“Apa maumu?”
Ia berucap sarkas, yang sayangnya malah mengundang kekehan kecil sehingga membuat dirinya mendengkus.
“Kau memang tidak pernah berubah … Thalia,” ujar pria itu nyaris terdengar seperti bisikan.
“Tidak ada Thalia di sini. Kau mengenali orang yang salah.”
Nathalie mempertahankan wajah datarnya. Sekilas, ia sempat melihat jika Kai yang kini beranjak dari tempat duduk itu menaikkan salah satu alis.
“Siapa pun namanya, aku tidak peduli. Karena kalian adalah orang yang sama.”
Seringai yang ditampilkan oleh pria yang berjarak beberapa langkah darinya itu sama sekali tidak berubah. Tiga tahun tidak bertemu, ia masih tetap sama, baik sifat maupun tindakannya.
Dan sialnya lagi, dirinya terjebak di sini dan tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa sadar, kedua tangannya telah mengepal erat.
“Aku bisa melaporkanmu atas tindakan kurang ajar ini,” ancamnya.
Tidak merasa takut. Kai yang ada di hadapannya itu masih tetap tenang, ia bahkan semakin menaikkan seringainya kala melihat wajah Nathalie yang memerah. Bukan, bukan memerah karena salah tingkah atau malu. Sebaliknya, wanita itu mati-matian sedang menahan emosi yang siap meletus.
“Laporkan saja,” balasnya seringan kapas.
Sementara Nathalie mendecih. Ancaman sekelas teri darinya tidak akan berpengaruh pada pria arogan seperti Kai. Di negara ini, siapa pun yang memiliki kuasa dan jabatan tinggi, tidak perlu mencemaskan sesuatu dalam hidupnya. Semuanya uang yang berbicara.
“Buka pintunya, dan aku akan melupakan masalah ini," putus Nathalie pada akhirnya. Ia menaikkan salah satu alis ketika melihat Kai bergerak, membuka laci meja kerjanya, merogoh sesuatu dari dalam sana dan tidak melepaskan pandangan darinya.
“Kuncinya ada padaku … kau harus mengambilnya sendiri jika ingin keluar. Dan tentu saja itu tidak akan mudah," ujarnya dengan nada yang membuat Nathalie merasa muak.
Si berengsek ini.
Nathalie tidak berencana untuk terkurung di sini terlalu lama. Terlebih pada ponselnya yang sedari tadi bergetar. Atasannya terus menghubungi, dan ia tidak memiliki cara lain selain mengikuti permainan yang dimulai oleh pria menyebalkan ini.
“Apa maumu?”
Untuk yang kedua kalinya, ia kembali melayangkan kalimat yang sama.
“Sejak tadi kau belum menyebut namaku, apakah kau telah lupa?”
Demi Tuhan, pertanyaan konyol apa lagi ini, batin Nathalie menjerit.
“Kau beruntung. Namamu terlalu pasaran sehingga aku mudah mengingatnya.”
Kai menghela napas pendek. “Tiga tahun tidak bertemu, beginikah caramu menyambutku?”
Nathalie tidak sadar jika ia menautkan kedua alisnya hingga hampir menyatu. Tidak mengerti mengapa tiba-tiba Kai berucap omong kosong seperti ini. Pria itu bukan keluarganya, apalagi kekasihnya. Haruskah dirinya antusias saat mendengar kabar kembalinya dia?
“Aku tidak memiliki waktu untuk mengurusi hal-hal tidak penting,” balasnya datar.
“Kau boleh pergi setelah menyetujui ajakan makan malam denganku,” kata pria itu seraya memainkan kunci yang ada di tangannya. Memutar-mutarnya dengan tenang.
“Itu paksaan?”
CEO muda itu menggeleng. “Tidak. Ini perintah.”
“Aku tidak dapat membedakan keduanya.”
“Keduanya terdengar mirip? Semua perintahku bersifat memaksa, kau tak dapat menyangkal.”
“Kau pria berengsek.”
Kai terkekeh pelan. “Itu nama tengahku.”
Wanita itu membuang napas kasar. Ia mengangkat ponselnya yang sedari tadi terus bergetar.
“Ya, Aris?” Ia melirik ke arah pria yang ada di depannya itu sejenak. “Aku akan kembali dalam sepuluh menit,” balasnya pada seseorang yang ada di seberang telepon.
Pip.
Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Menatap bosan pada pria yang kini sedang menyeringai licik padanya.
“Berikan kuncinya padaku.”
“Kau tidak akan pernah menyesali keputusanmu.” Kai menipiskan bibirnya. Detik berikutnya, dengan santainya ia melempar kunci di tangannya yang berhasil ditangkap Nathalie dengan mudah. Diam-diam ia memuji kecakapan wanita itu.
Nathalie menatap pria itu sinis. Tanpa mengucap sepatah kata, ia segera berbalik dan membuka pintu yang terkunci dengan sedikit terburu-buru.
“Jam delapan malam, restoran yang biasa kita datangi.”
.
.
.
Nathalie tidak pernah percaya dengan yang namanya keberuntungan, karena dia tidak pernah merasakan apa arti dari kata tersebut dalam hidupnya. Seperti sekarang, dengan dress hitam selutut yang ia kenakan, dan sepatu dengan hak rendah ia mulai berjalan memasuki restoran yang ada di depan matanya.
Dari sekian dress yang ia punya, dirinya lebih tertarik untuk memakai warna hitam. Terkesan tenang sekaligus menantang. Sehingga mengundang beberapa pasang mata untuk meliriknya, sekadar membatin atau menatap dirinya aneh.
Dari kejauhan, ia dapat melihat Kai yang duduk dengan pandangan keluar, menatap pemandangan malam lewat kaca bening di sebelahnya. Tak lama kemudian ia menoleh, menyadari kehadirannya.
"Aku pikir kau tidak akan menepati janji."
Nathalie mendengkus samar. "Aku tidak pernah mengingkari janji, apalagi berbohong."
Dalam beberapa saat, Kai tampak terdiam.
"Makanlah," ujarnya beberapa detik kemudian.
Nathalie menatap steak lada hitam yang ada di meja dengan tatapan gamang. Kai masih mengingat makanan kesukaannya. Dan tidak ingin berpikir lebih dalam, tanpa basa-basi ia segera mengulurkan tangannya, menikmati steak yang tersaji sesegera mungkin. Agar cepat keluar dari tempat ini.
Diam-diam Kai memandangi wanita yang ada di depannya dengan penuh. Nathalie terlihat lebih kurus dari tiga tahun lalu. Entah dia sedang diet atau memang terlalu memikirkan banyak hal.
"Apa?"
Kai terperangah, ia tertangkap basah sedang memperhatikan wanita itu yang baru akan menyuapkan potongan steak ke dalam mulut.
"Hn?"
Menggelengkan kepalanya pelan, Nathalie lantas mengambil gelas berkaki yang ada di sampingnya dan meminum isinya beberapa teguk.
"Katakan saja apa tujuanmu, kau bukan orang yang suka berbasa-basi dan mengajak makan malam tanpa alasan."
Kai tersenyum samar. Wanita ini masih sangat mengerti dirinya. Membuatnya tidak dapat bersembunyi lagi. Ia menegakkan bahu, mengambil sebuah kertas dari balik saku dalam jasnya dan meletakkannya di meja. Tepat di depan Nathalie.
Wanita itu menatap datar kertas cek dengan angka nol yang mendominasi. Kemudian tatapannya beralih pada Kai yang kini melipat kedua tangannya dengan angkuh.
"Sepuluh miliar. Aku akan memberimu kesempatan untuk kembali padaku."
Sesaat, alis Nathalie berkerut, dirinya tidak tahu harus berkata apa. Tanpa sadar ia sudah meremas ujung dressnya.
"Bagaimana kau bisa mengatakan hal itu dengan mudah? Kau lupa jika dirimu masih memiliki seorang kekasih, Kai?"
Untuk pertama kalinya. Wanita itu memanggil nama pria yang ada di hadapannya setelah beberapa tahun berlalu.
"Kau takut jika Angelista akan cemburu? Tenang sa—"
"Tidak. Untuk apa aku harus mengkhawatirkan hal bodoh itu? Selain itu, bukankah kau yang akan terkena dampaknya? Bagaimana jika ia memutuskanmu dan lebih parahnya lagi, dia menamparmu? Hubungan kalian akan berakhir sia-sia. Dia adalah wanita terbaik dalam hidupmu."
Kai menyeringai tipis. Setipis mungkin sehingga Nathalie tidak menyadarinya.
"Jika itu yang kau masalahkan, maka tenang saja, dia sangat mengerti diriku. Dan, dia tidak akan pernah menamparku, dia wanita lemah lembut," balas Kai menekankan setiap kata-katanya.
"Jadi ... kau akan menyetujuinya?" lanjut pria itu. Menggapai wine miliknya dan menyesapnya perlahan. Membiarkan wanita yang masih terdiam itu berpikir.
Nathalie tiba-tiba tersenyum. Tangannya terulur untuk mengambil cek tersebut. Dan Kai tidak dapat untuk tidak semakin melebarkan seringainya.
"Apa kau tahu? Ada beberapa wanita yang tidak menyukai cara rendahan seperti ini." Ia membolak-balikkan cek yang ada di tangannya dengan hati-hati.
Membuat pria yang ada di hadapannya menipiskan bibir. "Dan kau bukan termasuk salah satunya, kan?"
Wanita itu mengangguk. "Aku memang bukan salah satunya ..."
Ia memandang Kai dengan tatapan dingin.
"... dibanding dengan sebutan rendahan. Aku lebih merasa jijik dengan caramu. Sangat menjijikkan sehingga aku ingin kembali menamparmu ... seperti dulu."
Meski agak terkejut, namun Kai dapat menyembunyikan ekspresinya dengan pintar. Ia tidak percaya jika Nathalie akan merobek cek yang ada di tangannya dengan tenang. Lalu memasukkan potongan kertas itu ke dalam gelas wine miliknya.
Wanita itu tersenyum puas.
"Aku masih berbaik hati memberimu muka dan tidak menyiram wine itu ke wajahmu. Jangan pernah berharap lebih. Di mataku yang sekarang, kau tidak lebih dari seorang pria berengsek."
Ia beranjak dari tempat duduknya. Menyahut tas tangannya dan melangkah pergi dari restoran ini.
"Nikmati sepuluh miliarmu. Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi ..."
Ia berhenti sejenak di samping Kai.
"... bedebah."
Dan yang terdengar setelah itu hanyalah suara sepatu Nathalie yang perlahan mulai menjauh. Meninggalkan Kai yang masih tak berkutik di tempat.
Pandangannya tiba-tiba menggelap. Diraihnya ponsel keluaran terbaru miliknya yang ada di atas meja dan menghubungi seseorang.
"Lakukan, dalam lima menit," desisnya.
Kai memarkirkan mobil tepat pukul satu dini hari. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya yang besarnya berkali-kali lipat dari rumah biasa pada umumnya. Bau keringat yang menguar dari badannya membuat ia ingin segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan tidur. Malam yang sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini ia tampak begitu bersemangat mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memberikan pukulan terbaik pada samsak tinju, melampiaskan semua yang mengganggu pikirannya pada benda tak bersalah tersebut. Hingga tak sadar, hari mulai merambat naik.“Are you okay?” Suara lembut yang menyapa indra pendengarnya membuat Kai menoleh. Ia mengernyit, menatap wanita yang duduk di atas kasur dan tersenyum menyambut kepulangannya, kedua matanya terlihat sayu.“Kenapa belum tidur?”Pria itu mengurungkan niat awal, beralih mendekat pada wanita yang memiliki manik mata sebiru laut dasar.“Aku menunggumu,” balasn
“Ruangan CEO … tidak terlalu buruk.”Kai semakin merapatkan diri. Sementara Nathalie semakin mengeratkan cengkramannya pada kedua bahu lebar di hadapannya. Matanya awas memandang pria itu, berjaga-jaga jika ia melakukan hal di luar pemikirannya. Dilihat dari tatapan buas yang kini sedang mengintimidasi dirinya, Nathalie yakin Kai tidak akan tidak melakukan sesuatu. Terlebih ia adalah tipikal orang yang akan melakukan segala cara untuk mendapat apa yang diinginkannya.“Lepaskan. Jika aku berteriak sekarang, kau akan tamat.”Tidak ada yang tidak Kai sukai selain melihat gurat keberanian yang kini memancar jelas dari wanita yang ada di dalam dekapannya. Yang sejak tadi terus berusaha untuk melarikan diri. Namun naas, kelinci kecil tidak akan pernah bisa kabur dari incaran serigala berwajah tampan satu ini.Kai mendengus, menahan tawa.“Teriaklah, dan kau tahu apa yang akan terjadi setelah ini.” Ia mendekatkan
“Kai?” Nathalie mengulang pertanyaan dari lawan bicaranya. Heran saja jika seseorang yang baru pertama kali bertemu dengannya tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Ia tidak pernah berpikir jika Kai yang akan menceritakan sesuatu pada orang lain, apa lagi tentang masa lalunya. Pria itu memiliki kepribadian yang tertutup, sangat tertutup hingga siapa pun tidak akan dapat menggali tentangnya lebih dalam. Hanya pada orang-orang kepercayaannya saja ia akan menceritakan masalahnya. Diamnya Nathalie selama beberapa saat itu mengundang tanda tanya Angelista. “Sudah kuduga, kau pasti mengenalnya.” Si pirang itu menyipitkan matanya. Dan Nathalie paling tidak suka jika seseorang menatap dirinya penuh penasaran. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” balasnya datar. Mengabaikan wanita itu, ia kembali melanjutkan langkah kakinya. “Tunggu.” Angelista menahan lengan Nathalie. Pandangan Nathalie kini turun, memperhatikan tangan putih yan
“Kai!” Angelista berlari kecil menuju pria itu. Wajah cantiknya kian berbinar kala ia sudah berada di depan Kai yang kini masih terdiam tanpa kata. “Kau sudah lama menungguku?” tanyanya antusias sembari menggenggam kedua tangan besar Kai. Yang dibalas dengan gelengan kepala pelan dari pria itu. “Tidak. Aku baru saja sampai,” balasnya. “Ingin pergi sekarang?” Wanita bersurai pirang itu mengangguk. Sesaat, ia tersadar jika ia melupakan satu orang lagi yang ada di sini. Seseorang yang sedari tadi menjadi teman bicaranya sebelum Kai datang. Angelista lantas menoleh, memandang Nathalie yang masih berdiri di belakangnya. “Nathalie!” seru Angelista. Dan seseorang yang dipanggil hanya menghela napas pelan. “Ya?” “Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa!” Nathalie mengangguk, tersenyum tipis. Memperhatikan pasangan yang ada di depan matanya. Bagaimana Kai yang membukakan pintu mobil untuk Angelista, yang kemudian diikuti ol
Irine meletakkan cangkir yang ada di tangannya dengan perlahan ke meja bundar di depannya. Di hadapannya kini, duduk seorang pria yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah bertemu dengannya. “Kau kembali lagi,” ujar wanita itu pelan. Pandangannya jatuh terfokus pada Kai yang juga memandangnya dengan ekspresi seperti biasa, datar. Detik selanjutnya, Kai menarik napas, mengeluarkannya perlahan. Ia menatap sekeliling, mengamati ruangan kerja Irine yang tampak mewah. Ruangan bernuansa putih dengan beberapa hiasan bunga tulip itu terkesan tenang, sangat cocok untuk Irine yang sejak dulu menyukai situasi kondusif. “Butikmu semakin besar saja,” kata pria itu. Mengabaikan perkataan Irine yang ditujukan padanya. Irine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, melirik ke arah toilet yang masih belum juga menampakkan tanda-tanda Angelista akan keluar dari tempat tersebut. Wajar saja, baru lima menit berlalu. Mungkin wanita berkebangsaan Inggris itu tenga
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga dan kerlap-kerlip lampu diskotik sama sekali tidak membuat Kai tergerak sedikit pun dari tempatnya. Ia mendengkus, mengabaikan bisik-bisik dan jeritan yang berasal dari sekumpulan wanita yang berada tidak jauh darinya. “Lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Sekali datang, pesonamu langsung menarik pusat perhatian semua wanita. Kau bangga dengan itu?” Bartender yang sedang mengelap gelas bening di tangannya itu tertawa kecil. Memperhatikan raut wajah Kai yang sepertinya terganggu. “Apa kau cemburu?” Ia mendecih pelan. Mengulurkan gelasnya pada bartender itu untuk memintanya kembali menuang minum. “Oh, aku tidak cemburu. Istriku di rumah akan marah jika mengatahui hal ini.” Bartender itu terkekeh pelan. Tak lama kemudian ia kembali menurunkan bibir, sadar akan apa yang baru saja ia ucapkan mungkin saja bisa menyinggung Kai. “Apakah berumah tangga sangat menyenangkan?” Pertanyaan konyol ter
“Thalia … “ Suara baritone Kai terdengar jelas memecah keadaan press yang hening. Pria itu tersenyum tipis kala wanita yang dipanggilnya mulai menoleh, bertatapan dengannya.Nathalie melotot, ia mengedarkan pandangan ke semua sisi, memastikan tidak ada orang yang melihat dirinya dengan Kai sepagi ini.“Bukankah sudah aku bilang agar tidak memanggilku sembarangan?” Ia mendesah lelah. Sementara Kai yang berjarak beberapa meter darinya lantas berjalan mendekat. Berdiri di hadapannya.“Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri setelah aku pergi?” tanyanya penuh intimidasi. Wajahnya berubah serius.“Kenapa nyawamu hampir melayang?” Kai kembali bertanya. Membuat Nathalie merasakan perasaan aneh.Bibir wanita itu terbuka tidak percaya, bahkan untuk mengeluarkan suara saja terasa sangat sulit. Lidahnya terasa kelu di saat yang bersamaan.“Ke—kenapa kau menanyakan hal itu? Siapa yang m
“Nathalie, ada kiriman cokelat atas namamu.” Ariska memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu. Membiarkan wanita yang ada di dalamnya mendesah pelan. Alisnya yang tidak begitu tebal terangkat naik. Memandangi Ariska dengan tatapan penuh permintaan penjelasan. “Cokelat?” Ia mengulang kembali apa yang baru saja ia dengar. Sedikit tidak percaya. Sementara wanita berambut pendek yang masih berdiri di depan pintu itu lantas mengangguk yakin. Wajahnya tiba-tiba berubah, mengamati raut bingung Nathalie dengan tatapan menyelidik. “Jangan katakan jika kiriman itu berasal dari kekasihmu,” ujar Ariska seraya terkekeh pelan. Kedua alisnya ia naik turunkan untuk menggoda Nathalie. “Jangan sembarangan,” balas Nathalie seraya beranjak, meninggalkan laptop yang masih menyala. Rasa penasarannya tidak dapat ia hindari, ketika ia mengikuti Ariska untuk melihat cokelat yang dikirim oleh seseorang untuk dirinya. Tiba-tiba saja matanya langsung membulat. Tepat
Nathalie menutup dan meletakkan majalah fashion yang ada di tangannya saat melihat Kai telah pulang. Ia tersenyum tipis, lantas berjalan mendekati suaminya tersebut dan kemudian membantu Kai melepas jas yang dipakainya. "Kau pulang cepat," ujar Nathalie sembari menggenggam jas milik Kai."Aku hanya khawatir seseorang terlalu merindukanku di rumah." Pria itu menyeringai tipis. Dan Nathalie hanya bisa memutar bola matanya pelan. Membuat Kai terkekeh samar dan kemudian mengecup dahi wanita itu sedikit lama. "Kau terlihat cantik," puji pria itu dan kembali menciumi semua sisi wajah dari Nathalie."Jangan kau pikir bisa mengalihkan perhatian." Nathalie mendorong pria itu pelan. "Kau tidak makan siang, kan?" Sedangkan Kai hanya tersenyum sampai kedua matanya menyipit. Ia pikir, dirinya perlu untuk memotong gaji Hans bulan depan. Entah sejak kapan sekretaris yang paling ia percaya itu kemudian berkhianat dan berada di pihak Nathalie. Bahkan, sekarang Hans secara terang-terangan berani me
Sudah beberapa minggu sejak Nathalie dan Kai menghabiskan bulan madu mereka di Venice. Sekarang, mereka berdua telah kembali ke Indonesia dan menjalani aktivitas seperti biasanya. Namun, sedikit berbeda bagi Nathalie. Sejak Kai meminta dirinya untuk berhenti bekerja, ia menjadi suka merasa bosan di rumah. Meski Meii telah kembali ke sini, bahkan masih belum bisa menghilangkan rasa bosannya.Kadangkala, ia membantu Meii untuk sekadar menyiapkan makanan atau membersihkan rumah ini. Meski harus sedikit memaksa agar Meii memperbolehkannya. Dan pada akhirnya, Nathalie tetap menyibukkan diri dengan menulis artikel. Mungkin memang tak seberapa, namun ia tak bisa menghilangkan kebiasaan menulisnya itu dengan mudah. Sembari menunggu Kai pulang, ia kadang juga mengunjungi Irine atau sekadar pergi ke Supermarket bersama Meii untuk belanja bersama. Ia tidak ingin hanya berada di rumah saja dan menunggu waktu berganti sampai bertemu dengan Kai kembali. "Nyonya, biar saya yang mengaduk adonan in
Tak terasa sudah lima hari Nathalie berada di Vanesia. Beberapa tempat indah yang ada di kota ini sudah hampir ia datangi bersama dengan Kai. Mulai dari Piazza San Marco yang adalah sebuah lapangan umum namun sering dikunjungi banyak oang. Sampai ke Gallerie Dell’Accademia untuk melihat-lihat lukisan yang ada dalam galeri seni paling bergengsi di kota ini. Hari ini, Nathalie dan Kai berjalan menyusuri Pasar Rialto yang menyediakan beberapa makanan tradisional dan barang-barang sederhana khas Italia. Tak sedikit pula Nathalie mencoba membeli apa yang menarik perhatiannya di sini. Sesekali ia membiarkan Kai mencicipi beberapa jajanan sederhana yang kadang membuat dahi Kai terlipat samar. "Kalian orang Asia, ya?" tanya seorang nenek dengan menggunakan bahasa Italia. Nathalie benar-benar tidak mengerti selain menunggu Kai menjelaskan padanya."Ya. Indonesia." Kai menjawab sembari mengambil sebuah gantungan kunci dari kayu ukir berbentuk Gondola. Tersenyum tipis dan memperlihatkan apa ya
"Kai! Lihat sini!" Nathalie memanggil pria yang berjalan satu langkah lebih awal darinya itu sembari terkekeh pelan. Sementara Kai kini terlihat enggan untuk memalingkan wajahnya pada Nathalie yang tengah memegang ponsel dan menghidupkan kamera."Hey! Apakah kau sedang menyia-nyiakan wajah tampan mu itu? Kau harus banyak mengambil gambar untuk dijadikan kenangan."Wanita itu menarik tangan Kai dengan sedikit tenaga dan mau tak mau pria itu beralih menatapnya. Dan-Cekrek!Satu foto wajah pria itu Nathalie dapatkan. Akhirnya ia mendapat potret Kai dari depan. Nathalie juga tidak mengerti. Meskipun Kai selalu percaya diri menyombongkan kelebihan yang ia miliki- termasuk wajahnya yang tampan. Namun, ada kalanya juga Kai merasa malu. Tepat hari ini, adalah hari ke dua mereka berada di Vanesia. Dan saat ini, mereka berdua tengah berjalan bersama di atas Jembatan Rialto. Dengan pemandangan kota Vanesia yang indah. Nathalie mengatakan kota ini unik karena memang sesuai dengan apa yang kin
"Thalia ...." Kai memanggil nama wanita yang berbaring di pangkuannya itu dengan lembut. Tangan kanannya tak berhenti mengusap surai panjang wanita itu dengan pelan. Dan Nathalie yang sedang mengamati kuku-kuku miliknya yang belum sempat ia potong itu menjawab dengan gumaman pelan."Hm?" "Ada tempat yang kau inginkan untuk berbulan madu?" Nathalie juga bingung. Ia pikir Kai sudah memutuskan akan memilih untuk pergi ke mana. Hampir sebagian tempat di dunia ini pernah ia kunjungi bersama dengan pria itu. "Apa kau ada usul? Aku juga bingung." Wanita itu terkekeh pelan. Merubah posisi miring menjadi terlentang agar bisa menatap Kai dari bawah.Pria itu tersenyum tipis. Menunduk padanya. "Venice?"Alis Nathalie mengerut tipis. "Italia?" Kepala Kai teranguk. Nathalie pikir, ia juga belum pernah ke tempat tersebut. Hanya pernah melihat dalam ponselnya bagaimana keindahan kota unik itu."Boleh juga." Mungkin kali ini akan terasa berbeda karena Nathalie akan pergi bersama Kai dengan s
Nathalie memandang bunga-bunga yang bermekaran di taman yang ada pada rumah Kai. Ah, Nathalie pikir ia sudah bisa memanggilnya sebagai rumah kita. Rumah di mana dirinya dan Kai tinggal dengan status yang resmi menjadi suami istri. Wanita itu tersenyum tipis. Lantas kembali menyiram bunga dengan berbagai warna dan bentuk tersebut dengan ceria. Hari ini adalah tepat hari ke tiga setelah Nathalie dan Kai melangsungkan pernikahan. Pengantin baru yang harusnya sedang memandu kasih dan pergi bulan madu seperti yang biasa dilakukan, namun tidak dengan Nathalie. Karena pekerjaan Kai yang tak bisa ditinggalkan, waktu berbulan madu mereka menjadi tertunda. Meski Nathalie sedikit kecewa. Namun, ia tak menyesalinya. Wajar saja hal ini terjadi. Karena pekerjaan Kai bukanlah pekerjaan yang sembarangan harus ditinggalkan. Dan Nathalie memilih untuk menunggu sebentar lagi sampai pria itu benar-benar menyelesaikan semuanya. Tiba-tiba saja Nathalie merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Kedu
Hans mengangguk. Mengambil dokumen yang baru saja selesai Kai tandatangani. "Tuan, sudah waktunya makan siang." Sementara Kai hanya menghela napas pelan. Lantas bergumam pelan. "Aku akan keluar sebentar lagi." Kai memandang Hans sekilas. Dan kemudian sekretarisnya itu undur diri untuk keluar dari ruangan ini. Sampai di depan pintu, Hans sedikit terkejut kala melihat Nathalie ada di hadapannya. Hendak masuk ke dalam ruangan kerja Kai."Nona?" Ah, Hans mengutuk dirinya sendiri. Apakah ia seharusnya memanggil Nyonya?Sementara Nathalie yang masih berdiri di hadapan sekretaris Kai itu tersenyum tipis."Apa dia ada di dalam?""Ya. Tuan ada di dalam." Dan Nathalie mengangguk. "Terima kasih." Setelah itu, ia berjalan meninggalkan Hans yang kemudian melangkah pergi. Dari kedua netranya, Nathalie dapat melihat Kai yang masih sibuk berkutat dengan pekerjaan. Pria itu bahkan tidak menyadari seseorang masuk ke dalam sebelum kemudian Nathalie berdeham pelan.Sontak Kai mengalihkan pandanga
"Selamat ulang tahun, Thalia."Nathalie masih terpaku di tempat. Tidak pernah terpikirkan Kai akan melakukan hal ini. Ia yang bahkan lupa dengan tanggal ulang tahunnya sendiri merasa terkejut dengan hal yang tiba-tiba ini."Kai ...." Pria di hadapannya itu tersenyum tipis. Mendekatkan ujung lilin pada wanita itu "Buat permohonan," ucapnya pelan. Dan Nathalie mengangguk. Memejamkan matanya sesaat sebelum kembali membukanya dan meniup lilin kecil di atas kue tersebut. Pandangannya lantas beralih pada Kai yang nasih berdiri di hadapannya dengan tegak. Pria itu lalu meletakkan kue yang ada di tangannya dan membuka kedua tangannya lebar-lebar. Membiarkan Nathalie berhambur ke pelukannya."Terima kasih, Kai. Kau sudah mengingatnya."Nathalie mengeratkan pelukannya pada pria tersebut. Sebelum kemudian menarik kepalanya dan menatap kekasih tampannya lekat-lekat. Berjinjit dan melayangkan kecupan di bibir tipis Kai yang membuat pria itu tersenyum tipis. Melepaskan pelukannya dan berdeham p
Nathalie menyandarkan kepala pada bahu lebar yang ada di sebelahnya. Masih berusaha untuk mengatur napasnya lantaran baru saja selesai bermain air dengan pria yang kini duduk di sampingnya sekarang.Ia tersenyum tipis. Memandang matahari yang sebentar lagi akan tenggelam di ujung laut yang ada di depan mata mereka. Perlahan cahaya di sekitar mereka mulai meredup dan tergantikan oleh gelap. Sedangkan Kai yang ada di samping wanita itu hanya melirik Nathalie sekilas. Tak bisa menahan diri untuk tersenyum samar. Lantas, menarik wanita itu untuk semakin dekat ke arahnya.Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah dua bulan sejak ingatan Nathalie kembali. Dan saat ini, mereka berdua tengah ada berada di salah satu pantai di Bali. Menikmati waktu berdua saja. Sebelum beberapa saat kemudian Kai menggeser kepala wanita itu dan berdiri di hadapannya. Mengulurkan tangan yang membuat Nathalie mengerutkan dahi."Ayo kita kembali," ajak Kai. Dan Nathalie lantas mengangguk. Menerima uluran tanga