Sudah dua jam lebih Arsya duduk di salah satu kursi di restoran yang ada hotel tempatnya menginap sejak kemarin malam. Laki-laki yang terlihat macho dengan rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu nampak frustasi. Hidupnya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Emosinya gampang tersulut hanya karena hal-hal sepele. Baru satu jam yang lalu pria itu hampir saja memukul istri yang baru satu hari dinikahinya. Hanya karena tuduhan tidak mendasar dari sangat istri yang menuduhnya menyukai istri adiknya sendiri.Beruntung masih ada satu persen kesadaran dalam dirinya, hingga perbuatan kasar itu urung dilakukannya. Tak ingin menyesal, dia pun memilih pergi meninggalkan wanita itu sendirian di kamar hotel. "Hufhhhh....." Entah sudah berapa kali pria itu menghembuskan nafas kasar. Ada banyak hal yang membebaninya. Dadanya begitu sesak seolah ada baru besar menindihnya. Masalah demi masalah datang silih berganti seperti tak ada habisnya. Belum selesai satu muncul yang lainnya. Baru tad
"Cukup hentikan!!!!" Kirana yang baru saja datang bersama dua orang security berteriak sambil menarik lengan Arsya. "Sudah cukup!!" Kirana hampir menangis melihat Arsya yang terus berontak. Dua security berdiri ditengah-tengah antar dua pria dewasa itu. "Tolong hentikan!!!" Seru salah satu pria berseragam coklat. "Ya Alloh, sudah cukup!!" Wanita berwajah ayu itu sudah tak bisa lagi menahan tangisnya. Suara paraunya membuat Arsya menoleh. "Jika menikahiku membuatmu membenci semua orang, lebih baik ceraikan aku sekarang juga." Dengan deraian air mata Kirana mengucapkan permintaannya. Hatinya sungguh sakit melihat kekacauan dalam keluarga yang diakibatkan oleh kehadiran dirinya. Baru semalam Arsya bertengkar dengan sang adik sampai membuat pria itu mendapat satu pukulan. Dan hari ini, kembali pria jangkung itu berkerlahi di depan umum dan itu pasti karena dirinya. Dua jam Kirana merenungi kejadian demi kejadian yang telah dialaminya. Dan semua itu mengerucut pada satu kesalahan yang
Zamar tersenyum lebar melihat nomor yang tertera dilatar ponselnya. Benda pipih itu berpendar menampilkan sebuah panggilan masuk. "Kenapa tersenyum seperti itu?" Sezha yang duduk disebelah memicingkan mata curiga. "Jangan cemburu, ini telpon dari seorang suami yang sedang kebingungan mencari istrinya." jawab Zamar masih dengan menatap layar ponselnya. Belum ada niat untuk menerima panggilan itu. Nafisah yang berada tak jauh dari dua orang itu pun merasa penasaran. "Siapa?" Merasa bisa menebak wanita bermata lebar itu melirik kearah Kirana yang sedang duduk beralaskan karpet bulu bersama Qiara dan Aydan. Wanita berparas ayu itu ternyata sangat suka anak kecil. Jadi tak butuh waktu lama dia pun bisa langsung akrab dengan Qiara dan Aydan. Zamar mengangkat alisnya dan Nafisah pun faham. Setelahnya pria itu beranjak menuju teras samping rumah. "Halo," sapanya santai lalu tertawa mendengar sambutan yang diberikan dari lawan bicaranya. "Apakah aku tidak salah dengar? Seorang Arsya Putr
Dengan langkah lebar Arsya memasuki rumah sang adik. Langkahnya langsung terhenti begitu sampai di ruang tamu. Matanya menyapu keseluruhan ruangan bercat putih bersih itu. Dimana istrinya? Apa Nafisah berbohong?"Dia ada di ruang tengah bersama Qiara." Nafisah yang baru saja menyusul masuk menunjuk ke dalam rumah. Tak menunggu lama pria itu pun langsung bergegas melangkah masuk. Langkahnya pun kembali terhenti begitu netra hitamnya hanya menangkap bayangan istri Zamar dan dua bocah yang sedang asyik main monopoli. Arsya langsung menoleh pada Nafisah dengan satu alis terangkat. "Kamu berbohong?" ucapnya pelan namun tegas. "Tadi sebelum aku tinggal, Kirana di situ." Tunjuk Nafisah ke arah sebelah Qiara. Gadis kecil yang wajahnya masih sedikit pucat itu pun mendongak. "Sayang, tante Kirana kemana?" "Ke atas," jawab Kirana lalu kembali sibuk dengan permainannya bersama Aydan. "Tadi Kirana izin masuk kamarmu, katanya takut dibawa paksa sama suaminya." Sezha fokus dengan layar televisi
Pov Nafisah. Pukul setengah tujuh malam Kak Shaka sampai rumah. Setengah jam yang lalu aku menelponnya untuk memberi tahu keberadaan kakaknya di rumah kami. Dan suamiku itu langsung pulang padahal aku sudah mengatakan dia tidak perlu khawatir. Semua baik-baik saja. "Kok pakai motor, Kak?" setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya. Seingatku tadi saat berangkat Kak Shaka mengendarai mobil. Dan lagi motor ini buka motor Kak Shaka. "Kalau bawa mobil takut kejebak macet, jadi pinjam motor pegawai kafe," jawabnya setelah memarkir motor bebek yang katanya pinjem itu. "Kamu gak papa kan? Qiara mana, gak papa juga kan?" Wajah lelahnya terlihat sangat khawatir. Jadi membuatku merasa bersalah. "Aku gak papa. Qiara juga gak papa. Kan tadi sudah kubilang, Mas Arsya datang cuma buat jemput Kirana." Rasa bersalah membuatku memeluk tubuh kekar itu. "Maaf sudah buat Kak Shaka khawatir dan panik." Rasanya sangat menyesal telah membuatnya panik seperti ini. Aku tidak bisa membayangk
. "Apa itu artinya kamu mau mengambil alih kembali perkebunan?" Sebuah senyum sinis tercetak di bibir Kak Shaka. "Apa kamu pikir, aku orang yang terbiasa menjilat ludahnya kembali?" Suamiku ini memang selalu sinis jika berbicara dengan kakak kandungnya itu. Entah seperti apa hubungan mereka kenapa terlihat tidak akur. "Kalau tidak ingin mengambil alih lalu kenapa kamu menyuruhku tinggal?" Pria yang bersandar pada sandaran ranjang itu menegakkan tubuhnya. Dia menolak suapan yang diulurkan oleh Kirana. "Perkebunan itu memang milikmu, kamu yang merintisnya dari nol. Kapanpun kamu meminta kembali aku akan mengembalikannya." Sambungnya dengan ekspresi datar. Dua saudara ini memang sangat aneh. Tak pernah sekalipun aku melihat keakraban keduanya. Apakah benar mereka ini saudara kandung? Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. "Teruslah berprasangka buruk. Bukankah itu memang keahlianmu?" tukas Kak Shaka ketus. Setelahnya dia menggandengku keluar kamar. "Apa Kak Shaka tidak bisa bicara bai
"Kuharap Mas Arsya mengerti maksud Kakak. Dan tidak memaksa untuk pergi dari rumah ini." Kataku saat mengantar Kak Shaka dan Qiara ke depan. "Dia pasti mengerti. Meski keras namun jiwa pebisnisnya kuat. Dia pasti tidak akan melepaskan peluang untuk mendapatkan kontrak itu." Aku mengangguk dan tersenyum pada sosok pria didepanku ini. Dia yang paling tahu seperti apa kakaknya itu."Semalam Kakak sudah bicara sama Mas Zamar untuk kemungkinan menitipkan Qiara beberapa hari saat kita ke pergi. Tapi cobalah untuk merundingkannya dulu dengan Aska." Kak Shaka mengelus kepala Qiara. "Seandainya sudah libur sekolah kita akan membawanya." Kembali aku menganggukkan kepalaku. Mengerti maksudnya. "Ya sudah aku berangkat dulu, baik-baik di rumah. Kalau ada apa-apa telpon," pamitnya. "Iya, Kak. Hati-hati." Aku mencium punggung tangan suamiku itu. Tak lupa menyalami Qiara juga. "Assalamu'alaikum." Kompak Kak Shaka dan Qiara sebelum masuk mobil. Setelah menikah Kak Shaka lebih sering membawa mob
"Kak......" Aku berusaha menahan tubuhnya yang menubrukku dan memelukku erat. Yang lebih membuatku kaget dia menciumku secara tiba-tiba dan terkesan kasar juga menuntut. "Emmm....." Kalah dengan dengan tenaganya aku pun hanya bisa mengikuti kemauannya yang membawaku ke atas ranjang kami. "Kak... ada apa?" tanyaku saat bibirnya sudah berpindah menciumi pipi, dagu tak ketinggalan leherku. Tak menjawab, tangannya mulai mengger*yangi tubuhku. Risih, namun aku tak mungkin menolaknya. Aku halal untuknya. Ada apa dengannya? Dia seperti sedang marah? Tapi apa yang membuatnya marah. Belum sampai aku menemukan jawaban atas perlakuannya, pria yang bergelar suamiku itu mulai melucuti helai demi helai kain yang menempel di tubuhku. "Kak,....." Tatapan matanya yang berkabut membuatku menelan ludah. Takut dan bingung akhirnya aku pun pasrah membiarkannya menuntaskan hasratnya. Entah berapa lam kami bergelut dalam surga dunia itu , yang pasti kami melakukannya lebih dari satu kali. Hingga tubuh