“Aku nggak bisa, Mas!” kata Freya gugup. “Kamu biasanya nggak nyuruh kayak gini, tapi kamu langsung ...”“Justru biar kamu terbiasa,” kata Gennaro lagi. “Aku mau kita lebih deket lagi sebagai pasangan, biarpun kita nggak pernah pacaran sebelumnya.”Freya menelan ludah. Dia harus mengakui bahwa berada di dekat Gennaro tidak senyaman saat dia berada di dekat Deo.Tetapi dia sudah memilih Gennaro untuk menjadi suaminya, mau tidak mau dirinya memang harus membiasakan diri untuk bisa seintim mungkin dengan laki-laki ini.***Ketika kuliahnya menginjak awal semester empat, Deo baru menyadari bahwa dia sekampus dengan Ertania, cewek belia yang dulu sering berdiri di depan pintu gedung futsal.Deo tidak sengaja bertemu Ertania saat dia sedang menunggu mata kuliah berikutnya di taman kampus. Untungnya Septian tidak sedang bersamanya, sehingga Deo bisa lebih leluasa menyapa cewek itu.“Ertania!”Cewek belia itu menoleh dan dengan cepat mengenalinya.“Amadeo? Kuliah di sini juga?” sapanya antusi
“Gue duluan ya, Sep? Veren mau nyamperin gue ke sini,” kata Deo sambil bersiap pergi. Septian menganggukkan kepalanya sementara Deo berjalan pergi meninggalkan kantin.Di taman kampus, Deo mengambil ponselnya dan bermain game selama menunggu kedatangan Veren. Seru sekali dia bermain sampai tidak peduli pada keadaan sekitar, termasuk ketika beberapa mahasiswa berbisik-bisik di dekatnya.“Mati lo! Mati lo! Mati lo!” bisik Deo menghayati game yang sedang dimainkannya.“... kasian, abis jatuh kali dia ...”“... itu darahnya nggak brenti-brenti ...”“... nggak berani nolong gue, takut tambah parah ...”Deo menoleh ketika bisik-bisik di sekitarnya semakin ramai. Dilihatnya seseorang sedang duduk di belakangnya dan sibuk mengusap wajahnya dengan tisu berhelai-helai.“Tania?” Deo melongok dan melihat cewek itu agak kerepotan menghentikan aliran darah yang keluar dari lubang hidungnya.“Deo?” Tania menoleh memandang Deo sambil menyumpal hidungnya dengan tisu agar darahnya mampet.“Kamu mimisa
“Oh, sebelomnya emang udah pernah ketemu?” komentar Veren. “Di mana?”“Pas gue latihan futsal,” kata Deo jujur.“Dia ikut main futsal?” tanya Veren polos.“Enggak, dia nunggu temennya di gedung futsal,” jawab Deo memperjelas.Septian pikir Veren akan mencak-mencak seperti di adegan-adegan film perselingkuhan yang sering ditonton ibunya di kala senggang. Namun ternyata reaksi Veren nampak biasa-biasa saja, meskipun Deo nyata-nyata telah menggendong cewek lain tepat di depan kedua matanya.Pasangan yang absurd, begitu pikir Septian.***Sepanjang perjalanan ke rumah orang tuanya, Deo dan Veren terdiam tanpa sedikitpun membicarakan soal Tania lagi. Seumur-umur, baru sekali itulah mereka terjebak dalam suasana kecanggungan yang sangat aneh.Veren yang biasanya cerewet, lebih memilih diam seribu bahasa saat Deo membawanya pulang dari kampus ke rumah orang tuanya. Deo sendiri merasa tidak punya hak untuk memulai pembicaraan, sehingga dia membiarkan saja kecanggungan ini terus terjadi.Sesa
Tanpa perlu melucuti pakaiannya, Deo menjatuhkan dirinya sendiri namun Veren berhasil berguling tepat waktu sehingga tubuhnya tidak tergencet.Veren buru-buru bangun dan turun dari tempat tidur, tapi Deo tidak kalah cepat. Dia mengulurkan tangannya dan berhasil menarik baju yang dipakai istrinya hingga robek.“Yo, lo udah gila?” pekik Veren histeris.Deo tidak mengerti setan apa yang telah merasukinya, dia terus menarik baju Veren yang sudah robek dan dalam sekali sentak, Veren berhasil jatuh menimpanya.“Pokoknya lo harus tanggung jawab kali ini,” kata Deo sambil memandang tajam Veren yang kini berada di atas tubuhnya.“Jangan Yo, gue nggak mau!” Veren menggeleng dengan rambut yang sudah sangat berantakan. “Lepasin gue!”Tetapi Deo sudah tidak peduli apa pun lagi, darah muda yang mengalir dalam dirinya sudah menggelegak tanpa mampu dikontrol olehnya. Endapan magma panas yang bergolak menuntutnya untuk segera diletuskan keluar.Dengan gerakan cepat, Deo membalikkan posisinya hingga Ve
“Makan, Kak.” Deo mengangkat sendoknya kemudian mulai mengeksekusi bubur ayamnya.Gennaro hanya tersenyum singkat, dia kurang suka makan di depan jalan seperti ini karena khawatir wajahnya bisa belepotan dan akan sedikit mengurangi nilai plusnya di hadapan orang-orang.Berbeda sekali dengan Deo yang fleksibel dan cuek, oleh karenanya dia mampu makan kapanpun dan di manapun selama dia lapar. Masalah risiko wajahnya belepotan kena makanan, itu hal yang wajar dan bisa diatasi dengan dilap menggunakan serbet.“Kakak kalo mau kejar tayang buat ngasih mama cucu, aku dukung kok,” kata Deo di sela-sela makannya. “Tinggal Kak Freya-nya aja gimana.”“Temen-temenku udah pada punya momongan semua soalnya,” timpal Gennaro. “Sip,” sahut Deo dengan mulut penuh. Dia lapar sekali setelah semalam bertengkar hebat dengan Veren.Deo sebenarnya hanya terpancing emosi sesaat karena kata-kata nyelekit Veren yang terus saja menyudutkannya. Padahal Veren sendiri yang tanpa sadar memulainya dengan melanggar b
“Lo bener-bener mancing kesabaran gue ya, Ver?” desis Deo sambil membungkuk memandang Veren yang menutupi aset-asetnya dengan kedua lengannya. “Kurang baik apa gue sama lo? Elo tuh nggak ada hormat-hormatnya dikit ya sama suami?” Veren cemberut kesal. “Elo duluan yang lempar kaos ke muka gue!” sergahnya. “Lo mau tahu kenapa kaosnya sampe gue lempar? Karena gue nggak mau lihat elo cuma belitan handuk doang!” tegas Deo. “Kalo elo nggak mau gue sentuh, lo juga jangan seenaknya ngumbar tubuh lo di depan mata gue.” “Gue kan nggak punya baju ganti, wajar dong gue cuma belitan handuk?” Veren membela dirinya. “Kan elo yang udah ngerobekin baju gue, nggak inget?” Deo terdiam. Ada benarnya juga sih, batinnya. “Tetep aja, kalo elo ngelempar balik kaos itu, handuk lo nggak akan merosot kayak tadi.” Kali ini Deo tidak mau disalahkan. “Sekarang lihat tampilan lo, udah kek manusia purba betina.” “Enak aja kalo ngomong!” sergah Veren sambil berusaha melontarkan Deo dari tubuhnya sebelum suasan
“Lah, emang lo nggak pengin suatu saat nikah sama wanita yang lo cintai lahir batin?” tanya Veren lagi. “Wanita yang mau jadi ibu dari anak-anak lo entar? Yang mau nemenin lo dari nol sampe sukses dunia akhirat?”“Amin ....” Deo menimpali.“Kok ‘amin’? Elo kepingin nggak sih?” tukas Veren sambil menepuk-nepuk bantalnya.“Ya pengin lah,” sahut Deo. Terbersit dalam pikirannya bahwa dia ingin wanita yang betul-betul wanita: anggun, lembut, sopan, dan mau nurut. Tidak seperti Veren yang walaupun dia wanita tulen, tetapi dia tidak anggun, tidak lembut, kurang sopan, dan susah diatur.“Ya ayo, lo mesti nyari jauh-jauh hari.” Veren mengingatkan. “Enggak deh,” tolak Deo. “Nggak sekarang juga.”“Tapi kan ...”“Lo mikir nggak sih, mana ada wanita baik-baik yang mau sama suami orang?” potong Deo. “Pelakor dong namanya.”Veren mengerucutkan bibirnya.“Lo jangan berharap banyak deh sama orang yang tertarik sama pasangan orang lain,” kata Deo. “Karena orang baik-baik nggak akan mau merebut seseora
“Dia belom pernah ngenalin saya sama keluarganya.” Cewek itu menggeleng. “Padahal saya sering banget minta dia main ke rumah saya.”Deo tidak berani berkomentar terkait hal ini, karena dia sendiri tidak pernah diizinkan main ke rumah Freya selama lima tahun mereka berpacaran. Deo juga tidak berinisiatif untuk mengenalkan Freya kepada orang tuanya, sehingga tidak ada seorangpun yang tahu tentang hubungan mereka berdua.“Ya ampun, maaf ya. Saya jadi cerita yang nggak penting kayak gini,” ujar Tania sambil mengibas tangannya. “Saya ganggu waktu kamu, ya?”“Nggak, santai aja.” Deo menggeleng sambil tersenyum. “Kalo kamu masih sanggup nunggu, silakan nunggu. Tapi kalo kamu nggak sanggup nunggu, mungkin udah saatnya kamu harus melangkah ...”“Buat ninggalin dia?” potong Tania dengan suara bergetar.“Saya nggak bilang gitu,” ucap Deo, tanpa sadar membiarkan dirinya terlarut dalam emosi yang sedang dirasakan Tania.“Kadang logika sama perasaan saya nggak pernah mau sejalan,” tutur Tania. “Say
Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta
“Masih ada waktu bagi kamu dan Veren untuk memikirkan baik-baik soal nasib pernikahan kalian,” kata mama seraya mengusap kepala Deo. “Mama nggak ngira kamu udah segede ini, Yo. Rasanya baru kemarin sore kamu lulus SMA, dan sekarang kamu udah jadi seorang suami ....”“Mama ngeledek,” dengus Deo sambil tertawa. “Tapi aku tetep nggak mau maksa Veren buat lanjut, Ma. Hidup aku belom mapan, aku juga masih harus kuliah. Mau aku kasih makan apa dia nanti? Nggak mungkin aku terus-terusan hidup nomaden di antara rumah mama sama rumah mertua. Mana harga diri aku sebagai suami, Ma?”Mama Deo tersenyum bijak.“Yo, kamu beruntung punya mertua yang pengertian. Mereka paham kondisi kamu kayak gimana, jadi kami semua sepakat akan membantu kalian sampai bisa hidup mandiri. Itu kalo kalian mau nerusin pernikahan ini. Kalo nggak, kami bisa apa?”Deo menggeleng.“Mana ada cewek yang mau hidup sama aku yang masih blangsak ini?” katanya sambil meneguk susu yang masih tersisa.***Veren memandang kalender
“Mana ada cewek yang bener-bener mau memulai hidup dari nol?” komentarnya. “Nggak ada juga ortu yang rela anaknya diajak hidup susah, kalo di rumah aja kebutuhannya serba tercukupi.” Veren sukses terdiam. “Kalo emang lo mau cerai, gue tunggu gugatan cerai lo di pengadilan agama.” Deo bangun dan memandang Veren yang masih berbaring. “Kita nggak usah ketemu lagi, biar keputusan lo nggak goyah. Gue tau lo lagi bingung Ver, dan gue nggak mau kehadiran gue bikin lo tambah bingung.” Deo menunduk dan mengecup kening Veren lembut. “Gue pergi ya? Kita ketemu lagi di pengadilan,” katanya seraya turun dari tempat tidur Veren. “Yo!” Veren ikut bangun dan menggenggam tangan Deo. “Lo tenang aja, gue akan jelasin ke ortu kita kalo ini adalah jalan paling baik yang harus diambil,” kata Deo tanpa menghentikan langkahnya, dengan tangan Veren masih menggenggamnya erat. Veren mengikuti Deo sampai ke pintu kamar. “Yo, kita masih punya waktu dua minggu ...” katanya. “Gue tau, lo bisa pake waktu du
“Halo, Tan? Oh, jadwal kontrol kamu ya pagi ini?” tanya Deo kepada seseorang di seberang sana, membuat Veren memasang telinganya baik-baik. “Gimana ya ... kalo aku izin dulu gimana, Tan?” lanjut Deo. “Ada Pak Muji kan di sana? Maaf ya kalo aku kurang profesional ... iya, Veren lagi sakit. Potong gaji aja nggak papa, Tan. Iya aku ngerti kok ... uang bisa dicari, tapi istri kan nggak bisa difotokopi.” Veren ingin sekali tertawa mendengar kalimat Deo barusan, tapi dia susah payah menahannya. Jika saja dia sedang tidak pura-pura tidur sekarang, tentu dia akan mengatakan bahwa Deo adalah mesin fotokopinya. “Makasih ya, Tan!” Deo mengakhiri percakapannya di ponsel, setelah itu dia kembali mendekap Veren erat sekali. Veren merasakan tubuhnya seakan mengecil ketika dekapan Deo menariknya semakin dalam dengan tubuhya sendiri. “Anak-anak, sarapan dulu!” Terdengar suara mama memanggil dari luar kamar Veren. “Iya, Ma!” sahut Deo. Pelan-pelan dia melepas Veren kemudian pergi ke toilet sebelum