Sapaan ramah dari para karyawan atau kerlingan dari beberapa wanita dengan maksud tertentu itu tidak Kai hiraukan. Begitu masuk perusahaaan, Kai membawa cepat kakinya menuju ke ruangannya. Membiarkan Hans yang tertinggal jauh di belakangnya.
Hans memandang bosnya yang sepertinya sangat buru-buru. Ia menggeleng pelan sembari menggenggam layar besar di tangan kanan.
“Bos pasti sangat tersiksa menahan diri.” Ia menghela napas maklum, berpikir jika Kai pasti akan langsung ke kamar mandi. Jika saja Kai menyuruhnya untuk berhenti di salah satu pom bensin, pasti Kai tidak akan terlihat begitu menyedihkan di mata Hans sekarang.
Sekretaris Kai itu mulai berjalan menuju tempat kerjanya. Tak lupa ia memalingkan wajahnya pada para wanita yang tadi menyapa Kai dengan hangat. Hans tersenyum, yang sayangnya hanya dibalas dengan tatapan biasa-biasa saja. Ia menjadi semakin yakin jika dirinya tidak lebih dari setitik debu, yang selalu menempel pada Kai kemana pun pria itu per
“ …Wanita mana pun tidak akan senang jika mendapati kekasihnya mencintai wanita lain.” Tidak perlu Dalton katakan, Kai sendiri sudah tahu akan hal itu. Ia juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Dengan perasaannya. Semua yang terjadi padanya seperti lewat begitu saja. Hans datang tepat saat Dalton membuka pintu untuk pergi. Sekretaris Kai itu memandang Dalton yang menjauh dari ruangan bosnya dengan tatapan bingung. Matanya yang jeli menangkap sebuah tato yang terukir di tangan pria yang baru saja pergi. Meski tidak terlihat begitu jelas karena pakaian panjang yang dikenakan Dalton, namun Hans yakin tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Hans memalingkan wajah pada Kai yang membelakangi dirinya. Ia menatap sedih pada pria itu. Sedih akan dirinya sendiri. Merasa selama dua tahun berada di sisi Kai adalah sia-sia. Ia masih belum mengerti dengan jelas seperti apa orang-orang yang berada di sekitar bosnya. “Tuan, rapat akan dimulai sebentar lagi,"
“Filmnya akan diputar jam lima sore, namun kita bisa berangkat sejak pagi, sekalian jalan-jalan,” balas Jordi, menatap lurus ke arah wanita di hadapannya. Yang dibalas dengan anggukkan kepala dari Nathalie. Ia pikir tidak masalah sekali-kali pergi di hari libur dan bukan hanya berdiam diri di kamar. Dirinya juga perlu menjernihkan pikiran, isi kepalanya tidak hanya tentang kerja, kerja, dan kerja. Entah sudah berapa banyak uang yang telah menumpuk dan tidak pernah ia gunakan. Tidak ada niatan bagi Nathalie untuk keluar, atau membeli barang-barang berharga seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Mungkin, dirinya hanya akan membeli beberapa buku untuk dijadikan hiburan di kala sendiri. Yang ternyata jauh lebih baik daripada melakukan hal lain. “Aku akan datang ke rumahmu jam delapan pagi, dan kau harus sudah bersiap.” Jordi yang mudah sekali dalam memutuskan sesuatu itu membuat Nathalie mendelik, menghentikan kunyahan. “Datang saja, aku tidak akan membukakan pi
“Tuan Kai?” Nathalie menyapa untuk pertama kali. Membuat pria itu terhenyak. “Aa. Sedang belanja bersama?” Kai tetap bertanya meski ia tahu jika pertanyaannya retoris. Manik matanya sempat melirik pada sayuran yang sangat ia kenal berada di antara bahan makanan lain. Terlihat paling terang dan paling mencolok. Pandangannya yang semula berpusat pada Nathelie kemudian beralih ke Jordi. “Iya Tuan, apa Tuan Kai membutuhkan sesuatu? Kami bisa membantu,” ujar Jordi dengan nada yang sopan. Dan Kai hanya bisa menahan decihan yang akan meluncur itu kemudian menggeleng, ia tersenyum tipis. “Tidak perlu, kalian bisa melanjutkan apa yang sedang kalian lakukan.” “Kita hanya perlu ke kasir dan pulang,” kata Jordi lagi. Sementara Nathalie yang ada di samping pria itu hanya diam, tidak ikut menyahut percakapan di antara kedua orang tersebut. Kai kemudian mengangguk paham. “Silakan,” balasnya. “Ngomong-ngomong, memiliki teman ya
Tak!Tak!Jordi menoleh ke samping, menatap Nathalie yang kini menunjukkan wajah masam. Wanita itu menggeleng pelan dengan dahi yang berkerut tidak nyaman.“Dua tembakan meluncur begitu saja, dan semuanya gagal?”Nathalie menghela napas, melirik sejenak pada mainan kaleng berbentuk panda yang ada di depan sana. Seakan mengejek permainan Jordi yang kelewat payah.“Setelah ini, aku pasti bisa mendapatkannya,” ucapnya bersungguh-sungguh.“Sudah kali ke berapa kau bicara begitu?” ketus Nathalie, merebut senapan panjang yang ada pada pelukan Jordi.“Lihat baik-baik,” kata wanita itu sembari mengangkat alat tembak tersebut dan mulai memfokuskan pandangan.“Saat kau akan mulai menembak, tajamkan penglihatanmu. Arahkan dengan baik dan turunkan sedikit mulut senapannya.”Pria yang berdiri di sebelah Nathalie itu mengangguk pelan, menikmati wajah serius Nathalie yang kini
“Sedang menikmati hari libur?”Nathalie melebarkan mata. Suara yang tidak begitu asing baginya itu kemudian terkekeh pelan.“Apa aku mengganggu waktumu bersama dengan pria itu?”Belum sempat Nathalie menjawab, seseorang yang ada pada sambungan telepon tersebut kembali bersuara.Wanita dengan surai panjang itu menyapu pandangan ke sekitar, membiarkan pria yang duduk di sebelahnya penasaran.“Kau melihatku?”“Ya. Siapa pria itu? Wajahnya lumayan juga. Kekasih barumu?”Dengan tangan yang masih memegang ponsel, Nathalie melirik Jordi dari ujung mata. Pria yang memiliki darah asing tersebut tampak mempesona jika dilihat dari dekat. Bahkan hanya dengan keberadaannya, perhatian wanita-wanita yang ada di taman ini seolah tertarik padanya. Mereka berbisik dan kadang juga tertawa, mencuri-curi pandangan pada Jordi.Nathalie yang melihat jika Jordi tidak menyadari hal tersebut hanya memutar
“Kita bertemu lagi di hari senin.”Suara yang tidak begitu asing itu mendekat. Nathalie menoleh, mendapati Jordi berjalan ke arahnya dengan senyum lebar hingga kedua matanya menyipit. Salah satu tangannya memegang kopi panas yang mungkin baru saja ia beli dari kafetaria. Aroma sedap khas menyeruak masuk menembus hidung wanita itu sehingga ia merasa tenang dalam sesaat.“Kopi?”Pria itu mendekatkan sedotan ke arah Nathalie, yang dibalas dengan gelengan pelan dari wanita itu. Menolak.“Aku tidak akan marah jika kau hanya mencicipinya sedikit.” Jordi kembali mendekatkan ujung gelasnya ke bibir wanita itu. Menunggu Nathalie untuk bergerak selanjutnya.Dan yang dilakukan wanita itu hanya menghela napas pelan. Ia mendongak, mengarahkan pandangan pada sang pria. Membuat Jordi mengangkat sebelah alisnya.“Terima kasih,” kata wanita itu lalu berbalik meninggalkan Jordi. Berjalan mendahuluinya.&l
Rena mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan tidak sabar, matanya terus tertuju pada pintu ruangan kepala redaksi yang tertutup rapat. Siapa pun yang melihatnya sekarang, pasti berpikir ada yang aneh dengan wanita itu. Nyatanya, ia sejak tadi sibuk menunggu seseorang keluar dari ruangan tersebut.Dan ketika pintu berwarna cokelat gelap itu terbuka, sosok yang ia nanti-nantikan sejak tadi muncul dengan wajah seperti biasanya. Tampan. Bak titisan Dewa.Buru-buru Rena bengkit dari kursi dan mendekati Jordi. Sementara Jordi yang melihat Rena berjalan padanya hanya mengernyit.“Jordi … apa yang kau bicarakan bersama dengan kepala redaksi?”Wajah manis wanita itu memancar rasa keingintahuan.“Kenapa kau tidak tanyakan sendiri pada kepala redaksi?” Pria itu menarik tipis sudut bibirnya. Menatap wanita itu sekilas sebelum akhirnya melanjutkan langkah kakinya.Rena yang mematung dalam beberapa saat itu kemudian kembali ter
“Tuan Kai, rencana pembangunan restoran tersebut sudah ditentukan. Apa Anda benar-benar ingin membatalkan tempatnya? Kenapa Anda berubah pikiran?”Pria paruh baya dengan jas cokelat tua yang duduk di samping kiri Kai itu menatap sang atasan dengan penuh tanya. Memperhatikan wajah Kai dari jarak dekat sembari mencari tahu masalah yang ada pada diri pria itu. Namun, ia sama sekali tidak menemukan apa pun di sana, wajah Kai dengan tatapan dingin yang menusuk seolah menjadi jawaban.“Aku tahu.” Kai mengembuskan napas pendek, lalu kembali berucap, “Tapi keputusanku tidak pernah berubah. Kita akan tetap ganti lokasi dan melakukan semua dari awal.”Pria dengan kharisma yang menguar jelas tersebut lantas meletakkan kembali dokumen yang ada di tangan. Melirik tanpa minat pada dokumen tersebut, sebelum tatapannya menatap depan. Diikuti suasana yang mengalun tenang.“T-tempat itu adalah pilihan yang strategis. Bagaimana mung
Nathalie menutup dan meletakkan majalah fashion yang ada di tangannya saat melihat Kai telah pulang. Ia tersenyum tipis, lantas berjalan mendekati suaminya tersebut dan kemudian membantu Kai melepas jas yang dipakainya. "Kau pulang cepat," ujar Nathalie sembari menggenggam jas milik Kai."Aku hanya khawatir seseorang terlalu merindukanku di rumah." Pria itu menyeringai tipis. Dan Nathalie hanya bisa memutar bola matanya pelan. Membuat Kai terkekeh samar dan kemudian mengecup dahi wanita itu sedikit lama. "Kau terlihat cantik," puji pria itu dan kembali menciumi semua sisi wajah dari Nathalie."Jangan kau pikir bisa mengalihkan perhatian." Nathalie mendorong pria itu pelan. "Kau tidak makan siang, kan?" Sedangkan Kai hanya tersenyum sampai kedua matanya menyipit. Ia pikir, dirinya perlu untuk memotong gaji Hans bulan depan. Entah sejak kapan sekretaris yang paling ia percaya itu kemudian berkhianat dan berada di pihak Nathalie. Bahkan, sekarang Hans secara terang-terangan berani me
Sudah beberapa minggu sejak Nathalie dan Kai menghabiskan bulan madu mereka di Venice. Sekarang, mereka berdua telah kembali ke Indonesia dan menjalani aktivitas seperti biasanya. Namun, sedikit berbeda bagi Nathalie. Sejak Kai meminta dirinya untuk berhenti bekerja, ia menjadi suka merasa bosan di rumah. Meski Meii telah kembali ke sini, bahkan masih belum bisa menghilangkan rasa bosannya.Kadangkala, ia membantu Meii untuk sekadar menyiapkan makanan atau membersihkan rumah ini. Meski harus sedikit memaksa agar Meii memperbolehkannya. Dan pada akhirnya, Nathalie tetap menyibukkan diri dengan menulis artikel. Mungkin memang tak seberapa, namun ia tak bisa menghilangkan kebiasaan menulisnya itu dengan mudah. Sembari menunggu Kai pulang, ia kadang juga mengunjungi Irine atau sekadar pergi ke Supermarket bersama Meii untuk belanja bersama. Ia tidak ingin hanya berada di rumah saja dan menunggu waktu berganti sampai bertemu dengan Kai kembali. "Nyonya, biar saya yang mengaduk adonan in
Tak terasa sudah lima hari Nathalie berada di Vanesia. Beberapa tempat indah yang ada di kota ini sudah hampir ia datangi bersama dengan Kai. Mulai dari Piazza San Marco yang adalah sebuah lapangan umum namun sering dikunjungi banyak oang. Sampai ke Gallerie Dell’Accademia untuk melihat-lihat lukisan yang ada dalam galeri seni paling bergengsi di kota ini. Hari ini, Nathalie dan Kai berjalan menyusuri Pasar Rialto yang menyediakan beberapa makanan tradisional dan barang-barang sederhana khas Italia. Tak sedikit pula Nathalie mencoba membeli apa yang menarik perhatiannya di sini. Sesekali ia membiarkan Kai mencicipi beberapa jajanan sederhana yang kadang membuat dahi Kai terlipat samar. "Kalian orang Asia, ya?" tanya seorang nenek dengan menggunakan bahasa Italia. Nathalie benar-benar tidak mengerti selain menunggu Kai menjelaskan padanya."Ya. Indonesia." Kai menjawab sembari mengambil sebuah gantungan kunci dari kayu ukir berbentuk Gondola. Tersenyum tipis dan memperlihatkan apa ya
"Kai! Lihat sini!" Nathalie memanggil pria yang berjalan satu langkah lebih awal darinya itu sembari terkekeh pelan. Sementara Kai kini terlihat enggan untuk memalingkan wajahnya pada Nathalie yang tengah memegang ponsel dan menghidupkan kamera."Hey! Apakah kau sedang menyia-nyiakan wajah tampan mu itu? Kau harus banyak mengambil gambar untuk dijadikan kenangan."Wanita itu menarik tangan Kai dengan sedikit tenaga dan mau tak mau pria itu beralih menatapnya. Dan-Cekrek!Satu foto wajah pria itu Nathalie dapatkan. Akhirnya ia mendapat potret Kai dari depan. Nathalie juga tidak mengerti. Meskipun Kai selalu percaya diri menyombongkan kelebihan yang ia miliki- termasuk wajahnya yang tampan. Namun, ada kalanya juga Kai merasa malu. Tepat hari ini, adalah hari ke dua mereka berada di Vanesia. Dan saat ini, mereka berdua tengah berjalan bersama di atas Jembatan Rialto. Dengan pemandangan kota Vanesia yang indah. Nathalie mengatakan kota ini unik karena memang sesuai dengan apa yang kin
"Thalia ...." Kai memanggil nama wanita yang berbaring di pangkuannya itu dengan lembut. Tangan kanannya tak berhenti mengusap surai panjang wanita itu dengan pelan. Dan Nathalie yang sedang mengamati kuku-kuku miliknya yang belum sempat ia potong itu menjawab dengan gumaman pelan."Hm?" "Ada tempat yang kau inginkan untuk berbulan madu?" Nathalie juga bingung. Ia pikir Kai sudah memutuskan akan memilih untuk pergi ke mana. Hampir sebagian tempat di dunia ini pernah ia kunjungi bersama dengan pria itu. "Apa kau ada usul? Aku juga bingung." Wanita itu terkekeh pelan. Merubah posisi miring menjadi terlentang agar bisa menatap Kai dari bawah.Pria itu tersenyum tipis. Menunduk padanya. "Venice?"Alis Nathalie mengerut tipis. "Italia?" Kepala Kai teranguk. Nathalie pikir, ia juga belum pernah ke tempat tersebut. Hanya pernah melihat dalam ponselnya bagaimana keindahan kota unik itu."Boleh juga." Mungkin kali ini akan terasa berbeda karena Nathalie akan pergi bersama Kai dengan s
Nathalie memandang bunga-bunga yang bermekaran di taman yang ada pada rumah Kai. Ah, Nathalie pikir ia sudah bisa memanggilnya sebagai rumah kita. Rumah di mana dirinya dan Kai tinggal dengan status yang resmi menjadi suami istri. Wanita itu tersenyum tipis. Lantas kembali menyiram bunga dengan berbagai warna dan bentuk tersebut dengan ceria. Hari ini adalah tepat hari ke tiga setelah Nathalie dan Kai melangsungkan pernikahan. Pengantin baru yang harusnya sedang memandu kasih dan pergi bulan madu seperti yang biasa dilakukan, namun tidak dengan Nathalie. Karena pekerjaan Kai yang tak bisa ditinggalkan, waktu berbulan madu mereka menjadi tertunda. Meski Nathalie sedikit kecewa. Namun, ia tak menyesalinya. Wajar saja hal ini terjadi. Karena pekerjaan Kai bukanlah pekerjaan yang sembarangan harus ditinggalkan. Dan Nathalie memilih untuk menunggu sebentar lagi sampai pria itu benar-benar menyelesaikan semuanya. Tiba-tiba saja Nathalie merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Kedu
Hans mengangguk. Mengambil dokumen yang baru saja selesai Kai tandatangani. "Tuan, sudah waktunya makan siang." Sementara Kai hanya menghela napas pelan. Lantas bergumam pelan. "Aku akan keluar sebentar lagi." Kai memandang Hans sekilas. Dan kemudian sekretarisnya itu undur diri untuk keluar dari ruangan ini. Sampai di depan pintu, Hans sedikit terkejut kala melihat Nathalie ada di hadapannya. Hendak masuk ke dalam ruangan kerja Kai."Nona?" Ah, Hans mengutuk dirinya sendiri. Apakah ia seharusnya memanggil Nyonya?Sementara Nathalie yang masih berdiri di hadapan sekretaris Kai itu tersenyum tipis."Apa dia ada di dalam?""Ya. Tuan ada di dalam." Dan Nathalie mengangguk. "Terima kasih." Setelah itu, ia berjalan meninggalkan Hans yang kemudian melangkah pergi. Dari kedua netranya, Nathalie dapat melihat Kai yang masih sibuk berkutat dengan pekerjaan. Pria itu bahkan tidak menyadari seseorang masuk ke dalam sebelum kemudian Nathalie berdeham pelan.Sontak Kai mengalihkan pandanga
"Selamat ulang tahun, Thalia."Nathalie masih terpaku di tempat. Tidak pernah terpikirkan Kai akan melakukan hal ini. Ia yang bahkan lupa dengan tanggal ulang tahunnya sendiri merasa terkejut dengan hal yang tiba-tiba ini."Kai ...." Pria di hadapannya itu tersenyum tipis. Mendekatkan ujung lilin pada wanita itu "Buat permohonan," ucapnya pelan. Dan Nathalie mengangguk. Memejamkan matanya sesaat sebelum kembali membukanya dan meniup lilin kecil di atas kue tersebut. Pandangannya lantas beralih pada Kai yang nasih berdiri di hadapannya dengan tegak. Pria itu lalu meletakkan kue yang ada di tangannya dan membuka kedua tangannya lebar-lebar. Membiarkan Nathalie berhambur ke pelukannya."Terima kasih, Kai. Kau sudah mengingatnya."Nathalie mengeratkan pelukannya pada pria tersebut. Sebelum kemudian menarik kepalanya dan menatap kekasih tampannya lekat-lekat. Berjinjit dan melayangkan kecupan di bibir tipis Kai yang membuat pria itu tersenyum tipis. Melepaskan pelukannya dan berdeham p
Nathalie menyandarkan kepala pada bahu lebar yang ada di sebelahnya. Masih berusaha untuk mengatur napasnya lantaran baru saja selesai bermain air dengan pria yang kini duduk di sampingnya sekarang.Ia tersenyum tipis. Memandang matahari yang sebentar lagi akan tenggelam di ujung laut yang ada di depan mata mereka. Perlahan cahaya di sekitar mereka mulai meredup dan tergantikan oleh gelap. Sedangkan Kai yang ada di samping wanita itu hanya melirik Nathalie sekilas. Tak bisa menahan diri untuk tersenyum samar. Lantas, menarik wanita itu untuk semakin dekat ke arahnya.Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah dua bulan sejak ingatan Nathalie kembali. Dan saat ini, mereka berdua tengah ada berada di salah satu pantai di Bali. Menikmati waktu berdua saja. Sebelum beberapa saat kemudian Kai menggeser kepala wanita itu dan berdiri di hadapannya. Mengulurkan tangan yang membuat Nathalie mengerutkan dahi."Ayo kita kembali," ajak Kai. Dan Nathalie lantas mengangguk. Menerima uluran tanga