“Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu.”
Gerakan jemari Nathalie seketika berhenti. Ia lanjut mendongak, memandangi Kai yang kini memasang wajah serius.
“Apa?” Ia menurunkan ponsel. Menunggu jawaban dengan raut tenang.
Namun, hanya dibalas dengan senyuman tipis yang kini terpatri pada wajah tampan yang ada di hadapannya.
.
.
.
Tidak salah lagi. Kai membawa Nathalie di rumah besarnya. Bangunan megah itu tampak tak berpenghuni sebelum pemiliknya kembali. Sangat sepi.
Sembari menyandarkan kepala di pinggir jendela, Nathalie terus sibuk dengan pikirannya. Menatap jalanan dalam diam. Hingga pria yang ada di sebelahnya itu menoleh. Memanggil nama wanita yang masih saja melamun meski mobil yang mereka tumpangi telah berhenti sejak menit lalu.
“Kenapa kau membawaku kemari? Apa yang ingin kau tunjukkan?” tanya wanita itu seraya menatap intens ke arah Kai.
Cukup lama Kai tak segera
“Hal itu berawal ketika aku mendapat perintah dari ayahku.”Kai menarik napas dalam. Kali ini ia harus menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Tidak ingin menutupi apapun dari Nathalie. Karena ia hanya bisa mengandalkan kesempatan ini untuk membuat wanita itu tidak pergi darinya.“Kau pasti tidak menyangka. Ayahku, seseorang yang kau lihat dari luar sangat lembut itu sebenarnya adalah pemimpin mafia di China.”Mata Nathalie seketika terbelalak. Antara terkejut dan tidak percaya.“Aku tidak berbohong,” lanjut pria itu kala ia menyadari raut wajah Nathalie yang berubah drastis.Mengetahui jika Nathalie hanya diam, Kai kembali meneruskan ceritanya.“Di umurnya yang sudah mulai menua, dia memutuskan untuk mengalihkan kepemimpinan tugasnya padaku.”“Dan kau tidak menolak?” sela Nathalie kemudian.Kai menggeleng. “Aku menolak, Thalia. Saat itu aku langsung menola
Pagi-pagi sekali, Nathalie disuguhkan oleh pemandangan seorang pemimpin Hyden yang tengah mondar-mandir memeriksa sesuatu di atas kompor. Celemek biru tua polos yang melekat membuat Kai terlihat seperti juru masak yang andal. Tidak menyadari kedatangan Nathalie, karena ia sibuk memeriksa rasa buah hasil dari tangannya tersebut. Lalu, beberapa bumbu terlihat dituangkan lagi.“Kai ….”Sesaat mengerjap. Barulah beberapa detik, pria itu membalikkan badan. Tersenyum tipis.“Oh, kau sudah bangun?” Kai bertanya. Meski ia tahu jika pertanyaan yang ia lontarkan tidak perlu dijawab.Dan wanita yang berjarak tiga meter di hadapannya itu mengangguk, melirik sekilas pada kesibukan pria itu.“Aku membuat sup kaki ayam. Makanan kesukaanmu di pagi hari," ujar Kai ketika menyadari ke mana arah pandangan Nathalie menelisik.Nathalie kembali mengangguk. Ikut melempar senyum.“Terlihat lezat. Tapi maaf, sepertin
Manik kelam Kai memandang wanita berbalut jas putih di hadapannya dengan tatapan kosong. Seolah pikirannya sedang berada jauh di luar sana. Bibir tipis miliknya terkantup rapat."Kau hanya akan terus terdiam? Aku masih memiliki janji dengan pasien lain," ujar wanita di hadapan Kai sembari mengecek arloji.Tatapan Kai naik, menatap wanita itu dengan tajam. Yang sayangnya, sama sekali tidak berpengaruh sedikit pun. Wanita dengan gaya rambut yang disanggul sebagian itu lantas mengulas senyum. Menautkan jari-jemari lentik miliknya."Apa yang akan kau keluhkan hari ini?" Ia kembali bertanya. Mencoba sabar menghadapi Kai. Pria itu sudah berada di sini sejak lima belas menit yang lalu. Namun, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya."Aku kembali bermimpi buruk."Kai menghela napas tanpa ekspresi. Sementara wanita yang ada di hadapannya langsung mengerutkan alis. Tak lama kemudian mengangguk pelan."Ada kejadian
"Malam ini? Ehm, baik. Kirimkan lokasinya padaku, aku akan datang selepas pulang kerja."Suara di balik telepon itu terdengar mendengkus pelan. Tak lama kemudian sambungan telepon terputus. Irine terkekeh. Memasukkan kembali ponsel mahal miliknya ke dalam tas. Kakinya berjalan langkah demi langkah menuju koleksi pakaian yang dijual di dalam mall. Melirik jumlah harga, dan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali.Mungkin orang yang melihat Irine sekarang akan bergumam jika ia adalah wanita mandiri. Datang sendiri dan berbelanja sendiri pula. Pakaian yang elegan dan sikapnya yang tenang membuat ia menarik banyak pasang mata ke arahnya. Beruntung, kacamata hitam yang menghalangi tatapan secara langsung dengan orang lain membuatnya tidak dapat dikenali. Ya, meskipun ia tidak begitu terkenal juga. Sebagian orang yang mengenalnya adalah para langganan butik dan beberapa teman yang ia miliki. Namun, hanya dengan melihat sekilas saja, mereka akan l
"Menunggu lama?"Wanita yang sedang menyeruput kopi itu menghentikan gerakan, diikuti kedua matanya yang terangkat naik. Tak lama kemudian kedua sudut bibirnya terangkat. Tersenyum lebar."Kau datang lebih awal dari dugaanku," ujar Irine. Tak melepaskan pandangan ketika Nathalie meletakkan tas dan mengambil duduk."Kau beruntung pekerjaanku selesai cepat," balas wanita berambut panjang tersebut. Nathalie melambai, meminta pelayan untuk mencatat pesanannya."Pekerjaanmu mudah?"Nathalie terkekeh. "Seharusnya aku yang bertanya. Mengapa desainer ini bisa meluangkan waktu di tengah kesibukannya merancang pakaian?"Irine terlihat memutar bola mata. Kembali menyeruput kopi yang tinggal setengah."Apa kau tidak senang bertemu denganku?" Tiba-tiba saja Irine memasang wajah sedih. Yang hanya diabaikan oleh Nathalie."Ngomong-ngomong, kau benar-benar berkencan dengan pria waktu itu?" tanya Irine.
"Kau bisa memakannya tanpa banyak bicara."Nathalie menggeser kursi untuk duduk. Sementara Kai hanya mengangguk dan memulai suapan pertama.Keduanya terdiam. Tidak berbicara bahkan sepatah kata.Nathalie yang menunggu pria di hadapannya itu selesai makan tak ayal larut dalam pikirannya. Mungkin, jika keadaan mereka berdua tidak seperti sekarang. Sejak tadi ia akan berbicara panjang lebar mengenai apa yang terjadi padanya hari ini. Apa yang membuatnya senang, sedih, tertawa, bahkan menangis. Namun, hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Ia tidak memiliki alasan untuk mengatakan apapun pada pria di depannya.Dan yang bisa Nathalie lakukan hanya termenung. Sesekali bermain ponsel dengan tenang."Apa kedatanganku mengganggumu?"Pria itu telah selesai makan dan meletakkan sendok. Ketika Nathalie melirik padanya, tatapan lembut milik Kai tersorot penuh untuk dirinya."Kau baru sadar sekarang?" Nathalie mendesah pend
Wanita berpakaian santai namun terlihat berkelas duduk di hadapan Nathalie. Senyum yang terukir di bibirnya seakan tidak pernah memudar. Bibirnya yang tipis dengan bulu mata yang lentik cukup mendeskripsikan satu hal. Sempurna. Wanita cantik yang kini menatap Nathalie dalam-dalam itu tampak tertarik akan sesuatu.Sementara Nathalie. Ia bahkan tidak tahu apa yang membawa kakinya sampai ke tempat ini. Bodoh rasanya jika ia menganggap terkena hipnotis lantaran dirinya jelas-jelas sadar."Aku akan memperkenalkan diri lagi sebagai bentuk kesopanan." Wanita dengan gaya rambut disanggul sebagian tersebut mulai bersuara."Aku Emeralda, biasa dipanggil Emerald. Psikolog sekaligus psikoterapis yang menangani Kai sejak dua tahun lalu."Nathalie menahan napas. Tidak dapat menahan kedua bola matanya yang kemudian melebar."A—apa maksudmu?" Ia menutup bibir dengan telapak tangan tidak percaya. Namun, tidak mungkin juga wanita yang sedang
Nathalie tidak menyangka dengan apa yang saat ini dilihatnya. Ia benar-benar tidak memikirkan akan satu hal.Angelista. Seorang wanita yang masih memiliki status jelas sebagai kekasih Kai.“Nathalie?” panggil wanita bermanik biru itu sekali lagi.“A-aku …” Suaranya serasa tercekat. Tiba-tiba saja ia tidak tahu harus berbicara apa.Sementara Angelista yang menunggu wanita di depannya menjawab, mengalihkan pandangannya pada apa yang Nathalie sembunyikan di belakang badan.“Apa itu?” tanya wanita pirang itu kala ia tak sengaja melihat siluet plastik putih.“Bukan apa-apa,” ujar Nathalie sembari memaksakan senyum. Ia bersiap untuk pergi dan menjauh dari Angelista yang masih bingung dengan kedatangannya.“Apa itu obat untuk Kai?”Tidak ada yang dapat Nathalie lakukan selain menghela napas pelan.“Ya,” jawabnya kemudian. Sudah terlambat jika ia ingi