"Jangan terus, memikirkan orang lain?" ucap Kak Shaka yang membuatku terlonjak kaget. Pria itu berjalan keluar dari kamar mandi. Wajahnya nampak segar sehabis mandi. Tadi sebelum mandi dia memintaku untuk tidur setelah minum obat. Sejak tadi aku sudah berusaha untuk memejamkan mata tapi entah rasanya begitu sulitnya untuk tidur. Tak menjawab aku hanya menghela nafas. Merunduk, Satu-satunya halnyang bisa kulakukan. "Tiara itu orang lain. Meski Adek menganggapnya tapi dia tidak. Jadi berhenti memikirkan orang itu." Katanya lagi dan tiba-tiba sudah berada di depanku. Naik keatas ranjang, duduk bersandar di sebelahku. "Sebenarnya apa yang sudah Tiara lakukan sampai kamu jadi sakit begini?" tanya dengan tangan merangkul dan menarikku dalam pelukannya. "Dia bilang aku yang egois, sok polos, sombong dan egois. Dan dia juga bilang kalau dia..,.. " Aku mendongak untuk melihat wajah Kak Shaka. "Menyukai Kakak," sambungku dan pria itu malah mengecup hidungku sontak saja aku mengerjab karena
Seperti yang direncanakan resepsi pernikahan kami akan di selenggarakan di sebuah gedung di pusat kota. Tidak banyak tamu yang di undang. Hanya berkisar di angka dua ratusan. Tapi demi kenyamanan Kak Shaka memilih untuk mengadakan resepsinya di gedung saja. Awalnya aku kira suamiku itu tidak punya banyak teman di kota ini, tapi ternyata aku salah. Seratus lebih undangan merupakan jatah tamu yang Kak Shaka minta. Teman sekolah, teman kerja dan keluarga jauhnya juga datang. Tak seperti saat akad nikah, kali ini Mas Arsya Kakak kandung suamiku akan datang juga dengan dengan kerabat dari luar pulau. Tidak hanya tiket pesawat hotel juga ditanggung oleh Kak Shaka. Aku tak berani bertanya berapa banyak uang yang dia keluarkan. Disamping itu uang pribadinya, aku juga merasa tak punya hak untuk ikut campur. Untuk tamu dangan dari pihakku hanya kisaran puluhan. Ya, karena ini merupakan pernikahan kedua ku. Ada sedikit rasa malu untuk mengundang kedua kalinya. Jadi hanya kerabat dekat dan te
Seperti biasa, kami sholat magrib berjamaah di mushola kecil yang berada dilantai dua. Sebuah ruang tanpa pintu yang terletak antara kamar utama dan kamar Qiara. Ini sudah menjadi kesepakatan, saat ada di rumah kami harus sholat magrib berjamaah. Jika sholat lain bisa kami kerjakan sendiri-sendiri, tapi khusus sholat magrib diusahakan untuk berjamaah. Setelah sholat aku turun lebih dulu. Dzikir Kak Shaka hari ini cukup panjang jadi aku selesai lebih dulu. Aku tinggalkan saja dia dengan Qiara, ya karena aku juga harus menyiapkan makan malam. Tadi sore aku sudah masak, jadi sekarang hanya tinggal menyiapkan di atas meja. Nasinya masih panas jadi lauknya tidak perlu dihangatkan lagi. Sepiring cah kangkung, sambel terasi dan ikan kembung goreng lengkap dengan tahu tempe goreng. "Dek," Dari tangga Kak Shaka berjalan menghampiriku yang sedang sibuk menata meja makan. "Tadi selesai sholat Adek kok langsung pergi tanpa cium tangan dulu?" tanyanya berdiri berseberangan denganku. "Kakak d
Pagi ini aku bangun kesiangan, hampir setengah enam. Kalau tidak dibangunkan oleh istriku mungkin aku tidak sempat menjalankan ibadah sholat shubuh.Sejak semalam aku sulit untuk tidur. Karena saking bahagianya sampai mataku sulit terpejam. Bibir tak lelah tersenyum sejak semalam. Hari ini adalah salah satu momen yang paling aku tunggu dalam hidupku. Setelah mampu menghalalkan Nafisah Khumairah sebulan yang lalu dan hari ini resepsi atau walimatul urusyi sebagai salah satu cara mengumumkan status kami kepada orang-orang yang mengenal kami. Meski ini kali kedua untuk Nafisah tapi aku ingin resepsi kali ini menjadi momen paling indah dalam. hidup Nafisah Khumairah.Segala persiapan sudah aku serahkan pada IO ternama dan berpengalaman. Kupercayakan semuanya namun tetap aku awasi. Kutekankan jika pesta harus terlihat mewah tapi elegan dan dikemas dengan kesederhanaan. Aku tetap tidak bia mengabaikan permintaan istriku yang ingin pestanya sesederhana mungkin. Undangan sudah seminggu yang
Pov Shaka. Acara berjalan dengan sangat lancar. Hampir semua yang kami undang datang. Bahkan ada beberapa orang yang tidak diundang namun datang. Alasannya beragam, ada yang merasa kenal lama dengan istriku jadi memutuskan datang meski tidak diundang. Ada yang katanya punya hutang hajatan pada Nafisah. "Kak, Mas Arsyad belum datang?" tanya Nafisah di sela-sela menyalami tamu. Sejak acara dimulai tamu tak henti naik pelaminan dan mengucapkan selamat. Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku. "katanya ada pertemuan penting dengan calon investor yang ingin bekerjasama sama dengan perkebunan kami." Aku mengurai senyum diakhir kalimatku.Aku tak ingin Nafisah berpikir negatif dengan keterlambatan kakak kandungku itu. Hampir semua saudara dan kerabat kami hadir. Dari luar kota juga luar pulau kompak datang tadi pagi dan langsung menuju hotel. Tapi kakak kandungku malah telat dengan alasan pekerjaan. Aku percaya, tak sedikit dari saudara kami berpikir juja kakakku itu sengaja tak datan
Sepanjang jalan aku terus menggerutu karena kesal. Sesekali Nafisah mengelus lenganku. Wanitaku ini masih sangat terlihat cantik meski rautnya nampak kelelahan. Sungguh tak tega melihatnya harus ikut ke kantor polisi malam-malam begini. Dan itu semua karena Mas Arsya. Aku benar-benar tak habis pikir dengan kakakku itu, bisa-bisanya dia membuat masalah yang seharusnya tidak dia lakukan di umurnya yang sudah menginjak 35 tahun."Harusnya dia itu menikah bukan bikin onar di luar rumah." Tanpa sadar aku mengeluarkan unek-unek yang ada dalam hatiku. "Umur sudah kepala tiga bisa-bisa melecehkan wanita di dalam kereta." Aku masih tak bisa mengendalikan diri, mataku fokus ke jalanan tapi mulutku tak bisa lagi diam. Kesal, rasanya. Di malam yang seharusnya aku nikmati dengan istriku, sekarang malah harus kekantor polisi. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. "Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, tenang dulu ya!" Kembali Nafisah mengelus lenganku lembut untuk yang kesekian kal
"Sampai kapan kalian akan terus berdebat?" Aku yang sudah kehilangan kesabaran berusaha menengahi. "Mintalah maaf, biar semua cepat selesai." Karaku menatap Mas Arsya. "Aku gak salah, buat apa minta maaf?" Bukannya menurutiku Mas Arsya malah tidak terima. "Saksi dan bukti menunjukkan kamu yang salah." Rasa lelah dan kesal membuatku terpancing. Detik berikutnya aku pun berdiri. "Apa susahnya mengalah, ini sudah terlarut malam untuk berdebat." "Kak, dengerin dulu Mas Arsya bicara. Mungkin ini salah faham." Nafisah yang sejak tadi diam kini ikut bicara. Tangannya menarikku supaya kembali duduk. "Istrimu saja bisa lebih bijak dari kamu yang seorang guru," sahut Mas Arsya. Ck...... Apa aku tidak salah dengar? Aku pun tersenyum sinis menanggapinya. Giliran dapat masalah bilang istriku bijak, kemarin-kemarin menghina istriku karena statusnya yang seorang janda. "Kenapa?" tanyanya tapi tak kuhiraukan. Kuhela nafas panjang, untuk mengurangi gemuruh di dadaku. Merasa lebih tenang aku me
Pov Nafisah. Pukul satu dini hari terlihat dari layar ponsel saat permukaan benda pipih itu berpendar menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk. [Bagaimana, bisa diselesaikan secara baik-baik?] Isi pesan dari Mas Zamar. [Alhamdulillah bisa. Ini sudah akan pulang.] Kusempatkan membalas pesan Mas Zamar sambil berjalan menuju mobil yang berada di parkiran kantor polisi. "Masuklah, Dek." Kak Shaka membukakan pintu bagian depan mobil. Aku masuk pun masuk setelah memastikan wanita bernama Kirana itu telah duduk di kursi penumpang bagian belakang bersama Mas Arsya. Tidak seperti beberapa detik yang lalu, kakak iparku itu tak lagi menolak permintaanku untuk mengantarkan Kirana lebih dulu. Ya, mungkin karena lelah. Jalanan sudah sangat sepi saat mobil bergerak keluar dari halaman kantor polisi. Kirana sedikit sungkan menyebutkan alamatnya saat rumahnya. "Maaf merepotkan," ucapnya dengan senyum terpaksa yang kulihat dari kaca mobil. Aku pun menoleh padanya dan membalasnya dengan senyum