Share

Rimbo Mati

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-15 13:23:10

“Benar juga!” ujar Mak Utiah. “Kita akan memasuki kawasan Rimbo Mati, tetaplah tenang. Dan lebih baik kalian menundukkan wajah.”

Semua orang yang ada di dalam perahu itu tentu sudah mengetahui perihal tersebut, terkecuali bagi Mantiko Sati sendiri yang hanya bisa kebingungan dengan apa yang diucapkan oleh pria setengah baya itu.

Mak Utiah melangkah ke belakang, mendekati si pemuda rupawan.

“Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?” tanya sang pemuda dengan suara yang dipelan-pelankan.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Bertarung di Atas Perahu

    “Keluarkan uang kalian…!” titah si penyamun kedua dengan suara yang menggelegar.Para penumpang perahu semakin menggigil terutama gadis yang sedang diperhatikan oleh si penyamun pertama.Penyamun yang satu itu terkekeh seraya mengusap-usap paha sang gadis.“To—tolong,” ucap sang gadis dengan tertunduk dan suara yang bergetar. “Ja—jangan sakiti saya.”“Keluarkan…!” teriak si penyamun

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-15
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sampai ke Akar

    Tap-tap-tap!Tendangan beruntun dapat ditahan oleh Mantiko Sati dengan rentetan jurus telapak tangannya.Si penyamun kedua berputar kencang meski tubuhnya masih mengambang di udara.Whuut!Takk!Si pemuda rupawan menyilangkan dua tangan di atas kepalanya, menahan serangan tendangan berputar yang lebih ganas dari si penyamun kedua.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-15
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Tidak Ada Pilihan

    Si penyamun yang baru saja mendarat di sampan sisi kiri itu terkejut karena tahu-tahu Mantiko Sati telah melesat ke arah dirinya bahkan dengan meluncurkan satu tendangan keras yang telak mengenai dadanya.Krakk!Penyamun yang satu itu bahkan tidak sempat untuk sekadar melenguh, mungkin pula ia langsung pingsan sebab tak terlihat jelas di wajahnya yang tertutup topeng. Tubuh itu terpental jauh ke belakang dan tercebur ke dalam sungai.Begitu tendangannya mengenai sasaran, Mantiko Sati memutar tubuhnya sedemikian rupa, lalu berakhir dengan melesatkan tendangan lai

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-15
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Wujud Rasa Syukur

    Di atas sampan kecil itu, Mantiko Sati menjaga keseimbangan tubuh agar sampan tersebut dapat mengikuti arah dari perahu besar, dan sepertinya, Mak Utiah sedikit bisa memahami apa yang akan dilakukan pemuda itu sehingga ia tidak mendorong perahu besar itu dengan galah bambu di tangannya.“Sati!” teriak Mak Utiah, “di depan, sungai berbelok ke kanan. Hati-hatilah!”Mantiko Sati tersenyum, seolah sedang berselancar di permukaan sungai itu, ia mampu mengendalikan arah dan laju sampan kecil hanya dengan memiringkan tubuhnya ke kiri atau ke kanan, dan bahkan terkadang merunduk jauh ke depan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-15
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Batas Baik dan Buruk

    “Maaf, tapi saya menolak,” ucap Mantiko Sati seraya tersenyum dan menahan galah bambu itu.“Ooh, dan sekarang kau hendak mandongkak[1] aku pula?” Mak Utiah terkekeh-kekeh dan hal itu memancing tawa semua orang.“Tidak,” ucap si pemuda rupawan. “Saya tidak berani, takut kualat.”“Nah, kalau begitu, kau nikmati sajalah makanan kami ini dengan tenang, Sati.”“Tiah, tadi sebelum mena

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Berpisah

    “Hanya sekejap lagi saja, Sati,” jawab Mak Utiah. “Bersabarlah sedikit.” Mantiko Sati tersenyum, ia mengangguk dan kembali mengawasi arah dan kelajuan perahu besar yang mereka tumpangi. Dan ternyata itu memang benar. Sebab, di beberapa titik yang mereka lalui, Mantiko Sati melihat satu dua perahu para pemancing, atau sampan kecil yang mmembawa setumpuk sayuran, rumput pakan ternak. Yaa, sepertinya mereka memang akan segera tiba di satu keramaian. Bukankah balai juga bermakna sesuatu yang ramai? Sang pemuda rupawan tersenyum seorang diri. Orang-orang itu masih saja membicarakan betapa lihainya Mantiko Sati dalam menghajar penyamun-penyamun itu tadi. Hanya saja, Mantiko sati sendiri tak hendak mendengarkan hal tersebut. Selain karena pemuda itu tidak terbiasa dengan kata-kata pujian, ia sendiri pun tak hendak menjadi sombong ataupun angkuh dengan semua pujian itu nantinya. Ia menengadah, sang surya sebentar lagi akan berada di titik sepe

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ramai Tapi Menyedihkan

    “Di sana banyak penipu,” ucap si Malin sembari tersenyum-senyum memandang kepada Mantiko Sati.“Aah, begitu, ya?” Mantio Sati mengelus kepala bocah 12 tahun tersebut.“Itu benar,” ucap Mak Utiah. “Dengar baik-baik, Sati. Kau pemuda yang baik hati dan tidak tahan untuk tidak turun tangan membantu orang-orang. Tapi kau harus ingat, dunia ini sangat luas yang berarti manusia punya seribu satu muka dan seribu satu kelicikan. Jikalau bisa, hendaklah kau berhati-hati dalam memutuskan satu perkara di sana nanti. Jangan semua hal kau pandang lantas kau inginkan. Kau dengar aku?”Mantiko Sati mengangguk. “Terima kasih, nasihat Mak Utiah akan aku ingat selalu.”Ya, bagaimanapun, ia memang sangat bersyukur bahwa pria setengah baya itu telah memberikan banyak hal padanya. Tumpangan ke Singkarak ini, minuman dan makanan, lalu kepingan-kepingan uang tembaga, dan juga nasihat yang barusan itu.Sudah sepa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kehidupan yang Berbeda

    Mantiko Sati merasa kepalanya begitu pusing, ia berhenti di satu titik di antara keramaian itu, terbungkuk-bungkuk dan satu tangan bertumpu pada sebuah pohon di tepian sungai. Ia terengah-engah, setiap kali ia mengangkat wajahnya memandangi orang-orang itu ia kembali tertunduk dengan wajah pucat yang berkeringat.Tidak ada yang bisa ia lihat. Orang-orang itu, perahu-perahu dan kapal yang hilir mudik, atau pula bangunan-bangunan tumpang tindih di sekitarnya, semua terlihat seperti cahaya redup yang bergetar memusingkan mata.Tidak ada suara yang jelas di sana, hanya keheningan yang lambat laun menjadi dengungan halus yang sangat menyiksa gendang telinga.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status