, namun ia tidak menemukan siapa-siapa di sana, tidak pula di kamarnya yang telah lama dipakai oleh adik tirinya. Sebab, beberapa tahun terakhir, Darna sudah tidak tinggal di rumah itu lagi.Hari ini, ia datang dengan satu perhitungan kepada Sutan Kobeh. Andaikan saja sang ayah mengakui perbuatannya, dan meminta maaf kepada Darna karena secara tidak langsung telah membunuh ibu kandung Darna, besar kemungkinan Darna akan memaafkan itu.Tapi tidak, keegoan Sutan Kobeh mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah itu.Kini Darna Dalun tahu pasti, dari siapa ia mendapat sifat keras kepala, kejam, dan selalu ingin mendapatkan apa pun yang ia inginkan.Benar. Semua itu diturunkan dari Sutan Kobeh sendiri. Darna benci kenyataan ini, ia bahk
Buyung Kacinduaan baru saja menjejakkan kakinya di pekarangan depan yang luas dari sebuah rumah besar ketika ia mendengar jeritan dua wanita, jeritan yang melambangkan ketakutan sekaligus kehilangan yang begitu besar.Tatapan pemuda itu tertuju pada pintu depan rumah yang setengah terbuka. Sekali lompat, pemuda itu sudah berada di depan pintu. Ia mendorong perlahan-lahan pintu itu untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk.Betapa tercengangnya si pemuda gagah ketika melihat pemandangan di depan matanya kini.Dua orang wanita sama menggerung menahan tangis, keduanya berlutut di lantai ruangan, menangisi jasad seseorang yang terikat pada sebuah tiang penyangga atap di tengah-tengah ruangan.Kedua wanita itu tidak lain pasangan ibu dan anak gadisnya, Lamina dan Laluna. Dan jasad dengan isi perut terburai itu tidak lain adalah jasad Sutan Kobeh.Sepeninggal Sijundai Bakuku Api sebelumnya, dan ketika mereka sudah lama menunggu di
Buyung Kacinduaan menghela napas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari Lamina.“Baiklah, Uni,” ujarnya. “Sesungguhnya, saya hendak menjumpai Datuk Panghulu Nagari, orang-orang memberi arahan ke rumah Uni.”Lamina mendesah panjang, tatapannya tertuju pada gundukan tanah basah di hadapan mereka.“Yang engkau kuburkan tadi itu,” ujar Lamina. “Adalah Datuk Panghulu, orang muda.”Tidak ada yang bisa diperbuat oleh Buyung dengan hal tersebut. Kenyataannya, sedari awal sang pemuda sudah bisa menebak jika jasad yang terikat pada tiang itu tadi adalah jasadnya Sutan Kobeh.Entah ia harus merasa senang atau pula berduka dengan kejadian tak terduga ini, Buyung sendiri pun tidak tahu.Hanya saja, jika sudah begini, tentu satu-satunya petunjuk yang tersisa adalah pada putra sulung mendiang Sutan Kobeh yang sampai pada saat sekarang ini, belum terlihat batang hidungnya sama sekali. Set
“Be—berarti,” Laluna menelan ludah. “Ka—kau, kau datang hendak membunuh abang tiriku?”Buyung Kacinduaan tersenyum. Itu pertanyaan yang sangat sulit untuk ia jawab begitu saja. Jikalau mengikut hati yang panas, jawabannya sudah jelas iya. Hanya saja, sepuluh tahun kebersamaannya dengan si Harimau Putih Bermata Biru itu, telah mengajarkan banyak hal bagi Buyung.Belas kasih, memaafkan, adalah di antara apa yang dipelajari Buyung dari segala tingkah laku si Harimau Dewa tersebut sebelumnya.“Kau bicara apa, Nak?” ujar Lamina. “Keluarga dia dibantai oleh Darna, bahkan… bahkan ibunya sedang hamil besar kala itu.”“Yaah,” Buyung tertunduk, tersenyum hambar. “Itu memang benar.”Laluna semakin terkesiap, ia tidak menyangka bahwa Darna Dalun akan sampai setega itu. Hanya saja, setelah menyaksikan bagaimana jasad sang ayah, Laluna tidak berpikir lebih baik lagi terhad
‘Apakah ini sesuatu yang baik?’ pikir Buyung di dalam hati.Bukan tentang kerajaan yang harus dipimpin oleh seorang ratu—toh, kenyataannya masyarakat Minangkabau Kuno sudah menjalani praktek matrilineal—tapi, lebih kepada usia sang ratu itu sendiri yang masih terbilang sangat muda.‘Bukankah akan lebih cakap jika takhta dipegang oleh orang yang berpengalaman dalam memimpin?’“Apakah kau tahu, Buyung,” ucap Lamina, lagi. “Suamiku pernah bilang, bahwa semenjak takhta Minanga dipegang oleh Ratu Mudo, begitu orang-orang memberi gelar pada Puti Pandan Sahalai, kehidupan masyarakat Kerajaan Minanga di segala penjuru tidak pernah lagi sama.”“Ma—maksud Uni?” tanya Buyung dengan kening mengerut.“Apakah kau sudah bertemu dengan Wali Jorong pengganti ayahmu?”“Yaah,” Buyung Kacinduaan mengangguk cepat. “Dan dia, bukanlah jenis manusia yang bisa
Pada sebuah lorong yang suram dengan penerangan dari pelita togok damar yang tersusun setiap 10 hasta di sepanjang dinding lorong itu sendiri, menuju ke penjara bawah tanah, Kerajaan Minanga, Batang Kuantan.Cukup banyak yang menjadi tahanan di penjara bawah tanah tersebut. Kesemuanya, adalah orang-orang yang dicap sebagai pengkhianat kerajaan. Orang-orang yang sebelumnya bekerja untuk kerajaan, namun dengan satu dua kesalahan, mereka akhirnya berakhir di sana.Tapi itu sudah lebih bagus daripada mendapatkan hukuman mati sekeluarga.Seorang gadis yang memiliki kecantikan begitu memikat hati, menyusuri lorong itu. Ia mengenakan pakaian khusus bernama Baju Batabue[1] dari kain beledu tipis berwarna dasar hitam. Pakaian serupa baju kurung itu memiliki corak putih dengan sulaman benang emas, sepadan dengan Kain Lambak[2] yang membalut bagian bawah tubuhnya.Sang gadis tidak mengenakan selendang penutup kepala yang biasan
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a