“Apa maumu?”
Ia berucap sarkas, yang sayangnya malah mengundang kekehan kecil sehingga membuat dirinya mendengkus.
“Kau memang tidak pernah berubah … Thalia,” ujar pria itu nyaris terdengar seperti bisikan.
“Tidak ada Thalia di sini. Kau mengenali orang yang salah.”
Nathalie mempertahankan wajah datarnya. Sekilas, ia sempat melihat jika Kai yang kini beranjak dari tempat duduk itu menaikkan salah satu alis.
“Siapa pun namanya, aku tidak peduli. Karena kalian adalah orang yang sama.”
Seringai yang ditampilkan oleh pria yang berjarak beberapa langkah darinya itu sama sekali tidak berubah. Tiga tahun tidak bertemu, ia masih tetap sama, baik sifat maupun tindakannya.
Dan sialnya lagi, dirinya terjebak di sini dan tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa sadar, kedua tangannya telah mengepal erat.
“Aku bisa melaporkanmu atas tindakan kurang ajar ini,” ancamnya.
Tidak merasa takut. Kai yang ada di hadapannya itu masih tetap tenang, ia bahkan semakin menaikkan seringainya kala melihat wajah Nathalie yang memerah. Bukan, bukan memerah karena salah tingkah atau malu. Sebaliknya, wanita itu mati-matian sedang menahan emosi yang siap meletus.
“Laporkan saja,” balasnya seringan kapas.
Sementara Nathalie mendecih. Ancaman sekelas teri darinya tidak akan berpengaruh pada pria arogan seperti Kai. Di negara ini, siapa pun yang memiliki kuasa dan jabatan tinggi, tidak perlu mencemaskan sesuatu dalam hidupnya. Semuanya uang yang berbicara.
“Buka pintunya, dan aku akan melupakan masalah ini," putus Nathalie pada akhirnya. Ia menaikkan salah satu alis ketika melihat Kai bergerak, membuka laci meja kerjanya, merogoh sesuatu dari dalam sana dan tidak melepaskan pandangan darinya.
“Kuncinya ada padaku … kau harus mengambilnya sendiri jika ingin keluar. Dan tentu saja itu tidak akan mudah," ujarnya dengan nada yang membuat Nathalie merasa muak.
Si berengsek ini.
Nathalie tidak berencana untuk terkurung di sini terlalu lama. Terlebih pada ponselnya yang sedari tadi bergetar. Atasannya terus menghubungi, dan ia tidak memiliki cara lain selain mengikuti permainan yang dimulai oleh pria menyebalkan ini.
“Apa maumu?”
Untuk yang kedua kalinya, ia kembali melayangkan kalimat yang sama.
“Sejak tadi kau belum menyebut namaku, apakah kau telah lupa?”
Demi Tuhan, pertanyaan konyol apa lagi ini, batin Nathalie menjerit.
“Kau beruntung. Namamu terlalu pasaran sehingga aku mudah mengingatnya.”
Kai menghela napas pendek. “Tiga tahun tidak bertemu, beginikah caramu menyambutku?”
Nathalie tidak sadar jika ia menautkan kedua alisnya hingga hampir menyatu. Tidak mengerti mengapa tiba-tiba Kai berucap omong kosong seperti ini. Pria itu bukan keluarganya, apalagi kekasihnya. Haruskah dirinya antusias saat mendengar kabar kembalinya dia?
“Aku tidak memiliki waktu untuk mengurusi hal-hal tidak penting,” balasnya datar.
“Kau boleh pergi setelah menyetujui ajakan makan malam denganku,” kata pria itu seraya memainkan kunci yang ada di tangannya. Memutar-mutarnya dengan tenang.
“Itu paksaan?”
CEO muda itu menggeleng. “Tidak. Ini perintah.”
“Aku tidak dapat membedakan keduanya.”
“Keduanya terdengar mirip? Semua perintahku bersifat memaksa, kau tak dapat menyangkal.”
“Kau pria berengsek.”
Kai terkekeh pelan. “Itu nama tengahku.”
Wanita itu membuang napas kasar. Ia mengangkat ponselnya yang sedari tadi terus bergetar.
“Ya, Aris?” Ia melirik ke arah pria yang ada di depannya itu sejenak. “Aku akan kembali dalam sepuluh menit,” balasnya pada seseorang yang ada di seberang telepon.
Pip.
Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Menatap bosan pada pria yang kini sedang menyeringai licik padanya.
“Berikan kuncinya padaku.”
“Kau tidak akan pernah menyesali keputusanmu.” Kai menipiskan bibirnya. Detik berikutnya, dengan santainya ia melempar kunci di tangannya yang berhasil ditangkap Nathalie dengan mudah. Diam-diam ia memuji kecakapan wanita itu.
Nathalie menatap pria itu sinis. Tanpa mengucap sepatah kata, ia segera berbalik dan membuka pintu yang terkunci dengan sedikit terburu-buru.
“Jam delapan malam, restoran yang biasa kita datangi.”
.
.
.
Nathalie tidak pernah percaya dengan yang namanya keberuntungan, karena dia tidak pernah merasakan apa arti dari kata tersebut dalam hidupnya. Seperti sekarang, dengan dress hitam selutut yang ia kenakan, dan sepatu dengan hak rendah ia mulai berjalan memasuki restoran yang ada di depan matanya.
Dari sekian dress yang ia punya, dirinya lebih tertarik untuk memakai warna hitam. Terkesan tenang sekaligus menantang. Sehingga mengundang beberapa pasang mata untuk meliriknya, sekadar membatin atau menatap dirinya aneh.
Dari kejauhan, ia dapat melihat Kai yang duduk dengan pandangan keluar, menatap pemandangan malam lewat kaca bening di sebelahnya. Tak lama kemudian ia menoleh, menyadari kehadirannya.
"Aku pikir kau tidak akan menepati janji."
Nathalie mendengkus samar. "Aku tidak pernah mengingkari janji, apalagi berbohong."
Dalam beberapa saat, Kai tampak terdiam.
"Makanlah," ujarnya beberapa detik kemudian.
Nathalie menatap steak lada hitam yang ada di meja dengan tatapan gamang. Kai masih mengingat makanan kesukaannya. Dan tidak ingin berpikir lebih dalam, tanpa basa-basi ia segera mengulurkan tangannya, menikmati steak yang tersaji sesegera mungkin. Agar cepat keluar dari tempat ini.
Diam-diam Kai memandangi wanita yang ada di depannya dengan penuh. Nathalie terlihat lebih kurus dari tiga tahun lalu. Entah dia sedang diet atau memang terlalu memikirkan banyak hal.
"Apa?"
Kai terperangah, ia tertangkap basah sedang memperhatikan wanita itu yang baru akan menyuapkan potongan steak ke dalam mulut.
"Hn?"
Menggelengkan kepalanya pelan, Nathalie lantas mengambil gelas berkaki yang ada di sampingnya dan meminum isinya beberapa teguk.
"Katakan saja apa tujuanmu, kau bukan orang yang suka berbasa-basi dan mengajak makan malam tanpa alasan."
Kai tersenyum samar. Wanita ini masih sangat mengerti dirinya. Membuatnya tidak dapat bersembunyi lagi. Ia menegakkan bahu, mengambil sebuah kertas dari balik saku dalam jasnya dan meletakkannya di meja. Tepat di depan Nathalie.
Wanita itu menatap datar kertas cek dengan angka nol yang mendominasi. Kemudian tatapannya beralih pada Kai yang kini melipat kedua tangannya dengan angkuh.
"Sepuluh miliar. Aku akan memberimu kesempatan untuk kembali padaku."
Sesaat, alis Nathalie berkerut, dirinya tidak tahu harus berkata apa. Tanpa sadar ia sudah meremas ujung dressnya.
"Bagaimana kau bisa mengatakan hal itu dengan mudah? Kau lupa jika dirimu masih memiliki seorang kekasih, Kai?"
Untuk pertama kalinya. Wanita itu memanggil nama pria yang ada di hadapannya setelah beberapa tahun berlalu.
"Kau takut jika Angelista akan cemburu? Tenang sa—"
"Tidak. Untuk apa aku harus mengkhawatirkan hal bodoh itu? Selain itu, bukankah kau yang akan terkena dampaknya? Bagaimana jika ia memutuskanmu dan lebih parahnya lagi, dia menamparmu? Hubungan kalian akan berakhir sia-sia. Dia adalah wanita terbaik dalam hidupmu."
Kai menyeringai tipis. Setipis mungkin sehingga Nathalie tidak menyadarinya.
"Jika itu yang kau masalahkan, maka tenang saja, dia sangat mengerti diriku. Dan, dia tidak akan pernah menamparku, dia wanita lemah lembut," balas Kai menekankan setiap kata-katanya.
"Jadi ... kau akan menyetujuinya?" lanjut pria itu. Menggapai wine miliknya dan menyesapnya perlahan. Membiarkan wanita yang masih terdiam itu berpikir.
Nathalie tiba-tiba tersenyum. Tangannya terulur untuk mengambil cek tersebut. Dan Kai tidak dapat untuk tidak semakin melebarkan seringainya.
"Apa kau tahu? Ada beberapa wanita yang tidak menyukai cara rendahan seperti ini." Ia membolak-balikkan cek yang ada di tangannya dengan hati-hati.
Membuat pria yang ada di hadapannya menipiskan bibir. "Dan kau bukan termasuk salah satunya, kan?"
Wanita itu mengangguk. "Aku memang bukan salah satunya ..."
Ia memandang Kai dengan tatapan dingin.
"... dibanding dengan sebutan rendahan. Aku lebih merasa jijik dengan caramu. Sangat menjijikkan sehingga aku ingin kembali menamparmu ... seperti dulu."
Meski agak terkejut, namun Kai dapat menyembunyikan ekspresinya dengan pintar. Ia tidak percaya jika Nathalie akan merobek cek yang ada di tangannya dengan tenang. Lalu memasukkan potongan kertas itu ke dalam gelas wine miliknya.
Wanita itu tersenyum puas.
"Aku masih berbaik hati memberimu muka dan tidak menyiram wine itu ke wajahmu. Jangan pernah berharap lebih. Di mataku yang sekarang, kau tidak lebih dari seorang pria berengsek."
Ia beranjak dari tempat duduknya. Menyahut tas tangannya dan melangkah pergi dari restoran ini.
"Nikmati sepuluh miliarmu. Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi ..."
Ia berhenti sejenak di samping Kai.
"... bedebah."
Dan yang terdengar setelah itu hanyalah suara sepatu Nathalie yang perlahan mulai menjauh. Meninggalkan Kai yang masih tak berkutik di tempat.
Pandangannya tiba-tiba menggelap. Diraihnya ponsel keluaran terbaru miliknya yang ada di atas meja dan menghubungi seseorang.
"Lakukan, dalam lima menit," desisnya.
Kai memarkirkan mobil tepat pukul satu dini hari. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya yang besarnya berkali-kali lipat dari rumah biasa pada umumnya. Bau keringat yang menguar dari badannya membuat ia ingin segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan tidur. Malam yang sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini ia tampak begitu bersemangat mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memberikan pukulan terbaik pada samsak tinju, melampiaskan semua yang mengganggu pikirannya pada benda tak bersalah tersebut. Hingga tak sadar, hari mulai merambat naik.“Are you okay?” Suara lembut yang menyapa indra pendengarnya membuat Kai menoleh. Ia mengernyit, menatap wanita yang duduk di atas kasur dan tersenyum menyambut kepulangannya, kedua matanya terlihat sayu.“Kenapa belum tidur?”Pria itu mengurungkan niat awal, beralih mendekat pada wanita yang memiliki manik mata sebiru laut dasar.“Aku menunggumu,” balasn
“Ruangan CEO … tidak terlalu buruk.”Kai semakin merapatkan diri. Sementara Nathalie semakin mengeratkan cengkramannya pada kedua bahu lebar di hadapannya. Matanya awas memandang pria itu, berjaga-jaga jika ia melakukan hal di luar pemikirannya. Dilihat dari tatapan buas yang kini sedang mengintimidasi dirinya, Nathalie yakin Kai tidak akan tidak melakukan sesuatu. Terlebih ia adalah tipikal orang yang akan melakukan segala cara untuk mendapat apa yang diinginkannya.“Lepaskan. Jika aku berteriak sekarang, kau akan tamat.”Tidak ada yang tidak Kai sukai selain melihat gurat keberanian yang kini memancar jelas dari wanita yang ada di dalam dekapannya. Yang sejak tadi terus berusaha untuk melarikan diri. Namun naas, kelinci kecil tidak akan pernah bisa kabur dari incaran serigala berwajah tampan satu ini.Kai mendengus, menahan tawa.“Teriaklah, dan kau tahu apa yang akan terjadi setelah ini.” Ia mendekatkan
“Kai?” Nathalie mengulang pertanyaan dari lawan bicaranya. Heran saja jika seseorang yang baru pertama kali bertemu dengannya tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Ia tidak pernah berpikir jika Kai yang akan menceritakan sesuatu pada orang lain, apa lagi tentang masa lalunya. Pria itu memiliki kepribadian yang tertutup, sangat tertutup hingga siapa pun tidak akan dapat menggali tentangnya lebih dalam. Hanya pada orang-orang kepercayaannya saja ia akan menceritakan masalahnya. Diamnya Nathalie selama beberapa saat itu mengundang tanda tanya Angelista. “Sudah kuduga, kau pasti mengenalnya.” Si pirang itu menyipitkan matanya. Dan Nathalie paling tidak suka jika seseorang menatap dirinya penuh penasaran. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” balasnya datar. Mengabaikan wanita itu, ia kembali melanjutkan langkah kakinya. “Tunggu.” Angelista menahan lengan Nathalie. Pandangan Nathalie kini turun, memperhatikan tangan putih yan
“Kai!” Angelista berlari kecil menuju pria itu. Wajah cantiknya kian berbinar kala ia sudah berada di depan Kai yang kini masih terdiam tanpa kata. “Kau sudah lama menungguku?” tanyanya antusias sembari menggenggam kedua tangan besar Kai. Yang dibalas dengan gelengan kepala pelan dari pria itu. “Tidak. Aku baru saja sampai,” balasnya. “Ingin pergi sekarang?” Wanita bersurai pirang itu mengangguk. Sesaat, ia tersadar jika ia melupakan satu orang lagi yang ada di sini. Seseorang yang sedari tadi menjadi teman bicaranya sebelum Kai datang. Angelista lantas menoleh, memandang Nathalie yang masih berdiri di belakangnya. “Nathalie!” seru Angelista. Dan seseorang yang dipanggil hanya menghela napas pelan. “Ya?” “Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa!” Nathalie mengangguk, tersenyum tipis. Memperhatikan pasangan yang ada di depan matanya. Bagaimana Kai yang membukakan pintu mobil untuk Angelista, yang kemudian diikuti ol
Irine meletakkan cangkir yang ada di tangannya dengan perlahan ke meja bundar di depannya. Di hadapannya kini, duduk seorang pria yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah bertemu dengannya. “Kau kembali lagi,” ujar wanita itu pelan. Pandangannya jatuh terfokus pada Kai yang juga memandangnya dengan ekspresi seperti biasa, datar. Detik selanjutnya, Kai menarik napas, mengeluarkannya perlahan. Ia menatap sekeliling, mengamati ruangan kerja Irine yang tampak mewah. Ruangan bernuansa putih dengan beberapa hiasan bunga tulip itu terkesan tenang, sangat cocok untuk Irine yang sejak dulu menyukai situasi kondusif. “Butikmu semakin besar saja,” kata pria itu. Mengabaikan perkataan Irine yang ditujukan padanya. Irine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, melirik ke arah toilet yang masih belum juga menampakkan tanda-tanda Angelista akan keluar dari tempat tersebut. Wajar saja, baru lima menit berlalu. Mungkin wanita berkebangsaan Inggris itu tenga
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga dan kerlap-kerlip lampu diskotik sama sekali tidak membuat Kai tergerak sedikit pun dari tempatnya. Ia mendengkus, mengabaikan bisik-bisik dan jeritan yang berasal dari sekumpulan wanita yang berada tidak jauh darinya. “Lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Sekali datang, pesonamu langsung menarik pusat perhatian semua wanita. Kau bangga dengan itu?” Bartender yang sedang mengelap gelas bening di tangannya itu tertawa kecil. Memperhatikan raut wajah Kai yang sepertinya terganggu. “Apa kau cemburu?” Ia mendecih pelan. Mengulurkan gelasnya pada bartender itu untuk memintanya kembali menuang minum. “Oh, aku tidak cemburu. Istriku di rumah akan marah jika mengatahui hal ini.” Bartender itu terkekeh pelan. Tak lama kemudian ia kembali menurunkan bibir, sadar akan apa yang baru saja ia ucapkan mungkin saja bisa menyinggung Kai. “Apakah berumah tangga sangat menyenangkan?” Pertanyaan konyol ter
“Thalia … “ Suara baritone Kai terdengar jelas memecah keadaan press yang hening. Pria itu tersenyum tipis kala wanita yang dipanggilnya mulai menoleh, bertatapan dengannya.Nathalie melotot, ia mengedarkan pandangan ke semua sisi, memastikan tidak ada orang yang melihat dirinya dengan Kai sepagi ini.“Bukankah sudah aku bilang agar tidak memanggilku sembarangan?” Ia mendesah lelah. Sementara Kai yang berjarak beberapa meter darinya lantas berjalan mendekat. Berdiri di hadapannya.“Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri setelah aku pergi?” tanyanya penuh intimidasi. Wajahnya berubah serius.“Kenapa nyawamu hampir melayang?” Kai kembali bertanya. Membuat Nathalie merasakan perasaan aneh.Bibir wanita itu terbuka tidak percaya, bahkan untuk mengeluarkan suara saja terasa sangat sulit. Lidahnya terasa kelu di saat yang bersamaan.“Ke—kenapa kau menanyakan hal itu? Siapa yang m
“Nathalie, ada kiriman cokelat atas namamu.” Ariska memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu. Membiarkan wanita yang ada di dalamnya mendesah pelan. Alisnya yang tidak begitu tebal terangkat naik. Memandangi Ariska dengan tatapan penuh permintaan penjelasan. “Cokelat?” Ia mengulang kembali apa yang baru saja ia dengar. Sedikit tidak percaya. Sementara wanita berambut pendek yang masih berdiri di depan pintu itu lantas mengangguk yakin. Wajahnya tiba-tiba berubah, mengamati raut bingung Nathalie dengan tatapan menyelidik. “Jangan katakan jika kiriman itu berasal dari kekasihmu,” ujar Ariska seraya terkekeh pelan. Kedua alisnya ia naik turunkan untuk menggoda Nathalie. “Jangan sembarangan,” balas Nathalie seraya beranjak, meninggalkan laptop yang masih menyala. Rasa penasarannya tidak dapat ia hindari, ketika ia mengikuti Ariska untuk melihat cokelat yang dikirim oleh seseorang untuk dirinya. Tiba-tiba saja matanya langsung membulat. Tepat