POV Adrian
“Adrian, aku merasa hancur. Aku hanya ingin membuat semua orang bahagia, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya,” Livia berkata, suaranya penuh kesedihan.
Aku merasakan rasa bersalah yang semakin menggerogoti diriku. “Livia, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu. Aku hanya… aku hanya merasa bingung,” kataku, berusaha menjelaskan.
Dia menggelengkan kepala. “Kau tidak menyakitiku. Ibu yang melakukannya. Aku merasa terjebak di antara keduanya,” katanya, mengusap air matanya.
Hatiku hancur mendengarnya. Dalam pikiranku, aku mengingat semua kesalahan yang pernah aku buat, kesalahan yang mengubah segalanya. Saat aku melakukan sesuatu yang sangat bodoh, yang membuat Livia merasa tidak berharga. Saat itu, aku tidak berpikir tentang dampak dari tindakanku. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.
“Livia, ing
POV AdrianAkhirnya, setelah beberapa saat, ibunya mulai melunak. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Livia. Mungkin aku terlalu keras,” katanya, suara lebih lembut.Livia menatap ibunya dengan penuh harap. “Ibu, aku ingin kita bisa saling mendukung. Aku ingin merasa bisa berbicara tanpa takut,” katanya.Kami bertiga duduk dalam keheningan, dan aku merasa ada perubahan di udara. Mungkin, hanya mungkin, kami bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan ini.Ketika percakapan itu berakhir, aku merasakan beban yang terangkat dari bahu Livia. Dia tersenyum, dan aku bisa melihat bahwa harapan baru telah tumbuh di hatinya. Kami berhasil menghadapi tantangan besar ini bersama-sama.“Adrian, terima kasih telah mendukungku,” Livia berbisik, matanya berbinar.“Aku akan selalu ada untukmu, Livia. Kita bisa melalui ini bersama,” kataku,
POV LiviaSaat Adrian dan aku duduk di ruang tamu, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang telah aku tunggu-tunggu, tetapi sekaligus juga membuatku cemas. Dengan berani, aku memutuskan untuk berbicara tentang perasaanku dengan ibuku. Namun, aku juga merasa bahwa jika Adrian ada di sampingku, aku akan lebih kuat.Ketika ibuku datang, suasana terasa tegang. Dia melihatku dengan tatapan yang penuh pertanyaan, dan aku tahu bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua yang terpendam di hatiku.“Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kataku, berusaha menenangkan suara yang bergetar.Aku bisa merasakan tatapan Adrian yang mendukung di sampingku, dan itu memberiku keberanian.“Aku merasa sangat terbebani oleh harapan-harapan yang selalu kamu berikan padaku,” lanjutku.Melihat wajah ibuku yang terkej
POV LiviaSaat aku berjalan menuju ruang rapat, aku merasakan jantungku berdebar. Meski sudah beberapa kali hadir dalam rapat, tetap saja ada rasa gugup yang menghampiriku. Namun, kali ini aku berusaha untuk tidak membiarkan rasa cemas itu menguasai diriku. Aku telah melalui banyak hal dengan Adrian, dan aku tahu aku bisa melakukannya.Setelah memasuki ruang rapat, aku meletakkan dokumen di meja dan melihat para peserta rapat yang sudah menunggu. Mereka semua adalah eksekutif senior, dan aku merasa sedikit terintimidasi. Namun, saat Adrian masuk dan menyapaku dengan senyum, aku merasa tenang.“Terima kasih, Livia. Kamu selalu tepat waktu,” katanya, lalu berbalik ke arah peserta rapat. “Baiklah, mari kita mulai.”Selama rapat, aku duduk di samping meja, mendengarkan setiap diskusi dengan seksama. Adrian memimpin dengan percaya diri, menjelaskan rencana dan strategi perusahaan den
POV LiviaTiba-tiba aku mendengar Adrian mulai mengigau. “Livia… aku… maaf… tidak seharusnya…” suaranya pelan tetapi penuh emosi. Aku mengerutkan dahi, merasa sedikit khawatir.“Adrian, kamu baik-baik saja?” tanyaku pelan, tetapi dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia terus mengigau. “Aku menyesal… aku tidak seharusnya memberikanmu obat itu… tidak seharusnya… aku membuatmu… keguguran…”Hatiku terhenti. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Semua kenangan tentang malam itu, saat kami berada di restoran, kembali menyerang pikiranku. Saat itu, kami sedang dalam situasi yang penuh tekanan, dan keputusan yang diambil Adrian benar-benar menghancurkan segalanya. Aku merasa marah, bingung, dan sakit hati sekaligus.“Mengapa kamu mengigau tentang itu, Adrian?” tanyaku, suaraku bergetar. “Menga
POV LiviaAku mengambil tas dan keluar dari rumah. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, tetapi di sisi lain, ada rasa lega yang menyelinap. Mungkin dengan pergi, aku bisa mendapatkan sedikit ketenangan dan jarak dari semua yang terjadi.Setelah keluar dari rumah Adrian, rasa marah dan sakit hati masih membara di dalam diriku. Aku merasa tertekan oleh semua tuduhan yang dilemparkan, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya mendukungku. Aku tidak bisa tinggal di tempat yang membuatku merasa tidak diinginkan, dan saat itu, keputusan untuk pergi terasa seperti satu-satunya cara untuk meredakan semua emosi yang menggerogoti.Saat aku berjalan menjauh dari rumah Adrian, aku merasakan air mata menggenang di mataku.Suara Adrian yang memanggil namaku dari belakang seolah menghilang dalam riuhnya pikiran.“Livia! Tunggu!” teriaknya, tetapi aku tidak
POV LiviaMalam itu, aku terbaring di tempat tidur, dikelilingi oleh keheningan yang menyelimuti rumah ibuku. Dalam keadaan sepi itu, pikiranku terus berputar, mencoba mengurai kekacauan yang ada di dalam hatiku. Setiap kali aku menutup mata, bayangan Adrian muncul, dan rasa sakit yang dia sebabkan kembali menghantui.Aku merenungkan semua yang terjadi antara kami. Ketika kami pertama kali bersama, semuanya terasa begitu indah. Namun, kini, aku tidak bisa mengabaikan rasa curiga yang menggerogoti pikiranku. Apakah dia benar-benar mencintaiku, ataukah aku hanya menjadi pelampiasan emosinya?Adrian selalu terlihat seperti sosok yang kuat dan tegas, tetapi di balik semua itu, aku mulai meragukan ketulusan niatnya. Apa dia menikahiku sebagai bentuk balas dendam? Balas dendam pada semua orang yang pernah menyakitinya? Atau mungkin pada diriku sendiri karena aku tidak bisa memberikan apa yang dia ingi
POV LiviaSambil menyantap sarapan, aku berusaha merenungkan semua ini. “Apa yang sebenarnya aku inginkan?” tanyaku dalam hati. “Apakah aku ingin kembali kepada Adrian, ataukah aku harus mencari jalanku sendiri?”Ibu memperhatikan ekspresi wajahku, seolah bisa membaca pikiranku. “Livia, kamu tidak perlu terburu-buru. Berikan dirimu waktu untuk merenung. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu,” katanya, menepuk tanganku.Rasa syukur mengalir dalam diriku. Mungkin, dengan dukungan ibuku yang baru, aku bisa menemukan jawabanku. Mungkin, hanya mungkin, perjalanan ini bisa membawaku untuk mengenal diriku sendiri lebih dalam.Setelah sarapan, aku memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Udara segar di luar rumah membangkitkan semangatku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak, menikmati keindahan alam di sekitarku. Saat itu, aku merasakan ketenangan yang lama tidak kurasakan.
POV Livia Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman. Aku melihat pasangan-pasangan yang duduk di bangku, saling menggenggam tangan, berbagi cerita, dan tertawa. Saat melihat mereka, hatiku terasa sedikit sakit. Apakah aku akan pernah merasakan kebahagiaan itu lagi?Namun, saat aku berjalan lebih jauh, aku melihat seorang ibu yang sedang mengajari anaknya bersepeda. Anak itu tampak gugup, tetapi ibunya dengan sabar membimbingnya. “Ayo, kamu bisa! Keseimbangan itu penting!” serunya dengan semangat. Melihat momen itu membuatku tersadar. Dalam hidup, ada kalanya kita harus jatuh sebelum bisa bangkit. Mungkin, inilah saatnya bagiku untuk belajar berdiri sendiri. Setelah beberapa saat, aku menemukan bangku kosong yang menghadap kolam. Aku duduk di situ dan menutup mata, membiarkan suara air dan suara alam mengalir ke dalam diriku. Aku perlu memberi diriku ruang untuk merenung dan mendapatkan perspektif baru. Dengan menutup mata, aku mulai membayangkan
POV LiviaMaya merangkulku sebelum pergi. "Ingat, Livia. Kau tidak sendirian. Aku di sini jika kau butuh sesuatu," ujarnya, menatapku dengan penuh perhatian.Setelah Maya pergi, rumah terasa sepi. Suara televisi yang sebelumnya ramai kini hanya menjadi latar belakang yang membosankan. Aku kembali duduk di sofa, berusaha untuk tidak berpikir tentang rasa sakit di lututku dan kesepian yang tiba-tiba menyelimuti.Malam semakin larut, dan aku merasa sendirian. Aku meraih ponselku, berharap ada pesan dari Adrian yang bisa menghiburku. Namun, tidak ada yang masuk. Rasa hampa mulai menyelimuti hatiku. Mengapa rasanya sulit sekali untuk menghadapi keadaan ini?Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film, tetapi tidak ada yang bisa menarik perhatianku. Setiap kali aku melihat jam, harapanku untuk melihat Adrian pulang semakin pudar. Akhirnya, aku memutuskan untuk berbaring di tempat tidur, mencoba meredaka
POV LiviaSetelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat.Setelah beberapa saat, Adrian tiba di rumah. Wajahnya tampak cemas saat melihatku duduk di sofa dengan kaki terangkat. "Livia! Maafkan aku karena aku gak bisa mengantarkan mu ke rumah sakit.”"Aku baik-baik saja, Adrian. Kaki ku hanya butuh dikompres saja, dan tidak ada yang perlu dicemaskan," kataku, berusaha menenangkan suasana. Meskipun ada rasa sakit, aku tidak ingin membuatnya merasa bersalah atau khawatir lebih dari yang diperlukan.Adrian masih tampak gelisah, tetapi aku bisa melihat bahwa dia berusaha untuk tenang. "Tapi aku tidak ingin kau mengalami ini sendirian. Aku seharusnya ada di sini untukmu," ujarnya, berusaha mencari alasan untuk mengurangi rasa bersalahnya."Ini bukan kesalahanmu, Adrian. Kau sedang sibuk dengan peke
POV LiviaSetelah beberapa lama, aku mulai merasa lelah. Rasa sakit di lututku membuatku ingin segera beristirahat."Adrian, aku mulai merasa mengantuk. Apa kita bisa istirahat sebentar?" tanyaku, menguap kecil."Ya, tentu saja. Mari kita istirahat," jawabnya sambil mematikan film. Dia membantuku bangkit, dan kami menuju ke kamar.Ketika kami sampai di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur dan mencoba mengangkat kaki yang sakit. Adrian melihatku dengan penuh perhatian. "Kau ingin aku membantu merawat lututmu?" tanyanya, nada suaranya lembut."Kalau bisa, aku akan sangat menghargainya," kataku, merasa sedikit canggung.Rasa sakitnya cukup mengganggu, tetapi aku tidak ingin merasa merepotkan.Dia mengambil kotak P3K dan mulai merawat lukaku. Sentuhan lembutnya membuatku merasa nyaman. "Ini mungkin akan sedikit terasa, tetapi aku akan be
POV Livia Saat aku berjalan pincang menuju Toko Buku, pikiranku masih dipenuhi dengan perdebatan yang baru saja terjadi. Aku sangat ingin mendukung Adrian, tetapi aku juga khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tekanan dari ibunya dan Marlina sangat besar, dan aku tidak ingin dia merasa terjebak.Ketika aku tiba di Toko Buku, Rina, atasanku, segera melihatku. "Livia! Apa yang terjadi? Kenapa kau pincang?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran."Aku jatuh di kantor Adrian. Lututku sedikit terluka," jawabku, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya.Rina mengernyitkan dahi, mendekatiku. "Kau tidak terlihat baik. Mari, aku akan membantumu. Kita bisa mencari obat untuk mengurangi rasa sakitmu."Aku mengangguk, merasa bersyukur dengan perhatian Rina. Saat kami menuju ruang belakang untuk mencari obat, hatiku masih bergejolak dengan perasaan campur aduk. Semua yang terjadi di kantor Adrian masih terbayang jelas di pikiranku."Apakah semuanya baik-baik saja di ka
POV LiviaRasa cemas mulai menggelayuti pikiranku."Apa yang mereka lakukan di sini?" gumamku dalam hati. Aku merasa terjebak antara ingin tahu dan takut akan apa yang akan kutemui.Tanpa berpikir panjang, aku mengikuti mereka dari jauh, berusaha mendengarkan percakapan mereka saat memasuki kantor Adrian. Suara mereka samar, tetapi aku bisa merasakan ketegangan di udara. Ada sesuatu yang besar sedang direncanakan di balik pertemuan ini.Kutatap pintu kaca yang memisahkan aku dari ruang kerja Adrian. Di dalam, aku melihat Adrian duduk di mejanya, tampak lelah dan tertekan. Ibu dan Marlina berdiri di depannya, berbicara dengan nada yang mendesak. Hatiku bergetar melihatnya berada dalam situasi seperti itu.Aku memaksa diriku untuk mendekat, berusaha menangkap setiap kata yang mereka ucapkan."Adrian, kau harus mempertimbangkan ini dengan serius. Ini adalah
POV AdrianIbuku adalah sosok yang kuat, dan tekadnya untuk menyelamatkan perusahaan tidak akan surut hanya karena penolakanku. Namun, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Livia. Dia adalah bagian terpenting dari hidupku, dan aku bersumpah untuk melindungi hubungan kami."Adrian, bagaimana jika kita mencari solusi lain untuk perusahaan?" Livia tiba-tiba bertanya, membangkitkan semangat dalam diriku. "Mungkin kita bisa melakukan presentasi kepada investor baru, menunjukkan visi kita yang sebenarnya.""Itu ide yang bagus," jawabku. "Kita bisa merancang proposal yang menunjukkan potensi pasar dan keunggulan produk kita. Mungkin kita juga bisa mendekati investor yang lebih fleksibel dan memahami nilai-nilai kita."Livia tersenyum, matanya berbinar penuh semangat. "Aku bisa membantumu membuat presentasi itu. Kita bisa bekerja sama untuk merumuskan strategi yang tepat."Kami mulai berdiskus
POV Adrian"Ada apa, Adrian? Kenapa wajahmu terlihat tegang?" tanyanya, mendekat."Aku baru saja berbicara dengan ibuku dan Marlina," kataku, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Mereka ingin aku menikah dengan Marlina minggu depan."Mata Livia membelalak. "Apa? Kenapa mereka melakukan itu?" dia tampak bingung dan marah."Mereka bilang itu untuk kerja sama perusahaan. Tapi aku menolak. Aku tidak bisa melakukannya, Livia. Aku mencintaimu, dan aku tidak akan mengorbankan hubungan kita," jelasku, berusaha menenangkan dirinya.Livia terlihat terharu, tetapi juga sedikit kecewa. "Adrian, aku tidak ingin kau berada di posisi sulit seperti ini. Aku tidak ingin kau merasa tertekan karena aku.""Tidak, Livia. Ini semua tentang kita. Aku berkomitmen padamu, dan tidak ada yang bisa mengubah itu," kataku dengan tegas.Dia tersenyum, tetapi aku bisa meliha
POV Adrian “Bagus sekali. Selain itu, penting untuk memantau ovulasi. Menggunakan aplikasi atau kalender untuk mencatat siklus menstruasi dapat membantu kalian mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mencoba hamil.” “Itu ide yang bagus. Kami akan mengatur itu,” jawab Livia “Setelah semua ini, kita akan menjadwalkan pertemuan rutin untuk memantau kesehatan Livia dan perkembangan program hamil. Ingat, komunikasi yang baik di antara kalian berdua sangat penting.” “Kami berkomitmen untuk saling mendukung. Terima kasih, Dokter, atas semua informasinya,” kata ku. “Sama-sama. Saya senang bisa membantu kalian. Ingatlah, perjalanan ini memerlukan waktu, jadi bersabarlah dan nikmati setiap langkahnya.”Aku merasakan beban di pundakku sedikit menghilang. Aku tahu b
POV LiviaAdrian ikut tertawa. “Itu lucu! Mungkin dia juga butuh sedikit hiburan selain pengembangan diri,” katanya, menatapku dengan senyum hangat.“Sepertinya kau sudah menemukan tempat yang tepat,” kata Adrian, menatapku dengan penuh perhatian.“Aku merasa begitu! Ini adalah langkah yang tepat untukku,” kataku, merasakan keyakinan mengalir dalam diriku. “Setiap buku di toko itu bercerita, dan aku ingin menjadi bagian dari cerita-cerita itu. Aku ingin membantu orang menemukan buku yang tepat untuk mereka.”Adrian mengangguk, tampak mengerti betapa pentingnya hal ini bagiku. “Itu luar biasa, Livia. Kau memang selalu punya passion untuk buku dan literatur. Ini adalah kesempatan yang sempurna untuk mengejar impianmu.”Saat kami sampai di rumah, aku merasakan kehangatan yang menyelimuti. Hari pertama di toko buku telah membe