Irine meletakkan cangkir yang ada di tangannya dengan perlahan ke meja bundar di depannya. Di hadapannya kini, duduk seorang pria yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah bertemu dengannya.
“Kau kembali lagi,” ujar wanita itu pelan. Pandangannya jatuh terfokus pada Kai yang juga memandangnya dengan ekspresi seperti biasa, datar.
Detik selanjutnya, Kai menarik napas, mengeluarkannya perlahan. Ia menatap sekeliling, mengamati ruangan kerja Irine yang tampak mewah. Ruangan bernuansa putih dengan beberapa hiasan bunga tulip itu terkesan tenang, sangat cocok untuk Irine yang sejak dulu menyukai situasi kondusif.
“Butikmu semakin besar saja,” kata pria itu. Mengabaikan perkataan Irine yang ditujukan padanya.
Irine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, melirik ke arah toilet yang masih belum juga menampakkan tanda-tanda Angelista akan keluar dari tempat tersebut. Wajar saja, baru lima menit berlalu. Mungkin wanita berkebangsaan Inggris itu tenga
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga dan kerlap-kerlip lampu diskotik sama sekali tidak membuat Kai tergerak sedikit pun dari tempatnya. Ia mendengkus, mengabaikan bisik-bisik dan jeritan yang berasal dari sekumpulan wanita yang berada tidak jauh darinya. “Lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Sekali datang, pesonamu langsung menarik pusat perhatian semua wanita. Kau bangga dengan itu?” Bartender yang sedang mengelap gelas bening di tangannya itu tertawa kecil. Memperhatikan raut wajah Kai yang sepertinya terganggu. “Apa kau cemburu?” Ia mendecih pelan. Mengulurkan gelasnya pada bartender itu untuk memintanya kembali menuang minum. “Oh, aku tidak cemburu. Istriku di rumah akan marah jika mengatahui hal ini.” Bartender itu terkekeh pelan. Tak lama kemudian ia kembali menurunkan bibir, sadar akan apa yang baru saja ia ucapkan mungkin saja bisa menyinggung Kai. “Apakah berumah tangga sangat menyenangkan?” Pertanyaan konyol ter
“Thalia … “ Suara baritone Kai terdengar jelas memecah keadaan press yang hening. Pria itu tersenyum tipis kala wanita yang dipanggilnya mulai menoleh, bertatapan dengannya.Nathalie melotot, ia mengedarkan pandangan ke semua sisi, memastikan tidak ada orang yang melihat dirinya dengan Kai sepagi ini.“Bukankah sudah aku bilang agar tidak memanggilku sembarangan?” Ia mendesah lelah. Sementara Kai yang berjarak beberapa meter darinya lantas berjalan mendekat. Berdiri di hadapannya.“Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri setelah aku pergi?” tanyanya penuh intimidasi. Wajahnya berubah serius.“Kenapa nyawamu hampir melayang?” Kai kembali bertanya. Membuat Nathalie merasakan perasaan aneh.Bibir wanita itu terbuka tidak percaya, bahkan untuk mengeluarkan suara saja terasa sangat sulit. Lidahnya terasa kelu di saat yang bersamaan.“Ke—kenapa kau menanyakan hal itu? Siapa yang m
“Nathalie, ada kiriman cokelat atas namamu.” Ariska memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu. Membiarkan wanita yang ada di dalamnya mendesah pelan. Alisnya yang tidak begitu tebal terangkat naik. Memandangi Ariska dengan tatapan penuh permintaan penjelasan. “Cokelat?” Ia mengulang kembali apa yang baru saja ia dengar. Sedikit tidak percaya. Sementara wanita berambut pendek yang masih berdiri di depan pintu itu lantas mengangguk yakin. Wajahnya tiba-tiba berubah, mengamati raut bingung Nathalie dengan tatapan menyelidik. “Jangan katakan jika kiriman itu berasal dari kekasihmu,” ujar Ariska seraya terkekeh pelan. Kedua alisnya ia naik turunkan untuk menggoda Nathalie. “Jangan sembarangan,” balas Nathalie seraya beranjak, meninggalkan laptop yang masih menyala. Rasa penasarannya tidak dapat ia hindari, ketika ia mengikuti Ariska untuk melihat cokelat yang dikirim oleh seseorang untuk dirinya. Tiba-tiba saja matanya langsung membulat. Tepat
Sapaan ramah dari para karyawan atau kerlingan dari beberapa wanita dengan maksud tertentu itu tidak Kai hiraukan. Begitu masuk perusahaaan, Kai membawa cepat kakinya menuju ke ruangannya. Membiarkan Hans yang tertinggal jauh di belakangnya. Hans memandang bosnya yang sepertinya sangat buru-buru. Ia menggeleng pelan sembari menggenggam layar besar di tangan kanan. “Bos pasti sangat tersiksa menahan diri.” Ia menghela napas maklum, berpikir jika Kai pasti akan langsung ke kamar mandi. Jika saja Kai menyuruhnya untuk berhenti di salah satu pom bensin, pasti Kai tidak akan terlihat begitu menyedihkan di mata Hans sekarang. Sekretaris Kai itu mulai berjalan menuju tempat kerjanya. Tak lupa ia memalingkan wajahnya pada para wanita yang tadi menyapa Kai dengan hangat. Hans tersenyum, yang sayangnya hanya dibalas dengan tatapan biasa-biasa saja. Ia menjadi semakin yakin jika dirinya tidak lebih dari setitik debu, yang selalu menempel pada Kai kemana pun pria itu per
“ …Wanita mana pun tidak akan senang jika mendapati kekasihnya mencintai wanita lain.” Tidak perlu Dalton katakan, Kai sendiri sudah tahu akan hal itu. Ia juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Dengan perasaannya. Semua yang terjadi padanya seperti lewat begitu saja. Hans datang tepat saat Dalton membuka pintu untuk pergi. Sekretaris Kai itu memandang Dalton yang menjauh dari ruangan bosnya dengan tatapan bingung. Matanya yang jeli menangkap sebuah tato yang terukir di tangan pria yang baru saja pergi. Meski tidak terlihat begitu jelas karena pakaian panjang yang dikenakan Dalton, namun Hans yakin tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Hans memalingkan wajah pada Kai yang membelakangi dirinya. Ia menatap sedih pada pria itu. Sedih akan dirinya sendiri. Merasa selama dua tahun berada di sisi Kai adalah sia-sia. Ia masih belum mengerti dengan jelas seperti apa orang-orang yang berada di sekitar bosnya. “Tuan, rapat akan dimulai sebentar lagi,"
“Filmnya akan diputar jam lima sore, namun kita bisa berangkat sejak pagi, sekalian jalan-jalan,” balas Jordi, menatap lurus ke arah wanita di hadapannya. Yang dibalas dengan anggukkan kepala dari Nathalie. Ia pikir tidak masalah sekali-kali pergi di hari libur dan bukan hanya berdiam diri di kamar. Dirinya juga perlu menjernihkan pikiran, isi kepalanya tidak hanya tentang kerja, kerja, dan kerja. Entah sudah berapa banyak uang yang telah menumpuk dan tidak pernah ia gunakan. Tidak ada niatan bagi Nathalie untuk keluar, atau membeli barang-barang berharga seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Mungkin, dirinya hanya akan membeli beberapa buku untuk dijadikan hiburan di kala sendiri. Yang ternyata jauh lebih baik daripada melakukan hal lain. “Aku akan datang ke rumahmu jam delapan pagi, dan kau harus sudah bersiap.” Jordi yang mudah sekali dalam memutuskan sesuatu itu membuat Nathalie mendelik, menghentikan kunyahan. “Datang saja, aku tidak akan membukakan pi
“Tuan Kai?” Nathalie menyapa untuk pertama kali. Membuat pria itu terhenyak. “Aa. Sedang belanja bersama?” Kai tetap bertanya meski ia tahu jika pertanyaannya retoris. Manik matanya sempat melirik pada sayuran yang sangat ia kenal berada di antara bahan makanan lain. Terlihat paling terang dan paling mencolok. Pandangannya yang semula berpusat pada Nathelie kemudian beralih ke Jordi. “Iya Tuan, apa Tuan Kai membutuhkan sesuatu? Kami bisa membantu,” ujar Jordi dengan nada yang sopan. Dan Kai hanya bisa menahan decihan yang akan meluncur itu kemudian menggeleng, ia tersenyum tipis. “Tidak perlu, kalian bisa melanjutkan apa yang sedang kalian lakukan.” “Kita hanya perlu ke kasir dan pulang,” kata Jordi lagi. Sementara Nathalie yang ada di samping pria itu hanya diam, tidak ikut menyahut percakapan di antara kedua orang tersebut. Kai kemudian mengangguk paham. “Silakan,” balasnya. “Ngomong-ngomong, memiliki teman ya
Tak!Tak!Jordi menoleh ke samping, menatap Nathalie yang kini menunjukkan wajah masam. Wanita itu menggeleng pelan dengan dahi yang berkerut tidak nyaman.“Dua tembakan meluncur begitu saja, dan semuanya gagal?”Nathalie menghela napas, melirik sejenak pada mainan kaleng berbentuk panda yang ada di depan sana. Seakan mengejek permainan Jordi yang kelewat payah.“Setelah ini, aku pasti bisa mendapatkannya,” ucapnya bersungguh-sungguh.“Sudah kali ke berapa kau bicara begitu?” ketus Nathalie, merebut senapan panjang yang ada pada pelukan Jordi.“Lihat baik-baik,” kata wanita itu sembari mengangkat alat tembak tersebut dan mulai memfokuskan pandangan.“Saat kau akan mulai menembak, tajamkan penglihatanmu. Arahkan dengan baik dan turunkan sedikit mulut senapannya.”Pria yang berdiri di sebelah Nathalie itu mengangguk pelan, menikmati wajah serius Nathalie yang kini