Share

Perpisahan

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-22 01:52:45

Sama. Sang harimau putih tetap tidak menanggapi pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Buyung Kacinduaan.

Buyung hampir-hampir berputus asa dengan sikap makhluk buas itu yang sangat berbeda sekali dari biasanya, meskipun ia menyadari ini sudah terjadi sedari semalam, namun kali ini jelas semakin parah.

‘Seolah-olah, Inyiak Balang sedang meninggalkan perangai…’ sampai di sana, bola mata Buyung membesar menatap sosok makhluk buas berbulu tebal putih bergaris hitam di hadapannya itu.

Buyung menelan ludah dengan wajah yang begitu cemas, dan berharap apa yang melintas di pikirannya barusan itu tidak akan menjadi kenyataan.

Tidak, tidak, tidak… ini tidak mungkin!

Meski demikian, tak urung degup jantung pemuda itu menjadi kacau balau, dengan deru napas yang memburu. Mau tidak mau, ia harus menentramkan perasaannya atau ini akan mempengaruhi tenaga dalamnya, yang berarti pula akan mengacaukan keselarasan racun-racun di dalam

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Jasad yang Tak Membusuk

    Buyung Kacinduaan masih memeluk kepala sang harimau putih yang telah mencapai batas usianya itu. Sang pemuda menangis tersedu-sedu, mengusap-usap leher sang harimau.“Apa yang harus aku lakukan jika Inyiak meninggalkanku seorang diri seperti ini?”Sang pemuda tenggelam dalam kesedihannya. Tidak sekali jua terpikirkan olehnya jika suatu saat kelak ia harus berpisah seperti ini dengan makhluk buas yang selama sepuluh tahun telah melindunginya, mengajarinya banyak hal meski tidak secara langsung, atau setidaknya tanpa arahan berupa kata-kata yang jelas.Tidak sekali jua.Buyung menarik tubuh tak bernyawa itu lebih jauh ke pelukannya, dan untuk beberapa waktu lamanya, ia hanya menangis seperti itu saja.Ia sadar, ia sudah melanggar janjinya sendiri untuk tidak lagi menangis. Tapi ia tidak kuasa dengan kenyataan ini.Dan kalaupun ia harus menerima hukuman berat atas pelanggaran janjinya itu, Buyung bahkan rela dihukum mati saja oleh p

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-22
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hadiah Terakhir

    “Bahkan waktu pun tak hendak mengurai tubuhmu, Inyiak…” Buyung Kacinduaan menghela napas dalam-dalam.Entah disebabkan pengaruh suhu yang sejuk di dalam gua tersebut yang menjadikan jasad si Harimau Putih Bermata Biru itu terawetkan, atau pula ada penyebab lain.Yang pasti, untuk sekarang ini, Buyung tidak bisa berpikir banyak. Kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk ia memikirkan penyebab dari bangkai itu tidak membusuk sama sekali.Untuk sesaat, Buyung duduk berlutut menghadap jasad sang harimau putih, tua tangan bersitekan ke lututnya demi menopang tubuh yang sudah lemah.Bagaimanapun, ia harus mendapatkan makanan, ia harus mengisi perutnya, atau ia pun akan menemui kematian sebagaimana dengan jasad di hadapannya itu.Lalu, tatapan Buyung tertuju pada karambit yang tergeletak di lantai, di sisi kanan depan dari posisi ia duduk berlutut dengan kepala menekur.Lama memandangi benda tajam itu, tiba-tiba Buyung terperang

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-22
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Aku Pergi Inyiak

    Butuh waktu dua puluh tujuh hari bagi Buyung Kacinduaan untuk menghabiskan semua daging di tubuh sang harimau putih, hingga kini yang tersisa dari sang Penunggu Lembah Ngarai Sianok itu hanyalah tulang belulang dan kulitnya yang berbulu tebal.Selama waktu itu pula Buyung melakukan kegiatan yang sama. Ia tidak lagi mengonsumsi cacing-cacing bercahaya itu, atau pula empedu ular berbisa.Tidak sama sekali.Setiap pagi, setelah ia memakan sekepal daging sang harimau, Buyung akan mengulang semua gerakan-gerakan yang ia pelajari. Gerakan-gerakan dari sang harimau putih sendiri yang terekam dengan sangat baik dalam ingatannya.Sang pemuda berlatih silat hanya berdasarkan insting dan kecerdasannya saja, di dalam gua itu yang menjadi saksi bisu akan kegigihan pemuda tersebut.Setelah berlatih dan menciptakan gerakan-gerakan pukulan, telapak, dan cakar, juga gerakan-gerakan kaki seharian, Buyung akan keluar dari dalam gua selalu di setiap sore. Dan melanjut

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Mengikuti Jejak Samar

    Di ambang mulut gua itu, Buyung Kacinduaan menghirup udara dalam-dalam, berdiri tenang untuk sesaat.Rambutnya yang hitam legam dan panjang sepunggung itu riap-riapan diembus sang angin. Buyung membawa sedikit kenangannya bersama sang harimau putih. Yakni, pada pergelangan kedua tangannya yang tertutup bulu harimau putih itu sendiri, lalu pada pinggangnya yang menahan celana komprang usang itu.Itu saja yang ia ambil dari bulu sang harimau putih sebagai pengingat baginya bahwa ia pernah dilindungi oleh sosok yang telah sangat lama disakralkan para penduduk.Dengan telapak kaki dilapisi terompah yang terbuat dari jalinan kulit kayu, Buyung akhirnya meninggalkan mulut gua tersebut.Sekali lagi ia melirik ke arah gua yang tersembunyi oleh kerimbunan semak belukar tersebut sebelum akhirnya ia melangkah ke arah utara.Ya, utara. Setidaknya, dalam masa sepuluh tahun itu, Buyung sudah mencoba mengingat-ingat dan memetakan di dalam kepalanya setiap sisi le

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Dusun Tercinta

    Detik selanjutnya sang pemuda melayang turun.Bandit yang telah melorotkan celananya itu bersiap-siap untuk melakukan penetrasi ke liang kewanitaan si gadis sebelum sesuatu menderu dan menerjangnya.Dugh!Melemparkan sosok itu jauh ke samping. Ia terhempas dan terbalik-balik dengan kondisi celana yang melorot hingga ke mata kaki.Bandit yang memegangi kedua tangan sang gadis tercekat begitu menyadari temannya terpental, hanya saja ia tidak punya cukup waktu untuk menyadari sebelum sesuatu menghantam dadanya dan itu membuatnya terpental hingga tubuhnya tersuruk ke dalam semak belukar.Bukh!Lalu bandit yang sedang menganiaya pria tua itu, ia bahkan belum sadar sama sekali bahwa dua rekannya telah dibikin terpental oleh seseorang sebab posisinya yang membelakangi kedua temannya itu.Saat bandit yang satu itu mengangkat tinggi tangannya untuk memukuli wajah pria tua, sesuatu menahan tangannya, ia memaksakan dengan seluruh tenaganya, tapi

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Penderitaan Penduduk Dusun

    “Tentu saja kami bisa melakukan itu,” jawab si orang tua, ia saling pandang dengan anak gadisnya. “Tapi, ada hubungan apakah gerangan anak muda ini dengan mendiang Sialang Babega?”Pandangan gadis manis tersebut pun seakan menuntut penjelasan yang sama terhadap Buyung Kacinduaan.Buyung cukup menyadari hal ini, dan dia masih ingin merahasiakan jati dirinya dari orang-orang. Paling tidak, sampai ia mengetahui siapa sesungguhnya yang telah membunuh seluruh anggota keluarganya.“Tidak,” ujar Buyung. “Menurut apa yang tadi Apak Tuo katakan, sepertinya mendiang Sialang Babega itu memang pantas mendapatkan penghormatan.”“Aah…” si orang tua mengangguk-angguk meskipun ia tidak begitu yakin dengan alasan pemudah gagah itu. “Kau benar, orang gagah. Dia memang sepantasnya menerima penghormatan.”“Apakah kita akan langsung pulang saja, Abak?” tanya sang gadis pada ayahn

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Empat Pusara

    Butuh empat kali peminuman teh, barulah Buyung Kacinduaan sampai juga di lokasi bekas rumahnya.“Di sinilah lokasi di mana rumah Sialang Babega pernah berdiri, Sati,” ujar si orang tua. “Sebelum orang-orang buruk kulikat[1] membakar rumah itu, membantai keluarganya. Ooh, dewa, kuharap Sialang Babega dan keluarganya tenang di Suwarga.”Ya, samar-samar, Buyung masih dapat mengenali lokasi itu. Lokasi rumahnya. Memang, sudah tidak ada rumahnya lagi di sana, tidak pula puing-puing hangus, semua sudah tertutup rumput liar dan semak belukar.Hanya barisan pohon-pohon di kiri dan kanan itu, juga pohon-pohon yang ada di bagian depan itu saja yang bisa menjadi petunjuk bagi Buyung.Dengan cepat pula bola mata si pemuda berkaca-kaca, namun ia sadar, dua orang di belakangnya itu pasti akan menjadi curiga jika ia menangis.“Di—di mana pusara Sialang Babega itu, Apak Tuo?” tanya Buyung dengan suara yang serak

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Mata yang Tak Bisa Dibohongi

    Memasuki pekarangan rumah pria tua itu, Buyung Kacinduaan melihat seorang wanita yang sama tuanya dengan pria yang masih saja mengapit tangannya.Dan sampai sejauh itu, Buyung sama sekali tidak mengenali mereka. Tidak si pria tua tersebut, tidak anak gadisnya yang di belakang, tidak pula wanita tua yang duduk di beranda sembari mengunyah sirih itu.“Inilah gubuk kami, Sati,” ujar si pria tua. “Jangan sungkan kepada kami yang miskin ini.”Buyung tersenyum. “Apak Tuo, jangan berkata seperti itu. Aku justru merasa senang diundang ke mari.”Sang gadis melangkah lebih cepat, lalu berbelok ke samping dan memasuki gubuk mereka itu dari pintu belakang.“Siapa orang muda gagah yang kau bawa itu?” tanya sang wanita tua pada pria tua yang adalah suaminya. “Anak orang hanyut di mana yang kau bawa pulang?”“Hentikan saja merepetmu itu,” sahut si pria tua. “Kau hanya membikin ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status